Minggu, 20 Oktober 2019

Mengaji Kepada Teungku, Budaya Aceh yang Patut Dijaga

Minggu, Oktober 20, 2019

Pengajian bersama Dr. Teungku Fatmi di masjid Al Makmur, Banda Aceh. Pengajian ini sangat digandrungi anak-anak muda di kota para raja ini. Foto: Dok. Pribadi.
Pernahkah Anda merasa jenuh dengan segala rutinitas yang dijalani setiap harinya? Pernahkah Anda merasa kekosongan jiwa tak terkiranya saat Anda kesepian? Barangkali inilah beberapa hal yang menghantui kalangan muda Aceh masa kini. Jika hal ini sudah mulai ada dalam diri Anda, kemungkinan bisa dipastikan ada satu sudut dalam jiwa Anda merasakan kehampaan. Dalam ritme hidup demikian, beberapa orang akan melakukan upaya penyegaran jiwa, baik mencari hiburan malam – meski bahagia sesaat – hingga meditasi, atau berzikir saat tengah malam.

Anak-anak muda yang merasakan kesepian itu, tentu akan berupaya mencari alternatif mengisi ketenangan jiwanya. Tak terkecuali melalui mengisi hatinya dengan spiritualitas. Beragam cara akan mereka lakukan untuk hatinya dapat utuh termotivasi kembali. Bukan tidak mungkin, upaya spiritualisme ini melalui pengajian.

Di era kekinian ini, fasilitas untuk mendapat ilmu pengetahuan begitu cepat, ialah melalui internet. Begitu juga bagi yang ingin menemukan ilmu agama, tentu internet salah satu solusi tercepat. Media daring baik lama website, twitter, facebook, Instagram, WhatsApp Group (WAG), maupun channel YouTube menjadi pilihan generasi milenial masa kini. Salah satu alasan mereka, lebih mudah dan bisa akses di mana saja. Namun, apakah keabsahan informasi yang disampaikan media daring ini dapat terpercaya? Apalagi mencari ilmu agama akan menjadi fatal jika salah dimaknai, berbeda dengan ilmu lainnya. Inilah yang sedang terjadi pada kehidupan anak-anak muda Aceh.

Jika meneropong lebih jauh, sebenarnya Aceh memiliki kebudayaan yang komplit saat seseorang akan berangjak belajar ilmu agama. Anak-anak sebelum diantar ke Teungku (sebutan guru mengaji di Aceh) orang tuanya mempersiapkan semuanya dengan mantap. Mulai dari memasak Bu Leukat (nasi ketan) hingga selai isian parutan kelapa yang dicampur dengan gula aren. Bahkan, di beberapa kalangan lainnya, memasak nasi beserta lauknya.

Saat malam diantar ke tempat mengaji tiba, maka semua anak akan melahap dengan nikmat bawaan tadi. Anak yang tadinya merasa asing ke tempat baru, akan disambut gembira oleh Teungku dan kawan-kawannya. Semuanya berbaur merayakan ada anak baru yang menjadi teman mereka dalam berilmu.

Dipilihnya Bu Leukat sebenarnya terkandung nilai filosofis yang sangat kuat. Beras yang tadinya terpisah, ketika menjadi ketan, dia menyatu. Ini dimaksudkan agar nantinya ilmu yang diajarkan oleh Teungku dapat melekat kuat dalam ingatan santrinya dan menyatu dalam perbuatannya. Pun demikian, selai isian kelapa campur gula yang manis ini dimaksudkan agar santri memahami bahwa ilmu ini akan amat manis bila terus dipelajari hingga akhir hayat.

Aktivitas anak-anak mengaji di Taman Pendidikan Alquran masjid Baitusshalihin, Ulee Kareng, Banda Aceh. Foto: Dok. Pribadi
Selain melalui Bu Leukat ini, tradisi mengaji di Aceh tentu memiliki fase. Masa dulunya, anak-anak sebelum diantar ke Dayah/Pesantren, mereka akan diajarkan terlebih dulu oleh orang tuanya. Barulah kemudian oleh Teungku Imum di Meunasah Gampong. Kemudian, saat anak sudah berani dan mandiri, orang tuanya akan mengantarnya ke Pesantren/Dayah. Program Magrib Mengaji, sebenarnya sudah lebih dulu dilakukan orang zaman. Sayup-sayup terdengar pengajian dari setiap rumah. Berbeda sekali dengan masa sekarang, anak-anak belia kita disibukkan dengan gawai dan orang tuanya pun semakin lalai.

