Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Agustus 2014

Kamvrita

Kamis, Agustus 21, 2014
USAI SUBUH, Aku melewati mesjid Al Makmur. Para jamaah usai salat Subuh berduyun-duyun ke warung kopi sebelah setelah zikir-zikir dilantunkan. Warung kopi seberang, bentuknya nan mewah. Dinding-dindingnya dihiasi walpaper hasil impor dari daratan Eropa. Orang-orang sekitar mengenal warung kopi ini milik Markes. Setelah dia pulang dari merayakan haji tahun lalu, dia tambah giat menambah pendapatan. Niatannya ingin berhaji sampai beberapa kali.

Aku tidak ke warung Markes. Persinggahan kakiku melangkahi warung itu dan menyusup ke warung Salim. Salim yang mempunyai nama panjang Salimo. Aku lebih suka memanggilnya Salim. Kalau dalam literasi arab, Salim itu berarti sejahtera.

Warung milik Salim bentuknya sederhana. Dengan dinding bambu yang warnanya sudah usang. Meja di warungnya berwarna putih kehitaman dan kursinya juga kehitaman, lantaran ada bekas-bekas keringat para buruh yang pulang dari berladang. Para buruh itu aktif berkumpul di warung Salim, biasanya pada waktu siang.  Mereka memesan kopi, lalu sibuk mengobrol persoalan upah yang kian hari kian melilit leher. Salim bahkan tidak melarang mereka yang kumal dan bau untuk minum kopi di warungnya. Dia dengan santai menyeduhkan kopi untuk para buruh itu. Ini saban hari sudah menjadi rutinitas Salim, tentu selain menjadi pendidik.

Aku sampai di warung Salim yang disambut gerimis ringan. Bau sampah di samping warungnya menyengat. Pihak pembersih kota baru mengangkut sampah di warung Salim pada siang hari. Sementara di warung Markes, paginya sampah bahkan tidak lagi membekas. Aku tak mempersoalkan bau itu, bagiku sudah biasa. Salim sudah berungkali memprotes kepada pihak pembersih kota soal sampah di depan warungnya itu. Mereka berkilah, tidak perlu banyak memprotes karena hidup di kota Madoni. Asal selalu membayar upeti, Salim akan aman. Itu kilah pihak pembersih kota. Amarahnya dia pendam, dia sadar kalau dirinya adalah seorang pendidik yang perlu diteladani oleh anak didiknya.

Aku menyukai warung Salim karena bentuknya mengingatkan pada warung kopi di tempat asalku. Dari ornamen-ornamen dan tata letak warung kopi Salim semakin syahdunya menambah kerinduanku pada kampung halaman. Daerah yang kini telah damai pasca konflik antar dua negara.

Namun, itu hanya salah satu bagian yang menjadi penyukaku akan warung ini. Kedatangannku kali ini adalah menutaskan janjiku dengan Kamvrita untuk menemuinya sekaligus menumpahkan rasa rinduku. Kamvrita, gadis yang kukenal sebagai juniorku di kampus.
***
Pertemuan kami unik. Waktu itu sedang perayaan Imlek. Aku selaku wartawan ditugasi oleh atasan untuk meliput berita perayaan Imlek di vihara Mekoong. Kesanalah Aku pagi-pagi buta lantaran jarak yang lumayan jauh dari kosanku. Kamera setiaku tak ketinggalan kubawa. Aku ingin mendapatkan gambar-gambar yang bagus hari ini, cuacanya pun mendukung.

Vihara Mekoong terletak di kota Kuta Raya. Bagunannya berwarna merah dari atap sampai ke dinding dan juga tembok-tembok penyannga atap. Merah menjadi warna khas orang Tionghoa. Bagi mereka merah membawa peruntungan. Begitu juga bagi Kamvrita.

Aku mengambil foto perayaan Imlek dari sudut-sudut objek yang kukira dapat memotret dengan mudah dan hasil gambar yang baik.  Aku memotret orang-orang yang sedang sembahyang, dupa yang sedang dibakar dan ada asapnya yang keluar. Aku juga memotret keseluruhan bentuk vihara Mekoong. Sedang asyiknya memotret, lensa kameraku menangkap objek sosok seorang wanita. Aku terpana wajah cerianya. Dia memakai baju merah dan roknya sampai di bawah lutut. Rambutya disisir dengan rapi serta bentuk mata yang sipit juga ada bulu mata lentiknya. Ohya bentuk wajahnya oval putih dan pipinya menyiratkan warna merah muda. Lipstiknya tidak terlalu tebal, sederhana.

