Tampilkan postingan dengan label Obituari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Obituari. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 September 2023

Abdul Halim, Kelola Bank Sampah Jadi Upaya Bersama Selamatkan Bumi

Senin, September 18, 2023


Keberadaan sampah dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi isu yang begitu menyita perhatian semua kalangan. Baik pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun secara pribadi. Hilir mudik pemberitaan media terkait sampah yang berserakan di mana-mana tentu amat menyita mata yang memandang. Misalnya yang amat terasa adalah di perkotaan. Selokan-selokan yang sebenarnya dialiri air dengan lancar, malah terhambat dengan berbagai jenis sampah baik organik, non-organik maupun sampah residu.


Hal ini yang membuat kegelisahan dirasakan oleh Abdul Halim, pemuda asal desa Glee Putoh, Kecamatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen, Aceh ini menggagas Bank Sampah Asri (BSA) pada tahun 2020. Program BSA ini mendapat perhatian dari masyarakat dikarenakan masyarakat yang mau menyetor sampahnya ke BSA akan mendapatkan reward yang dapat dikonversikan ke dalam uang untuk biaya sampah yang diambil di rumahnya setiap Senin dan Kamis oleh petugas kebersihan pemerintah desa.


Inovasi ini awalnya muncul saat pria lulusan program studi Sosiologi Universitas Malikussaleh ini saat ia mendampingi kunjungan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen berkunjung ke Surabaya. Dalam kunjungannya ini, Pemerintah Kota Surabaya telah mampu mengelola sampah perkotaan dengan luar biasa. Sepulang dari sana, ia pun mencoba menerapkan di daerahnya, Bireuen.


“Selain iu, saya juga rutin mengikuti webinar, termasuk belajar pengelolaan sampah dari komunitas yang ada di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum,” sebutnya dalam sesi wawancara via zoom, Jumat, 15 September 2023 lalu.


Beberapa tahun sebelumnya, usai lulus kuliah, dari tahun 2015-2016 ia merupakan jurnalis yang konsisten menyuarakan isu lingkungan dalam tulisan maupun pemberitaannya. Selanjutnya, kepeduliannya terhadap lingkungan pula yang memutuskannya pada tahun 2017 bergabung dengan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsisten mengenai lingkungan. Proyek yang dikerjakannya adalah mengenai kajian biodiversitas di kawasan DAS Peusangan yang aliran sungainya dari Danau Lut Tawar, Aceh Tengah hingga bermuara ke sungai Kuala Ceurapee, Bireuen.


“Dikarenakan terlibat dalam program ini pula, tahun 2019 tercetus ide melakukan submit ke Satu Astra Award. Tetapi, realisasi dan pendampingannya baru berjalan pada tahun 2020,” ungkapnya.


Pada tahun tersebut, Halim memutuskan untuk membuat terobosan dengan memilih Desa Blang Asan, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, sebagai desa pertama yang akan ia bina. Menurutnya, desa atau dalam bahasa Aceh disebut gampong ini memiliki kepadatan penduduk sehingga tentunya memiliki sampah yang tak terbendung. Apalagi, desa ini termasuk ke dalam kawasan di pinggiran Kota Matang Geulumpang Dua yang terkenal dengan kuliner Sate Matangnya itu.


Halim menyebut permasalahan sampah di desa perkotaan sebenarnya sudah menjadi permasalahan utama, sehingga perlu solusi penangangan sampah, area juga sempit sehingga warga kesulitan mengelola sampah secara mandiri.


“Kami berinisiatif mendorong kepala desanya menyediakan jasa pengelolaan sampah tingkat desa di bawah BUMDes atau di Aceh disebut dengan Badan Usaha Milik Gampong (BUMG). Jadi, mulai tahun 2020 desa mulai mngelola sampah dan berjalan 60 kepala keluarga yang berpartisipasi dari 110 kepala keluarga di desa tersebut,” tambah Halim.


Selang setahun kemudian, pada 2021, ia melihat aktivitas penyedia jasa berjalan dan warga mulai berpartisipasi meskipun belum semuanya dan berdampak. Desa juga berkolabroasi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bireuen sehingga membuang sampah dari desanya ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Dari berbagai pengalaman tadi, Halim pada tahun 2021 memutuskan untuk kembali melakukan submit untuk apresisasi SATU Indonesia Awards. Ia terpilih sebagai penerima Satu Indonesia Award Tahun 2021 tingkat provinsi dengan inovasi ‘Pengelolaan Sampah untuk Masa Depan Bumi’.


