[Terbaru][carousel][6]

Minggu, 14 September 2025

Kisah Guru dan Nakhoda di KMP Aceh Hebat 1: Perjalanan Membanggakan Menyatukan Nusantara

Minggu, September 14, 2025

KMP. Aceh Hebat 1. Dok. Dishub Aceh

Sigit Setiawan adalah ratusan hingga ribuan penumpang yang sudah menaiki KMP. Aceh Hebat 1 lintasan Calang (Aceh Jaya) menuju Sinabang, Simeulue, Aceh. Jauh hari sebelum hari keberangkatan dengan kapal, ia harus menempuh perjalanan darat selama 11 jam atau 629,9 km dari Aceh Tamiang menuju Pelabuhan Calang. Bersama keluarga kecilnya, ia berangkat ke Simeulue dengan kapal penyeberangan selama 14 jam lamanya. Sore itu, penumpang telah ramai di pelabuhan mengantri dengan rapi untuk membeli tiket. Dibantu petugas tiket PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Cabang Singkil.

“Pada saat itu mobil saya diarahkan masuk ke dek kapal dengan tertib dan rapi oleh petugas. Semua berjalan lancar karena dibantu oleh ABK yang ramah dan sigap,” ujar Guru Mata Pelajaran SMA Negeri 2 Simeulue Tengah, Simeuleu, Aceh ini.


Ia pun berkisah, ruangan KMP. Aceh Hebat 1 ini terasa luas dan nyaman. Kursinya tertata rapi, ditambah udara yang sejuk sore itu. Di kapal tersedia pula kamar mandi yang bersih, sehingga penumpang merasa lebih tenang selama perjalanan.


“Bagi yang ingin beribadah, kapal menyediakan ruangan shalat yang nyaman dan terjaga kebersihannya. Jadinya, kita diberi kemudahan dalam menjalankan perintah agama.”


Sigit Setiawan bersama keluarganya di Simeuleu. Dok. Pribadi

Di sela menunggu waktu penyeberangan dengan kapal yang mulai beroperasi pada tahun 2021 silam, Sigit berjalan ke dek terbuka. Dari sana, pemandangan laut lepas begitu indah. Angin sepoi menghampiri dan debur suara ombak menambah suasana damai. Memang benar, di Kota Calang ini pemandangan pantainya akan memanjakan mata siapa saja yang menatapnya. Di saat Sigit menikmati waktu senja, petugas kapal turut berkeliling untuk memastikan penumpang merasa aman dan nyaman.


“Bagi saya, perjalanan dengan KMP Aceh Hebat 1 bukan sekadar penyeberangan, tetapi juga pengalaman yang menyenangkan. Kapal ini tidak hanya memudahkan masyarakat khususnya didaerah terpencil untuk bepergian, tetapi juga memberikan kenyamanan, keamanan, dan pelayanan yang layak dibanggakan,” sebut pria yang telah mengajar di Simeulue sejak tahun 2019 lalu.


Ia punya harapan, KMP. Aceh Hebat 1 ini dapat terus berkontribusi nyata untuk moda transportasi laut, khususnya kapal penyeberangan. Misalnya, untuk rute ini tersedia pula pembelian tiket secara online menggunakan aplikasi Ferizy. Serta, pria 33 tahun ini mengungkapkan dibukanya rute Sinabang menuju Singkil, karena dapat memangkas jarak tempuh perjalanan daratnya.


Cerita pengalaman guru hebat seperti Sigit ini, sejalan dengan kontribusi ASDP untuk rakyat. Ini terdapat dalam kisah Capt. Muhammad Noer, Nahkodah KMP. Aceh Hebat 1. Sejak ia diberikan amanah oleh PT. ASDP Indonesia Ferry sejak tahun 2021 silam, bersama ABK-nya ia berbuat yang terbaik dan merasa bangga dapat menyatukan Nusantara. Sebab, Simeulue tercatat sebagai wilayah 3T (Terluar, Terdepan, dan Terpencil) berbatasan langsung dengan India.


“Selama melayani penumpang, tentu ada suka dan dukanya. Saya merasa puas dalam bekerja karena penumpang tiba dengan selamat di kota tujuan,” sebutnya yang pernah menjadi Nahkoda KMP. BRR Lintasan Ulee Lheue (Kota Banda Aceh) – Pulau Weh (Kota Sabang) ini.


Capt. M.Noer, Nahkoda KMP. Aceh Hebat 1

Lelaki yang selalu ramah kepada siapa saja ini bergabung bersama ASDP sejak tahun 2009 silam. Setahun setelahnya, tepatnya tahun 2010 ia memulai karir menjadi nahkoda. Berbeda dengan pelayaran menuju Sabang, pelayaran 14 jam lamanya ke Calang-Sinabang (PP) harus melewati tantangan. Misalnya, ombak Samudera Hindia terkenal tinggi dan selalu menantang. Capt. Noer dibantu tim, di awal pelayaran, pertengahan, dan hingga tiba di kota tujuan selalu memastikan pelayaran berjalan semestinya sesuai prosedur yang telah ditetapkan.


