Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Februari 2024

Topik 2 Koneksi Antar Materi - Pendidikan dan Nilai Sosial Budaya

Senin, Februari 05, 2024

Sekilas Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara, atau Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, merupakan tokoh pendidikan Indonesia yang memiliki pemikiran progresif dan revolusioner. Pemikirannya menekankan pentingnya pendidikan untuk semua, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Beliau memperjuangkan konsep "Taman Siswa" sebagai suatu sistem pendidikan yang mengakomodasi keberagaman dan mengutamakan pembelajaran praktis. Ki Hajar Dewantara juga menekankan pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk membentuk karakter, kepribadian, dan kemandirian siswa. Pemikirannya telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan sistem pendidikan di Indonesia, dan warisan filosofisnya terus menginspirasi perkembangan dunia pendidikan di tanah air.

Apa yang Anda percaya tentang peserta didik dan pembelajaran di kelas sebelum Anda  mempelajari topik ini?

Sebelum saya memahami topik ini, keyakinan saya adalah bahwa tiap peserta didik memiliki gaya belajar yang unik, dan pendekatan pembelajaran yang efektif harus mempertimbangkan keragaman tersebut. Saya juga meyakini bahwa suasana kelas yang inklusif dan mendukung dapat menginspirasi peserta didik untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Pada saat yang sama, saya mengakui peran krusial guru dalam membimbing, memotivasi, dan menciptakan lingkungan belajar yang positif. Meskipun demikian, saya menyadari bahwa pandangan ini dapat mengalami perkembangan dan penyempurnaan seiring dengan pemahaman lebih mendalam yang saya peroleh melalui pengalaman dan pengetahuan baru.

Apa yang berubah dari pemikiran atau perilaku Anda setelah mempelajari topik ini? 

Setelah mendalami pemikiran Ki Hajar Dewantara, terjadi perubahan mendasar dalam cara saya memandang dan mendekati pendidikan. Kini, pemahaman saya terhadap pentingnya pendidikan inklusif yang menghargai keberagaman individual peserta didik telah meningkat. Saya menjadi lebih sadar akan peran pendidikan sebagai alat pembentukan karakter, kepribadian, dan kemandirian siswa, sejalan dengan konsep "Taman Siswa" yang diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Perubahan ini juga melibatkan pengakuan akan signifikansi lingkungan kelas yang mendukung, memotivasi, dan memberikan inspirasi kepada peserta didik. Saya merasa termotivasi untuk mengaplikasikan nilai-nilai ini dalam konteks pendidikan modern, mengambil inspirasi dari warisan pemikiran Ki Hajar Dewantara untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih bermakna bagi setiap individu.


Apa yang dapat segera Anda terapkan lebih baik agar kelas Anda merefleksikan pemikiran KHD?

Untuk membuat kelas saya lebih seperti yang diinginkan Ki Hajar Dewantara, langkah pertama yang bisa saya lakukan adalah menerapkan pendekatan pendidikan yang memperhatikan keberagaman siswa. Ini mencakup penggunaan cara belajar yang berbeda-beda, memberikan kesempatan siswa untuk berbicara dan mengekspresikan diri, serta menghormati perbedaan di antara mereka. Selain itu, saya juga perlu menciptakan suasana kelas yang positif dan mendukung, seperti yang diinginkan oleh Ki Hajar Dewantara.

Langkah kedua adalah fokus pada pengembangan karakter dan kemandirian siswa. Hal ini bisa dilakukan dengan merancang kegiatan pembelajaran yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai moral, etika, dan keterampilan sosial. Dengan begitu, saya bisa membantu siswa menjadi pribadi yang baik dan mandiri.

Selain itu, saya juga bisa mendorong partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran dengan memberikan mereka kesempatan untuk berbicara dan berdiskusi di kelas. Dengan cara ini, kelas akan lebih hidup dan menyenangkan, dan siswa akan lebih termotivasi untuk belajar.

Terakhir, saya perlu terus belajar dan memahami lebih dalam konsep "Taman Siswa" dan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Ini akan membantu saya mengintegrasikan prinsip-prinsip ini ke dalam pengajaran saya dengan lebih baik.(*)

Senin, 03 Desember 2018

Membedah Cerpen Guntur Alam 'Kue Itu Memakan Ayahku'

Senin, Desember 03, 2018

Ilustrasi Cerpen Koran Kompas edisi Minggu 5 Maret 2018 karya Amrizal Salayan

Kali ini berbeda. Guntur Alam (GA) punya latar cerita lain pada cerpen Kue Itu Memakan Ayahku, dimuat KOMPAS (4/3/2018). Biasanya GA menulis cerpen dengan kisah kehidupan adat masyarakat, terutama latar masyarakat Sumatera Selatan, tempat GA lahir.

Cerpen Kue Itu Memakan Ayahku menarik dibaca semua kalangan, terutama keluarga, pimpinan kantor, bahkan wajib bagi politisi! Dalam cerpen ini, GA nampaknya menisbatkan kue sebagai anggaran. Tokoh utama yang bertindak sebagai Ayah adalah akuntan, tapi sayang, di kantornya dia hanya menjadi pemotong kue.

Ayah bercerita kepada anaknya, kalau dia sangat menyukai kue buatan ibunya. Terutama kue bolu nanas. Namun, istrinya tidak bisa membuat kue senikmat buatan ibunya. Si Ayah bergeming. Bahkan Ayah yang awalnya menyukai kue, akhirnya takut untuk memakanya. Dengan dalih dia takut kalau kue itu akan balik memakannya.