Inilah yang harus dikhawatirkan. Generasi seperti apa yang akan lahir di Aceh, jika fase sejarah yang terjadi hari ini demikian? Mengaji melalui ‘Guru YouTube’ tanpa pendamping yang mahir, maka lahirlah generasi yang merasa paling benar dalam beragama. Alih-alih tontonan YouTube yang mereka nonton ini terkait terorisme. Sebab, tidak ada yang menyaring informasi yang sampai ke pemikiran muda mereka. Anak-anak muda yang sedang galau, mudah sekali hatinya menjadi kacau. Menganggap yang telah dilakukannya adalah yang paling benar, inilah bonus demografi yang membahayakan ruang entitas sosial maupun keagamaan kita hari ini.

Tradisi ini telah hilang saat mengaji di YouTube. Tentu akan jauh berbeda dengan apa yang saya sampaikan di atas. Tidak aka ada Bu Leukat saat Anda pertama kali mengantarkan pandangan Anda kepada channel ini. Tidak akan ada keberkahan dapat mencium tangan Teungku, seperti yang sering kita temui saat usai mengaji. Atau bahkan, tidak aka nada santri yang berdiri saat Teungku memasuki balai pengajian. Di Dayah, berdiri saat Teungku memasuki balai pengajian adalah bentuk penghormatan kepadanya. Saat Teungku sudah duduk bersilakan sajadah, barulah santrinya akan duduk dan dimulailah pengajian.

Infografis Mengaji Kepada Teungku dan YouTube
Kini, semuanya melalui perangkat daring. Belum lagi, bila ada yang salah mengutip, sengaja mengedit dengan maksud jahat, ataupun kesalahan editor video sebelum mengunggahnya di channel mereka. Meski, pada kolom komentar kita dapat bertanya, belum tentu akan dijawab di hari tersebut. Pun bila dijawab, seberapa persenkah keabsahan jawabannya?

Ya, tentu kita tidak dapat menyalahkan teknologi yang semakin berkembang ini. Semangat budaya post islamisme ini harusnya dapat dibendung dengan manajemen yang rapi. Beragam video yang tersebar di jagat maya kita, sejatinya menjadi wadah bagi anak-anak muda. Oleh sebab itu, anak-anak muda Aceh sejatinya punya cara berbeda dalam mengaji di YouTube. Misalnya, mencari dengan jelas biografi guru mengajinya; YouTube adalah sarana penamping, sementara mengaji langsung adalah sarana utama; jika masih ingin bertanya, sebaiknya kepada guru langsung; tak salah pula memulainya dengan makan Bu Leukat.

Budaya Aceh khususnya mengaji langsung kepada Teungku, sepatutnya harus terus digaungkan. Seraya tetap mengedepankan memanggil sebutan orang alim dengan Teungku, ketimbang menggunakan kata Ustaz. Sebab, istilah Teungku begitu melekat dalam benak orang Aceh. Harusnya ada kombinasi yang unik saat mengedepankan mengaji langsung kepada Teungku. Seraya mengaji dengan YouTube adalah pilihan kedua. Bila ada hal yang kurang penjelasannya di media daring, sejatinya anak muda Aceh sepatutnya menanyakan langsung kepada Teungku tersebut atau kepada Teungku lainnya.

Kehadiran ulama dari kota lain di Aceh, menambah khazanah keilmuan dalam beragama di Aceh. Hal ini bukanlah yang baru, sebab dari dulu Aceh sudah berguru hingga ke ulama dari Timur Tengah. Foto : Dok. Pribadi
Orang terdahulu sudah mengajarkan kepada kita pentingnya kroscek setiap informasi yang kita temui. Tak terkecuali ilmu agama. Sebab, agar tak salah dalam penafsiran maupun dalam beribadah. Ketika sudah begini, maka saya jadi ingat hadih maja  Aceh “Jak beutroh kalon beudeuh, bek rugo meuh saket ate” (Datanglah sampai ke tujuan hingga nampak, jangan sampai rugis emas bikin sakit hati). Hadih maja ini selaras pula dengan mengaji, sebab semua ilmu yang diserap santri perlu adanya kroscek mendalam. Guna tranfer ilmu agama dibentengi verifikasi yang akurat dan terpercaya dari Teungku-nya.