“Ya karena pelayaran ini yang kita hadapi adalah gelombang tinggi ditambah alunnya pun sangat besar. Oleh karena itu, kita selalu mengimbang penumpang tidak berdekatan dengan pinggir reling kapal. Ini untuk mencegah penumpang jatuh ke laut,” sebutnya.


Dalam sebuah perjalanan bersama Capt. M. Noer tahun 2022 silam, saya menyaksikan sendiri ia terus berkomunikasi dengan ABK, baik yang berada di dek kapal ataupun di lokasi lainnya. Saat waktu azan tiba, ia pun langsung menyambangi pengeras suara kapal, lantunan azan magrib, isya, dan lainnya rutin ia kumandangkan sendiri. Sebuah ikhtiar kecil ini sejalan dengan transformation for growth-nya ASDP. Artinya, pemimpin memberi contoh langsung kepada bawahannya, bahwa siapa saja dapat berbuat untuk melayani.


“Mengapa saya bersedia menjadi nahkoda di bawah naungan PT. ASDP Indonesia Ferry ini? Karena saya bangga bisa bekerja pada salah satu perusahaan BUMN yang selalu memperhatikan kesejateraan karyawannya,” ungkap pria asal Kota Sabang ini.


Diantara banyak kemudahan bekerja di PT ASDP Indonesia Ferry adalah ia diberikan cuti reguler setiap tahunnya. Dan usai cuti, ia masih dapat bekerja kembali. Ini berbeda jauh dengan bekerja pada kapal pihak swasta. Ia baru dapat mengambil cuti, jika kontrak kerja telah selesai. Untuk itu pula, sejak tahun 2009 silam hingga sekarang, M.Noer masih sangat nyaman bekerja di PT. ASDP Indonesia Ferry. Oleh karenanya, ia pun punya harapan.


“Semoga kapal yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh ini dapat kita rawat bersama. Apalagi selama ini kerjasama PT. ASDP Indonesia Ferry bersama Pemerintah Aceh telah berjalan dengan baik. Ikhtiar ini, kedepannya dapat menjadi contoh bagi provinsi lain dalam mengelola kapal penyeberangan,” pungkas pria yang pernah bekerja pada kapal di Dubai sebagai chief officer ini.


Kisah-kisah Sigit dan Capt. M.Noer ini adalah kisah yang selalu hadir menginspirasi. Tentu saja, Sigit dan M.Noer tidak pernah bertemu dan tidak saling kenal. Tetapi, adanya KMP. Aceh Hebat 1 dengan PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero) sebagai operator kapalnya, telah menjadi penyambung risalah. Ini senada dengan semangat PT. ASDP Indonesia Ferry, ‘Bangga Menyatukan Nusantara’.(*)



*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba  ASDP Journalism Award 2025 dengan tema Cerita Kita, Cerita Indonesia pada Sub Tema "Cerita di Balik Perjalanan" kategori peserta kalangan media dan umum.


Rabu, 09 Juli 2025

Kerja Bersama Menghalau Asap Rokok

Rabu, Juli 09, 2025


Mengawali perkuliahan sebagai mahasiswa baru tahun 2010 silam, dosen saya di program studi Bimbingan Konseling, Dr. Hasballah M. Saad, bercerita tentang seorang pecandu alkohol yang berhasil berhenti setelah temannya memasukkan cicak mati ke dalam minumannya. Cerita ini mengajarkan kami, calon guru Bimbingan Konseling (BK), pentingnya strategi unik dalam mendekati konseli – personal yang menjalani layanan konseling –, terutama untuk masalah yang serius seperti kecanduan merokok. Terkadang, solusi yang efektif berasal dari ide-ide tak terduga yang mampu menyentuh sisi emosional konseli.


Merokok telah menjadi masalah serius di kalangan pelajar sejak lama. Saat saya masih duduk di bangku SD, banyak teman mulai merokok untuk menunjukkan ‘kedewasaan’ mereka. Ketika saya SMP, perayaan kelulusan bahkan diwarnai beberapa teman nekat menghisap ganja. Bahkan, dalam kondisi mabuk ganja, mereka sampai meminum air kamar mandi sekolah yang kotor. Kebiasaan pelajar merokok terjadi pula di jenjang pelajar SMA, rokok seolah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama saat jam istirahat.