Aku sempat tak ingin mengambil gambar dengan kamera. Tapi, kamera ini sebagai bukti peliputan harus kurengguh lagi. Sudut-sudut gambar yang kuambil kini malah lebih banyak memotret wajahnya. Telah lama, akhirnya gadis itupun sadar dirinya sedang dipotret. Diapun memandang ke arahku dengan wajah senyum ceria, lalu berpose dengan dua jari. Seperti memberi suatu isyarat. Aku pun tambah riang menuntaskan objek kesukaanku saat ini.

Usai sembahyang, gadis itu menghampiriku. Uluran tangannya memperkenalkan diri.
“Saya Kamvrita, kamu?”, dengan senyum sedikit menggoda.
“Saya Fretto”, lalu gugup pun menyerang dan salah tingkah menghampiri.

Kami berbincang sejenak. Perkenalaan ini juga menyinggung persoalan pribadi. Mulai masa lalu, kesukaan, orang tua, karir dan kami tidak membahas soal asmara. Perbicangan kami seolah-olah sudah berkenalan sejak lama dan akhirnya bertemu lagi pada hari itu. Kamvrita ingin mengajakku ke rumahnya. Namun, halus ku tolak dengan dalih ada laporan liputan yang harus kusiapkan secepatnya. Kamvrita pun tak dapat memaksaku. Dalam pertemuan singkat itu, sempat kuberitahu apa yang telah mendesak dan sangat perlu kukatakan secepatnya. Aku melampiaskannya,  Kamvrita hanya tersenyum dan tidak memberi jawaban. Sejenak kemudian, dia memberikanku angpao yang sudah menjadi tradisi perayaan Imlek. Hanya sampai disitu, kami berpisah. Aku tak begitu gegabah ingin membuka angpao tadi. Ya, isinya sejumlah lembaran uang.

Aku salah. Ketika membukanya di kantor, malah aku dapati hal yang lain. Secarik kertas aku rogoh di dalamnya. Kamvrita menulis pesan “Warung kopi Salim, meja no.9, Kamis, 6 Februari 2013, pukul 8 pagi. Ada kabar baik yang akan kukabarkan padamu”. Kertasnya dibaui wangi parfum menyerupai wangi parfum ‘malaikat subuh’. Dia mengajakku bertemu kali berikutnya. Aku penasaran, kabar bahagia apa yang ingin disampaikan Kamvrita yang punya wajah rupawan dan dengan lesung pipi itu. Dan semenjak kapan Kamvrita mengetahui warung Salim, apa spesialnya warung kumuh itu baginya? Barangkali hanya sebagai tempat ketemuan saja, lantas memesan minum di tempat lain. Aku mencoba meyakinkan diri.
***
Teh hangat yang kupesan tadi sudah habis ku minum tanpa sisa. Aku kemudian memesan kopi. Racikan kopi Salim lebih nikmat dari kopi di warung Markes. Aku memintanya menambahkan sedikit susu kental, agar nikmatnya tidak ketulungan. Pada serupan kopi berikutnya, kedua mataku menangkap sesosok wanita. Dia berdiri anggun dengan tentengan tas di tangan kanannya. Dia tersenyum. Aku pun heran, sosok Kamvrita yang cantik dan wangi mau singgah di warung kopi Salim yang sederhana dan terkesan kumuh ini.

Aku menyuruhnya memesankan minuman. Kamvrita mengelak. Tangannya malah memegang cangkir gelas kopi pesananku tadi. Dia menyeruput pelan kopiku. Lalu dia menaruhnya lagi. Dalam suasana gugup, aku juga menyeruput lagi kopi tadi tepat dibekasan bibir Kamvrita. Dia tertawa melihat tingkahku. Baginya aku konyol. Lama kami dalam perbincangan melepas kerinduan pasca bertemu di vihara Mekoong bulan lalu. Gigi putihnya saat dia tertawa begitu tertata rapi. Aku bahkan tak berani memegang tangannya.

Tepat pukul 10 pagi, Kamvrita memesan minuman. Dari arah belakang Salim menghampiri. Aku duduk membelakangi Salim, sementara Kamvrita sebaliknya. Raut wajah Kamvrita berubah lebih cantik dari yang tadi. Dia menyambut Salim dengan hangat. Aku terkejut, lantaran mereka sudah akrab apalagi disambut dengan pelukan. Degup jantungku berdetak kencang, aku dapat merasakannya. Aliran darahku mulai terasa hangat di seluruh tubuh, ada keringat di dahi kepalaku. Aku hampir tak bisa mengontrol diri dengan kejadian barusan.

“Fretto, ini Salim, salah satu guru tempatku mengajar, sekaligus tunanganku”, raut wajahnya begitu bahagia dan merona memerah muda.