Kita tidak ingin, menjadi santri yang berilmu tapi tidak dibarengi dengan akhlak mulia. Kita tidak ingin menjadi santri yang serba tahu, tapi tidak bisa dicap orang berilmu lantaran tidak berguru langsung pada Teungku. Ikhtiar baik perlu komitmen bersama, agar budaya Aceh khususnya mengaji tak luntur oleh zaman dengan tetap menjaganya dan merawatnya. (*)

*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Blog Budaya dengan Tema "Budaya Aceh di Mata Milenial", Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tahun 2019.

Minggu, 13 Oktober 2019

Mengenang Robur, Si Pengantar Mahasiswa

Minggu, Oktober 13, 2019

Keuchik Harun berpose di rumahnya. Foto: Irfan Fuadi/Aceh Transit

Saat dihampiri ACEH TRANSit, Keuchik Harun sedang beraktivitas di depan rumahnya. Di usianya yang tak lagi muda, Keuchik Harun masih nampak sehat. Kesehariannya kini bersama istri tercintanya. Mahasiswa era tahun 70-an dan 80-an yang kuliah di Komplek Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam tentu akrab dengannya. Dialah sopir Robur generasi pertama di Aceh.

Keuchik Harun memulai pembicaraanya. Dia menyebut, pertama kali Robur ada di Aceh setelah Pemilu 1972, tepatnya pada tahun 1974. Bus angkutan umum perkotaan ini, hadir di Banda Aceh atas inisiasi Pemerintah Daerah Istimewa Aceh masa itu. Empat unit Robur didatangkan dari Jakarta melalui Belawan, Medan.

Sesampai mobil dari Medan inilah, angkutan massal perkotaan pertama hadir di Banda Aceh. Keseharian Keuchik Harun bersama dengan sopir Robur lainnya rutin mengantar mahasiswa. Setiap harinya, pukul 07.00 WIB bus Robur parkir dengan rapi di depan Masjid Raya Baiturahman. Dari pagi hingga sore, Robur melaju dari pusat kota menuju Darussalam, begitu sebaliknya.

Semasa menjadi sopir, rasa lelah rutin menghampiri Keuchik Harun. Apalagi terkadang mahasiswa berkelahi di dalam Robur. Beberapa sopir menyampaikan keluhannya kepadanya.

Hal yang membuat Keuchik Harun mengernyitkan dahi. Mereka berkelahi dan cekcok antar fakultas atau sesama fakultasnya di dalam Robur. Jadinya, terkadang Keuchik Harun melaporkan hal ini kepada Senat Mahasiswa.

Masa itu, Dimurtala menjadi Senat Mahasiswa. Ke sana lah Keuchik Harun menyampaikan keluh kesahnya. Selain, tentu peran Keuchik Harun juga tetap melerai cek-cok antarmahasiswa. Karena hal inilah, Keuchik Harun dipilih menjadi Keuchik Gampong Peurada masa itu.

“Saya menjumpai Pak Dimurtala, selaku senat mahasiswa kala itu. Untuk menyampaikan hal ini agar ada nasihat langsung kepada rekan mahasiswa,” ujar pemilik nama lengkap Harun Husen ini.

Selain berkelahi, bermacam polah tingkah laku lainnya dilakukan mahasiswa kala itu. Mereka meminta dibelokkan khusus saat di salah satu simpang di kawasan Lingke. Beberapa sopir lainnya menuruti permintaan mahasiswa. Tujuannya, agar saling berhimpitan mesra. Sehingga, konon, jadilah simpang itu dinamai Simpang Mesra hingga kini. Meski demikian, Keuchik Harun tidak menuruti permintaan mahasiswa, sebab berbahaya bagi mereka.

