Rabu, 09 Januari 2019

Wajah Baru Pantai Pasir Putih Aceh Besar

Rabu, Januari 09, 2019

Beruntung sekali Aceh sudah damai dari konflik sejak tahun 2005 lalu. Masyarakat Aceh dan luar Aceh semakin mudah menjelajahi keindahan alam Aceh. Tentu, imbas damai ini tidak hanya untuk masyarakat di Aceh. Kini, traveler luar dan dalam negeri seolah 'menyerbu' Aceh dalam tiap kunjungannya. Saat pertama mendarat di Aceh, biasanya mereka akan lebih dulu mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman (MRB) Banda Aceh. Wisata religi memang memiliki pemikat utama bagi turis muslim dna bahkan non muslim. 

Aceh memiliki garis pantai yang panjang dan eksotik. Siapapun yang melintasi garis pantai utara hingga barat selatan akan memuji keindahannya. Salah satunya adalah garis pantai di Aceh Besar memiliki keunikan sendiri. Sebut saja tempat wisata laut dan pantai Pasir Putih Lhok Mee.

Berawal dari sebuah postingan teman, saya dan istri sepakat menikmati liburan awal tahun. Dalam perjalanan kami menikmati alam, serta melewati perkampungan nelayan. Jarak satu jam dari Kota Banda Aceh rasanya tak menjadikan lelah selama perjalanan. Saya pertama menginjakkan kaki ke pantai ini, saat silaturahim mahasiswa kampus. Lalu berlanjut, saat bersama teman organisasi kepenulisan.

Sesampai di sana, ternyata benar. Pantai Pasir Putih yang bersebelahan langsung dengan lokasi wisata Bukit Lamreeh itu, sudah berbeda penampilannya. Beberapa tahun sebelumnya, saya belum mendapati tempat santai nan teduh seperti saat ini. Pondok-pondok yang disediakan menambah pantai ini nan eksotis. 

Di pondok ini, kita bisa memakai gratis. Bagi yang ingin memesan makanan dan minuman akan lebih baik. Sekaligus membantu perekonomian warga setempat. Kalau melihat perubahan tempat lesehannya, seolah kita liburan luar negeri. Tapi, ternyata di Aceh. Yeay... makin cinta sama Indonesia. (*sambil kibar bendera merah putih)

Tak jauh dari pondok ini, kami dimanjakan oleh jembatan berbentuk 'love' menghampiri kami. Kayu yang kuat menampung sebanyak 25 orang itu, dibuat menyatu dengan alam pantai. Seperti kita tahu, ciri khas utama Pantai Pasir Putih di sini adalah ditumbuhinya pepohonan di pinggiran pantai. Serasa mustahil rasanya. 


Bersama kekasih, saya melewati jembatan cinta ini sambil merayakan cinta. Kekuatan cinta ini makin tumbuh wkwkwkw 😜

Ternyata, semua perubahan ini adalah bikinan kece Kementerian Pariwisata Republik Indonesia (Kemenpar RI) melalui Pesona Indonesia yang memang sedang giat-giatnya menggalakkan #pesonaindonesia dan #wonderfullindonesia agar tidak hanya dilirik oleh turis lokal. Namun, juga dilirik oleh turis mancanegara. 


Nah, buat teman-teman, ayo pastikan liburan pada lokasi yang tepat. Pastikan dengan wajah ceria dan suasana hati yang happy agar beban hidup terasa ringan. Ajak orang terkasih agar merayakan kebahagian bersama. []

Catatan:
Tulisan ini adalah kepanjangan dari caption setelah memenangkan Lomba Bercerita Kementerian Pariwisata Republik Indonesia tanggal 9 Januari 2019.

Senin, 03 Desember 2018

Membedah Cerpen Guntur Alam 'Kue Itu Memakan Ayahku'

Senin, Desember 03, 2018

Ilustrasi Cerpen Koran Kompas edisi Minggu 5 Maret 2018 karya Amrizal Salayan

Kali ini berbeda. Guntur Alam (GA) punya latar cerita lain pada cerpen Kue Itu Memakan Ayahku, dimuat KOMPAS (4/3/2018). Biasanya GA menulis cerpen dengan kisah kehidupan adat masyarakat, terutama latar masyarakat Sumatera Selatan, tempat GA lahir.