Saya melihat bahwa, diksi kue ingin dinisbatkan GA tidak hanya kue dalam bentuk uang, tapi memang nyata kue asli. Si Ayah yang ahli memotong kue di kantor, ketika berhadapan dengan kue asli di rumah, jadinya takut. Sebab pada kalimat “Bahkan kue yang ayah potong-potong di kantor itu telah membunuh banyak orang.”

Jika kue ini dianggap sebagai anggaran dewan, pembagian jatah sesuai asas keadilan menurut versi mereka. Semua punya kepentingan. Seolah punya hak leluasa dalam memotong dan memilah anggaran. Jika salah potong, menyengsarakan rakyat jelata yang tak lagi jelita. Contohnya, sekolah rusak, rumah ibadah terbengkalai, fasilitas kesehatan mengkhawatirkan, kemiskinan bertambah tiap tahun, pengangguran apalagi. Ini semua adalah eses dari potongan kue anggaran yang kacau.

Pada kalimat “Kulihat wajah Ayah, bola matanya telah hilang. Kepalanya terbelah, otaknya kosong. Kulihat dadanya. Ada bolong besar. Jantung dan hatinya telah raib.” Nampaknya GA ingin mengatakan bahwa, jangan salah dalam memotong kue anggaran. Ini akan berimbas pada hilangnya akal budi, pandangan mata melupakan kepetingan rakyat kecil, dan tak lagi berhati-hati memakai hatinya, artinya si Ayah tak punya hati!

Selain itu, kalimat di atas dapat dimaknai pula kalau orang yang hidup dalam kenikmatan sesaat, meraup kesenangan pribadi, ujungnya sebelum dia mati, biasanya akan dihinggapi penyakit. Bisa saja geger otak, kanker hati, mata katarak, atau bahkan serangan jantung!

Di lain kondisi, si Ayah sebenarnya sudah tak tahan lagi dengan kondisinya sebagai pemotong kue. Dia merasa menjadi alat orang lain bagi anak dan istrinya. Dulunya apa pun bisa diceritakan di meja makan. Kini ayah berbeda. Terutama saat cerita rumah sekolah ambruk yang baru di bangun setahun lalu. Si Anak terheran-heran, apa pasal kue yang dipotong Ayah bisa menyebabkan sekolah ambruk. “Itu karena kue yang ayah potong-potong”, lalu dilanjutkannya dengan kalimat “Kelak, kalau kau sudah besar akan paham.”

Kita tentu tahu, rumah sekolah baru dibangun lalu roboh lantaran material bagunan yang dipakai bukan material semestinya. Apalagi, ada banyak kasus korupsi menjerat pencuri uang negara akhirnya terpenjara, karena memainkan anggaran pembangunan gedung sekolah, salah satunya.

GA berhasil memainkan perannya dalam hal semisal pemotong kue lalu digambarkan sebagai pelaku korupsi. Meski GA sendiri tak satupun menyebut kata korupsi dalam cerpennya. Dibumbui dengan tanda tanya (?) di tiap adegan, membuat orang makin bertanya-tanya ke mana maksud tujuan cerpen ini.

Betapa pun cerpen ini berhasil memainkan isu, di paragraf kedua, GA nampaknya keliru menuliskan kata ‘fotocopy’. Padahal dalam Panduan Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) jelas-jelas kata baku adalah ‘fotokopi. Pada paragraf delapan, kalimat ini kurang logis “Mula-mula, kue itu memakan otak ayah. Kemudian mata, lidah dan mulut.” Kalimat ini diutarakan si Ayah kepada anaknya. Bagi saya, GA tidak berhasil mencerminkan kalimat logis. Sebab, mana mungkin orang yang sudah tak memiliki otak masih dapat hidup. Tanpa lidah dan mulut bagaimana si Ayah berbicara dengan anaknya.

Cerpen dengan latar korupsi layak punya tempat. Indonesia negara besar, seolah menjadi pejabat negara, tanpa mencuri uangnya adalah hal tabu. Maka berbondong-bondong politisi maupun calon politisi memakan kue potongan itu. tak penting kue itu dari mana, asal kenyang selesai perkara. Masih mau makan kue anggaran?

Selasa, 15 Agustus 2017

Kita Membaca, Kita Merdeka

Selasa, Agustus 15, 2017

Dicetuskannnya Agustus menjadi Bulan Kemerdekaan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, adalah keputusan yang bagus. Bahagianya mendengar bulan ini menjadi Bulan Kemerdekaan. Saya yang besar dan lahir di Aceh, mulai merasakan kemederkaan sejak lahir. Pun demikian, hal ini tidak serta merta merdeka ketika beranjak memasuki sekolah dasar. Perseteruan GAM dengan RI membuat akses kami kacau. Konflik militer itu telah membuat sipil hilang hak yang sebenarnya. Dulu, ketika konflik terjadi, saya sekeluarga harus tiarap menghindari kontak senjata. Ditambah kecamuk psikologis, sungguh menganggu jiwa saya. Kini, sejak 15 Agustus 2005, GAM dengan Pemerintah Indonesia telah berdamai. Dua hari selanjutnya di tahun yang sama, kami merayakan 17 Agustus dengan penuh kebahagian, hingga kini.

Maka wajar, bulan Agustus, tepat sekali menjadi Bulan Kemerdekaan. Satu sisi kami telah merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang sejak 1945. Kini pun kami telah ‘merdeka’ dari yang namanya konflik senjata. Lalu, ketika telah mendapatkan dua momen merdeka di Bulan Kemerdekaan, apakah kami selamanya euforia dengan capaian tersebut? Ternyata tidak! Pekerajaan Rumah (PR) besar menanti segenap elemen yang hidup di Aceh. Tugasnya adalah apakah kami sanggup merawat perdamaian ini?

