Tampilkan postingan dengan label Terbaru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Terbaru. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 April 2017

Field Trip Project Asia: Benda Bekas yang Membekas

Jumat, April 07, 2017
Pas ketika saya memarkirkan sepeda motor, selang menit sebelumnya Idrus Bin Harun telah duluan tiba. Saya disambutnya. Bersamanya, saya diajak menuju ke ruang pameran bertajuk Field Trip Project Asia. Dalam perjalanan itu, lelaki pegiat di Kanot Bu itu membeberkan bahwa, salah seorang seniman, sehari sebelumya agak kepanasan berada di ruang lantai 2 Museum Tsunami Aceh itu saat mempersiapkan pamerannya. “Kayaknya, dia kepanasan lantaran gak ada celah angin masuk ke ruang itu,” sebutnya sambil lalu. Pria yang kerap disapa Idrus itu, berkesempatan mempresentasikan hasil karyanya yang diberi nama Bikin Rumah-Rumahan. Instalasi ini – tentu jauh hari sebelum perhelatan seni ini yang diikuti seniman mancanegara – idrus pastinya sibuk memikirkan konsepnya.


















Di kesempatan itu, Idrus menyebut proses Bikin Rumah-Rumahan ini mewakili ingatan tentang betapa terkurasnya energi kita membereskan Aceh.

Saya agak heran awalnya, kenapa Idrus membuat instalasinya dengan atap setengah? Terkesan rumah itu tak siap. Gergajinya pun diletakkan begitu saja, rumah itu nampak tak terawat, hal ini terbaca lantaran ada dedaunan yang jatuh di lantai. Sungguh rumah tak siap jadi!

Idrus komat-kamit menjelaskan produk instalasi seninya yang diberi nama Bikin Rumah-Rumahan
Idrus mengatakan Bikin Rumah-Rumahan adalah upaya pembangunan kembali rumah tinggal paska tsunami, walau terengah-engah menyelesaikannya karena pemegang proyek nakal, rehab-rekon suskes mengubah wajah Aceh. Olehnya, dia menyebut, di masa itu, pemerintah, di beberapa tempat yang dilanda bencana tsunami, pembangunan rumah asal-asalan.

Banyak pemegang proyek baik kontraktor hingga pihak terkait bermain celah mendapatkan ‘uang lebih’ dari tiap per rumah yang dibangun. Maka pun jelas kini, temuan rumah yang dibangun dengan material yang tidak sesuai standar, jadilah ‘Rumah-Rumahan’. Terma ini sejalan dengan masa kecil kita. Saat bermain ‘Rumah-Rumahan’, anak-anak tidak seserius itu membikin rumah seperti halnya arsitektur mengkonsep tiap rumah mewah. Selepas dibuat batasnya dengan tanah, selepas itu pula dirusak kembali baik oleh tangannya, maupun kaki ayam hingga bebek. Barangkali, begini pula kejadian rehab-rekon. Jika disingkat, Bikin Rumah-Rumahan ini jadilah BRR. Kayaknya Idrus ingin menyinggung Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), yang baginya belum maksimal dalam bekerja untuk kepentingan para korban tsunami Aceh.

Salah satu kurator pendamping Field Trip Project Asia, Daisuke Takeya, menyebut kegiatan ini terilhami karena biasanya materi tentang bencana acapkali berat diperbincangkan. Olehnya, dia memanfaatkan tas sekolah bekas yang penuh dengan ragam memori saat gempa Jepang 2011 silam.
“Bagi anak-anak Jepang, tas-tas ini selalu tergambarkan berat dan meletihkan. Penuh buku dan peralatan sekolah. Namun, dalam pameran ini, tas-tas ini telah diubah menjadi ringat dan menyenangkan. Merawat memori untuk melangkah ke depan”, begitu tulis  Titou dalam spanduk pameran itu.

Pameran yang diadakan di lantai 2 gedung Museum Tsunami Aceh itu, ternyata benar seperti yang tercantum dalam spanduk. Daisuke turut memperkenalkan seni instalasinya. Dia mengubah dan menambah sayap pada tas. Bukan produk seni itu yang utama sebenarnya. Pria Jepang yang kini menetap di Kanada itu mengatakan, tas bersayap ini dimaksudkan jika ada orang yang ingin menggunakannya, apalagi untuk anak-anak, diharuskan adanya bantuan orang dewasa. Untuk keluarga, seni ini sangatlah bagus, interaksi luar biasa akan tercipta antara ayah/ibu dengan anak-anaknya.

Pengunjung sedang mencoba produk instalasi Daisuke
Bersebelahan dengan tas ubahan itu, di sampingnya juga ada tas yang dijejerkan pada batang kayu pada kedua ujungya. Jika ingin seimbang, harus ada dua orang memakai tas tersebut ditiap ujungnya, agar seimbang. Lagi-lagi, interaksi tercipta dari karya seni ini. Belum lagi ada tas yang dilengkapi dengan seperti sayap capung. Ada tas yang perlu diputar, agar kita mampu membaca setiap alur ceritanya.

Field Trip Project Asia sedianya telah mengubah benda-benda yang tak ternilai, menjadi penuh makna dan ragam manfaatnya. Ada banyak cara menghadirkan orang-orang untuk saling berbicara, bersosial, di tengah gempuran kaum gawai yang sudah menggerogoti ruang diskusi kita akhir-akhir ini. Pun seni adalah jembatan membawa orang-orang untuk hidup dalam keindahan, belajar pada benda-benda yang tak terpakai di awal membawa kesan berlebih. []

Sabtu, 04 Maret 2017

Sarana dan Prasarana atau Prasarana dan Sarana?

Sabtu, Maret 04, 2017

Lelaki yang sering disapa Pak Yarmen itu komat-kamit menjelaskan perihal dunia ilmu jurnalistik. Redaktur Pelaksana koran harian Serambi Indonesia itu menjelaskan dengan runut dari tiap materinya. Saya yang berkesempatan mengikuti pelatihan tersebut mendengar materi hingga usai workshop sorenya. Beberapa ilmu terkait jurnalistik saya lamat dengan baik. Penjelasan Pak Yarmen yang lugas dan jelas itu memudahkan saya memahami dasar-dasar jurnalistik. Salah satunya adalah terkait pemilihan kata dalam tulisan rilis berita.

“Banyak sekali kesalahpahaman kata-kata di tengah masyarakat kita dan parahnya berlangsung turun temurun,” sebutnya. “Nampaknya masyarakat kita seolah membiasakan yang biasa, padahal salah,” ujarnya lagi.

Pak Yarmen lalu menyebut penggunaan kata ‘sarana dan prasarana’. Dua kata ini digabungkan menjadi satu padanan makna baru. Saya coba memaknai pada gabungan kata lainnya. Seperti halnya penyebutan gabungan kata terima kasih, lalu lintas, tanggung jawab, dan ragam gabungan kata lainnya. Hanya saja, yang membedakan pada gabungan kata ‘sarana dan prasarana’ terdapat kata penghubung ‘dan’. Pun demikian, gabungan kata ini oleh masyarakat Indonesia telah mengganggap hal yang biasa. Sepintas, saya jadi teringat bahwa sejak mulai bisa membaca, gabungan kata ‘sarana dan prasarana’ sering saya dengar dan baca dalam perbincangan atau buku bacaan hingga produk hukum yang menjurus kepada penulisan bagian di sebuah kantor pemerintahan.

Saya pun teringat, bersamaan dengan hal itu, dalam sebuah perjalanan liputan bakti sosial, seseorang yang satu mobil dengan saya berujar bahwa bapak fulan bekerja pada bagian Sarpras. Akronim tersebut dimaksudkan pada pemendekan bacaan untuk gabungan kata ‘sarana dan prasarana’. Saya hanya mangun-mangun saja waktu itu. Tidak ada yang aneh, karena gabungan kata ‘sarana dan prasarana’ sudah lazim terdengar dan ditulis. Pun demikian, jabaran dari Pak Yarmen, sempat membuat saya berpikir ulang, apa macam tiba-tiba kata yang sebenarnya adalah ‘prasarana dan sarana’?

Pria yang memiliki kulit putih tersebut seperti tak pernah berhenti menjelaskan pada bagian itu. Dia menjelaskan perumpamaan pemakaian kata ‘prasarana dan sarana’. Jika kita ingin membangun sebuah sekolah, sementara di samping sekolah tersebut ada sungai atau irigasi. Tentu, yang harus di bangun dulu adalah jembatan ke sekolah tersebut. Jembatan dimaksudkan sebagai pewujudan kata ‘prasarana’ dan sekolah sebagai pewujudan dari kata ‘sarana’.

