Selasa, 03 Juni 2014

Persimpangan

DI PERSIMPANGAN itu, agak menikung ke kanan, di dekat toko buah, gadis itu berdiri menenteng baki kue. Bau menyengat dari lubang got menusuk hidung. Di dinding toko antik di sebelah toko buah ada mural bertuliskan: “Bunda, mana baktimu?”. Aku memperhatikan gambar itu sekilas. Cuma sekilas, karena ada sosok lain yang minta aku perhatikan. Setiap aku menaiki bus menuju kampus, aku memperhatikan seorang gadis. Gadis berkerudung kuning berbaju merah. Tiada yang berubah dari gadis itu. Dia selalu tersenyum kepada setiap pembeli. Aku heran, kenapa aku tidak pernah melihat raut kekesalan di wajahnya. Sore itu aku memutuskan mencari tahu tentang gadis itu.

Gadis itu akan terlihat lebih jelas bila dilihat dari sebuah kedai kopi. Kedai kopi paling terkenal di kota ini. Aku memesan segelas kopi tanpa gula. Si penyaring kopi menarik saring ke udara, menyebabkan air jatuh setinggi alat penyaring. Sekali saring untuk beberapa gelas kopi. Lantas kopi pesananku tiba.

Aku mengepulkan asap rokok yang telah aku bubuhi sedikit daun hijau. Rasanya nikmat betul.

Seorang ibu di sebelahku duduk dengan kaki terangkat. Sanggul besar menghiasi rambutnya. Wajahnya gemuk dan tubuhnya gempal. Dia mengenakan rok hitam di bawah lutut, dipadukan dengan baju berwarna merah. Di depan ibu itu, duduk seorang pejabat dan kawannya. Aku kenal wajah mereka berdua melalui berita-berita di Facebook. Si pejabat mengenakan kacamata. Rambutnya telah memutih. Temannya memiliki brewokan cukup lebat,  mirip aktor Chuck Noris. Saat berbicara suara mereka lumayan keras. Jadi aku mendengar isi pembicaraan mereka. Aku terkejut, karena pokok pembicaraan mereka adalah gadis yang sedang aku cari tahu.

Jantungku berdetak lebih cepat daripada biasanya. Agaknya si pejabat teras dan kawannya terganggu dengan kekagetanku. Lalu aku pura-pura membuang muka. Sial. Tiba-tiba dua orang berseragam loreng merah-hitam datang menghampiriku.

“Kau ini siapa? Kau orang mana? Kau tahu kami siapa?” bentak salah satunya. Tangannya memegang kerah kemejaku. Dia memiliki raut wajah yang sangar dengan kumisnya yang tebal serta ada tahi lalat di hidungnya. Tubuhnya atletis, aku perkirakan dia sering latihan membentuk badannya. Tertutupi  kacamata hitam, aku tak bisa bola matanya ketika dia membentakku. Sementara yang satunya lagi memiliki badan yang kurus dan tidak berkata-kata. Dia menatapku begitu dingin.

“Tahu Pak!” jawabku dengan keringat mengucur deras.
“Kalau kau ingin tetap hidup, pulanglah sekarang!”
Plakkk!

Satu tamparan jatuh di pipi kiriku. Kau pikir aku bisa menghindar. Mereka membawa pistol. Dan aku tak ingin mati konyol.

Semua mata pelanggan kedai kopi tertuju ke arahku. Hari ini seorang sarjana ditampar oleh orang-orang berseragam dan itu di depan orang ramai.

Orang-orang di kedai kopi melanjutkan pembicaraan. Begitu juga si pejabat teras dan kawannya. Sementara aku, terpaksalah menunda melihat gadis berbaju merah dari dekat. Sekarang jarakku dengannya dipisahkan oleh sebuah tamparan.

Tapi aku akan mencari jalan cara lain. Aku akan melihatnya dari sudut lain. Dari kedai kopi aku menuju sebuah kios koran. Aku membeli sebuah koran nasional yang selalu datang terlambat. Aku membolak-balikkan koran dengan cemas. Dan benar, gadis itu dapat terlihat dari kios koran ini. 

Gadis itu masih berdiri dengan anggun. Sesekali dia menutupi wajahnya dari kepulan asap kendaraan. Dia menjaja makanan di simpang itu setiap sore. Banyak ibu-ibu muda yang datang membeli. Dan bapak-bapak, kau tahu, mungkin mampir karena kepincut dengan wajah rupawan gadis itu. Mereka suka melempar pandangan nakal dan mesum ke arah gadis itu.

Aku melihat gadis itu tertawa. Gigi-giginya putih. Bagaimana aku bisa menolak karya Tuhan yang sempurna ini. Jantungku berdetak kencang. Andai aku bisa menghadap orangtuanya dan menjadikannya pencerah hidup.

Sungguh tidak ada alasan untuk membasmi perasaan yang mulai tumbuh ini. Aku menyenandungkan sebuah lagu cinta. Dalam tubuhku, aku dapat merasakan darah yang menuju jantungku mengalir lebih cepat.

Dan aku mulai takut apabila ada laki-laki lain yang mencoba mendekati gadis itu. Aku mulai berpikir, apa yang terjadi apabila orang-orang di warung kopi tadi, maksudku bandit yang telah menamparku, ingin menghilangkan nyawa gadis itu? Apakah aku akan berani melawan mereka. Tiba-tiba badanku menjadi dingin.

Mereka akan menembak gadis itu. Dan dari sudut ini aku akan melihat kejadian tersebut. Sanggupkah aku menyelamatkan gadis impianku itu?

Pikiran lain tiba-tiba melintas. Sebuah pertanyaan dari sudut paling kelam dari hatiku: apabila dia bukan seorang gadis rupawan, tapi seorang gadis yang berkulit hitam dan buruk rupa, apa mungkin aku akan menolongnya?

Aku mulai linglung oleh pertanyaan-pertanyaan yang jahanam ini.

Si pejabat teras dan kawannya keluar dari kedai kopi. Para pengawal berbaju loreng merah-hitam mengikutinya. Oh rupanya perempuan gempal yang memakai rok selutut kawan mereka juga. Mereka saling melambaikan tangan, meskipun menaiki mobil yang berbeda.

Di tengah kebingungan, aku menatap kembali gadis idamanku. Tetapi.gadis impianku sudah tidak ada. Aku mencarinya ke sudut-sudut lain. Aku menemukan gadis itu. Wajah gadis itu berubah. Dia sekarang punya wajah yang paling mengerikan. Aku melihat tangan kanannya menyibakkan rok; menyentuh sesuatu pada pahanya.
Terdengar bunyi letusan senjata api.

Si brewok dan si lelaki berambut putih jatuh terkapar. Orang-orang di persimpangan itu melupakan gadis itu. Mereka berkerumun melihat dua tubuh tak bernyawa di persimpangan itu.

Aku melihat gadis itu menarik pelatuk. Setelah itu dia pun melihatku. Mata kami beradu. Dia tersenyum. Ya Tuhan dia masih sempat menggodaku.  Aku berdiri kaku, entah gemetar oleh kejadian itu, atau oleh godaannya. Mungkin keduanya. Lalu aku melihat gadis impianku itu dijemput oleh sebuah mobil hitam. Dalam sekejap mobil itu meluncur menuju arah selatan.

Hingga bertahun-tahun kemudian aku tak bisa melupakan gadis yang aku cintai itu, gadis pemberani, berbaju merah, berjilbab kuning.

Sumber: Cerpen ini sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia, 11 Mei 2014, Persimpangan.

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."