“Namun yang menyakitkan saya bukan itu, mereka tidak membayar ongkos naik Robur. Padahal, dari pusat kota ke Darussalam hanya 50 Rupiah. Ada yang bahkan beberapa mahasiswa meminta kembaliannya, padahal tidak pernah sama sekali memberikan uangnya kepada kernet,” sebutnya mengenang masa pahitnya.

Kendati demikian, Keuchik Harun sering mentraktir mahasiswa yang sedang nonkrong di warung kopi. Terkhusus, Keuchik Harun menyuruh mereka memesan segelas kopi, sepotong kue, dan sebatang rokok. Terutama saat mereka belum mendapat kiriman dari orang tuanya di kampung.

“Saya bilang, jangan menahan lapar. Nanti menganggu kuliahnya.”

Saat hari wisuda tiba sekaligus menjadi sarjana muda, mereka datang menjumpai Keuchik Harun. Seraya meminta maaf atas perbuatan mereka kepadanya. Sebagai yang dituakan, Keuchik Harun menerima permintaan maaf mereka. Sambil mendoakan agar mereka sukses.

Ada hal unik yang diceritakan Keuchik Harun. Saat beliau ke Kota Langsa bersama rombongan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh kala itu. Ternyata banyak mantan mahasiswa yang masih mengenalnya. Bukannya menyambut Wakil Gubernur, mereka malah mengampiri Keuchik Harun. Saat akan pulang ke Banda Aceh, maka tangan kanan dan kirinya penuh dengan oleh-oleh khas kota itu.

“Mereka kasih ke saya macam-macam. Hingga saya dikasih kecap,” sebutnya sambil tertawa.

Selama menjadi sopir bus pabrikan Volkseigener Betrieb VEB Robur-Werke Zittau dari Jerman Timur itu, Keuchik Harun memiliki kesan mendalam. Selain merasa bahagia saat mengetahui mantan mahasiswa pengguna Robur telah sukses, Dia mengagumi sosok Ali Hasyimi, Gubernur Aceh masa itu. Baginya, sosok Ali Hasyimi berbeda dengan pemimpin kebiasaan.

“Jarang kita temui Gubernur yang bertanya dan berdiskusi dengan sopir,” ujarnya mengenang.

Kesan ini pun sesuai, saat Keuchik Harun memberi ide kepada Ali Hasyimi tentang pertanyannya mengatur jam operasional Robur, agar tidak bentrok dengan jam keluar kuliah mahasiswa. Sebab, kala itu, penumpang membludak di hari Jumat.

“Pak, kita atur jam keluar mahasiswa tiap satu jam sekali. Kalau hari lain, tidak apa-apa,” sebutnya mengulang percakapan dengan Ali Hasyimi.

Karena masukannya ini, Ali Hasyimi mengiyakan. Jadi, inilah salah satu konsep yang terbaik pada masa itu guna memanajemen angkutan massal yang banyak diminati mahasiswa, pelajar, hingga masyarakat.

Teriakan Darma Darma, Apung, Kramat, Jambo Tape, Lorong Mangga, Mesra, Simpang Galon, selalu terdengar dari kernet Robur. Inilah beberapa kenangan Keuchik Harun yang menjadi sopir Robur 18 tahun lamanya. Dia pensiun dari sopir Robur karena menjadi sopir pribadi Wakil Gubernur Teuku Johan. Apalagi Keuchik Harun juga pegawai pemerintah masa itu, beliau pun mengiyakan.

Generasi ketiga

Selain dengan Keuchik Harun, ACEH TRANSit juga bertemu dengan seorang sopir Robur generasi ketiga. Dia adalah Azhari yang kini bekerja di Badan Penganggalungan Bencana  Aceh (BPBA).

Saat ditemui, Jumat (16/7/2019), Azhari bercerita, dia mewarisi profesi dari ayahnya, sopir Robur generasi pertama. Adiknya, Faisal yang kini bekerja di salah satu kampus ternama di Aceh juga pernah menjadi sopir Robur. Mereka, satu keluarga menjadi sopir Robur.

“Generasi Robur terakhir kini tinggal di Unsyiah. Yang lainnya disapu oleh tsunami 26 Desember 2004 silam. Setelahnya, Robur tak lagi beroperasi di Banda Aceh,” sebutnya yang mulai menjadi sopir tahun 2001.