“Kalau duluan kita tulis kata ‘sarana’ dan seterusnya diikuti kata ‘prasarana’, artinya kita duluan bangun sekolah baru bangun jembatan. Coba dibayangkan,” sebutnya. “Jadinya, yang benar adalah membangun jembatan dulu (prasarana), setelah itu selesai baru kita bisa membangun gedung sekolah (sarana) dan fasilitas lainnya,” tambahnya lagi.

Hari itu, Pak Yarmen menganjurkan agar kesalahan ini jangan sampai terulang. Menurutnya, ini sudah jadi kesalahan berjamaah dan berzaman. Hampir bisa dikata telah hidup dalam pembiaran. Bersebab, kesalahan ini terjadi dari pusat hingga ke daerah-daerah. “Saya berharap, kita semua dapat menyebarkan informasi ini kepada semua orang. Kita punya tanggung jawab memperbaikinya.”

Menelaah pada salah satu produk hukum yang menyangkut pemakaian kata ‘sarana dan prasarana’, jika merujuk pada UU Standar Nasional Pendidikan Tahun 2003 Nomor 20 Pasal 35, jelas-jelas tertulis begini “Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.” 

Kendati pun jika kita mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 Poin 9 berbunyi “Standar Sarana dan Prasarana adalah kriteria mengenai ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.”

Bayangkan, tiga buah produk hukum berkenaan dengan standar nasional pendidikan dari 2003, 2005, dan 2013 terhitung 10 tahun lebih negara kita abai dalam hal remeh temeh pemakaian kata ‘sarana dan prasarana’. Ini belum lagi kita mengecek pada produk hukum UU pada tahun sebelumnya dan pada produk hukum bidang lain, baik olahraga, kesehatan, ekonomi, politik, keuangan dan bidang setara lainnya. Artinya, untuk tingkatan kementerian yang membidangi perihal pendidikan masih juga salah dan abai hanya untuk penggunaan kata sarana dan prasarana yang seharusnya prasana dan sarana.

Saya sempat menanyakan via kotak masuk facebook kepada Reza Idria yang merupakan mahasiswa doktor di Harvad University, Amerika Serikat. Saya tertarik menanyakan berkaitan awal mula penggunaan kata ‘prasarana dan sarana’ dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurutnya, kemungkinan yang paling dekat adalah tinjauan asal kata yang dipakai, kata sarana itu berasal dari bahasa sanskrit. Bahasa yang kalau kita tahu lebih dahulu dikenal dan diadopsi oleh bahasa Melayu/Indonesia.

“Sementara penambahan kata pra- dalam kata sarana menurut saya baru dikenal belakangan setelah kita bersentuhan dengan Eropa secara awalan tersebut berasal dari rumpun bahasa Eropa ‘pre-‘ yang artinya ‘sebelum’. Penggunaan awalan ‘pra’ lalu juga dilekatkan pada kata-kata lain. Kasus di atas tidak hanya terjadi pada kata sarana dan prasarana, tapi juga syarat dan prasyarat,” ujar pendiri Komunitas Tikar Pandan itu.[]

Selasa, 14 Februari 2017

Empat Penulis yang Melawan

Selasa, Februari 14, 2017

Saat mengunjungi kosan saudara kandung saya, di pertengahan tahun 2010 lalu. Di muka pintu kamarnya, saya memperhatikan kata-kata yang sangat menarik dan berisi. “Ketika pers dibungkam, sastra harus bicara”, saya menatap dengan lamat. Penggalan kalimat ini – selaku awam sastra masa itu – memberikan pencerahan bahwa, ternyata ada jalan lain ketika dunia jurnalistik bisa dilawan oleh pemerintahan. Saya yang besar dalam dunia konflik Aceh sedang berkecamuknya, tentu dengan kalimat itu menelisik batin dan pikiran saya untuk mengenal sastra lebih dalam.

Hingga tahun-tahun kemudian, saya baru tahu ternyata, kalimat itu diutarakan Seno Gumira Adjidarma (SGA) semasa konflik Timor-Timor – sekarang menjadi negara Timor Leste – pada dekade 1990-an. Oleh SGA, pikirannya itu kemudian dibukukan dengan gubahan judul menjadi “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Sialnya, saya belum membaca bukunya. Dan bisa jadi, minat baca orang Indonesia – yang 0,01 % itu di tingkatan dunia – sayalah salah satu penyebab kemundurannya.

Cerpen SGA yang berjudul “Pelajaran Mengarang” karyanya mengkritik sistem pendidikan kita yang kaku dan terkesan melahirkan pelajar robot. Cerpen ini membuat pikiran Sandra – yang dijadikan SGA objek utama cerita dan siswa SD berusia 10 tahun – terhambat topik yang diberikan gurunya, tidak diberikan kebebasan berpikir. Hingga kini, ternyata kondisi pendidikan kita pun masih sama! Anak-anak sejak dari SD hingga SMA ‘dipaksa’ menelan semua ilmu mata pelajaran. Selain itu, dalam cerpen ini turut diutarakan kondisi keluarga masyarakat urban. Karena kondisi entitas sosial negara, membuat orang tua Sandra mencari profesi yang gampangan dan akibatnya Sandra menjadi pelampiasan kemarahan keluarganya dengan kata-kata tak baik.

Jauh, jauh sebelum Seno mengkritik pemerintah lewat kata-katanya. Adalah Pramoedya Ananta Toer – satu-satunya putra bangsa Indonesia sebagai nominator peraih hadial nobel sastra. Olehnya, rezim Orde Baru Soeharto dibuat kalut lantaran karya Pram dianggap masih berbau rezim Orde Lama Seokarno. Pram diungsikan ke Pulau Buru dan karyanya dibakar rezim, begitu menyakitkan! Aksesnya ke media, usai pergulatan 1965 dibungkam. Media semacam kertas sak semen disimpannya dengan baik, disanalah seluruh karya Pram di Pulau Buru lahir. Salah satunya novel roman “Bumi Manusia”. 

Ketika ke Batam 2015 silam, saya cepat-cepat ke sebuah toko buku ternama, mencari buku itu. Dan dekade akhir 2016, saya hampir saja menyelesaikannya. Jika boleh dikata, novel roman ini menunjukkan perbedaan kelas pribumi dengan non-pribumi – sebut saja orang Eropa. Namun, saya tidak memandang bahwa ini perbedaan soal kebangsaan saja, tetapi dalam konteks masyarakat Indonesia kekinian, hingga kinipun, rasanya pemerintah masih abai soal status perbedaan antara si kaya dengan si miskin. Masyarakat kita pun sama saja, saat melihat orang berbaju perlente, rapi, mempunyai mobil akan memberikan perhatian dengan begitu dilebih-lebihkan. Sementara saat masyarakat miskin menjumpainya, mereka akan dilihat dengan ujung mata dan sering dianggap sebagai peminta-peminta. Lagi-lagi, ada yang salah dalam pendidikan kita. Hingga usai jatuhnya rezim Soeharto, Pram baru benar-benar punya ruang untuk menulis. Dia mampu menjadi inspirasi penulis pemula dalam tiap karya mereka.

“Setiap masa punya tokoh, setiap tokoh punya masanya”, kalimat ini pun menjadi dasar mengapa Pram dikenal masa itu hingga kini. Pun demikian, sebelum masa Pram, tersebutlah Soe Hok Gie, penulis kawakan yang menulis kritis dan pedas terhadap rezim Orde Lama, Soekarno. Tulisan-tulisannya hingga kini telah dibukukan. Sebut saja Catatan Sang Demonstran  yang femomenal itu.

Gie tidak menyukai sikap pemimpin yang cenderung menikmati kesenangan pribadi dan menyepelekan kepentingan kaum lemah. Oleh Gie, dalam tulisannya dia menyebut bahwa, Soekarno dengan senangnya menikmati setiap kemewahan istana bersama istri-istrinya yang cantik-cantik. Sementara itu, beberapa kilometer dari istana, orang-orang kelaparan. Hal inilah yang membuat Gie berang dan membuat aksi menentang Soekarno. Mereka melawan tidak hanya untuk unsur kenaikan harga bensin, namun melawan rezim yang seolah mempunya kuasa atas ‘nyawa’ seluruh rakyat Indonesia. Gie menulis dengan apik setiap karya-karyanya.