Setelah mendapatkan apresiasi dari Astra ini, tidak membuatnya berada di menara gading. Halim terus berinovasi dengan terus mengajak warga lainnya untuk terlibat. Misalnya ia bersama komunitas The Power of Mak-Mak, Dusun Geudong Teungoh Desa Pulo Ara, Kecamatan Kota Juang yang berada di pusat ibukota Kabupaten Bireuen ini salah satunya adalah isu pengelolaan sampah.


Sebab hampir sama kasusnya dengan di Desa Blang Asan, di kawasan ibukota kabupaten warga mulai membungan sampah di selokan, jalan-jalan umum. Bahkan menjadi pemberitaan serius di Bireuen. Salah satu isu yang cukup besar adalah adanya penolakan keberadaan TPA di salah satu desa dengan Pemkab Bireuen. Walaupun kini TPA-nya sudah ditutup dan dipindahkan ke tempat lain, namun ini hanya menggesar persoalan dari TPA lama ke TPA baru dan pastinya akan muncul masalah penolakan lagi.


“Makanya kita dorong komunitas perempuan ini untuk mulai memilah sampah, sehingga persoalan sampah ini dapat kita kendalikan bersama-sama.”


Dikatakan Halim, sambil ia menerapkan ilmu Sosiologinya, menurut ia ada perbedaan penanganan sampah di Blang Asan dan Pulo Ara. Jika di Blang Asan, Keuchik (Kepala Desa) yang terjun langsung sangat terbuka terhadap perbaikan lingkungan desanya. Apalagi mereka juga semangat karena memperoleh pemasukan dari pengelolaan sampah mereka sendiri. Sementara di desa Pulo Ara, komunitas perempuan yang awalmya sebagai komunitas olaharaga, sosial, dan lainnya ini mendorong anggotanya untuk mulai memilah sampah rumah tangga. Dampaknya, kaum perempuan ini lebih progresif dan semangat. Kita tahu, ibu-ibu yang keserahiannya lebih banyak dihabiskan di rumah tentu menjadi individu yang paling berdampak dengan sampah. Oleh karena itu, ketika ada inovasi BSA, mereka lebih cepat tertarik karena BSA mendorong perempuan untuk memanfaatkan kemabli sampah-sampahnya. Apalagi, beberapa jenis sampah plastik dapat dijadikan sebagai kerajinan tangan.


Dari berbagai rangkaian pendirian BSA, Halim juga bercerita bahwa ia memiliki sejumlah tantangan dalam menjalankan programmnya. Untuk BSA sendiri masih ada kendala dikarenakan harga sampah yang anjlok, sehingga membuat pemilahan sampah di rumah tangga menurun. Namun, Halim terus menyoliasisikan bahwa semua pribadi perlu bertaanggung jawab atas sampah yang telah kita hasilkan.


“Kita terus memotivasi masyarakat bahwa pemilahan sampah baik di rumah maupun di lembaga pendidikan sebenarnya telah membantu negara mengurangi biaya yang harus dikeluarkan setiap tahunnya untuk mengurangi timbunan sampah. Apalagi Pemkab Bireuen harus mengeluarkan biaya yang besar setiap tahunnya mencapai 5 miliah rupiah.”


Angka yang cukup fantastis, sehingga jika sampah dikelola secara mandiri oleh masyarakat tentu oeperasional sebesar itu tidak perlu dikeluarkan. Bersebab pengelolaan sampah memang tanggung jawab setiap individu, meskipun pemerintah juga punya kewenagan tersendiri.


Tantangan lain yang dihadapi Halim adalah saat pertama kali mencetus ide ini ada saja suara-suara sumbing. Ada warga yang pesimis bahwa progra BSA ini tidak mungkin berhasil. Selain itu, terkadang ada petugas kebersihan desa yang akhirnya tidak mau mengambil sampah dikarenakan upah yang diterimanya sedikit. Namun, warga yang tadinya pesimis, akhirnya dialah yang kini menjadi garda terdepan menggantikan petugas kebersihan sebelumnya.


“Tipikal masyarakat kita, ketika sudah sukses, barulah mereka menyukai sehingga mengubah mindset mereka. Apalagi, program ini juga menjadi pemasukan untuknya, meskipun belum besar.”