Aku bersitegang dengan diriku sendiri. Aku tak pernah mengira begini jalannya. Jika salahku merindui kekasih seorang guru. Maka maafkan, bersebab itu muncul tiba-tiba lalu melekat dari hari ke hari semenjak bertemu Kamvrita. Perasaan malu membuatku meninggalkan mereka berdua. Aku menumpangi bus ke arah kantorku. Aku pun menghilang semenjak itu. Yang pasti, tugasku telah usai. Apa yang menghambat di hati telah kutunaikan. Aku bahkan telah meninggalkan jejakmu, lagi. Itu telah lalu, sembari tetap menunggu dan sabar.[]

Selasa, 03 Juni 2014

Persimpangan

Selasa, Juni 03, 2014
DI PERSIMPANGAN itu, agak menikung ke kanan, di dekat toko buah, gadis itu berdiri menenteng baki kue. Bau menyengat dari lubang got menusuk hidung. Di dinding toko antik di sebelah toko buah ada mural bertuliskan: “Bunda, mana baktimu?”. Aku memperhatikan gambar itu sekilas. Cuma sekilas, karena ada sosok lain yang minta aku perhatikan. Setiap aku menaiki bus menuju kampus, aku memperhatikan seorang gadis. Gadis berkerudung kuning berbaju merah. Tiada yang berubah dari gadis itu. Dia selalu tersenyum kepada setiap pembeli. Aku heran, kenapa aku tidak pernah melihat raut kekesalan di wajahnya. Sore itu aku memutuskan mencari tahu tentang gadis itu.

Gadis itu akan terlihat lebih jelas bila dilihat dari sebuah kedai kopi. Kedai kopi paling terkenal di kota ini. Aku memesan segelas kopi tanpa gula. Si penyaring kopi menarik saring ke udara, menyebabkan air jatuh setinggi alat penyaring. Sekali saring untuk beberapa gelas kopi. Lantas kopi pesananku tiba.

Aku mengepulkan asap rokok yang telah aku bubuhi sedikit daun hijau. Rasanya nikmat betul.

Seorang ibu di sebelahku duduk dengan kaki terangkat. Sanggul besar menghiasi rambutnya. Wajahnya gemuk dan tubuhnya gempal. Dia mengenakan rok hitam di bawah lutut, dipadukan dengan baju berwarna merah. Di depan ibu itu, duduk seorang pejabat dan kawannya. Aku kenal wajah mereka berdua melalui berita-berita di Facebook. Si pejabat mengenakan kacamata. Rambutnya telah memutih. Temannya memiliki brewokan cukup lebat,  mirip aktor Chuck Noris. Saat berbicara suara mereka lumayan keras. Jadi aku mendengar isi pembicaraan mereka. Aku terkejut, karena pokok pembicaraan mereka adalah gadis yang sedang aku cari tahu.

Jantungku berdetak lebih cepat daripada biasanya. Agaknya si pejabat teras dan kawannya terganggu dengan kekagetanku. Lalu aku pura-pura membuang muka. Sial. Tiba-tiba dua orang berseragam loreng merah-hitam datang menghampiriku.

“Kau ini siapa? Kau orang mana? Kau tahu kami siapa?” bentak salah satunya. Tangannya memegang kerah kemejaku. Dia memiliki raut wajah yang sangar dengan kumisnya yang tebal serta ada tahi lalat di hidungnya. Tubuhnya atletis, aku perkirakan dia sering latihan membentuk badannya. Tertutupi  kacamata hitam, aku tak bisa bola matanya ketika dia membentakku. Sementara yang satunya lagi memiliki badan yang kurus dan tidak berkata-kata. Dia menatapku begitu dingin.

“Tahu Pak!” jawabku dengan keringat mengucur deras.
“Kalau kau ingin tetap hidup, pulanglah sekarang!”
Plakkk!

Satu tamparan jatuh di pipi kiriku. Kau pikir aku bisa menghindar. Mereka membawa pistol. Dan aku tak ingin mati konyol.

Semua mata pelanggan kedai kopi tertuju ke arahku. Hari ini seorang sarjana ditampar oleh orang-orang berseragam dan itu di depan orang ramai.

Orang-orang di kedai kopi melanjutkan pembicaraan. Begitu juga si pejabat teras dan kawannya. Sementara aku, terpaksalah menunda melihat gadis berbaju merah dari dekat. Sekarang jarakku dengannya dipisahkan oleh sebuah tamparan.