Cerpen Kue Itu Memakan Ayahku menarik dibaca semua kalangan, terutama keluarga, pimpinan kantor, bahkan wajib bagi politisi! Dalam cerpen ini, GA nampaknya menisbatkan kue sebagai anggaran. Tokoh utama yang bertindak sebagai Ayah adalah akuntan, tapi sayang, di kantornya dia hanya menjadi pemotong kue.

Ayah bercerita kepada anaknya, kalau dia sangat menyukai kue buatan ibunya. Terutama kue bolu nanas. Namun, istrinya tidak bisa membuat kue senikmat buatan ibunya. Si Ayah bergeming. Bahkan Ayah yang awalnya menyukai kue, akhirnya takut untuk memakanya. Dengan dalih dia takut kalau kue itu akan balik memakannya.

Saya melihat bahwa, diksi kue ingin dinisbatkan GA tidak hanya kue dalam bentuk uang, tapi memang nyata kue asli. Si Ayah yang ahli memotong kue di kantor, ketika berhadapan dengan kue asli di rumah, jadinya takut. Sebab pada kalimat “Bahkan kue yang ayah potong-potong di kantor itu telah membunuh banyak orang.”

Jika kue ini dianggap sebagai anggaran dewan, pembagian jatah sesuai asas keadilan menurut versi mereka. Semua punya kepentingan. Seolah punya hak leluasa dalam memotong dan memilah anggaran. Jika salah potong, menyengsarakan rakyat jelata yang tak lagi jelita. Contohnya, sekolah rusak, rumah ibadah terbengkalai, fasilitas kesehatan mengkhawatirkan, kemiskinan bertambah tiap tahun, pengangguran apalagi. Ini semua adalah eses dari potongan kue anggaran yang kacau.

Pada kalimat “Kulihat wajah Ayah, bola matanya telah hilang. Kepalanya terbelah, otaknya kosong. Kulihat dadanya. Ada bolong besar. Jantung dan hatinya telah raib.” Nampaknya GA ingin mengatakan bahwa, jangan salah dalam memotong kue anggaran. Ini akan berimbas pada hilangnya akal budi, pandangan mata melupakan kepetingan rakyat kecil, dan tak lagi berhati-hati memakai hatinya, artinya si Ayah tak punya hati!

Selain itu, kalimat di atas dapat dimaknai pula kalau orang yang hidup dalam kenikmatan sesaat, meraup kesenangan pribadi, ujungnya sebelum dia mati, biasanya akan dihinggapi penyakit. Bisa saja geger otak, kanker hati, mata katarak, atau bahkan serangan jantung!

Di lain kondisi, si Ayah sebenarnya sudah tak tahan lagi dengan kondisinya sebagai pemotong kue. Dia merasa menjadi alat orang lain bagi anak dan istrinya. Dulunya apa pun bisa diceritakan di meja makan. Kini ayah berbeda. Terutama saat cerita rumah sekolah ambruk yang baru di bangun setahun lalu. Si Anak terheran-heran, apa pasal kue yang dipotong Ayah bisa menyebabkan sekolah ambruk. “Itu karena kue yang ayah potong-potong”, lalu dilanjutkannya dengan kalimat “Kelak, kalau kau sudah besar akan paham.”

Kita tentu tahu, rumah sekolah baru dibangun lalu roboh lantaran material bagunan yang dipakai bukan material semestinya. Apalagi, ada banyak kasus korupsi menjerat pencuri uang negara akhirnya terpenjara, karena memainkan anggaran pembangunan gedung sekolah, salah satunya.

GA berhasil memainkan perannya dalam hal semisal pemotong kue lalu digambarkan sebagai pelaku korupsi. Meski GA sendiri tak satupun menyebut kata korupsi dalam cerpennya. Dibumbui dengan tanda tanya (?) di tiap adegan, membuat orang makin bertanya-tanya ke mana maksud tujuan cerpen ini.