Sejak berdiri tahun 2020 silam hinga sata ini, program yang telah terealisasi yaitu jasa pengangkutan sampah desa dan pendirian bank sampah. Halim memiliki target ke depannya, pemanfaatan dan pengelolaan sampah dapat makin masif misalnya sampah-sampah seperti botol mineral dapat dijadikan kursi. Selain itu, seperti tutup botol bisa dijadikan bros atau kantong kopi kemasan bisa dijadikan tas dan sebagainya.



Dikarenakan terpilih sebagai penerima Satu Indonesia Awards sebagai Apresiasi Astra bagi anak bangsa yang telah berkontribusi untuk mendukung terciptanya kehidupan berkelanjutan melalui bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi serta satu kategori kelompok yang mewakiliki lima bidang tersebut. Halim merasakan benar bahwa Astra telah sangat membantunya menwujudkan ikhtiar pengelolaan sampah untuk masa depan bumi hingga sekarang.


“Sejauh ini, sejak tahun 2021, Astra telah menjadi wadah dan membuka jaringan dipertemukan dengan jejaring yang bisa saling mendukung. Upaya Astra ini membantu ide-ide kreatif dan inovatif untuk dipertemukan dengan banyak pihak sehingga mendukung keberlanjutan program ini terus berjalan,” ujar Abdul Halim.


Kini, ia telah merancang strategi agar upaya kolaborasi positifnya ini dengan Astra Indonesia dapat terus berlanjut dan memiliki dapat pada masyarakat setempat. Halim mengatakan bahwa ini menjadi titik fokusnya, karena ia tidak ingin dianggap hanya sukses dalam kegiatan yang sifatnya seremonial saja. Sebab itu, ia ingin masyarakat mendapatkan hasil yang lebih banyak dari pengelolaan sampah ini dan membantu perekonomian warga dan desa. Selain itu, Halim juga akan mengajak keterlibatan generasi muda untuk mulai peduli dan sadar terkait isu lingkungan sebagai bagian dari hidupnya. Halim punya cita-cita dari apa yang telah dicetuskannya ini. Ia pribadi berharap bahwa ke depan adasemacam tempat pengelolaan sampah terpadu yang  menghubungkan desa-desa yang berpartisipasi di Kabupaten Bireuen. Terutama di kawasan perkotaan padat penduduk dan tenapt wisata, lembaga pendidikan yang produksi sampahnya banyak.(*)

#SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia #KitaSATUIndonesia

 

Kamis, 14 Maret 2019

Mak Inspirasiku

Kamis, Maret 14, 2019
Saat Mak Menghadiri Wisuda Saya

Sudah setahun Mak tiada. Hari ini, di tahun lalu, 14 Maret 2018, nafas Mak terhenti. Sebulan, setelah Mak datang ke Banda Aceh menghadiri wisuda abang kandung saya, Muhadzdzier. Saya sangat kaget. Betapa tidak, sebulan lalu itu, Februari, saya masih menatap wajahnya. Berbicara, bahkan tidur dalam pangkuannya. Betapa pun usia saya bukan lagi kategori anak, telah dewasa, tapi tidur di pangkuan ibu adalah kehangatan.

Saya teringat, saat di rumah, masa kecil, tidur dalam pangkuan ibu hingga terlelap. Menemaninya menonton televisi, atau saat konflik berkecamuk, rasa takut saya seakan berkurang, jika di samping Mak. Sepeninggal Ayah pada 5 Maret 1999 silam, Mak menjadi tulang punggung kami. Uang pensiunan Waled rasanya tak cukup untuk menghidupi kami semua anaknya. Mak harus mendidik kami. Lima lekaki, tiga perempuan. Bayangkan mendidik delapan anak di suasana sebelum dan sesudah konflik berkecamuk di Aceh, ditambah pasca gempa dan tsunami, bukan hal yang mudah.

Semisal saat kejadian di malam Selasa, kurun waktu di atas tahun 2000-an, pohon kelapa di dekat badan jalan gampong kami ditebang OTK. Suara rongrongan senso menyelinap masuk dalam hati saya. Takut. Itu yang saya rasakan. Saya dan Mak berdiri di depan kios keluarga. Robot warna kuning –bisa diotak-atik menjadi mobil– saya pegang erat. Dan Mak menemani saya. Akibat pohon kelapa yang ditebang itu, mengenai tiang listrik. Seketika listrik seluruh gampong mati. Malam itu begitu mencekam. Saya sangat khawatir bila akan terjadi lagi kontak senjata. Namun, lantaran ada Mak di samping, seolah takut itu menghilang. Saya ada ‘payung’ untuk berteduh dari konfik.