Dua tahun lalu, jagat Twitter dihebohkan oleh video seorang gadis remaja di Aceh yang dengan terbuka merokok di warung kopi. Reaksi publik terbagi, namun lebih banyak yang mengecamnya karena merokok dianggap tidak pantas untuk perempuan. Padahal, masalah rokok seharusnya menjadi perhatian serius tanpa memandang jenis kelamin. Rokok membawa dampak buruk bagi siapa saja yang menghisapnya, terutama bagi perokok pasif, yang sering kali terkena dampak kesehatan meskipun mereka tidak merokok sendiri.


Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh berada di peringkat 14 nasional dalam persentase perokok pada penduduk usia 15 tahun ke atas. Data dari tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa angka ini hanya turun sedikit, dari 28.30% pada 2021 menjadi 27.58% pada 2022. Penurunan yang sangat minim ini menunjukkan bahwa masalah rokok masih jauh dari tuntas. Padahal, rokok merupakan salah satu faktor penyebab utama penyakit serius seperti kanker paru-paru dan penyakit jantung.


Saat ini, sangat mudah bagi remaja hingga orang dewasa untuk mendapatkan rokok. Di beberapa daerah, merokok bahkan menjadi bagian dari adat. Sebagai contoh, dalam tradisi mengundang tamu ke pesta pernikahan, sering kali tuan rumah menyuguhkan sebatang rokok sebelum menyampaikan undangan. Di pesta pernikahan sendiri, rokok kadang disajikan dalam jumlah besar kepada tamu, terutama anak-anak muda yang membantu acara.


Lembaga pendidikan, baik umum maupun agama, juga tidak luput dari masalah ini. Banyak guru yang masih merokok di lingkungan sekolah, bahkan di hadapan peserta didik mereka. Saya sendiri pernah mengalami hal ini ketika belajar di sebuah pesantren. Namun kondisi ini berbeda di Dayah Mudi Mesra Samalanga, di mana pimpinan pesantren, Abu Mudi, melarang tegas santri dan pengajar merokok. Abu Mudi menegaskan bahwa merokok tidak membawa manfaat apapun, dan bagi lembaga pendidikan agama, kebiasaan ini bisa mencoreng marwah institusi tersebut.


Langkah-langkah apa yang bisa diambil untuk menanggulangi masalah ini? Di lingkungan sekolah, kepala sekolah bisa menerapkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan melarang guru merokok di hadapan siswa. Selain itu, poster-poster yang menampilkan bahaya merokok bisa dipasang di seluruh area sekolah. Guru BK memiliki peran kunci dalam menyosialisasikan dampak buruk merokok melalui layanan informasi dan konseling. Mereka juga bisa menyediakan layanan konseling individu atau kelompok bagi siswa yang sudah kecanduan rokok atau yang masih coba-coba.


Layanan kunjungan rumah bisa dilakukan untuk mengetahui latar belakang siswa yang terlibat dalam merokok. Sering kali, kebiasaan ini bermula dari rumah, karena orang tua mereka juga perokok. Oleh karena itu, orang tua perlu diberi pemahaman agar mereka menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya.


Selain Guru BK, guru mata pelajaran agama juga bisa berkontribusi dengan mengajarkan hadis atau ayat Alquran yang relevan tentang bahaya merokok. Ini bisa membantu membentuk karakter siswa agar menjauhi rokok. Pimpinan lembaga pendidikan agama pun harus lebih tegas melarang rokok di lingkungan pesantren atau dayah.


Di luar sekolah, pemerintah gampong bisa memanfaatkan dana desa untuk mendanai program pencegahan merokok di kalangan remaja. Hingga kini, belum ada desa di Aceh yang memprioritaskan anggaran untuk program seperti Gampong Tanpa Rokok (GTR). Jika ada kepala desa yang berani memulai inisiatif ini, ia akan mendapat apresiasi luas karena telah mengambil langkah serius dalam menjaga kesehatan generasi muda di desanya.


Pemerintah daerah juga perlu menegakkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok dengan lebih serius. Iklan rokok di spanduk, baliho, atau acara-acara anak muda yang didanai perusahaan rokok harus dihentikan. Selain itu, kampus-kampus harus berani menolak beasiswa dari perusahaan rokok sebagai bentuk dukungan nyata terhadap upaya menekan angka perokok muda.


Media sosial bisa menjadi alat penting dalam kampanye anti-rokok. Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat bisa bekerja sama dengan influencer untuk membuat konten edukatif yang menarik bagi remaja. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga dapat mengeluarkan edaran bagi para dai dan khatib untuk menyisipkan pesan tentang bahaya merokok dalam ceramah mereka.