Benar, tak salah rasanya, cerita yang berlatar kemanusiaan selalu asik dikaji. Barangkali jika boleh dikata, keseriusan yang dilakukan Gie juga sebenarnya dilakukan oleh penulis novel berlatar konflik Aceh. Sebutlah novel ‘Bidadari Hitam’ karya T.I. Thamrin, putra Aceh yang membuka mata siapa saja tentang kejamnya penyiksaan di Rumoh Geudong. Ketika saya membacanya, rasa ngeri begitu kentara dalam isi novelnya. Dia menulis dengan gaya jurnalistik, novel ini membuat siapapun bergidik. Hingga kini, kasus kekerasan ini tidak pernah dituntaskan!

Jika saya hanya merangkum nama penulis di atas, abai rasanya terhadap penulis lainnya. Masih banyak penulis kawakan yang menulis tentang kejahatan terhadap kemanusian. Namun, kesan itu semua apakah hanya berhenti dalam setiap kata saja? Lantas tak ada bukti nyata, asal-asalan penulis itu? Kiranya kita selaku orang Indonesia memang harus memperbanyak membaca daripada mengomentari sesuatu. Orang-orang ini bergerak melawan rezim dengan kata-kata. Sungguh bahaya jika pemerintah mengganggap ini petaka bagi negara, lalu membredelnya. Kita, kata, dan kuasa-Nya, saya yakin dengan baik bahwa kata-kata masih punya tempat di hati rakyat Indonesia. []

Senin, 30 Januari 2017

Alih Kucing Hitam Putih

Senin, Januari 30, 2017

Pemberhentian kami sepulang dari Gayo Lues, mantap meluruskan niat untuk segera shalat. Sebuah masjid agung kebanggan masyarakat Bireuen menjadi pilihan kami. Kawan saya yang badannya sedikit gumpal berisi mulai berseloroh, dia sudah kebelet pipis. Dia pun menitipkan tasnya kepada saya. Sembari menunggunya pipis, saya memperhatikan kucing menghadap sebuah bagunan. Dari gaya tubuhnya, kalausanya dia manusia, seperti orang galau ditinggal isteri atau pacarlah namanya. Saya mendekatinya. Berniat memotret. Trap… beberapa kali saya memotretnya. Bunyi dari kamera DSLR mengalihkan pandangannya ke arah saya. Begitu nanar. Bisa jadi kucing berbulu campuran hitam putih itu memikirkan begini “Entah apalah manusia ini, dikit-dikit foto.”

---

Minggu (21/9) tahun lalu, Ikbal kawan dekat saya berangkat ke Sambas, Kalimantan Barat. Dari awal, dai begitu semangat mendaftar untuk  menjadi guru SM3T. Berkali-kali dia menghubungi saya memantapkan hatinya. Padahal di sebuah sekolah di Aceh Utara, telah menerimanya menjadi guru. Tapi, apatah daya, kawan saya ini memang nekadnya ketulungan. Sampai-sampailah dia diterima sebagai guru SM3T. Perpisahan sementara hari itu biasa saja, tak ada tangis-tangis palsu beberapa orang kebanyakan. Yang ada kami malah saling tikung menikung soal perutnya yang buncit dan dia berseloroh lalu ketawa karena tubuh saya yang boleh dikata langsing – antitesa kata kurus sih sebenarnya. Sepulang mengantar Ikbal, saya dan Rahmat – manusia gempal dan buncit lainnya turun ke parkiran. Aroma pagi masih terasa di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Sebuah kursi biru terbuat dari plastik keras menerima kami. Kebanyakan kursi ini menjadi semacam landmark­ tiap warung kopi di Aceh. Rupanya saya salah sangka, ternyata ada pengunjungnya. Seekor kucing berbulu hitam campur putih sedang rebahan ala-ala di pantai. Warna putihnya hampir hilang lantaran dominasi warna hitam. Hanya ada di wajah dan di perutnya yang rupanya sedang hamil tua. Saya mengendong kucing itu, bulunya halus. Tiap kali lihat kucing, suka saja lantaran imut-imut meunan. Sang kucing nyatanya tak betah lama-lama saya gendong, takut dilihat oleh suaminya, malah merusak rumah tangga mereka. Dan efeknya, saya hampir kena cakar darinya. “Nah kan udah aku bilang tadi, hati-hati bang,” sebut Rahmat sambil menertawai saya.

--- 

Lebaran Idul Fitri tahun lalu, seperti biasanya saya pulang kampung. Keseringannya saya tiba malam hari. Setiap sampai di rumah, kucing hitam putih rumah kami sering menyambut kedatangan saya. Entah, rasa-rasanya dia seakan tahu bahwa saya baru saja pulang dari tempat jauh. Kucing ini bulu putihnya lebih mendominasi. Beberapa tutul hitam ada di tubuhnya. Ibu menamainya Pelangi, padahal kucingnya jantan sejantan-jantannya. Sejak kaki belakang sebelah kanannya kecelakan ditabrak motor, ibu sangat rutin menyembuhkannya. Bisa dibilang bertahun ibu mengobatinya. Ada banyak obat direkomendasikan tetangga kala itu, ibu mantap memilih satu obat. Menurutnya obat itu amat mujarab. Ada yang unik saat ibu menaruh obat di kakinya, ibu telah menganggap kucingnya sebagai anggota keluarga. Bayangkan saja, tiap ibu menaruh obat, dia berbicara dengannya. Dan kita tahu, entah kucing itu tahu atau tidak, tapi rasa-rasanya dia memahaminya. Sebelum dan sesudah ditabrak, Pelangi tetap saja menangkap tikus di rumah. Biasanya abang saya membawa pulang buruan tupai, untuk diberikan kepadanya. Lagi pun cecak juga menjadi santapan favoritnya. Bahkan, jika ibu menangkap cecak di tempat lain, ibu mengantonginya dalam kantong plastik. Dibawainya untuk Pelangi. Sebelum ada Pelangi di rumah, juga ada kucing lainnya. Bulu hitam putih juga jadi khas kucing kami. Namun, dia mati dalam lumbung padi rumah saudara saat mencari tikus. Namanya Si Kleng, saya percaya kucing ini sudah di surga, tempat idaman setiap makhluk.

--- 

Tidak seperti biasanya, kucing tetangga saya di Banda Aceh, kali ini nampak jinak. Karena biasanya kucing itu semacam sok jual mahal, gak mau ditangkap, dielus-elus atau lainnya. Barangkali dia tipe kucing yang gak mau dipermainkan manusia. Alah! Entah udah macam perasaan. Kucing ini peliharaan anak tetangga samping rumah yang masih belajar di Taman Kanak-kanak (TK). Sebelum dia memelihara kucing itu, padahal sudah ditawarin kucing tipe Persia oleh orang tua. Namun, dengan mantap anak itu menepisnya. Dia memilih kucing kampung. Badan kucing itu gumpal dan sehat, mirip-mirip atletis. Dia tidak diberi nama khusus, hanya dipanggil Pus. Pagi itu, Pus bermain ke rumah. Tiba-tiba Pus jadi sok akrab dengan saya. Nah, kan kalau begini jadi aman kita berteman. Pus datang mengelus-ngelus bulunya ke baju saya. Saya lalu mencoba mempermainkannya dengan tetalian. Ternyata hal itu hanya bertahan sebentar. Benar, dia tidak suka dipermainkan! Pus yang akrab dengan saya membuatnya hadir pada lain hari. Di hari kerja, saya hanya sebentar menyapanya, lalu bergegas berangkat kerja. Pus hanya melihat dari kejauhan, sambil tidak melambaikan tanggannya.