Ketika terpilihnya Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh untuk kedua kalinya, yang nampak pada masyarakat adalah semangat hadirnya kembali wujud cinta damai. Ini dibuktikan dengan Pilkada Aceh 2017 adalah Pilkada paling damai, dibandingkan Pilkada 2012 silam yang merenggut nyawa masyarakat sipil. Masyarakat kini mulai sadar, untuk membenahi suatu daerah, perlu partisipasi semua pihak. Ada hal baru yang ditawarkan Irwandi, misalnya memberikan bantuan rumah kepada dhuafa dan anak yatim bersumber dana dari donatur. Padahal, dana tersebut awalnya akan digunakan untuk merayakan terpilihnya Irwandi sebagai Gubernur Aceh periode 2017-2022. Program kerja politiknya sejalan dengan Presiden Jokowi. Jika sang presiden mengusung jargon Indonesia Hebat, maka sang gubernur – yang memiliki pesawat itu – mengusung jargon  Aceh Hebat.


Melihat keseriusan dua tokoh politik ini, ada kesamaan visi di antara keduanya. Indonesia ini sungguh luas, memiliki kehidupan majemuk yang luar biasa. Tanpa adanya kesinambungan bersama, tentu program-program nasional takkan berjalan tanpa ada dukungan oleh regional.

Mengubah Indonesia, dapat dimulai dari mana pun. Salah satunya Aceh. Wilayah bekas kerajaan itu sebagai provinsi paling ujung, memiliki PR besar setelah 12 tahun mendapatkan kemerdekaan. Usia tersebut memasuki usia remaja. Tantangan di depan perlu mendapatkan perhatian bersama. Bangsa yang besar, akan mampu mengubah tatanan kehidupan masyarakatnya.

Sungguh miris saat melihat data pada tahun 2016, persentase minat baca masyarakat Indonesia untuk dunia pada angka 0,0001%. Jika Soekarno masih hidup, tentu beliau akan sangat sedih. Seolah tak ada manfaatnya usaha beliau mengurangi buta aksara di masa itu yang bahkan mendapatkan pujian dunia. Status facebook Reza Idria – mahasiswa doktoral Harvard University – beberapa waktu lalu mengatakan sangat senang melihat orang yang membaca, karena menurutnya orang yang seperti itu sangat langka!

Kota Banda Aceh yang menjadi ibukota Provinsi Aceh mestinya menjadi ujung tombak dimulainya kebudayaan baru. Sebab itulah, mengutip pernyataan Ridwan Kamil “Anak muda bukan mencaci maki, tapi memberi solusi”, nampaknya harus diamini dengan baik oleh anak muda Aceh. Kebiasaan nongkrong di warung kopi yang menurut pantaun saya hanya mampu melahirkan debat kusir malah menjadi bahan diskusi omong kosong belaka. Berbeda ketika diskusi tersebut dibumbui dengan hasil bacaan masing-masing. Tentu ini menjadi budaya baru dalam melahirkan generasi emas Indonesia. Orang-orang akan berubah dengan kecerdasannya. Akan peka terhadap situasi sosial, semakin banyak membaca, ide-ide kreatif aka muncul, hoax akan kabur!



Indonesia kini telah berusia 72 Tahun, apa pantas selamanya kita mengutuk kegelapan, tanpa berupaya menghidupkan titik terang untuk membenahi nusantara? Indonesia Kerja Bersama yang menjadi tema merayakan kemerdekaan Indonesia 72 tahun, salah satunya adalah kerja bersama mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai sumbangsih yang nyata untuk negara. Mulai kurangi penggunaan gawai yang berlebih, saatnya kita membaca, mengajak orang-orang minat membaca. Dengan begini, kerja-kerja kebangsaan akan membuahkan hasil yang nyata, untuk perubahan bersama, agar Indonesia benar-benar bercahaya. []

*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba "Flash Blogging 72 Tahun RI, Indonesia Kerja Bersama" yang diadakan oleh Direktorat Kemitraan Komunikasi, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi

Jumat, 07 April 2017

Field Trip Project Asia: Benda Bekas yang Membekas

Jumat, April 07, 2017
Pas ketika saya memarkirkan sepeda motor, selang menit sebelumnya Idrus Bin Harun telah duluan tiba. Saya disambutnya. Bersamanya, saya diajak menuju ke ruang pameran bertajuk Field Trip Project Asia. Dalam perjalanan itu, lelaki pegiat di Kanot Bu itu membeberkan bahwa, salah seorang seniman, sehari sebelumya agak kepanasan berada di ruang lantai 2 Museum Tsunami Aceh itu saat mempersiapkan pamerannya. “Kayaknya, dia kepanasan lantaran gak ada celah angin masuk ke ruang itu,” sebutnya sambil lalu. Pria yang kerap disapa Idrus itu, berkesempatan mempresentasikan hasil karyanya yang diberi nama Bikin Rumah-Rumahan. Instalasi ini – tentu jauh hari sebelum perhelatan seni ini yang diikuti seniman mancanegara – idrus pastinya sibuk memikirkan konsepnya.


















Di kesempatan itu, Idrus menyebut proses Bikin Rumah-Rumahan ini mewakili ingatan tentang betapa terkurasnya energi kita membereskan Aceh.

Saya agak heran awalnya, kenapa Idrus membuat instalasinya dengan atap setengah? Terkesan rumah itu tak siap. Gergajinya pun diletakkan begitu saja, rumah itu nampak tak terawat, hal ini terbaca lantaran ada dedaunan yang jatuh di lantai. Sungguh rumah tak siap jadi!