Angkutan massal generasi terakhir bermerek Hino Superior Coach kini terparkir di kampus Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, Jumat (6/9/2019). Meski bus produksi Hino, nama Robur masih sangat kental dan sering disebut oleh masyarakat di Aceh. Foto: Irfan Fuadi/Aceh Transit

Hamdani, mantan pengguna Robur mengaku punya banyak kenangan dengan Robur. Dia rutin menggunakan Robur saat kuliah. Menurutnya, Robur sangat nyaman dan memang sangat dibutuhkan masyarakat.

Robur menjadi inspirasi Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan untuk melahirkan bus Trans Koetaradja, sebagai transportasi angkutan massal perkotaan. Seperti halnya Robur, Trans Koetaradja memiliki semangat yang sama dengan terus mengupayakan inovasi sesuai dengan peradaban di Aceh.

Robur telah menjadi kenangan bagi kita semua. Dalam kaitan itu, Dinas Perhubungan Aceh, menghadirkan Robur hias pada saat perayaan karnaval HUT ke 74 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2019 di Banda Aceh. Ini adalah upaya mengenang kembali jasa Robur dalam mengangkut para mahasiswa. Jika Robur kembali hadir di Banda Aceh, berminatkah warga Aceh menjajalnya lagi?[]



Kamis, 14 Maret 2019

Mak Inspirasiku

Kamis, Maret 14, 2019
Saat Mak Menghadiri Wisuda Saya

Sudah setahun Mak tiada. Hari ini, di tahun lalu, 14 Maret 2018, nafas Mak terhenti. Sebulan, setelah Mak datang ke Banda Aceh menghadiri wisuda abang kandung saya, Muhadzdzier. Saya sangat kaget. Betapa tidak, sebulan lalu itu, Februari, saya masih menatap wajahnya. Berbicara, bahkan tidur dalam pangkuannya. Betapa pun usia saya bukan lagi kategori anak, telah dewasa, tapi tidur di pangkuan ibu adalah kehangatan.

Saya teringat, saat di rumah, masa kecil, tidur dalam pangkuan ibu hingga terlelap. Menemaninya menonton televisi, atau saat konflik berkecamuk, rasa takut saya seakan berkurang, jika di samping Mak. Sepeninggal Ayah pada 5 Maret 1999 silam, Mak menjadi tulang punggung kami. Uang pensiunan Waled rasanya tak cukup untuk menghidupi kami semua anaknya. Mak harus mendidik kami. Lima lekaki, tiga perempuan. Bayangkan mendidik delapan anak di suasana sebelum dan sesudah konflik berkecamuk di Aceh, ditambah pasca gempa dan tsunami, bukan hal yang mudah.

Semisal saat kejadian di malam Selasa, kurun waktu di atas tahun 2000-an, pohon kelapa di dekat badan jalan gampong kami ditebang OTK. Suara rongrongan senso menyelinap masuk dalam hati saya. Takut. Itu yang saya rasakan. Saya dan Mak berdiri di depan kios keluarga. Robot warna kuning –bisa diotak-atik menjadi mobil– saya pegang erat. Dan Mak menemani saya. Akibat pohon kelapa yang ditebang itu, mengenai tiang listrik. Seketika listrik seluruh gampong mati. Malam itu begitu mencekam. Saya sangat khawatir bila akan terjadi lagi kontak senjata. Namun, lantaran ada Mak di samping, seolah takut itu menghilang. Saya ada ‘payung’ untuk berteduh dari konfik.

Lain lagi, saat saya dan Mak mengunjungi rumah saudara Mak seibu tapi tidak seayah. Di gampong tetangga itu, kebetulan hari itu ada kenduri keluarga. Jalan setapak di kebun-kebun warga kami lalui. Kawasan perkebunan kelapa itu kami sebut Kuta Baro. Saat dalam perjalanan pulang lagi ke rumah, di pertengahan, hujan menghampiri kami. Mak takut kalau air hujan membasahi kepala saya. Untuk itu, Mak membuat topi dari on keurusong (daun pisang kering berwarna coklat muda). Saya memakainya, rasa senang dibuatkan topi sedemikian rupa. Mak selalu ada cara untuk melindungi saya.