--- 

Di masjid, warung makan, kampus atau rumah-rumah pesta. Saya juga menjumpai kucing berbulu corak hitam putih. Selain kucing-kucing yang saya alamatkan di atas. Saya tidak tahu pasti, dalam beberapa bulan ini sering menjumpai kucing hitam putih. Di mana pun tempatnya, corak mereka selalu saja berbeda. Saya sempat teringat ingin menanyakan kepada ahli tamsil. Barangkali ada maksud di tiap perjumpaan saya dengan kucing hitam putih. Namun, hal itu urung saya lakukan, belum tahu siapa yang paham tentang ilmu tamsil. Atau ini hanya kebetulan saja. Jika pun kebetulan, saya melihat bahwa dunia ini selalu saja hitam putih. Orang-orang yang berkulit putih akan cenderung menatap nanar orang berkulit hitam, beberapa di antaranya adalah oknum. Misalkan desain grafis, latar sebuah desain akan lebih ekecing jika putih, Nampak bersih. Orang-orang alim pun kebanyakan memakai baju putih. Seperti anjuran pergi salat Jumat sebaiknya memakai pakaian serba putih. Pun demikian, warna hitam tetap saja tidak bisa dianggap tak ada manfaatnya. Contohnya kucing, saat percampuran warna hitam putih jadilah kita melihat keindahan luar biasa dalam karya Maha Dahsyat Kuasa-Nya. Apatah kita manusia yang hanya mampu menilai dan menerka saja. Bayangkan jika hanya didominasi satu warna saja, sungguh dunia ini sangatlah monoton. Tetap saja, perbedaan selalu membawa rahmat untuk mencapai persamaan. Jika pun tidak sama, mari sama-sama kita mencari persamaan dalam tiap perbedaan. Dari pada mencemooh mengganggap dirilah yang terbaik. []

Jumat, 13 Januari 2017

Cara Asik Menulis Resensi

Jumat, Januari 13, 2017

Jauh di antara kelas-kelas menulis lainnya, ini salah satu kelas menulis yang saya nantikan. Selama ini saya mendapatkan ilmu tentang resensi dengan otodidak, paling banter diskusi ringan dengan penulis. Itu pun belum saya dapatkan info yang pasti mengenai dunia resensi. Hampir sebulan saya tak hadir ke ruang diskusi menulis Forum Lingkar Pena. Inilah yang membuat saya rindu akan hal itu. Kelas menulis kali ini dibahas mendalam bersama Isni Wardaton.

30 menit dari jadwal semula, kami sepakat memulai kelas. Isni yang hari itu memakai baju sepadan merah muda, memulai kelas dengan membedakan antara resensi, review, hingga resume. Baginya ada yang begitu kentara perbedaan yang nyata ketiga. Resensi dan review isinya hampir sama, yaitu memberi tahu informasi. Review dikatakan sebagai sebuah tulisan dengan mengulas kembali, bukan mencari kelebihan dan kekurangan hingga mampu diambil kesimpulannya.

“Resume itu meringkas sebuah cerita, biasanya jadi tugas sekolah. Ya seperti membaca beberapa buku dan diulas kembali. Ketiganya beda pada penerapan,” sebut gadis Miruk Taman mengawali kelas menulisnya. Isni juga menyelipkan bahwa sinopsis ditulis oleh penulis buku itu sendiri. Menurutnya, kedua jenis tulisan itu perlu dibahas agar tak salah paham dan tak salah dipahami oleh penulis pemula.

Sesekali Isni tampak melihat layar kaca laptopnya, di sana beragam slide presentasi dipaparkan. Dia menjabarkan dengan runut mengenai seluk beluk dunia resensi. Dari paparannya itu, dikatakan sebagai resensi haruslah mencakupi membahas tentang buku, identitas buku, membahas isi buku, penilaian sebuah buku, mendapatkan kelebihan dan kekurangan, adanya latar belakang dan alasan buku diterbitkan, memberikan informasi kepada pembaca, membantu penulis untuk membedah bukunya sebelum dirilis. “Dan selain memberikan masukan kepada penulis buku, baik kritik, subtansinya, saran kepada penulis, resensi tidak hanya berlaku pada buku, tetapi juga film, musik dan lainnya.

Kesan yang paling menarik dan memikat otak saya untuk mengetahui lebih lanjut soal resensi, ketika Isni menjelaskan terkait tips menulis resensi. “Nah, saya akan berbagi tips buat teman-teman semuanya. Salah satunya tips kenapa tulisan saya pernah dimuat oleh KOMPAS dan Koran Jakarta.”
Isni komat-kamit sambil menyebutkan tipsnya. Saya tak lagi memperhatikan apa yang dijelaskan. Jari saya lancara mengetik dari pendengaran penjelasan Isni. Biar mudah dan enak dilihat oleh mata. Saya menulis dalam bentuk poin saja.

Tips resensi ala Isni :
·         Tips sebelum menulis resensi
a.       Perhatikan dengan detail lapik buku
b.      Membaca biografi penulis
c.       Membaca prakata (bisa mencuri isi prakata awal kemudian dimasukkan idenya ke dalam resensi)
d.      Menyiapkan alat tulis pulpen warna, membantu menandai kutipan yang menarik
e.      Kalau buku fiksi, baca sampai selesai. Berbeda dengan buku non-fiksi, kita bisa resensi per bab yang ada pada buku.
  
·         Tips saat menulis resensi
a.       Kata kunci
b.      Bisa mengawali dengan deskriptif atau kutipan
c.       Pastikan tokoh utama masuk dalam tulisan
d.      Tidak terpaku dengan kata yang ditulis penulis
e.      Munculkan nama penulis buku
f.        Bisa menceritakan nama tokoh utama, bisa pakai nama langsung atau nama lainnya
g.       Menulislah seolah-olah kamu sedang bercerita kepada temanmu
h.      Libatkan juga emosionalmu
i.         Sisipkan kutipan
j.        Kalau kehilangan kata-kata dalam resensi, gunakan kata sakti ‘akibatnya’ ‘dalamnya’

·         Tips sesudah menulis resensi
a.       Setelah siap semua tulisan, tinggalkan selama satu jam, satu hari atau bahkan satu minggu
b.      Bisa juga minta bantuan teman untuk melihat tulisannya
c.       Edit kembali tulisan
d.      Kalau sudah bagus tulisannya, barulah buat judul

Kalau kata Isni, kita tidak menceritakan yang sudah ditulis yang ada dalam buku. Tapi menciptakan dengan bahasa baru, tetap berpedoman pada isi cerita. Kita bisa obrak abrik cerita awalnya dengan versi baru. Jika mengambil kutipan itu bisa menambah rasa percaya kepada pembaca tentang isi buku. Yang perlu diperhatikan juga bahwa menulis resensi jangan terlalu banyak dibarengi dengan kutipan, cukup 2-3 kutipan. Karena untuk menunjukkan keoriginalitas tulisan peresensi. Sebaiknya ambil kutipan yang belum diambil orang lain.

Selain tips, rupanya hal yang diluar dugaan saya, Isni turut memaparkan trik agar resensi tembus media. Baginya, peresensi sebaiknya membaca minimal 2 resensi yang sudah dimuat pada media incaran itu. “ini memudahkan penulis mengetahui tujuan media tersebut,” beber Isni. Selanjutnya, peresensi juga perlu memahami cara pengiriman tulisan dan lalukan apa yang diminta media. Sertakan juga biodata diri, berupa foto penulis. Jika kirim dalam badan email, sertakan kover buku. Nah, lampirkan pula identitas bukunya. “Jangan lupa cantumkan nomor rekening, jika dimuat ini menjadi reward bagi kita,” tutup Isni. []

Senin, 26 Desember 2016

Disapa Laut

Senin, Desember 26, 2016

Seperti sebuah ritual, Minggu pagi saya menghabiskan waktu menonton tontonan serial kartun anak-anak. Saya tidak akan melalukan apapun, sebelum kegiatan asyik ini usai. Selalu dan hampir selalu, saya sarapan sambil menyimak kotak bergambar itu yang bergerak. Ibu telah duluan pergi ke sawah. Beliau bersama abang buru-buru kesana. Di hari itu, sawah kami akan ditanami padi. Ibu memberikan celah lain bagi saya, bahwa ada semacam 'kelebihan waktu' untuk menonton serial favorit Minggu pagi, Doraemon. "Nanti siap nonton, langsung ke sawah ya Nyak," sebut ibu, beliau pun berlalu.

Jam 08.00 WIB serial Doraemon pun usai. Saya bergegas, agar cepat sampai ke sawah yang letaknya di desa tetangga. Sepeda merek Jonhson, kala itu nampak keren bagi siapa saja yang bisa mendayungnya, saya pun dengan 'pakaian dinas' sigap meluncur. Hingga tiba di sebuah empang, saya melihat airnya bergoyang kiri-kanan. Dan rasanya sepeda saya berjalan dengan aneh. Ada apa ini? Tanya saya dengan sendiri. Barulah spai di sebuah rumah, sebelah kiri jalan. Seorang ibu-ibu mudah menyuruh saya berhenti. "Ada gempa, turun dulu, berhentin di sini!", perintahnya, lalu saya pun dengan hati penuh takut mengiyakan. Padahal, ini momen paling mengerikan. Tanpa ibu dan saudara saya lainnya, saya dibuat panik oleh gempa itu.