Idrus komat-kamit menjelaskan produk instalasi seninya yang diberi nama Bikin Rumah-Rumahan
Idrus mengatakan Bikin Rumah-Rumahan adalah upaya pembangunan kembali rumah tinggal paska tsunami, walau terengah-engah menyelesaikannya karena pemegang proyek nakal, rehab-rekon suskes mengubah wajah Aceh. Olehnya, dia menyebut, di masa itu, pemerintah, di beberapa tempat yang dilanda bencana tsunami, pembangunan rumah asal-asalan.

Banyak pemegang proyek baik kontraktor hingga pihak terkait bermain celah mendapatkan ‘uang lebih’ dari tiap per rumah yang dibangun. Maka pun jelas kini, temuan rumah yang dibangun dengan material yang tidak sesuai standar, jadilah ‘Rumah-Rumahan’. Terma ini sejalan dengan masa kecil kita. Saat bermain ‘Rumah-Rumahan’, anak-anak tidak seserius itu membikin rumah seperti halnya arsitektur mengkonsep tiap rumah mewah. Selepas dibuat batasnya dengan tanah, selepas itu pula dirusak kembali baik oleh tangannya, maupun kaki ayam hingga bebek. Barangkali, begini pula kejadian rehab-rekon. Jika disingkat, Bikin Rumah-Rumahan ini jadilah BRR. Kayaknya Idrus ingin menyinggung Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), yang baginya belum maksimal dalam bekerja untuk kepentingan para korban tsunami Aceh.

Salah satu kurator pendamping Field Trip Project Asia, Daisuke Takeya, menyebut kegiatan ini terilhami karena biasanya materi tentang bencana acapkali berat diperbincangkan. Olehnya, dia memanfaatkan tas sekolah bekas yang penuh dengan ragam memori saat gempa Jepang 2011 silam.
“Bagi anak-anak Jepang, tas-tas ini selalu tergambarkan berat dan meletihkan. Penuh buku dan peralatan sekolah. Namun, dalam pameran ini, tas-tas ini telah diubah menjadi ringat dan menyenangkan. Merawat memori untuk melangkah ke depan”, begitu tulis  Titou dalam spanduk pameran itu.

Pameran yang diadakan di lantai 2 gedung Museum Tsunami Aceh itu, ternyata benar seperti yang tercantum dalam spanduk. Daisuke turut memperkenalkan seni instalasinya. Dia mengubah dan menambah sayap pada tas. Bukan produk seni itu yang utama sebenarnya. Pria Jepang yang kini menetap di Kanada itu mengatakan, tas bersayap ini dimaksudkan jika ada orang yang ingin menggunakannya, apalagi untuk anak-anak, diharuskan adanya bantuan orang dewasa. Untuk keluarga, seni ini sangatlah bagus, interaksi luar biasa akan tercipta antara ayah/ibu dengan anak-anaknya.

Pengunjung sedang mencoba produk instalasi Daisuke
Bersebelahan dengan tas ubahan itu, di sampingnya juga ada tas yang dijejerkan pada batang kayu pada kedua ujungya. Jika ingin seimbang, harus ada dua orang memakai tas tersebut ditiap ujungnya, agar seimbang. Lagi-lagi, interaksi tercipta dari karya seni ini. Belum lagi ada tas yang dilengkapi dengan seperti sayap capung. Ada tas yang perlu diputar, agar kita mampu membaca setiap alur ceritanya.

Field Trip Project Asia sedianya telah mengubah benda-benda yang tak ternilai, menjadi penuh makna dan ragam manfaatnya. Ada banyak cara menghadirkan orang-orang untuk saling berbicara, bersosial, di tengah gempuran kaum gawai yang sudah menggerogoti ruang diskusi kita akhir-akhir ini. Pun seni adalah jembatan membawa orang-orang untuk hidup dalam keindahan, belajar pada benda-benda yang tak terpakai di awal membawa kesan berlebih. []

Selasa, 14 Februari 2017

Empat Penulis yang Melawan

Selasa, Februari 14, 2017

Saat mengunjungi kosan saudara kandung saya, di pertengahan tahun 2010 lalu. Di muka pintu kamarnya, saya memperhatikan kata-kata yang sangat menarik dan berisi. “Ketika pers dibungkam, sastra harus bicara”, saya menatap dengan lamat. Penggalan kalimat ini – selaku awam sastra masa itu – memberikan pencerahan bahwa, ternyata ada jalan lain ketika dunia jurnalistik bisa dilawan oleh pemerintahan. Saya yang besar dalam dunia konflik Aceh sedang berkecamuknya, tentu dengan kalimat itu menelisik batin dan pikiran saya untuk mengenal sastra lebih dalam.

Hingga tahun-tahun kemudian, saya baru tahu ternyata, kalimat itu diutarakan Seno Gumira Adjidarma (SGA) semasa konflik Timor-Timor – sekarang menjadi negara Timor Leste – pada dekade 1990-an. Oleh SGA, pikirannya itu kemudian dibukukan dengan gubahan judul menjadi “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Sialnya, saya belum membaca bukunya. Dan bisa jadi, minat baca orang Indonesia – yang 0,01 % itu di tingkatan dunia – sayalah salah satu penyebab kemundurannya.

Cerpen SGA yang berjudul “Pelajaran Mengarang” karyanya mengkritik sistem pendidikan kita yang kaku dan terkesan melahirkan pelajar robot. Cerpen ini membuat pikiran Sandra – yang dijadikan SGA objek utama cerita dan siswa SD berusia 10 tahun – terhambat topik yang diberikan gurunya, tidak diberikan kebebasan berpikir. Hingga kini, ternyata kondisi pendidikan kita pun masih sama! Anak-anak sejak dari SD hingga SMA ‘dipaksa’ menelan semua ilmu mata pelajaran. Selain itu, dalam cerpen ini turut diutarakan kondisi keluarga masyarakat urban. Karena kondisi entitas sosial negara, membuat orang tua Sandra mencari profesi yang gampangan dan akibatnya Sandra menjadi pelampiasan kemarahan keluarganya dengan kata-kata tak baik.