Tapi aku akan mencari jalan cara lain. Aku akan melihatnya dari sudut lain. Dari kedai kopi aku menuju sebuah kios koran. Aku membeli sebuah koran nasional yang selalu datang terlambat. Aku membolak-balikkan koran dengan cemas. Dan benar, gadis itu dapat terlihat dari kios koran ini. 

Gadis itu masih berdiri dengan anggun. Sesekali dia menutupi wajahnya dari kepulan asap kendaraan. Dia menjaja makanan di simpang itu setiap sore. Banyak ibu-ibu muda yang datang membeli. Dan bapak-bapak, kau tahu, mungkin mampir karena kepincut dengan wajah rupawan gadis itu. Mereka suka melempar pandangan nakal dan mesum ke arah gadis itu.

Aku melihat gadis itu tertawa. Gigi-giginya putih. Bagaimana aku bisa menolak karya Tuhan yang sempurna ini. Jantungku berdetak kencang. Andai aku bisa menghadap orangtuanya dan menjadikannya pencerah hidup.

Sungguh tidak ada alasan untuk membasmi perasaan yang mulai tumbuh ini. Aku menyenandungkan sebuah lagu cinta. Dalam tubuhku, aku dapat merasakan darah yang menuju jantungku mengalir lebih cepat.

Dan aku mulai takut apabila ada laki-laki lain yang mencoba mendekati gadis itu. Aku mulai berpikir, apa yang terjadi apabila orang-orang di warung kopi tadi, maksudku bandit yang telah menamparku, ingin menghilangkan nyawa gadis itu? Apakah aku akan berani melawan mereka. Tiba-tiba badanku menjadi dingin.

Mereka akan menembak gadis itu. Dan dari sudut ini aku akan melihat kejadian tersebut. Sanggupkah aku menyelamatkan gadis impianku itu?

Pikiran lain tiba-tiba melintas. Sebuah pertanyaan dari sudut paling kelam dari hatiku: apabila dia bukan seorang gadis rupawan, tapi seorang gadis yang berkulit hitam dan buruk rupa, apa mungkin aku akan menolongnya?

Aku mulai linglung oleh pertanyaan-pertanyaan yang jahanam ini.

Si pejabat teras dan kawannya keluar dari kedai kopi. Para pengawal berbaju loreng merah-hitam mengikutinya. Oh rupanya perempuan gempal yang memakai rok selutut kawan mereka juga. Mereka saling melambaikan tangan, meskipun menaiki mobil yang berbeda.

Di tengah kebingungan, aku menatap kembali gadis idamanku. Tetapi.gadis impianku sudah tidak ada. Aku mencarinya ke sudut-sudut lain. Aku menemukan gadis itu. Wajah gadis itu berubah. Dia sekarang punya wajah yang paling mengerikan. Aku melihat tangan kanannya menyibakkan rok; menyentuh sesuatu pada pahanya.
Terdengar bunyi letusan senjata api.

Si brewok dan si lelaki berambut putih jatuh terkapar. Orang-orang di persimpangan itu melupakan gadis itu. Mereka berkerumun melihat dua tubuh tak bernyawa di persimpangan itu.

Aku melihat gadis itu menarik pelatuk. Setelah itu dia pun melihatku. Mata kami beradu. Dia tersenyum. Ya Tuhan dia masih sempat menggodaku.  Aku berdiri kaku, entah gemetar oleh kejadian itu, atau oleh godaannya. Mungkin keduanya. Lalu aku melihat gadis impianku itu dijemput oleh sebuah mobil hitam. Dalam sekejap mobil itu meluncur menuju arah selatan.

Hingga bertahun-tahun kemudian aku tak bisa melupakan gadis yang aku cintai itu, gadis pemberani, berbaju merah, berjilbab kuning.

Sumber: Cerpen ini sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia, 11 Mei 2014, Persimpangan.

Minggu, 27 April 2014

Biaya dan Buaya

Minggu, April 27, 2014
Malam itu saya keluar dari peraduan. Dalam penelusuran malam, saya memakai sandal dengan celanan jeans yang compang di lutut bawah kaki sebelah kiri. Dengan sebatang rokok, saya coba telusuri jalan-jalan dari simpang tujuh menuju ke kota. Bau asap kendaraan perlahan hilang berkat hujan yang turun deras malam ini. Dari arah simpang BPKP saya beranikan jalan setapak ke arah Beurawee yang tembus ke arah simpang surabaya.

Air sungai Beurawe mengalir dengan tenang. Pemancing ikan sedang asyik menghisap rokok, lalu fokus lagi pada pancingannya. Kalau malam, tidak ada penjahit sepatu. Justru jalan inilah yang paling padat kalau malam hari. Dari Beurawees saya menuju ke simpang surabaya. Saya melihat para abang-abang rantauan yang menjual berbagai macam kuliner malam. Mulai nasi goreng, sate matang, sate padang, mie, jus buah dan berbagai kuliner lainnya.