Ibu- ibu muda tadi dan anak-anaknya telah lebih dulu keluar rumah. Ada juga beberapa orang lainnya. Di hadapan saya ada sebuah tiang listrik, saya berpegangan pada tali penyangga tiang yang ditancapkan ke tanah. Perhatian saya tertujubke arah tiang. "Bagaimana kalau kira-kira tiang ini roboh?", gumam saya. Namun, hal itu tak saya utarakan kepada lainnya.

Perkiraan saya, gempa itu terjadi sekitar pukul 08.10 WIB. Karena saya berangkat dari rumah sudah lewat dari pukul 08.00 sekian. Saya masih menduga-duga, bagaimana kejadian gempa ini bisa begitu dahsyatnya. Seperti kita sedang naik ayunan. Jika saja orang-orang itu tidak menyuruh saya berhenti, barangkali bisa saja saya sudah sampai ke sawah tanpa mengetahui apa-apa.

Saat gempa telah reda, saya melanjutkan perjalan ke sawah. Ibu dan saudara saya lainnya, juga bernasib sama dengan saya. Mereka ketakutan, tak ada satupun yang berada di dalam sawah. Semuanya berkumpul di jalan persawahan. Hingga beberapa saat, saya baru tahu, oleh kawan SMP saya, kami diberitahukan bahwa di kawasan Krueng Panjoe jalannya retak besar dan panjang. Hal ini menambah ketakutan kami.

Di hari-hari berikutnya, kami pun mengenal istilah tsunami. Yang oleh orang-orang menyebut kata itu dengan benar, namun kadang ada yang salah dalam menulisnya. Jadilah ditulis seperti stunami dari kata aslinya tsunami. Taulah saya bahwa kata ini diambil dari bahasa Jepang. Lantaran konon, tsunami paling sering terjadi di daerah itu. Secara ini, setelah gempa dan tsunami melanda Aceh, kata 'tsunami' menjadi populer.

Tahun-tahun setelahnya, saya baru tahu rupanya ada kata lain yang sudah di pakai oleh masyarakat Aceh, yaitu smong. Oleh masyarakat Simeulu, kata ini sudah duluan populer. Bagi masyarakat di sana ada semacam pendidikan bencana, jika air laut surut jauh, harus segera lari daerah tinggi, sebut saja gunung dan sebainya. Hal inilah yang membuat korban gempa dan tsunami di sana, menurut info yang saya dengar, tidak banyak, sekitar 7 orang (saya akan mencari data konkrit di lain waktu).

Artinya, smong bukan dalam artian kalah saing dengan tsunami. Saya tidak melihat dari kondisi ini. Namun, harus ada upaya yang konkrit dari seluruh elemen masyarakt agar membudayakan memakai kata smong. Kita yang sudah duluan kenal dengan tsunami pun, tidak menjadi perkara salah, saya melihatnya sebagai cara masyarakat mengenal tsunami dari orang Jepang.

Oleh halnya pepatah yang tidak ada yang tahu siapa pencetusnya, tersebutlah "musibah membawa berkah". Lembaga pendonor dari dalam dan luar negero uring-uringan pesawat kala itu membantu Aceh. Tidak ada yang membeda-bedakan karena suku, bangsa hingga agama. Poin utama adalah kemanusiaan. Dan setelah kondisi ini pun, saya melihat Aceh telah benar-benaf bangkit. Yang menurut penuturan 'radio bergigi' ditambah info fakta dari media, adalah benar bahwa orang Jepang kagum terhadap semangat bangkit orang Aceh. Mereka pun meneliti, mengkaji, hingga terjawablah bahwa kita Aceh (dengan semua suku di dalamnya) memengan nilai-nilai agama sebagai pondasi utama, tanpa berlama-lama larut dalam ke sedihan. "Katroh ajai geuh, hinan ka geutak tanda lee Poe (sudah tiba ajalnya, semuanya sudah ditentukan oleh Allah". Beginilah yang ditanamkan dalam setiap keseharian orang Aceh.

Kendati pun demikian, saya juga setuju bahwa bencana yang terjadi 24 Desember 2004 itu juga adanya teguran agar kita tidak keluar dari jalur agama dan benar-benad meyakini bahwa setiap bencana bisa saja menjadi ujian ataupun azab. Semuanya ditentukan oleh-Nya. Bila pun ada studi kebencanaan bahwa gempa terjadi karena adanya gesekan di dalam perut bumi, saya pun percaya, karena tugas manusia adalah belajar dan anti kebodohan.

Setelah 12 tahun bencana mahadahsyat itu melanda fisik dan psikis kami, saya baru menuliskannya. Saya melihat Aceh sebagai daerah yang telah sukses keluar dari jalur konflik darat dan amuk laut. Di sini, dari tahun setelah 2004 karya anak muda lahir menghiasi negeri ini. Kini kami telah bebas menuis sastra tanpa takut diterjang peluru konflik. Ruang diskusi terbuka lebar. Banyak pelajar telah studi jauh hingga ke luar negeri. Hanya saja, kini kami disulitkan dengan sedikitnya anak muda yang membaca, namun banyak berbicara terhadap suatu hal, tanpa ilmu. Kami sedang dibutakan oleh hidup hedonisme, dengan beberapa diantaranya 'cuih' terhadapa sekitar. Tapi, diantara hal ini, ada banyak pemuda lainnya di Aceh yang tersebar berbuat untuk sesama. Rasanya, semangat membantu jiwa orang Aceh tak pernah lekang, karena mereka dulunya berangkat dari hal serupa. Aceh dan semua entitas sosialnya, bagi say adalah hal yang meneduhkan dan mengasyikkan untuk terus dipelajari dan dimaknai. []

Senin, 19 Desember 2016

Padi

Senin, Desember 19, 2016

Sejak dalam kandungan, saya telah dibawa ibu ke sawah. Baginya, masa awal mengandung bukan penghalang baginya untuk tetap beraktivitas seperti biasa. Saat masih balita, ibu memang tidak bisa selalu membawa saya ke sawah. Adalah kakak tertua yang menjaga saya, baru dibawa jika saya sudah benar membutuhkan ASI. Lagi pun bila kakak ke sekolah, ibu senantiasa membawa saya ke sawah pula. Begitu cerita ibu dalam kisahnya saat saya sudah dewasa.

Saya masih ingat betul, hari itu ayah pergi mengajar. Saya diboncengi ibu menghampiri penjual mie langganan kampung kami. Ibu membeli satu bungkus mie dengan porsi besar. Di sawah, saya menyantap lahap mie itu sambil menemani ibu mengusir burung pipit yang menggerogoti padi kami. Di sudut sawah, saya duduk menepi pada  rangkang (pondok kecil tempat berteduh petani). Rangkang itu dibuat dengan rapi oleh ayah. Saya melihat ibu menarik-narik tali menghalau burung pipit. Ada suara batu yang sudah dimasukkan ke dalam kaleng susu bekas. Grok… grok… grok… itulah berkali-kali suara yang dimainkan ibu.

Saat musim padi akan ditanami, saya juga masih ingat betul. Kami sekeluarga beramai-ramai ke sawah. Abang saya – anak keenam – takut pada satu benda berwarna hijau yang mengapung di air keruh persawahan. Bentuknya mirip agar-agar. Abang saya takut melihat benda itu, saya malah tertawa cekikian. Padahal benda ini biasa aja, kali aja abang saya geli dibuatnya. Di hari itu, sebelum turun ke sawah, ayah sebenarnya melarang kami ke sawah karena masih kanak-kanak. Namun, ibu punya pikiran lain bahwa anak-anak harus tahu gimana susahnya bekerja, mendapatkan rezeki yang halal.

Lain cerita lagi saat musim menamam palawija, ibu memilih menanam jagung. Sawah kami yang lainnya lebih rendah dari sawah tetangga, karena ada pupuk yang mengendam saat masa tanam padi yang turun dari sawah tetangga itu, jadilah jagung hasil panenan kami lebih besar dan berisi.