Jauh, jauh sebelum Seno mengkritik pemerintah lewat kata-katanya. Adalah Pramoedya Ananta Toer – satu-satunya putra bangsa Indonesia sebagai nominator peraih hadial nobel sastra. Olehnya, rezim Orde Baru Soeharto dibuat kalut lantaran karya Pram dianggap masih berbau rezim Orde Lama Seokarno. Pram diungsikan ke Pulau Buru dan karyanya dibakar rezim, begitu menyakitkan! Aksesnya ke media, usai pergulatan 1965 dibungkam. Media semacam kertas sak semen disimpannya dengan baik, disanalah seluruh karya Pram di Pulau Buru lahir. Salah satunya novel roman “Bumi Manusia”. 

Ketika ke Batam 2015 silam, saya cepat-cepat ke sebuah toko buku ternama, mencari buku itu. Dan dekade akhir 2016, saya hampir saja menyelesaikannya. Jika boleh dikata, novel roman ini menunjukkan perbedaan kelas pribumi dengan non-pribumi – sebut saja orang Eropa. Namun, saya tidak memandang bahwa ini perbedaan soal kebangsaan saja, tetapi dalam konteks masyarakat Indonesia kekinian, hingga kinipun, rasanya pemerintah masih abai soal status perbedaan antara si kaya dengan si miskin. Masyarakat kita pun sama saja, saat melihat orang berbaju perlente, rapi, mempunyai mobil akan memberikan perhatian dengan begitu dilebih-lebihkan. Sementara saat masyarakat miskin menjumpainya, mereka akan dilihat dengan ujung mata dan sering dianggap sebagai peminta-peminta. Lagi-lagi, ada yang salah dalam pendidikan kita. Hingga usai jatuhnya rezim Soeharto, Pram baru benar-benar punya ruang untuk menulis. Dia mampu menjadi inspirasi penulis pemula dalam tiap karya mereka.

“Setiap masa punya tokoh, setiap tokoh punya masanya”, kalimat ini pun menjadi dasar mengapa Pram dikenal masa itu hingga kini. Pun demikian, sebelum masa Pram, tersebutlah Soe Hok Gie, penulis kawakan yang menulis kritis dan pedas terhadap rezim Orde Lama, Soekarno. Tulisan-tulisannya hingga kini telah dibukukan. Sebut saja Catatan Sang Demonstran  yang femomenal itu.

Gie tidak menyukai sikap pemimpin yang cenderung menikmati kesenangan pribadi dan menyepelekan kepentingan kaum lemah. Oleh Gie, dalam tulisannya dia menyebut bahwa, Soekarno dengan senangnya menikmati setiap kemewahan istana bersama istri-istrinya yang cantik-cantik. Sementara itu, beberapa kilometer dari istana, orang-orang kelaparan. Hal inilah yang membuat Gie berang dan membuat aksi menentang Soekarno. Mereka melawan tidak hanya untuk unsur kenaikan harga bensin, namun melawan rezim yang seolah mempunya kuasa atas ‘nyawa’ seluruh rakyat Indonesia. Gie menulis dengan apik setiap karya-karyanya.

Benar, tak salah rasanya, cerita yang berlatar kemanusiaan selalu asik dikaji. Barangkali jika boleh dikata, keseriusan yang dilakukan Gie juga sebenarnya dilakukan oleh penulis novel berlatar konflik Aceh. Sebutlah novel ‘Bidadari Hitam’ karya T.I. Thamrin, putra Aceh yang membuka mata siapa saja tentang kejamnya penyiksaan di Rumoh Geudong. Ketika saya membacanya, rasa ngeri begitu kentara dalam isi novelnya. Dia menulis dengan gaya jurnalistik, novel ini membuat siapapun bergidik. Hingga kini, kasus kekerasan ini tidak pernah dituntaskan!

Jika saya hanya merangkum nama penulis di atas, abai rasanya terhadap penulis lainnya. Masih banyak penulis kawakan yang menulis tentang kejahatan terhadap kemanusian. Namun, kesan itu semua apakah hanya berhenti dalam setiap kata saja? Lantas tak ada bukti nyata, asal-asalan penulis itu? Kiranya kita selaku orang Indonesia memang harus memperbanyak membaca daripada mengomentari sesuatu. Orang-orang ini bergerak melawan rezim dengan kata-kata. Sungguh bahaya jika pemerintah mengganggap ini petaka bagi negara, lalu membredelnya. Kita, kata, dan kuasa-Nya, saya yakin dengan baik bahwa kata-kata masih punya tempat di hati rakyat Indonesia. []