Di sini saya bertemu dengan kawan lama semasa SMP dulu. Ternyata dia sekarang hijrah ke Kota Ratu. Baginya disinilah tempat mencari pendapatan yang memberikan peluang bagi pemenuhan mahar ketika dai menikah kelak. Anggapannya, Kota Raja begitu menjanjikan. Setiap malam tempat dia jualan selalu ramai. Suami isteri, pasca suami isteri, pra suami isteri, mereka selalu ramai berkunjung ke tempatnya. Apalagi malam Minggu. Karena merasa tidak enak hati, ikutlah saya memesan makanannya.

Nasi goreng dan jus alpukat saya lahap habis di tengah-tengah sepintas melihat ibu-ibu memakai baju hijau berjilbab putih, mengemudi mobil dengan tergesa-gesa. Bahkan menerobos lampu merah. Di belakang mobilnya ada sejumlah kotak. Saya pun belum tau apa isinya. Arah mobilnya menuju ke Batoh.

Saya bincang-bincang sejenak dengan kawan se-SMP itu. Tak lama berselang saya lalu pamitan. Ingin rasanya malam ini menghabiskan minum kopi pada warkop seberang. Jujur, selama hampir empat tahun di Kota Ratu saya belum pernah minum kopi di sana. Kesanalah saya bergerak dengan tangan kanan dan kiri saya masukkan ke dalam jaket.

Lantai dua menjadi favorit bagi saya kali ini. Beruntung pada sudut masiha ada kursi kosong. Kesanalah saya. Pada pojok ini, saya dapat menyaksikan keindahan malam di salah satu sudut Kota Ratu. Ternyata kopi di sini berbeda rasanya dengan yang di simpang tujuh. Aromanya menyengat. Konon teman saya pernah bercerita kalau kopi di sini sudah diracik dengan ramuan yang khas. Setiap racikannya selalu dibumbui daun hijau, biar nikmat sampai ke ubun-ubun. Dan nyatanya benar, sampai saya harus menghabiskan air putih 3 gelas. Rasa haus mendera.

Kebosanan saya mulai datang. Walau memposisikan duduk paling pas menatap indahnya sungai Beruawee dengan lampu hiasnya di samping kiri kanan seberang sungai, alhasil saya duduk sendirian membuat saya justeru seolah sedang berdiam diri.

Mata saya menangkap objek yang sama ketika semula saat saya masih makan nasi goreng. Ibu-ibu memakau baju hijau tadi dengan mobilnya melaju ke arah Lampriet. Saya perhatikan bak belakang mobilnya sudah bertambah jumlah kotak disertai dua orang pemuda yang sedang memegang seekor buaya besar. Saya terperangah, untuk apa malam-malam begini ibu-ibu membawa buaya dan kotak banyak-banyak?

Penasaran. Saya pun menyusul ibu-ibu tadi. Sebuah taksi saya stop. Saya perintahkan "Kau kejar mobil yang di depan pak!", ucap saya dengan nada kesal.

Saya menemui ibu-ibu tadi di sebuah lapangan. Dia sedang menyembelih seekor buaya bersama teman-temannya. Dia menguliti habis-habisan buaya tadi walau dalam keadaan hidup. Kulit buaya diambilnya. Saya beranikan bertanya.

"Untuk apa itu bu!". 
"Ah kau ini tak tahu saja, ini sebagai modal membeli suara untuk adikku, dia sedang sekarat, suaranya telah diculik seseorang. Kau kenal Yahlan, dialah dukun yang merenggut suara adikku. Kulit buaya ini sebagai tebusan untuk mendapatkan kembali suara adikku itu. Uangku sudah habis gegara membeli buaya brengsek ini!", cetusnya dengan nada gegabah.

Tak ku hirau ibu itu lagi. Aku menyisir arah pantai Syiah Kuala. Dalam kesunyian, kurebahkan badanku di pasir-pasir. Aku memegang tenggorokan. Lalu bersuara. Ternyata suaraku masih ada. Aman.

sumber foto : pixabay.com

Rabu, 02 April 2014

Setelah Simpang Tujuh

Rabu, April 02, 2014



Malam telah bersama sinarnya bulan. Tidak temaram, cahayanya menyinari jalan setapak ke arah rumahku. Dari simpang tujuh aku berjalan pelan. Setelah motorku hilang di curi orang, tepatnya magrib tadi usai salat di mesjid raya. Jadilah aku naik labi-labi sampai ke simpang tujuh.