Di dekat sawah itu juga, semasa usai SMA saya pernah duduk menepi di sana. Masa di mana saya harus pusing memilih untuk studi lanjutan. Saya sempat menangis memang kala itu, cengeng betul saya. Tapi, tentu sawah dengan padinya memberi saya ketenangan dan menuntun saya untuk memilih keputusan, padi dan pemandangan luasanya itu memberi kemewahan mata bagi siapa saja yang memandangnya.

Seberang tahun sebelum hari itu, saat SMP saya bingung ketika disuruh guru bahasa dan sastra Indonesia menulis puisi. Dalam batin, saya harus menulis puisi hasil karya sendiri. Lantas, rupanya sawah dengan padi yang sedang menguningnya memberikan inspirasi menulis puisi. Saying, saya tidak tahu lagi di mana kini puisi itu saya simpan. Barangkali pun tidak ada, namun saya memiliki kenangan yang masih melekat.

Saat kuliah pun, jika ada waktu libur kuliah dan sedang musim turun ke sawah, baik musim menanam padi atau memanennya, saya sempatkan pulang ke kampung. Bersama ibu dan saudara saya lainnya, kami sama-sama bekerja. Mulai dari membuat tempat menabur benih padi, membereskan tempat tanamanya – termasuk memungut keong selaku hama –, membuat baris batas padi yang akan ditanami oleh buruh tani yang kami beri upah. Jika mereka terkejut melihat saya, mereka akan berkata “Oh, na awak Banda Aceh lagoe (Oh, rupanya ada orang Banda Aceh)”, mereka menyebut saya begitu karena beberapa tahun belakangan menetap di Banda Aceh. Jadilah kalimat semacam itu melekat bagi saya. Namun, saya juga membalas sambil bercanda bahwa hati saya selalu ada di sini, tempat di mana saya belajar menanam padi hingga mampu menanak nasi. Selain bisa membereskan tanah yang akan ditanami padi, saya juga bisa mencabut benih padi, menanamnya, hingga memotong padi saat kami panen.

Memang, berat benar menjadi petani, rasanya tidak ada orang yang sanggup jika belum pernah merasakannya sejak kecil. Belum lagi saat padi kami diganggu hama tikus, dari mulai jadi benih hingga padi sudah mulai tumbuh bijinya. Setiap orang pada kondisi begini mestinya sabar, jika tidak, maka siap-siap orang akan mengumpat serapah apapun. Ibu mengajari kami untuk tidak seperti itu. Padi seperti keluarga sendiri, dia yang telah ‘memberi penghidupan’ bagi keluarga kami – melalui kuasa-Nya.

Kemana pun saya pergi, saya akan sangat senang melihat pemandangan sawah. Burung-burung yang terbang, jika sedang naik motor, saya sempatkan memotretnya. Jika dalam mobil, saya membuka kaca jendelanya untuk menghirup udara segar, beserta bau harum aroma pagi yang memberi ketenangan dan jiwa. Padi dan keseluruhannya, bagi saya adalah tempat yang memberikan ketenangan, kita tidak perlu bayar mahal-mahal untuk mengikuti seminar motivasi, dengan melihat pemadangan hijaunya, saya merasakan kebahagian. Ada semangat lebih yang ditawarkannya, Anda yakin tidak mau melihatnya? Simpan semua kesenangan di kota, ke desa-desa Anda turun dan bertutur dengan masyarakat. Pastinya kita akan dijamu dengan begitu mempesonanya. Padi dan apa yang saya lihat adalah wujud nyata pemberian Tuhan bagi hambanya. []

Kamis, 08 Desember 2016

Pendidikan Tinggi Melahirkan Sikap Terpuji

Kamis, Desember 08, 2016
Foto: Syahri Afrizal/Humas Unsyiah
Kita kadang pernah menjadi orang kampung. Minimal pernah tahu jika di dunia ini ada daerah berlabel kampung atau pernah mengunjunginya. Banyak orang yang berasal dari kampung kemudian hijrah ke kota lalu memilih menetap di sana. Disaat telah menetap, mereka pun dilabeli orang kota. Padahal, sama saja, kita yang kini berada di kota menjadikan kampung sebagai kenangan masa kecil. Masa yang pernah dilalui hampir semua orang.

Biasanya, orang kampung yang hijrah ke kota memiliki beragam maksud dan tujuan. Ada yang ingin berdagang, mencari pekerjaan, menimba ilmu, dan sebagainya. Anda tentu menjadi salah satu di antara aktivitas yang saya sebutkan tadi. Saya tertarik pada bagian menimba ilmu. Mereka yang berasal dari beragam budaya dan karakter hijrah ke kota untuk menjadi cerdas. Ini dilakukan  agar tampil dan dipercayai oleh masyarakat. Di antara yang orang cerdas itu, ada juga yang ingin tampil hebat, dibanggakan, atau menaikkan derajat sosial.

Saat menimba ilmu di universitas, mereka dilabeli sebagai mahasiswa dan kerap menyebut dirinya sebagai agen perubahan dan agen aksi yang siap menyerahkan jiwa raga demi kepentingan rakyat. Selain itu, mereka juga dituntut memprioritaskan studi agar meraih kesuksesan. Salah satunya melalui kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Kegiatan KKN mendorong mahasiswa untuk melaksanakan program-program yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun, patut disayangkan jika masih ada mahasiswa yang tidak setuju dengan kegiatan KKN. Bahkan terkadang, saat hadir di tengah masyarakat, mereka memposisikan diri sebagai orang yang ‘berada’. Asumsi ini saya dapati dari beberapa teman saya yang mengikuti KKN dan merasakan kurang nyaman saat berada dalam satu tim seperti yang diuraikan di atas. Terkadang bagi mereka yang menganggap KKN tidak terlalu penting, bisa dikatakan kurang memaknai kehidupan. Namun, anggapan ini tidak bisa disamaratakan untuk semua mahasiswa.

Seharusnya, mereka yang telah menjadi mahasiswa lebih sadar bahwa esensi pendidikan adalah mencerdasi bangsa dengan sikap santun dan ramah kepada siapa saja tanpa membedakan ras, agama, apalagi status sosial. Sebab setiap mahasiswa patut menjalankan tri dharma perguruan tinggi yang salah satu poinnya menekankan pengabdian kepada masyarakat. Tidak hanya itu, selepas menjadi sarjana, terkadang ada juga mahasiswa yang tidak ingin mengabdi di kampung halaman. Padahal, di perantauan juga tidak memiliki pekerjaan jelas. Lagi-lagi orang yang lahir dari dunia pendidikan tinggi tidak menunjukkan ekpresi dirinya kepada masyarakat. Jika seperti ini, apalah arti memperingati Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei?

Maka tak salah ketika Pramoedya Ananta Toer −sastrawan Indonesia− berujar Seorang terpelajar harus belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Ini menjadi rujukan bagi mahasiswa untuk mengedepankan hal baik dalam pendidikan tinggi. Mereka diharapkan mampu berpikir objektif, tanpa terkungkung pola pikir subjektif. Saat mahasiswa mampu berlaku adil, sikap mereka diharapkan memihak kepada kaum lemah yang membutuhkan dukungan. Oleh karena itu, pendidikan tinggi harus kembali kepada masyarakat bawah yang tunduk kepada kepentingan dan keadilan orang banyak. Hal sama diutarakan Tan Malaka,Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah mengganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan tidak diberikan sama sekali. 

        Pendidikan yang baik adalah yang mampu membekas dan berperan dalam keseharian masyarakat. Ia mampu hadir beriringan dengan kebudayaan sehingga menciptakan peradaban. Sudah sepantasnya, negara ini mengedepankan pendidikan agar cita-cita mencerdaskan bangsa terwujud. Sekaligus menjadikan Indonesia lebih bermartabat dan dihargai bangsa-bangsa lain. []


*Tulisan ini sudah dimuat di majalah Warta Unsyiah Edisi Mei 2016

Kamis, 24 November 2016

Warkop Cot Iri, Tempat yang Cocok untuk Menyendiri

Kamis, November 24, 2016

Lokasinya tidak jauh dari pusat kota, hanya beberapa menit mengendarai sepeda motor dari Simpang Tujuh Ule Kareng, Banda Aceh, kita akan sampai di warkop ini. Biar tidak salah pilih jalan pada Simpang Tujuh tersebut, saya memastikan memilih jalan menuju bandara internasional Sultan Iskandar Muda (SIM). Memang bagi yang baru tiba di Banda Aceh, simpang terbanyak di Aceh ini lumayan memusingkan kepala.