Rabu, 01 Juni 2016

Damai Bersama Kutu

Rabu, Juni 01, 2016

Memori saya berputar saat membaca cerpen Kutu karya Fuady S Keulayu, dimuat Serambi Indonesia (14/3/2016). Cerpen Kutu mengingatkan saya pada novel Bidadari Hitam (Imparsial-AJMI, 2008) karya T.I. Thamrin. Ide utama novel Bidadari Hitam juga mengangkat cerita tentang tragedi Rumoh Geudong. Cerpen Kutu dan novel Bidadari Hitam berjarak sekitar 8 tahun.
Cerpen Kutu diawali tatkala seorang anak kecil - berumur 10 tahun dan sering nongkrong ngopi dengan orang-orang dewasa - mulai takut ke pasar saat mengetahui ada dua mayat ditemukan terpisah. Anak itu menyaksikan langsung kedua mayat sebelum ditutup daun pisang oleh warga.
Rumor yang beredar membuat anak itu takut: bahwa dua mayat ini mati karena kutu. Di Aceh, jika seseorang anak berkutu, konon dia akan diterbangkan ke gunung.
Jika mengamati kalimat “Saat Ibu mencabut kalender, seekor cicak yang bersembunyi di baliknya melarikan diri masuk ke celah loteng”, dalam kebiasaan tutur bahasa keseharian orang Aceh, agaknya Fuady ingin mengisahkan bahwa cicak tersebut sebagai istilah cicak puteh yang dianggap sebagai manusia yang suka menyebar gosip. Sepertinya, Fuadi ingin mendekatkan cicak tersebut dengan istilah cuak, karena pada masa konflik istilah cuak menguat di tengah masyarakat karena suka memberi informasi keberadaan pihak GAM kepada TNI.
“Walaupun pernah kudengar dari orang pasar bahwa kutu pernah menciptakan banyak korban di Kampung Utara lima tahun silam”, jika maksud Fuadi mengenai ‘Kampung Utara’ sebagai Aceh Utara, maka Fuadi sedang membuka memoar tragedi Simpang KKA. Tapi, jika menyimak penggalan kalimat “lima tahun silam” dan kita gabungkan dengan umur si aku saat cerita ini ditulis, artinya latar cerita ini terjadi pada tahun 2008. Ditambah pada paragraf berikutnya pengarang menyebutkan ayah aku juga hilang dibawa kutu pada 21 Oktober 1999, saat itu aku baru berumur 1 tahun. Jika 2008 dikurangkan lima tahun belakang yang kejadian di Kampung Utara tadi, maka kasusnya bukan simpang KKA, tetapi diterapkannya status Darurat Militer (DM) yang banyak merenggut nyawa warga sipil.
Dengan alur maju mundur, ada yang kurang menarik pada cerpen ini, yakni saat pengarang mengisahkan latar kehidupan Pawang Lem, Kak Sam dan Syik Insyah sebelum mereka diterbangkan oleh kutu. Jika bagian ini tidak ada, maka ritme cerpen akan semakin menarik, karena pembaca dibawa memasuki konflik cerita. Tapi, saat dimasukkan tiga karakter tokoh pembantu tadi, pembacaan saya menjadi buyar dan kehiangan fokus kepada tokoh utama.
Pada paragraf terakhir, kutu mulai masuk ke kampung. Mereka masuk ke rumah penduduk. “Kata orang mereka mencari lawannya. Ada kutu lain yang menjadi musuh mereka bersembunyi di kampung kami” di kalimat ini, rupaya ada kutu lain yang menyerang kutu sebelumnya. Di sini saya baru ngeh rupanya, maksud dari kutu adalah tentara dari dua belah pihak di masa konflik.
Jika memperhatikan kalimat sambungannya “Seperti tentara merazia orang yang dicurigai” harusnya kalimat ini tidak ditulis. Akan menarik jika pembaca menerka sendiri, siapa sebenarnya yang menjadi simbol kutu tersebut. Secara langsung, penulis telah membuka kesempatan bagi pembaca mengetahui langsung bahwa kutu adalah tentara.
Kini kutu telah hilang saat merpati putih mengusirnya. Agaknya Fuadi ingin mengatakan bahwa, dua kutu yang berseberangan tadi telah berdamai, yaitu GAM dan TNI. MoU Perdamaian yang ditandatangani 15 Agustus 2005 yang sering dikaitkan dengan burung merpati sebagai lambang perdamaian. Kini pasar kembali ramai, orang makin mudah bergaul sesama, tak adalagi bayang-bayang kutu. Rumoh Geudong yang menjadi sarang kutu tadi telah dibakar. Secara gamblang, jika mendengar Rumoh Geudong, tentu kita mengingat penyiksaan yang tidak manusiawi, wanita yang dihancurkan kehormatannya, hingga banyak anak yatim piatu tak tahu ayahnya kemana, hingga sekarang!
Jika ada cerpen seperti Kutu, tentu akan semakin menarik mencermati cerpen-cerpen bertema konflik setelah hampir satu dekade lebih perdamaian di Aceh.
* Muarrief Rahmat M Salda, Pegiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Banda Aceh; Inisiator Kelompok Kajian Sastra di PII Aceh

Kamis, 02 Agustus 2012

Kurikulum Dayah untuk Sekolah, Apa Bisa?