Lain lagi, saat saya dan Mak mengunjungi rumah saudara Mak seibu tapi tidak seayah. Di gampong tetangga itu, kebetulan hari itu ada kenduri keluarga. Jalan setapak di kebun-kebun warga kami lalui. Kawasan perkebunan kelapa itu kami sebut Kuta Baro. Saat dalam perjalanan pulang lagi ke rumah, di pertengahan, hujan menghampiri kami. Mak takut kalau air hujan membasahi kepala saya. Untuk itu, Mak membuat topi dari on keurusong (daun pisang kering berwarna coklat muda). Saya memakainya, rasa senang dibuatkan topi sedemikian rupa. Mak selalu ada cara untuk melindungi saya.

Begitulah Mak melindungi kepala saya. Begitu pula saat Mak memangkas rambut saya dan semua anak-anaknya. Gunting khusus dipersiapkan, pisau cukur juga demikian. Di bangku warna coklat itu, Mak pelan-pelang memangkas rambut saya. Helaian rambut yang jatuh membuat saya geli minta ampun. Entah dari mana, Mak bisa memangkas rambut. Hingga kemudian saya tahu, Mak memotong rambut bukan hanya karena menghemat biaya rumah tangga, tetapi upaya mendekatkan saya dengan beliau. Selama kecil hingga SMA, Mak akan sigap memotong rambut saya. Di pangkas dengan rapi dan penuh kesabaran. Meski menginjak remaja, saya tidak pernah malu jika rambut dipangkas oleh Mak. Jika sudah selesai memangkas, Mak akan berujar begini.

“Kiban nyak, pu jeut lagee nyoe?” (Gimana nak, apa sudah bisa begini?”)

Mak sangat bahagia saat mengetahui saya mendapat juara kelas dan juara umum sekolah. Atau juara lari bendera saat TK, atau pula saat juara tiga menggambar tingkat kabupaten. Lalu Mak akan menceritakan kepada kerabat dan kawan-kawanya tentang saya. Karena demikian, saya pun jadinya terkenal. Mak saya memang setamat sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 Tahun –setingkat SMP masa sekarang– tidak melanjutkan sekolahnya. Tetapi, kepintarannya sungguh luar biasa. Pengetahuannya luas, karenanya, sebelum diantar ke tempat pengajian, Mak yang mengajari kami belajar alif ba ta sa. Atau, selalu peduli Pendidikan anak-anaknya. Alhamdulillah, semua anaknya yang delapan punya ilmu agama dan selesai sarjana.

Pernah suatu ketika, saya agak kesal saat Mak tidak membolehkan saya bersepeda usai Subuh di bulan Ramadan. Dari waktu Subuh hingga matahari menampakkan cahayanya, kami tidak boleh keluar rumah. Abang-abang dan saya diajari Mak mengaji Alquran. Padahal, bersepeda di waktu itu adalah kebahagian bagi saya. Maka, Mak mengajari kami dengan didikan karakternya. Sebab itu, sebenarnya Mak tidak mau anak-anaknya buta Alquran. Maka Mak pun pernah berujar.

“Beu na tingat keu Waled dan Mak. Beuna gata kirem doa-doa dan ayat pendek niet hadiah pahala keu kamoe beuh nyak.” (Ingat Waled dan Mak ya. Kirimlah doa-doa dan ayat pendek, niatkan pahalanya untuk kami ya nak)

Hari-hari saya lalui bersama Mak. Tak terkecuali bila Mak menggarap sawah. Hari libur atau pun sepulang sekolah, jika musim turun ke sawah tiba, sudah pasti saya Bersama Mak. Usai Subuh, nasi pagi dengan lauk sudah tersedia. Minuman dan kue ke sawah juga telah ada. Kami berangkat, bersama Mak menggarap sawah. Dari mulai tanah dipersiapkan, disiapkan bakal benih padi, ditanami, merawatnya, hingga masa panen sudah tiba. Mak mengisi hari-harinya demikian. Bila waktu kosong, terkadang Mak ikut menjadi buruh tani menanami padi orang. Tentu selain mencari tambahan biaya, agar Mak juga punya kawan.