Mengendarai sepeda motor pemberian mamak ini, mantaplah saya ‘melaju cantik’ ke arah Warkop Cot Iri. Untuk sampai kesana, kita harus menyeberangi jembatan desa Cot Iri. Jembatan ini sudah lama dibangun, berbarengan dengan jembatan Lamnyong, bisa dikata semasa Orde Baru. Saat melewatinya, keindahan gunung Seulawah membiru yang dibalut awan putih siap menyambut mata siapapun yang memandangnya. Kiri hingga kanan jembatan, keindahan alam yang hijau juga menggoda mata untuk betah lama-lama menikmatinya, juga menghirup udara pagi. Jembatan ini super sibuk pada paginya. Ada yang mengantar anak ke sekolah, berangkat kerja, hingga mahasiswa banyak menggunakan jalan pintas ini untuk cepat sampai ke kampusnya.

Warkop Cot Iri – begitulah sebutan orang-orang – berada di ujung jembatan sebelah kiri simpang 4. Jika lurus, kita bisa menuju Lam Ateuk dan berlanjut ke bandara SIM, jika belok ke sebelah kanan, kita bisa menuju ke desa Meunasah Tutong dan terus ke Simpang Lambaro, Aceh Besar. Sementara jika melaju ke sebelah kanan, jalan itu akan tembus ke Darussalam. Kali ini, saya harus berhenti sejenak sebelum melaju kea rah Darussalam.

Rasa lapar yang tiba, memantapkan perut dan lidah saya untuk segera melunasi hutang lapar yang belum terselesaikan usai makan tadi malam. Tidak seperti warkop di perkotaan, di sini Anda akan menemukan beragam profesi orang yang ngobrol. Mulai dari petani, peternak sapi, penjual ikan, pedagang hingga seorang suami yang menikmati usia senjanya bersama kekasihnya. Saya melihat mereka berdua begitu romantis menyeruput kopi sanger dan nasi guri.

Nasi Guri

Saya sudah berada duluan dari sepasang kekasih itu. Pagi tadi saya agak bingung memilih tempat duduk. Meja di warkop itu penuh dengan beragam profesi yang saya beberkan tadi. Saya duduk di luar, sepintas kemudian melihat tempat duduk yang sangat ‘beautiful view’. Tempat duduk ini menjadi incaran saya sejak awal. Selama ini, tempat duduk ini menjadi favorit karena di sebelahnya kita bisa menyaksikan orang lalau lalang di jembatan Cot Iri.

Lantas, tak sabaran rasanya mengisi perut dengan nasi guri – nasi khas orang Aceh untuk sarapan. Nasi guri ini porsinya tidak banyak, hampir sama dengan ‘Bu Prang’ – nasi khas Aceh lainnya. Nasi guri adalah santapan menggoda, nasi ini dimasak dengan bumbu khusus. Ada banyak lauk yang bisa dipilih, mulai dari telur rebus sambal, ikan, udang hingga teri sambal.

Sebagai teman menikmati nasi guri dan biar makin beautiful view, saya juga memesan kopi sanger. Namun, sepertinya pembuat kopi lupa menaruh gula pasir, jadi sangernya hampir mirip kopi susu. Tapi, dari segi rasa, bolehlah kita sebut kopi sanger, yang penting sama-sama ngerti.

Sensasi buih kopi sanger

Selain menikmati sarapan dan sanger tadi, saya juga menikmati suasana penuh akrab bersama orang-orang yang nongkrong sejenak. Tetapi, saya duduk sendiri dan menikmati sepi, pedih jenderal!

Orang-orang itu membicarakan beragam hal, ada yang bahkan sudah menjadi pelanggan tetap warkop ini. Mereka semacam melakukan ‘cang panah’ soal pekerjaannya hingga isu terkini. Mereka sangat antusias menikmati kopi yang disuguhkan. Orang yang di samping saya, mereka berdua asik betul bercengkrama, awalnya mereka duduk di meja sebelahnya lagi. Namun, mereka berceloteh, tak sanggup menghisap asap rokok dari meja lainnya. Sama seperti saya juga, saya akan menghindari asap rokok. Tetapi, begitulah majemuknya warung kopi, dimanapun orang akan tetap kesana juga kan.

Sepertinya sudah lama gak jumpa

Hampir sama sibuk ‘cang panah’ seperti pelanggan, pembuat kopi juga sama-sama sibuk menyaring kopi dengan beragam rasa, baik sanger, kopi susu, kopi hitam dan tidak hanya kopi, Anda juga bisa memesan teh hangat, kacang hijau, bahkan jika lebih anti mainstream, Anda dapat memesan teh dingin  sambil menyantap nasi pagi. Penganannya pun lumayan banyak, kita dapat merayakan kenikmatan sendiri yang sesungguhnya di warkop ini.

Suasana tiap pagi di Warkop Cot Iri, yang lagi serius nyimak, pelanggan tetap

Di warkop yang berwarna hijau muda itu, kita tidak akan menemukan daftar menu. Anda cukup memesan saja apa yang ada. Ini berbeda sekali dengan warkop-warkop ternama ibukota yang memakai nama minuman kopi dengan bahasa asing, mulai dari avocado coffe, vanilla latte, espresso dan lainnya. Pembuat kopi pun beragam umur, anak muda yang saya taksir baru selesai SMA, pemuda akan menikah hingga bapak-bapak yang sangat sigap menyuci gelas-gelas kopi. Saat membayar, Anda boleh datang ke kasirnya langsung atau memanggil pelayannya.


Memang, apalah daya saya menyendiri disini, saya bisa menikmati semuanya, tapi tanpa orang yang menemani, rasanya pagi hari serasa sepi.

Selasa, 22 November 2016

Belajar Meramu Kata Puisi

Selasa, November 22, 2016


Kelas Menulis Puisi bersama Ernita Handayani
(Juara  1 Penulisan Puisi Peksimida Aceh 2016 dan Peserta Peksiminas 2016 di Kendari, Wakil Ketua Kaderisasi FLP Aceh)

Berikut beberapa nukilan kecil dari kelas tadi:
-Latar sebuah puisi juga dipengaruhin oleh kehidupan penyair. Misal ada penyair yang lahir dari daerah konflik, secara tidak langsung ketika dianalisa peneliti, bisa saja unsur konflik hadir dalam puisinya.

-Kalo belum tahu mau nulis apa di puisi, sediakam KBBI di samping Anda dan juga buku-buku puisi orang lain. Dengan demikian, makin menambah ramuan kata-kata

- Jika ikut lomba, peserta sebaiknya mengetahui karakter dari puisi juri. Bisa saja, nantinya jika puisi peserta mirip-mirip dengan karakter puisi juri, cenderung disukai juri dan kemungkinan dapat juara.

- Sebaiknya bawa buku notes kecil kemana pun yang pergi, jadi kalu ada ide, bisa ditulis langsung.

- Teori sebagai pendukung tulisan. Menulis bisa bebas dan lepas agar kreativitas makin terasa hadir dalam karya.

- Ide itu mahal, jika pernah terlintas dalam pikiran ttg suatu hal yang menarik, walau satu kata, tulislah.

*Rangkuman ini akan lebih panjang, jika saja saya datang lebih awal.

*Kelas menulis tadi juga turut dihadiri santriwati Dayah Darul Ulum

*Kemungkinan, nantinya Kelas Menulis akan diadain semacam Kelas Menulis FLP Go to School/Campus (Bocorran dari pengurus dan ini sebagai upaya kampaye cinta literasi)


Senin, 21 November 2016

Metamorfosis

Senin, November 21, 2016

Maka benar seperti kata Pram "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian". Saya sudah mulai tertarik menulis sejak kecil. Bagi kita yang tinggal di gampong, media semacam daun pisang dan lidinya adalah tempat bermula memulai menulis. Sebelum kita benar-benar yakin menggunakan pensil hingga pulpen.

Di rumah saya, di Bireuen, masih tersimpan dengan baik mesin tik peninggalan Almarhum Waled. Darinya beliau menulis surat  penting desa juga surat lainnya. Waled termasuk suka menulis, tak hanya soal administrasi gampong, saya pernah menemukan catatan pengajiannya tentang cara membaca huruf hijaiyah. Catatan yang ditulis dengan tegak bersambung itu, tersusun dalam kalimat-kalimat rapi. Semasa beliau sekolah dulu, media untuk tempat menulis bukanlah kertas atau laptop yang saya pakai sekarang, melainkan batu. Dan di rumah, benda ini masih kami simpan rapi.