Begitulah Mak melindungi kepala saya. Begitu pula saat Mak memangkas rambut saya dan semua anak-anaknya. Gunting khusus dipersiapkan, pisau cukur juga demikian. Di bangku warna coklat itu, Mak pelan-pelang memangkas rambut saya. Helaian rambut yang jatuh membuat saya geli minta ampun. Entah dari mana, Mak bisa memangkas rambut. Hingga kemudian saya tahu, Mak memotong rambut bukan hanya karena menghemat biaya rumah tangga, tetapi upaya mendekatkan saya dengan beliau. Selama kecil hingga SMA, Mak akan sigap memotong rambut saya. Di pangkas dengan rapi dan penuh kesabaran. Meski menginjak remaja, saya tidak pernah malu jika rambut dipangkas oleh Mak. Jika sudah selesai memangkas, Mak akan berujar begini.

“Kiban nyak, pu jeut lagee nyoe?” (Gimana nak, apa sudah bisa begini?”)

Mak sangat bahagia saat mengetahui saya mendapat juara kelas dan juara umum sekolah. Atau juara lari bendera saat TK, atau pula saat juara tiga menggambar tingkat kabupaten. Lalu Mak akan menceritakan kepada kerabat dan kawan-kawanya tentang saya. Karena demikian, saya pun jadinya terkenal. Mak saya memang setamat sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 Tahun –setingkat SMP masa sekarang– tidak melanjutkan sekolahnya. Tetapi, kepintarannya sungguh luar biasa. Pengetahuannya luas, karenanya, sebelum diantar ke tempat pengajian, Mak yang mengajari kami belajar alif ba ta sa. Atau, selalu peduli Pendidikan anak-anaknya. Alhamdulillah, semua anaknya yang delapan punya ilmu agama dan selesai sarjana.

Pernah suatu ketika, saya agak kesal saat Mak tidak membolehkan saya bersepeda usai Subuh di bulan Ramadan. Dari waktu Subuh hingga matahari menampakkan cahayanya, kami tidak boleh keluar rumah. Abang-abang dan saya diajari Mak mengaji Alquran. Padahal, bersepeda di waktu itu adalah kebahagian bagi saya. Maka, Mak mengajari kami dengan didikan karakternya. Sebab itu, sebenarnya Mak tidak mau anak-anaknya buta Alquran. Maka Mak pun pernah berujar.

“Beu na tingat keu Waled dan Mak. Beuna gata kirem doa-doa dan ayat pendek niet hadiah pahala keu kamoe beuh nyak.” (Ingat Waled dan Mak ya. Kirimlah doa-doa dan ayat pendek, niatkan pahalanya untuk kami ya nak)

Hari-hari saya lalui bersama Mak. Tak terkecuali bila Mak menggarap sawah. Hari libur atau pun sepulang sekolah, jika musim turun ke sawah tiba, sudah pasti saya Bersama Mak. Usai Subuh, nasi pagi dengan lauk sudah tersedia. Minuman dan kue ke sawah juga telah ada. Kami berangkat, bersama Mak menggarap sawah. Dari mulai tanah dipersiapkan, disiapkan bakal benih padi, ditanami, merawatnya, hingga masa panen sudah tiba. Mak mengisi hari-harinya demikian. Bila waktu kosong, terkadang Mak ikut menjadi buruh tani menanami padi orang. Tentu selain mencari tambahan biaya, agar Mak juga punya kawan.

Saya teringat betul, bila masuk masa usia padi siap ditanam. Sehari sebelumnya, Mak mempersiapkan segala penganan. Seperti timphan. Maka, malamnya kami isi membuat timphan bersama. Parutan kelapa yang telah dimasak dengan gula menjadi isi timphan. Maka, saat capai esoknya, rasa manis dan legitnya timphan ditambah segelas air putih, seolah sirna sudah lelah ini. Sebab, dalam seharian itu, kebetulan Mak menyewa buruh tani seharian terus. Jadinya, sekalian lelahnya. Maka, malamnya Mak akan menyuruh abang tertua untuk membeli mie. Itulah cara asik Mak membersamai kami. Oleh sebab itu, Mak akan selalu menasehati kami tentang padi, beras, dan nasi. Menjaganya agar berkah hidup.