Aku tak langsung pulang memang. Segelas bandret dan pisang goreng yang kalau istilah org daerah sini dengan Bada Teucroh mampu mengahmabat rasa lapar. Bandret tipe biasa jadi pesananku, di antara bandret susu atau bandret telur ditambah susu. Sepiring pisang goreng ku lumat habis. Gerimis hujan mulai turun. Rintik-rintiknya jatuh menghantam bumi Tuhan. Bumi para syuhada, bukan bumi penguasa.

Aku tinggal sendiri di kota ini. Untuk mahasiswa tingkat akhir  tugas rutinnya menjumpai dosen wali yang baik budinya. Cuma aku saja yang malas.
Aku membayar bandret dan pisang goreng. Sejenak aku melihat ke jalan. Lalu lalang orang sudah mulai sedikit. Entah berapa jam aku bersantai khas lajang. Aku jalan pelan. Dinginnya Koeta Radja, tanganku pun kumasukkan ke dalam jaket. Botol minuman kaleng aku tendang sampai ke depan warkop seberang. Bebrapa orang yang baru datang ke Koeta Radja bakalan bingung memilih jalan bila sudah di simpang tujuh. Aku pun dulu juga begitu. Tapi sekarang tidak. 

Jalan Lamreung menjadi tujuanku. Dari jalan ini bisa tembus ke Darusdalam juga ke makam T Nyak Arief. Di pinggir jalan di tumbuhi pohon asam jawa. Rindangnya asam jawa ditambah batangnya yang terlihat menua, menambah gelapnya jalan ini. Toko-toko di jalan ini sudah pada tutup semua. Cuma ada 1 kios yang masih buka. Bapak itupun langsung menutup kiosnya ketika aku sampai di depannya. Entah apa dia pikir tentang wujudku ini.

Aku berjalan sambil menunduk. Angin sesekali menghampiri helaian rambutku. Seperti  suara tangisan perlahan terdengar. Makin dekat, makin tersedu-sedu. Di jembatan kecil itu tampak sesosok manusia. Dia memakai gaun warna merah. Wajahnya menunduk. Aku menghampirinya. Smbil berkata "Hallo!"

Dia tidak menjawab. Dari kejauhan bajunya tampak merah memang, kalau dekat malah tampak putih memanjg ke bawah. Aku sempat kaget, jangan-jangan. Aku terkejut ternyata ini bukan manusia. Tetapi wanita yang sedang gentangan. Helai bulu kuduk tak bisa di suruh duduk lagi. Mereka bangun sendiri.
Dia memegang tanganku. Dia membalik tubuhnya. Aku terpana, wajahnya putih bersinar. Giginya putih ditambah rambutnya yang terurai. Seperti bukan. Aku tercegat untuk kabur. "Maukah kau bicara denganku sejenak?" ucap wanita itu. Aku mengiyakan saja, walau rasa takut tak elak kutahan.

Dia sudah lama menanti sesorang yang datang menghampirinya. Di jembatan ini juga. lelaki itu sampai seminggu-an tidak menjumpainya kala itu. Dia bahkan tetap menunggu. Yakin dengan janji sang lelaki. Lewat handphone mereka mengikat janji. Malam-malam menjadi buah rindu bila sejenak tidak menyapa.

Menunggu bukan perkara ringan. Bila malam sudah larut, maka dia baru pulang ke rumahnya. Paginya, dia kembali menunggu. Di jembatan yang sama. Ya masih lelaki yg sama. Itu tidak lama. Dia termasuk korban konflik negeri ini. 

Pada malam itu dia diperkosa aparat secara bergiliran, sangat beringas. Dia pun lalu ditembaki. Mayatnya mati tanpa ada yang tahu. Aparat mengikat tubuhnya dengan batu, lalu ditenggelamkan ke dalam air di bawah jembatan.

Lelaki yang diinginkannya malah tidak kunjung datang. Justeru gerombolan lelaki hasrat yang menghampirinya. Wajah cantiknya sudah tidak ada lagi. Maka, tiap malam diapun masih menunggu lelaki yang sama. Karena wajahku mirip dengan lelaki yang dicintainya, diapun mendekat kearahku.

Ceritanya yg tadi sangat memilukan. Dia juga sadar kalau aku bukanlah lelaki yg dicarinya itu. Diapun melepas genggaman tanganku. Aku tersenyum.  Katanya, aku boleh pergi. Dia meminta maaf juga sudah menghambatku. Tetapi aku tidak marah, putih wajahnya memikat hatiku. Ah atau ini cinta ya, oh Tuhan.