Saya teringat betul, bila masuk masa usia padi siap ditanam. Sehari sebelumnya, Mak mempersiapkan segala penganan. Seperti timphan. Maka, malamnya kami isi membuat timphan bersama. Parutan kelapa yang telah dimasak dengan gula menjadi isi timphan. Maka, saat capai esoknya, rasa manis dan legitnya timphan ditambah segelas air putih, seolah sirna sudah lelah ini. Sebab, dalam seharian itu, kebetulan Mak menyewa buruh tani seharian terus. Jadinya, sekalian lelahnya. Maka, malamnya Mak akan menyuruh abang tertua untuk membeli mie. Itulah cara asik Mak membersamai kami. Oleh sebab itu, Mak akan selalu menasehati kami tentang padi, beras, dan nasi. Menjaganya agar berkah hidup.

“Beu abeih nyak pajoh bu, bek neu boh-boh bu. Hek that tajak u blang.” (Dimakan habis ya nak nasinya, jangan dibuang-buang. Lelah sekali kita bersawah)

Petuah inilah yang membuat saya akan menyantap habis nasi. Hingga kini dan seterusnya. Petuah ini akan saya ajari pula saat saya berkeluarga hingga suatu saat memiliki anak.

Bila panen padi telah usai. Agar sawah tak sia-sia. Mak mengajak kami menanami kacang hijau, kacang kuning, hingga jagung. Pernah suatu ketika, baru beberapa baris bulatan tanah kami isi tiga-empat biji kacang hijau, suara tembakan senjata berduyun-duyun datang. Mak dan saya langsung tiarap. Tanpa alas apapun! Dentuman senjata beruntun itu, membuat saya sungguh takut. Mak juga demikian. Barulah seolah hilang, saat suara tembakan juga hilang. Tetapi, kenangan akan selalu hadir. Ditambah, rombongan pembawa senjata melewati dekat sawah kami, sungguh kekhawatiran bertambah-tambah. Bisa saja, konflik mendekati kami dan nyawa melayang! Tapi, mak meneduhkan saya. Beliau tak panik, tentu doanya selalu hadir bagi saya.

Petir yang kadang datang tidak menentu. Kadang membuat siapa pun kecut. Di sawah, di tempat terbuka itu, petir akan mudah menyambar siapa saja. Langit yang gelap di hari itu, membuat Mak dan kami memutuskan untuk pulang. Khawatir akan terjadi apa-apa. Setiba di rumah, barulah hati Mak dan saya menjadi tenang.

Mak adalah rumah bagi saya, selain rumah dalam kenyataannya. Kampung kami pernah dihinggapi banjir tahun 2002 silam. Rumah dapur dihinggapi air di atas mata kaki. Rumah Mak yang hanya 200-an meter dari sungai, membuat saya khawatir. Bagaiman bila sewaktu-waktu airnya meluap? Tetapi, berada di samping Mak dan meyakinkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Air akan segera surut.

Sepulang, dari sekolah, biasanya saya akan membantu Mak memasak. Memotong sayur hingga membantu mengambil kayu-kayu tua dan sabut kelapa sebagai kayu bakar. Begitulah yang membuat Mak senantiasa dekat dengan saya. Apalagi saat tiba bulan Maulid atau bulan Ramadan. Kebahagian itu bertambah, saat menyantap masakan Mak. Kini, semuanya menjadi kenangan.

Mak adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Memiliki nama lengkap Nazariah Binti Abdullah. Di malam Kamis, setahun lalu itu, jam 23.30 WIB Mak meninggal. Pada harinya, Mak dikebumikan berdekatan dengan makam Waled. Di pemakaman keluarga itu, kumandang azan abang tertua, membuat suasana semakin haru. Saya tidak tahu bagaimana sudah perasaan berkecamuk. Antara percaya atau tidak. Tetapi, saya harus ikhlas. Mak menghadap pencipta-Nya. Begitulah Mak bercerita semasa hidupnya. 

Kini tidak ada lagi tempat saya rebahan di pangkuannya. Mencicipi asam u, asam udeung, bu minyeuk, atau masakan terenaknya menghinggapi mulut ini. Atau mendengarnya membalas salam saya saat tiba sepulang dari Banda Aceh. Tidak ada lagi tempat saya menghabiskan malam-malam bercerita dengan Mak. Begitu pula, tak ada lagi tempat saya berbagi kabar bila meraih juara. Suaranya yang khas itu dan senyum mak menyambut saya, tak ada lagi. Hanya doa dari saya dan berharap selalu dapat menjumpainya dalam mimpi. Karena, hanya itu hal yang saya punyai. Setiap kali Mak hadir dalam mimpi, Mak selalu senyum. Dalam sekejap itu, sungguh berarti. Meski Mak telah tiada, Mak selalu menginspirasiku. []

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."