Jumat, 07 April 2017

Field Trip Project Asia: Benda Bekas yang Membekas

Pas ketika saya memarkirkan sepeda motor, selang menit sebelumnya Idrus Bin Harun telah duluan tiba. Saya disambutnya. Bersamanya, saya diajak menuju ke ruang pameran bertajuk Field Trip Project Asia. Dalam perjalanan itu, lelaki pegiat di Kanot Bu itu membeberkan bahwa, salah seorang seniman, sehari sebelumya agak kepanasan berada di ruang lantai 2 Museum Tsunami Aceh itu saat mempersiapkan pamerannya. “Kayaknya, dia kepanasan lantaran gak ada celah angin masuk ke ruang itu,” sebutnya sambil lalu. Pria yang kerap disapa Idrus itu, berkesempatan mempresentasikan hasil karyanya yang diberi nama Bikin Rumah-Rumahan. Instalasi ini – tentu jauh hari sebelum perhelatan seni ini yang diikuti seniman mancanegara – idrus pastinya sibuk memikirkan konsepnya.


















Di kesempatan itu, Idrus menyebut proses Bikin Rumah-Rumahan ini mewakili ingatan tentang betapa terkurasnya energi kita membereskan Aceh.

Saya agak heran awalnya, kenapa Idrus membuat instalasinya dengan atap setengah? Terkesan rumah itu tak siap. Gergajinya pun diletakkan begitu saja, rumah itu nampak tak terawat, hal ini terbaca lantaran ada dedaunan yang jatuh di lantai. Sungguh rumah tak siap jadi!

Idrus komat-kamit menjelaskan produk instalasi seninya yang diberi nama Bikin Rumah-Rumahan
Idrus mengatakan Bikin Rumah-Rumahan adalah upaya pembangunan kembali rumah tinggal paska tsunami, walau terengah-engah menyelesaikannya karena pemegang proyek nakal, rehab-rekon suskes mengubah wajah Aceh. Olehnya, dia menyebut, di masa itu, pemerintah, di beberapa tempat yang dilanda bencana tsunami, pembangunan rumah asal-asalan.

Banyak pemegang proyek baik kontraktor hingga pihak terkait bermain celah mendapatkan ‘uang lebih’ dari tiap per rumah yang dibangun. Maka pun jelas kini, temuan rumah yang dibangun dengan material yang tidak sesuai standar, jadilah ‘Rumah-Rumahan’. Terma ini sejalan dengan masa kecil kita. Saat bermain ‘Rumah-Rumahan’, anak-anak tidak seserius itu membikin rumah seperti halnya arsitektur mengkonsep tiap rumah mewah. Selepas dibuat batasnya dengan tanah, selepas itu pula dirusak kembali baik oleh tangannya, maupun kaki ayam hingga bebek. Barangkali, begini pula kejadian rehab-rekon. Jika disingkat, Bikin Rumah-Rumahan ini jadilah BRR. Kayaknya Idrus ingin menyinggung Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), yang baginya belum maksimal dalam bekerja untuk kepentingan para korban tsunami Aceh.

Salah satu kurator pendamping Field Trip Project Asia, Daisuke Takeya, menyebut kegiatan ini terilhami karena biasanya materi tentang bencana acapkali berat diperbincangkan. Olehnya, dia memanfaatkan tas sekolah bekas yang penuh dengan ragam memori saat gempa Jepang 2011 silam.
“Bagi anak-anak Jepang, tas-tas ini selalu tergambarkan berat dan meletihkan. Penuh buku dan peralatan sekolah. Namun, dalam pameran ini, tas-tas ini telah diubah menjadi ringat dan menyenangkan. Merawat memori untuk melangkah ke depan”, begitu tulis  Titou dalam spanduk pameran itu.

Pameran yang diadakan di lantai 2 gedung Museum Tsunami Aceh itu, ternyata benar seperti yang tercantum dalam spanduk. Daisuke turut memperkenalkan seni instalasinya. Dia mengubah dan menambah sayap pada tas. Bukan produk seni itu yang utama sebenarnya. Pria Jepang yang kini menetap di Kanada itu mengatakan, tas bersayap ini dimaksudkan jika ada orang yang ingin menggunakannya, apalagi untuk anak-anak, diharuskan adanya bantuan orang dewasa. Untuk keluarga, seni ini sangatlah bagus, interaksi luar biasa akan tercipta antara ayah/ibu dengan anak-anaknya.

Pengunjung sedang mencoba produk instalasi Daisuke
Bersebelahan dengan tas ubahan itu, di sampingnya juga ada tas yang dijejerkan pada batang kayu pada kedua ujungya. Jika ingin seimbang, harus ada dua orang memakai tas tersebut ditiap ujungnya, agar seimbang. Lagi-lagi, interaksi tercipta dari karya seni ini. Belum lagi ada tas yang dilengkapi dengan seperti sayap capung. Ada tas yang perlu diputar, agar kita mampu membaca setiap alur ceritanya.

Field Trip Project Asia sedianya telah mengubah benda-benda yang tak ternilai, menjadi penuh makna dan ragam manfaatnya. Ada banyak cara menghadirkan orang-orang untuk saling berbicara, bersosial, di tengah gempuran kaum gawai yang sudah menggerogoti ruang diskusi kita akhir-akhir ini. Pun seni adalah jembatan membawa orang-orang untuk hidup dalam keindahan, belajar pada benda-benda yang tak terpakai di awal membawa kesan berlebih. []

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."