Sadar diri kalau dalam alam yang lain. Dia mempersilahkanku pulang kerumah. Dia berucap senang karena aku sudah mau mendengar ceritanya. Dia tersenyum. Baiklah. Mungkin malam besok aku dapat menjumpainya lagi. Aku menjauh darinya dengan berjalan terbalik. Agar tetap selalu melihat wajah manisnya.

Beberapa langkah wajahnya masih menyiratkan senyum termanis dan terindah. Sampai di depan lorong memasuki komplek tempat tinggalku, aku berbalik badan karena telah di jalan yang baru. Langkah kedua aku malah ingin melihatnya lagi. Tetapi, dianya sudah tak ada. Jembatannya kosong. Asap dari pembakaran sampah rumah sebelah memutihkan jemabatan tadi.

Aku harap malam esoknya aku kembali berjumpa. Seraya aku juga punya cerita soal cintaku. Ah dia memang manis, walau awalnya menyeramkan.
***
Malam yang kutunggu telah tiba. Aku mengulang sperti malam lalu. Pulang telat. Berharap berjumpa dengannya lagi. Berharap melihat senyumnya. Tetapi, aku tak menjumpainya lagi. Lama aku di sana. Sambilan menghisap cerutu terakhirku. Aku duduk di jembatan sambil menearwang kemana mana. Mugkin ini bukan malam terbaikku. Dia tidak datnag. Aku teringat pesannya malam sebelumnya. "Kau tak perlu menjumpaiku di malam-malam lain".
 
Namanya saja lelaki tetap berusaha. Nyatanya  benar saja ucapannya. Aku bahkan tidak mencium wangi mawar dari tubuhnya. Selayaknya aku pernah menyenangkan orang lain dengan mendengar ceritanya. Walaupun dia bukan lagi manusia. Ya kuharap, menemukan gadis sepertinya.

Aku tersenyum, melangkah pulang. Dalam batin penuh yakin, bakal ada yg sedang menunggu. Ya dengan sama-sama menunggu suatu saat. Yakin pada-Nya.[*]

Sumur Malam Minggu

Rabu, April 02, 2014


Ini malam Minggu, ya semua orang pun tahu. Aneh memang ada banyak orang mengidolakan malam Minggu, kadang membenci malam Jum’at. Ada yang senang bila berjumpa dengan kekasihnya, ada pula galau merana karena tanpa kekasih, sungguh sial kalau tanpa kekasih di malam Minggu. Begitu anggapan beberapa orang. Pun tak jarang pula menuliskan sebuah status di sosial media semacam twitter-lah.

Gupta malah menyukai malam Jum’at. Baginya malam Minggu menjadi petaka, tatkala pernah dia tidak diterima usaha menyatakan hatinya pada seorang gadis. Masa-masa gelap nan suram itu telah mengubah jalan pikirnya. Semenjak itu pula dia tidak lagi menyukai malam Minggu. Kini dia mencintai malam Jum’at melebihi ketika dia dulu mencintai malam Minggu. Dia menyadari Jum’at menjadi malam berkah bagi umat Islam, tak terkecuali baginya yang beragama Hindu. Gupta tahu dari karibnya yang muslim. Walau demikian, kecintaannya pada Hindu tetap sama, tiada pudar. Sungai Gangga, Dewa Wisnu, sapi-sapi yang menjadi sesembahan doa mereka, serta pekuburan umat agamanya secara di bakar, itu baginya menjadikan simbol budaya leluhurnya kenapa dia masih bertahan. Gupta telah lama hijrah ke Indonesia dan dia tidak lagi menjadi warga negara India.

Gupta di kenal oleh tetangga rumahnya sebagi orang pemberani. Betapa tidak, dia pernah sampai larut malam menelepon kekasihnya. Baginya, itu suatu kebanggaan karena mampu menunjukkan wujud keberanian kepada seorang gadis. Tapi, tetangganya malah yang ketakutan. Alih-alih nantinya dia kesurupan, tetangganya pula yang gaduh. Apalagi malam itu malam Jum’at. Sungguh perihal nikmat bagi si tetangganya yang masih pengantin baru. Tak enaklah diganggu. Gupta malah cuek saja.

Makan malam baru saja disantapnya. Menu malam ini adalah kanji, makanan khas India. Piringnya telah kosong. Gupta belum mencuci mulutnya. Dia menjilat perlahan-lahan sisa-sisa kanji pada mulut itu. Sambil tersenyum lalu dia tertawa.