Berbagai strategi ini mungkin terlihat sulit diwujudkan. Namun, seperti kata Christopher Reeve, “Ketika kita memanggil kemauan, mimpi yang awalnya terlihat tidak mungkin akan menjadi kenyataan.” Mari kita bersama-sama wujudkan Aceh bebas rokok demi masa depan yang lebih sehat.(*)


Tulisan ini sudah terbit di Majalah Warta USK Edisi 297 Agustus 2024
Link publikasinya klik di sini


Rabu, 05 Maret 2025

Setia di Balik Kemudi: Kisah Cut Di, Sopir Labi-labi Seulimum

Rabu, Maret 05, 2025



Beberapa dari kita tentunya pernah menaiki angkutan umum sejenis Labi-labi yang hilir mudik membawa penumpang dari simpang jalan ke simpang jalan lainnya. Bahkan dari tiap sudut kampung hingga ke sudut perkotaan. Hari itu, Tarmizi yang sering disapa Cut Di, supir Labi-labi trayek Seulimum – Banda Aceh sedang duduk menunggu penumpang sembari ia juga mengobrol bersama rekan-rekannya sesama sopir Labi-labi.

Wajahnya tampak teduh, ia menyalami dan mempersilakan duduk. Dari Terminal Keudah, Kota Banda Aceh, Cut Di bercerita ia sudah lama menjadi sopir Labi-labi. Dimulai tahun 2000 hingga tahun 2004, ia menyupiri mobil milik orang lain.


“Alhamdulillah sejak tahun 2005 hingga sekarang, saya menyupiri mobil Labi-labi milik sendiri,” sebutnya.


Mobil bercorak putih dengan kursi dalamnya berwarna hitam, ia beli baru dari hasil pekerjaannya selama ini. Setiap hari, Cut Di sudah beranjak dari Pasar Seulimum, Aceh Besar mulai pukul 07.00 WIB dan tiba di Keudah, Banda Aceh pada pukul 08.30 WIB. Biasanya ia melayani penumpang yang beragam, misalnya pelajar, pekerja kantoran, masyarakat, dan sebagainya. Oleh teman-temannya, Cut Di saat ini ditunjuk sebagai Penasehat di Persatuan Supir Labi-labi Seulimum (PSL2S). Dalam perkumpulan ini, mereka mempunyai struktur lengkap sebagai entitas yang menyatukan mereka dalam komunitasnya. Sebab dalam perkumpulan ini, mereka mempunyai iuran wajib hingga mengatur pola kerja.



“Misalnya begini, semua supir lintasan kami wajib berkumpul di sini (Terminal Keudah), sehingga ada jarak sekitar 10-15 menit bagi tiap Labi-labi yang akan berangkat kembali,” sebut ayah empat anak ini.


Selama 25 tahun bekerja sebagai supir Labi-labi, menurutnya Labi-labi ini sudah ada di Aceh sejak era awal tahun 80-an. Sebutan Labi-labi dikarenakan jalanya lebih pelan, sehingga masyarakat teringat kepada reptil Labi-labi yang masih satu ordo dengan kura-kura. Anggapan ini pun bersebab, karena pengemudi mobil Labi-labi pada masa itu menunggu masyarakat di tiap persimpangan jalan. Apalagi, pada tahun-tahun tersebut belum banyak angkutan umum yang melayani masyarakat.


Cut Di juga melanjutkan, setiap mobil Labi-labi awalnya berbentuk pick-up, lalu dilakukan penyesuaian agar dapat menjadi angkutan umum. Di Banda Aceh sendiri, terdapat beberapa bengkel yang bisa menyesuaikannya, seperti di kawasan Lamteumen dan Peunayong. Hingga saat ini, mobil Labi-labi yang melayani trayek ini berjumlah sekitar 50-an.


“Namun terkadang tidak berjalan setiap hari, dikarenakan sedang diperbaiki, sopirnya sakit, atau yang sedang melayani sewa khusus misalnya membawa rombongan pengantin dan lainnya.”




Saat ditanyai kehadiran bus Trans Koetaradja yang telah melayani sejak tahun 2016 lalu, Cut Di juga menyampaikan pendapatnya. Ia menyebut bahwa, benar adanya Trans Koetaradja mengurangi jumlah penumpang Labi-labi.

Meskipun demikian, Cut Di berpendapat bahwa kehadiran Trans Koetaradja merupakan kebijakan pemerintah, maka perlu untuk didukung. Tentunya ada masyarakat yang mungkin lebih membutuhkan baik untuk aktivitas sekolah dan aktivitas sehari-hari.


“Kehadiran bus Trans Koetradja ini perlu kita lihat dari berbagai sudut. Tentunya ada masyarakat mungkin lebih membutuhkannya untuk aktivitas mereka,” pungkas Cut Di.


Sebuah stiker terpasang di dalam tempat duduk penumpang Lab-labi. Di sana terpampang tarif Labi-labi trayek Seulimum – Banda Aceh sebesar Rp. 20.000. Pada trayek ini melayani pula ke Lambaro, Sibreh, Indrapuri, Lampisang, dan sekitarnya.(*)


Baca tulisan lainnya:




Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."