“Beu abeih nyak pajoh bu, bek neu boh-boh bu. Hek that tajak u blang.” (Dimakan habis ya nak nasinya, jangan dibuang-buang. Lelah sekali kita bersawah)

Petuah inilah yang membuat saya akan menyantap habis nasi. Hingga kini dan seterusnya. Petuah ini akan saya ajari pula saat saya berkeluarga hingga suatu saat memiliki anak.

Bila panen padi telah usai. Agar sawah tak sia-sia. Mak mengajak kami menanami kacang hijau, kacang kuning, hingga jagung. Pernah suatu ketika, baru beberapa baris bulatan tanah kami isi tiga-empat biji kacang hijau, suara tembakan senjata berduyun-duyun datang. Mak dan saya langsung tiarap. Tanpa alas apapun! Dentuman senjata beruntun itu, membuat saya sungguh takut. Mak juga demikian. Barulah seolah hilang, saat suara tembakan juga hilang. Tetapi, kenangan akan selalu hadir. Ditambah, rombongan pembawa senjata melewati dekat sawah kami, sungguh kekhawatiran bertambah-tambah. Bisa saja, konflik mendekati kami dan nyawa melayang! Tapi, mak meneduhkan saya. Beliau tak panik, tentu doanya selalu hadir bagi saya.

Petir yang kadang datang tidak menentu. Kadang membuat siapa pun kecut. Di sawah, di tempat terbuka itu, petir akan mudah menyambar siapa saja. Langit yang gelap di hari itu, membuat Mak dan kami memutuskan untuk pulang. Khawatir akan terjadi apa-apa. Setiba di rumah, barulah hati Mak dan saya menjadi tenang.

Mak adalah rumah bagi saya, selain rumah dalam kenyataannya. Kampung kami pernah dihinggapi banjir tahun 2002 silam. Rumah dapur dihinggapi air di atas mata kaki. Rumah Mak yang hanya 200-an meter dari sungai, membuat saya khawatir. Bagaiman bila sewaktu-waktu airnya meluap? Tetapi, berada di samping Mak dan meyakinkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Air akan segera surut.

Sepulang, dari sekolah, biasanya saya akan membantu Mak memasak. Memotong sayur hingga membantu mengambil kayu-kayu tua dan sabut kelapa sebagai kayu bakar. Begitulah yang membuat Mak senantiasa dekat dengan saya. Apalagi saat tiba bulan Maulid atau bulan Ramadan. Kebahagian itu bertambah, saat menyantap masakan Mak. Kini, semuanya menjadi kenangan.

Mak adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Memiliki nama lengkap Nazariah Binti Abdullah. Di malam Kamis, setahun lalu itu, jam 23.30 WIB Mak meninggal. Pada harinya, Mak dikebumikan berdekatan dengan makam Waled. Di pemakaman keluarga itu, kumandang azan abang tertua, membuat suasana semakin haru. Saya tidak tahu bagaimana sudah perasaan berkecamuk. Antara percaya atau tidak. Tetapi, saya harus ikhlas. Mak menghadap pencipta-Nya. Begitulah Mak bercerita semasa hidupnya. 

Kini tidak ada lagi tempat saya rebahan di pangkuannya. Mencicipi asam u, asam udeung, bu minyeuk, atau masakan terenaknya menghinggapi mulut ini. Atau mendengarnya membalas salam saya saat tiba sepulang dari Banda Aceh. Tidak ada lagi tempat saya menghabiskan malam-malam bercerita dengan Mak. Begitu pula, tak ada lagi tempat saya berbagi kabar bila meraih juara. Suaranya yang khas itu dan senyum mak menyambut saya, tak ada lagi. Hanya doa dari saya dan berharap selalu dapat menjumpainya dalam mimpi. Karena, hanya itu hal yang saya punyai. Setiap kali Mak hadir dalam mimpi, Mak selalu senyum. Dalam sekejap itu, sungguh berarti. Meski Mak telah tiada, Mak selalu menginspirasiku. []

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."