Gupta kini tinggal di kosan baru. Di tempat lama dia tidak betah. Memulai hidup di tempat baru agar memberi warna baru dalam asmaranya, begitu anggapan Gupta. Pada tempat lama banyak kenangan yang mengganggunya. Coretan-coretan tidak jelas di dinding kamar menjadi tanda sudah berapa kali dia menelepon kekasihnya. Sobekan-sobekan dinding kamar kosannya yang mulai lapuk juga tak luput dari jahilnya tangan Gupta, dia bahkan tidak sadar ketika menelepon. Itu dilakukan hampir di tiap kali mereka berbicara asrama dengan hasrat dimabuk berdua.

Dia benar-benar ingin menghapus bayangan gadis yang tiap malam muncul di benaknya. Pernah juga dia berpikir “Kenapa kamu selalu berputar-putar dikepalaku? Sini, duduk saja disampingku, biar aku terus panggil pendeta”. Gupta memikirnya begitu.

Kabar yang beredar kalau di tempat Gupta tinggal sekarang dihuni oleh makhlus halus, kata warga sekitar wujudnya wanita yang sangat cantik. Keindahan matanya sungguh menggoda, bibir merahnya begitu merona, kulitnya yang putih bening, rambutnya terurai panjang hingga punggung, sungguhlah sangat sempurna bagi seorang gadis. Apalagi bila dia tersenyum, lelaki mana yang takkan terenyuh. Tetapi,  Tidak sembarang orang bisa melihatnya. Terdengar kabar ada yang melihatnya berjalan sepintas dalam remang-remang cahaya bulan purnama. Lalu dia berbalik, kemudian hilang dalam gelapnya malam. 

Orang-orang yang melihat gadis itu, mengatakan wujudnya sering hilang bila sudah di dekat kosan Gupta sekarang. Dan warga sekitar beranggapan kalau gadis itu menjadi penghuni kosan Gupta. Perihal kelakuannya, gadis itu tidak pernah pun mengganggu warga sekitar. Beberapa warga bertutur kalau tiap malam Minggu mereka sering mendengar gelak tawa seorang gadis, kadang-kadang menangis tersedu-sedu. Warga tidak berani mendekat. 

Semenjak mendengar cerita-cerita warga sekitar kosannya, Gupta tidak mempercayainya, baginya cukup dewa Wisnu yang harus ditakuti. Bersebab telah memberi pencerahan batin. Gupta menganggap itu semua hanya cerita khayalan warga sekitar. Warga sekitar menakutinya seperti demikian, anggapan Gupta karena warga sekitar itu tidak terlalu menyukai adanya penduduk asing menetap di kampungnya. Apalagi yang beda suku, beda agama. Takut tersaingi urusan daganglah, anak wanitanya digoda-godai lelaki luar, takut tercampurnya urusan budaya, apalagi mereka juga tau kalau Gupta Bergama Hindu, sudah sangat mantap kalau cerita di atas hanya bualan warga kampung padanya agar dia segera minggat di kampung mereka.

Malam Minggu itu Gupta mencuci bajunya. Besok Gupta mempunyai hajat besar yang harus dikerjakan. Sejumlah pakaian menumpuk lumayan banyak. Tanpa menunggu lama-lama, Gupta langsung mencuci bajunya. Mulai baju kaos, kemeja, celana dalamnya pun sudah seabrek banyaknya harus di cuci. Sabun colek perlahan-lahan dia basuh pada satu persatu pakainnya. Lalu dia menyikat, bila dianggap sudah bersih dari noda, dia melanjutkan ke baju berikutnya. Begitu terus hingga semua baju siap dia cuci.

Gupta telah mencuci semua bajunya. Kini tiba dia menimba air, lalu dituang ke dalam wadah untuk kemudian dia membersihkan sisa-sisa sabun yang masih melengket di pakainnya. 

Pada timbaan kelima, timbanya terasa berat. Dia menggunakan seluruh kekuatannya untuk menarik timba. Dan berhasil. Tapi, matanya terbelalak, terpana melihat sebuah sosok cantik, anggun dan ditambah senyuman aduhai meluluhkan hati Gupta. Hatinya terpincut pada gadis itu. Gupta mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Lalu perlahan-lahan setengah badan atasnya masuk ke dalam sumur atas ajakan gadis tadi. Tubuh si gadis terus turun ke bawah sampai menyentuh air. Gupta begitu juga, dia tidak sadar lagi, asmaranya berkecamuk hebat. Gupta mendapat sebuah kecupan pada bibirnya. Seluruh tubuhnya telah masuk sumur bersamaan ciuman gadis itu. Semua lenyap. Keheningan malam itu ditutup dengan desiran angin menyentuh bulu ketiakku. Ya ini malam minggu.

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."