Kamis, Agustus 02, 2012
almuhajirintiga.wordpress.com
Melihat berbagai tatanan kehidupan yang pada periode akhir-akhir ini semakin kacau saja. Mengajak saya untuk ikut ambil bicara dalam upaya yang telah terjadi yang sangat-sangat tidak bertitik tolak pada keadaan sebenarnya berdasarkan pada norma-norma yang telah ada. Setiap kita menginginkan perubahan yang lebih baik dan fleksibelnya adalah kita mampu menjadikannya sebagai pendekatan pencarian suatu kualitas sistem pendidikan yang berakhlak mulia. Pendidikan mengupayakan agar mampu memanusiakan manusia kepada taraf insani kehidupannya dimata manusia yang lain. Menjadikan manusia ini lebih dihargai dan berderajat tinggi dengan ilmunya dan tanpa kesombongan yang telah nyata yang ada pada manusia-manusia yang egois. Pendidikan akan berakibat fatal pada terpenuhinya keilmuan dari pendidikan kepada manusia yang sebenarnya manusia, karena manusia itu sendiri adalah fitrah.
            Islam telah mengajak manusia kepada jalan kesejahteraan  di dunia dan di akhirat. Tentunya salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan tersebut adalah dengan adanya pendidikan. Ketika islam dijadikan sebagai tolak ukur pondasi pendidikan, maka akan terlaksananya pendidikan yang sejahtera dan beradab mulia bagi tumbuhnya para peserta didik yang masih belum mencapai suatu keselarasan akhlak. Pendidikan adalah pembangunan yang sejatinya membutuhkan keinginan kuat untuk pencapaiann kesejahteraan itu sendiri dengan pembangunan sikap dan mental individu.
            Sistem pendidikan yang ada sekarang ini tidaklah berupaya menjadikan para peserta didik ke arah yang diinginkan. Banyak sudah kasus-kasus yang menimpa peserta didik kepada arah kegelapan yang nyata di sekitar kita. Aksi-aksi brutal dari peserta didik baik siswa maupun mahasiswa, memberikan suatu contoh bahwa pendidikan sekarang ini sudah salah kaprah dan terisolir dari garis yang telah disusun. Perbuatan mesum, judi, narkoba dan lainnya adalah telah sangat lazim bagi dunia  peserta didik kita. Kini semua terjadi karena pengawasan orang tua yang terlalu membiarkan putra-putrinya untuk ambil bagian dalam kejadian ini. Lebih-lebih bila mana ada guru yang mengajak siswanya untuk saling berpacaran agar katanya saling tumbuh motivasi terhadap minat belajar. Padahal ini sudah di luar nalar pribadi kita sebagai seorang muslim yang berakhlakul karimah. Bahkan lebih dari itu gurunya pun ikut andil dalam berbuat mesum dengan siswinya. Yang pemahamannya atas dasar suka sama suka. Padahal pacaran yang baik itu adalah setelah menikah. Kita akan merasakan kelezatan yang seimbang karena sudah halal bagi kita. Inilah hal-hal yang menjadikan kemerosotan dunia pendidikan kita sekarang ini.
            Sebenarnya tatanan sistem pendidikan di dayah-dayah bisa dijadikan sebuah tolak ukur sebuah keberhasilan dalam mendidik manusia berilmu dan beramal cerdas. Sitem pendidikan dayah kiranya perlu diterapkan di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi. Yang mana memisahkan anatara laki-laki dengan perempuan dalam berpendidikannya. Seperti memisahkan tempat belajar santri yang mana dengan demikian para santri laki-laki maupun santri perempuan akan lebih fokus untuk belajar dikarenakan fokus utama mereka adalah belajar bukan fokus kepada para perempuan saling memandang dan menatap.
            Memisahkan di sini dapat ada dan diterapkan pada pemisahan gedung belajar anatara siswa dengan siswi. Tak hanya sarana gedung yang perlu kiranya dipisahkan sebenarnya, tapi ketika mereka berangkat ke sekolah pun dengan berbagai jenis transportasi umum, semisal angkot, bus sekolah maupun jenis alat trasnporatsi lainnya. Pemerintah perlu menentukan bus mana yang dikhususkan untuk siswa dan bus mana yang untuk siswi. Jadi, mereka tidak sama-sama berbaur dalam satu alat transportasi manapun. Bila ini tidak diterapkan maka tunggu saja aksi pelecehan seksual terhadap siswa perempuan. Inikan hal yang tidak diinginkan oleh siswa perempuan manapun di dunia ini, kecuali memang dia sendiri sudah nakal. Kan menjaga kehormatan. Maka, wahai perempuan selama hal itu masih tertanam dengan benar pada diri kalian jangan kalian gunakan hal tersebut untuk merusakkan dirimu sendiri hanya untuk kepentingan sesaat saja. Pakaian yang kalian gunakan pun mencerminkan pribadi kalian terhadap sisi sosial maupun agama yang kita anut. Mengenai pakaian ini sangat afdhal bila penerapannya seirama dengan dendangan anjuran syariah islam. Ketika pakaian seragam sekolah terkesan terbuka, maka akan menghilangkan sedikit banyak konsentrasi laki-laki menurun. Inilah efek yang menyebabkan akhir-akhir ini siswa laki-laki di sekolah sedikit menurun sistem prestasi belajarnya. Seperti halnya dengan penggunaan pakaian olah raga bagi siswa perempuan haruslah sesuai dengan tatanan aturan menutup aurat yang islami. Karena sekarang ini yang terjadi adalah para siswi disuruh tetap memakai pakaian olah raga tersebut seperti celana panjang yang menampakkan lekuk indah tubuh mereka. Bayangkan saja apa yang dirasakan oleh para guru laki-laki khususnya guru olahraga tersebut. Apalagi kalau bapak guru tersebut masih berstatus lajang. Memungkinkan si bapak  guru tersebut merasakan sesuatu hal ikhwal yang tak ingin dia rasakan terhadap siswi-siswinya, namun rasa-rasanya hal itu tak terpungkiri lagi. Nah, ini yang terlampau miris  yang sedang terjadi pada dunia pendidikan kita. Ini tak boleh menunjukkan sebagai sebuah mega sinetron yang bersambung yang memperlihatkan episode sebelumnya. Pendidikan seperti ini tidak memungkinkan lagi untuk kita perjuangkan dan laksanakan yang telah aslinya merusak citra seorang muslimah kita. Para siswi haruslah sudah sadar benar posisinya sekarang dan jenis kelamin apa yang telah ditakdirkan pada dirinya.