Tidak hanya rajin menulis hal-hal yang menurutnya penting, semasa beliau hidup, di kios kami, Waled menyediakan bacaan gratis bagi warga gampong. Kios+Perpustakaan Mini itu yang membuat saya suka baca, terutama jika ditambah dengan gambar.

Ohya, di rumah juga masih ada buku "Tenggelamnja Kapal Van Der Wijk" terbitan pertama dengan harga 650 rupiah. Itu novel pertama yang saya baca semasa SMA.

Baik di SD, SMP, SMA, hingga kuliah, perpustakaan menjadi yang paling menarik bagi saya, terutama pada jam istirahat. Namun yang sedikit membuat saya agak kecewa, ketika perpustakaan SD saya dibakar oleh OTK semasa konflik. Buku-buku menjadi abu, tetapi ingatan saya tentang isi buku itu beberapa diantaranya melekat.

Maka tak salah, rasanya menulis adalah kerja keabadian. Hal-hal yang sudah saya lewati, bisa ditulis. Karena setiap momen memberikan makna keindahan tersendiri bagi hidup seseorang.

Blog yang awalnya arifsalda.blogspot.com, mulai malam ini telah beralih ke www.arifsalda.com. Diantaranya, tentu saya berharap, ini adalah langkah berikutnya untuk melahirkan karya-karya yang mencerahkan. *blog dalam masa perbaikan

Muarrief Rahmat
www.arifsalda.com
"Saya Tulis, Kamu Baca, Kita Bersahabat"

Rabu, 22 Juni 2016

Dunia Blogging Seperti Apa?

Rabu, Juni 22, 2016
pixabay.com
Senyum meriah khasnya Fardelyn Hacky mengawali kelas menulis Minggu pagi 28 Februrari 2016. Hari itu, kelas menulis yang dilaksanakan di kantin Kasadar Unsyiah, berisikan tentang dunia blogging seperti apa? Tema yang diangkat khusus untuk membahas apa menariknya berkecimpung dalam dunia blog. Eky – sapaan akrabny a– berujar saat seseorang memutuskan menjadi blogger harus memiliki alasan dan tujuan yang pasti.
“Hal pertama yang harus kita tentukan saat membuat blog adalah apa yang ingin dicapai dan apa yang akan dilakukan jika itu berhasil dengan target capaian tadi,” sebut Eky mengawali kelas.
Maka, katanya lagi, ketika telah ada tujuan, dibutuhkan juga tahapan yang harus mulai dilakukan blogger. Diantaranya  memilih topik yang sesuai dengan bidang kesukaan, dibutuhkan juga pemahaman yang memadai  terhadap bidang tertentu.
“Langkah kedua saat memulai ngeblog, ya, memilih sebuah nama. Nama blog juga bisa dengan nama sendiri, dan ini sangat bagus untuk branding diri.”
“Sementara langkah ketiga, adalah memulai menulis dengan nyaman dan konsisten!”, tegasnya.
Selain memaparkan langkah ngeblog, ibu dari Abel itu juga memberikan tips ngeblog bagi pemula. Salah satunya dalam slide yang ditampilkan yaitu free write.
“Tulis apa yang kamu pikirkan. Jangan memikirkan apa yang kamu tulis. Ini yang menjadikan penghambat blogger, akhirnya malas, buntu ide. Makanya, solusi terbaiknya adalah rajin membaca,” sebut istri dari Salmi Syarif ini lagi.
Eky yang hari itu memakai baju oren muda sangat sepadan dengan hijab dengan warna oren tua, katanya tips berikutnya bagi blogger perlu sering-sering blogwalking (BW) artinya sering mengunjungi blog orang lain, dengan ini dapat menaikkan rating blog dan orang lain juga tahu alamat blog kita. Namun, sebaiknya tidak membanding blog kita dengan blog orang lain.
“Selain itu, konsistenlah dalam menulis, jadilah dirimu sendiri, dan paling penting adalah blog kita memberikan kesan bagi pembaca,” Eky menyebutkan tips terakhirnya.



Mantan Ketua FLP Aceh 2005-2006 itu juga mengatakan, ada hal yang harus diperhatikan dalam dunia blogging. Dan hal ini terkadang menjadi alasan yang tidak baik, sebenarnya.
“Contohnya selalu berkata tidak ada waktu, malas memulainya dan selalu beralasan tertentu sehingga benar-benar menghambat memulai ngeblog.”
Jika berlaku demikian, katanya akan menghambat seorang blogger terjun dalam blogging nowadays. Eky mengajak peserta yang kebanyakan blogger pemula dan bahkan ada yang sudah memiliki buku dari ngeblogjuga memenangkan lomba blog nasional, untuk memperhatikan slide berikutnya, Eky membahas tentang blog nowadays. Eky hari itu ingin membuka mata bahwa, dunia ngeblog masa kini tidak melulu soal curhat, ada nilai lebih tentang informasi yang harus disampaikan kepada masyarakat.
“Kita kan kayak citizens reporter ya, artinya masyarakat tidak terlalu butuh tentang masalah pribadi yang kitashare di blog.”
Alumnus Fakultas Keperawatan Unsyiah itu juga berujar, dengan mudahnya akses internet saat ini, semua orang dapat mempublikasikan tulisannya, tidak adanya hambatan berarti, akses internet juga memudahkan publikasi dan harganya lebih murah, ketimbang publikasi dengan cetak.
“Kelebihan ngeblog lainnya bisa mendatangkan uang. Bila blog banyak dikunjungi, berpotensi bisa ada orang yang akan pasang iklan. Atau iklan dari google-nya langsung.”
Seperti diketahui, jika sebuah blog telah ada google adsence, akan secara otomatis, iklan dari produk-produk luar akan berada pada blog pribadi. Google adsence diberikan jika blog sudah ramai dikunjungi pembaca.
Menyangkut tentang banyaknya bidang yang dapat dibahas dalam blog. Mulai dari politik, hukum, kesehatan, psikologi, keluarga, pendidikan dan lainnya, saya yang menjadi salah satu peserta hari itu juga menanyakan:
“Tapi saya takut juga bahas hal-hal yang belum saya pahami, takutnya saya dilabeli oleh pembaca sebagai penulis yang tahu banyak hal, istilah sekaranganya, sok tau semua hal. Apa yang harus saya lakuka jika begitu?”, tanya saya kepada Eky.
Maka penting kata Eky, blogger juga dianjurkan mengikuti lomba blog. Jika ikut lomba blog, bila ada bidang yang tidak dipahami, bisa diinisiasi dengan bacaan tentang bidang tersebut, dan tidak ada salahnya membaca pemenang lomba tahun sebelumnya.
“Kalo lomba yang jurinya wartawan, kebanyakan lebih dinilai kontennya, bukan pada gambar. Ditambah lagi punya banyak waktu menulis dan menulis cepat, ini dua hal yan sangat beruntung jika dimiliki penulis,” beber Eky yang sudah memulai ngeblog sejak 2005 silam, semasa jaya-jayanya multiply.
“Jika ada banyak topik yang akan dibahas, bisa dibuatkan dala bentuk sub topik, jadinya tulisan ngak terlalu panjang dan ngak bercampur-campur. Ini tidak hanya saat mengikuti lomba blog, tapi hal penting yang harus diperhatikan dalam dunia blogging.”
Sebenarnya, jika boleh dikira-kira, kata Eky, katanya ada ‘mazhab’ tertentu yang ‘dianut’ seorang blogger. Ini ditinjau dari hasil survey kecil-kecilan yang dilakukannya, setelah memperhatikan para blogger lain atau teman dekatnya. Sebut saja ‘mazhab’ curhat only blogger, idealist blogger, google adsence (GA), blogger, idealits + google adsence blogger hingga high level SEO tecniques + coding + GA blogger.
“Kalau teman-teman mau tahu tentan dunia teknik SEO, ya harus ikut kelas berikutnya,” Eky memberikan infromasi kelas sesi 2.
Diakhir sesi kelas menulis blogging yang dibalut diskusi nuansa santai itu, Eky sangat mengharapkan semuanya menulis hal-hal yang mudah dulu bagi pemula dan ini agar konsisten dalam menulis.
Successful blogging is not about one time hits. It’s about building a loyal following  over time,” tutupnya.

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."