Betapa pun cerpen ini berhasil memainkan isu, di paragraf kedua, GA nampaknya keliru menuliskan kata ‘fotocopy’. Padahal dalam Panduan Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) jelas-jelas kata baku adalah ‘fotokopi. Pada paragraf delapan, kalimat ini kurang logis “Mula-mula, kue itu memakan otak ayah. Kemudian mata, lidah dan mulut.” Kalimat ini diutarakan si Ayah kepada anaknya. Bagi saya, GA tidak berhasil mencerminkan kalimat logis. Sebab, mana mungkin orang yang sudah tak memiliki otak masih dapat hidup. Tanpa lidah dan mulut bagaimana si Ayah berbicara dengan anaknya.

Cerpen dengan latar korupsi layak punya tempat. Indonesia negara besar, seolah menjadi pejabat negara, tanpa mencuri uangnya adalah hal tabu. Maka berbondong-bondong politisi maupun calon politisi memakan kue potongan itu. tak penting kue itu dari mana, asal kenyang selesai perkara. Masih mau makan kue anggaran?

Rabu, 21 November 2018

Saatnya Mencintai Lingkungan

Rabu, November 21, 2018
















Manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki peran penting sebagai penyeimbang di segala kebaikan, tidak terkecuali bagi alam semesta. Seorang muslim pasti mengerti, tanpa mencintai alam, maka ia belum menjurus kepada upaya mencintai Allah Swt dan Rasulullah Saw. Sebab mencintai alam dan lingkungan merupakan bagian dari ibadah.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Wakil Dekan FMIPA Unsyiah Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr.rer.nat Ilham Maulana, S.Si., saat diwawancarai Warta Unsyiah beberapa waktu lalu. Ilham menjelaskan, seorang muslim cenderung memahami ibadah hanya di seputar puasa, salat, haji, dan berbagai kegiatan sejenisnya. Sementara menjaga ketertiban dan lingkungan jarang dianggap sebagai ibadah.

“Banyak yang menganggap bahwa melanggar lampu lalu lintas, membuang sampah sembarangan, atau merusak lingkungan tidak dianggap sebagai dosa,” ujar doktor lulusan University of Leipzig, Jerman ini.

Maka tidak heran, menurut Ilham, banyak orang yang rajin ibadah, tetapi lingkungannya kotor. Bahkan terjadi kerusakan lingkungan di mana-mana.

“Padahal Allah juga menyoroti pemeliharaan lingkungan sebagai catatan pahala, atau merusaknya sebagai dosa.”

Hal ini seperti firman Allah Swt dalam Surat Ar-Rum ayat 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Beberapa waktu belakangan ini, kita dikejutkan dengan dibunuhnya gajah jinak bernama Bunta di Aceh Timur. Mereka mengincar gadingnya. Padahal selama ini, Bunta dikenal akrab dengan manusia. Bahkan, ia menghalau gajah liar agar menjadi tenang.Ustaz Masrul Aidi, Lc., dalam pengajiannya pernah menyebutkan, konflik antara gajah dan manusia cenderung muncul dari kekeliruan manusia yang tinggal di jalur migrasi gajah. Setiap tahun, gajah akan menempuh perjalanan jauh dan kembali lagi pada jalur yang sama. Sementara gajah tidak berniat merusak perumahan dan kebun warga. Mereka hanya bereaksi atas aksi manusia.

Pimpinan Dayah Babul Magfirah, Aceh Besar, itu juga berpesan agar keseimbangan alam dan manusia sepatutnya dijaga. Ia memberi contoh semakin maraknya babi yang merusak kebun warga. Ini disebabkan karena populasi harimau di hutan berkurang akibat diburu oleh manusia.

“Balasan Allah sesuai dengan apa yang kita kerjakan. Jika baik, maka baiklah. Begitu juga sebaliknya.”

Ia menambahkan, dampak dari kerusakan lingkungan bagi manusia juga dijelaskan di
Alquran Surat Al An’Am ayat 44, “Manakala penduduk negeri itu telah mengabaikan peringatan kami. Barangsiapa berpaling berzikir kepadaku, maka hidupnya sempit.”

Terkadang manusia pongah merusak hutan dan lingkungan hanya mengejar nafsu duniawi. Padahal alam dan manusia merupakan dua sumbu yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Andai dua sumbu ini saling jalan beriringan, maka manfaat besar akan dirasa. Daripada hidup sengsara, kenapa tidak manusia dan alam bersinergi dalam kebaikan. (mr)


Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."