            Pendidikan di dayah mengupayakan menjadikan pedoman pendidikan yang islami. Dimana para santri-santri diajarkan berbagai keahlian baik ilmu tauhid, fiqih, tasawuf dan bahkan sebagian dayah telah menerapkan pendidikan umum bagi penyesuaian dengan zaman globalisasi. Merujuk pada salah satu hadist Rasulullah yang intinya adalah kita harus mengajarkan anak didik kita sesuai dengan zaman dia hidup, bukan mengajarkan mereka dengan pada zaman kita belajar sebelumnya. Tingkatan zaman kan berbeda. Ada aturan berlakunya dan penempatan intelektualitas seorang anak didik. Mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin muda ke depannya yang mengajak manusia kepada kemaslahatan masyarakat luas. Santri-santri akan sangat segan kepada Teungku mereka. Ketimbang dengan para siswa, gurunya malah dijadikan  sebagai lawan bukan kawan sebagai mitra dalam proses belajar. Santri-santri segenap mematuhi perintah dari pendidiknya. Bila pun salah mereka tetap akan dikenakan sanksi-sanksi yang menjadikan mereka lebih giat dan disiplin belajar. Bukan tidak mungkin bila para santri menerima beberapa cubitan dan pukulan dengan rotan yang di belah sampai tujuh. Hal ini menjadikan mereka lebih termotivasi untuk belajar dan akan tertanam bahwa setiap kesalahan harus dipertanggungjawabkan kelak. Siswa-siswi pada zaman ini mungkin tidak pernah mendapat hal yang serupa yang dirasakan para santri. Bila pun ini terjadi katanya akan berhadapan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), katanya demikian.
Padahal kita telah dirusak oleh untuk membiarkan kebiadaban terjadi pada siswa-siswi kita. Tanpa adanya sanksi demikian seorang siswa tidak akan mampu menangkap dengan mudah suatu ilmu. Walaupun bisa, eksistensi hormat siswa kepada guru telah berkurang dari semestinya. Maka dari itu tidaklah salah bila siswa mendapat hukuman terhadap kesalahan yang di perbuatnya. Namun seorang guru tidaklah boleh menjadi “Gubo” (Guru Bogem). Yang prioritasnya adalah menghukum siswa di dalam ketidaksadarannya yang menggunakan amarahnya kepada arah yang merusak jati diri siswa, guru harus menghukumnya dengan takaran yang seadanya dan tanpa amarah yang melonjak. Gunakan hukuman tersebut sebagai pondasi awal pada terbentuknya sikap bahwa apa yag telah dilakukannya adalah salah dan dia harus mengambil hikmah dari setiap kesalahannya itu. penerapan yang dilaklukan di dayah-dayah adalah demikian. Mereka (santri) pun merasakan efek terhadap hukuman tersebut dan suatu saat santri yang berada di masyarakat akan ingat bahwa karena hukuman dia mampu menjadi dirinya sekarang ini, ilmu yng telah di dapatnya dapat tersimpan dengan baik karena hukuman tadi. Motivasinya untuk menjadi lebih baik akan segera terekam setelah dia mendapat hukuman. Nah, hal inilah yang masih diragukan diterapkan di sekolah.
Pemfasilitasian tempat mengaji di dayah-dayah adalah di gunakan sistem ruang terbuka. Ini dimaksudkan agar pemikiran santri lebih paham betul apa yang sedang diajarkan oleh pendidiknya. Tidak tertutup seperti berada dalam sebuah gedung sekolah. Baik memang menggunakan sebuah gedung. Tapi, keharusannya adalah sekolah harus menerapkan sistem belajar terbuka lebih banyak dari yang sebelumnya. Bahkan ada sekolah yang tidak menerapkan sistem belajar di alam bebas seperti ini. Ini semua dipengaruhi oleh cara pandang kita dalam menerjemahkan pembelajaran, bila dalam ruang tertutup melulu, maka akan ada rasa kejenuhan yang berakibat tidak etis pada kemalasan siswa dalam pendengaran suatu pelajaran. Maka inilah yang perlu ada dan eksis di pendidikan kita.
Dayah tradisional memang tidak menjadikan pelajaran umum sebagai tongkat estafet pertama. Ada yang hanya terfokus pada masalah keagamaan saja. Bukan berarti sekolah itu tidak penting. Aslinya adalah keterpaduan antara duniawi dan ukhrawi, itu saja. Sekarang dayah telah membuka diri untuk memberikan kelonggaran berpedindikan bagi santri-santri. Yaitu memberikan mereka untuk bersekolah di pagi hari sampai siangnya. Setelahnya mereka kembali lagi sebagai santri. Ini tuntutan zaman. Pendidikan mengajak kita kepada arah pembenaran bukan arah pembohongan. Keingintahuan kita inilah yang menjadikan pedidikan dibutuhkan oleh manusia. Pendidikan mendorong kita untuk bersikap bersih bukan dengan kekotoran. Karena kekotoran inilah timbulnya pendidikan untuk menjadikan manusia kepada arah yang lebih bersih. Islam mengajarkan kepada kita keterpaduan ilmu dunia tanpa melupakan yang akhiratnya. Ilmu di dunia kita gunakan di dunia saja, tapi ilmu akhirat dapat kita gunakan di dunia maupun di akhirat. Sekolah perlu melirik penerapan pembelajaran yang diterapkan di dayah-dayah. Ini bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti. Demi tercapainya umat manusia yang insani dan sadar betul tentang kehadirannya di muka bumi ini untuk apa. Sekarang tinggal kita saja mau berubah, maka mari mencoba untuk berubah ke arah tuntunan yang baik. Kalau tidak, maka selamanya kita akan terkungkung dan terjajah  dengan sistem pendidikan seperti sekarang ini. Wallahu’alam



Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."