Abdul Halim, Kelola Bank Sampah Jadi Upaya Bersama Selamatkan Bumi
Keberadaan sampah dalam
beberapa tahun terakhir telah menjadi isu yang begitu menyita perhatian semua
kalangan. Baik pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun secara pribadi. Hilir
mudik pemberitaan media terkait sampah yang berserakan di mana-mana tentu amat
menyita mata yang memandang. Misalnya yang amat terasa adalah di perkotaan.
Selokan-selokan yang sebenarnya dialiri air dengan lancar, malah terhambat
dengan berbagai jenis sampah baik organik, non-organik maupun sampah residu.
Hal ini yang membuat kegelisahan
dirasakan oleh Abdul Halim, pemuda asal desa Glee Putoh, Kecamatan Kuta Blang,
Kabupaten Bireuen, Aceh ini menggagas Bank Sampah Asri (BSA) pada tahun 2020. Program
BSA ini mendapat perhatian dari masyarakat dikarenakan masyarakat yang mau
menyetor sampahnya ke BSA akan mendapatkan reward yang dapat dikonversikan ke
dalam uang untuk biaya sampah yang diambil di rumahnya setiap Senin dan Kamis
oleh petugas kebersihan pemerintah desa.
Inovasi ini awalnya muncul saat
pria lulusan program studi Sosiologi Universitas Malikussaleh ini saat ia
mendampingi kunjungan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK)
Bireuen berkunjung ke Surabaya. Dalam kunjungannya ini, Pemerintah Kota Surabaya
telah mampu mengelola sampah perkotaan dengan luar biasa. Sepulang dari sana,
ia pun mencoba menerapkan di daerahnya, Bireuen.
“Selain iu, saya juga rutin mengikuti
webinar, termasuk belajar pengelolaan sampah dari komunitas yang ada di kawasan
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum,” sebutnya dalam sesi wawancara via zoom,
Jumat, 15 September 2023 lalu.
Beberapa tahun sebelumnya, usai lulus
kuliah, dari tahun 2015-2016 ia merupakan jurnalis yang konsisten menyuarakan
isu lingkungan dalam tulisan maupun pemberitaannya. Selanjutnya, kepeduliannya
terhadap lingkungan pula yang memutuskannya pada tahun 2017 bergabung dengan
salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsisten mengenai lingkungan.
Proyek yang dikerjakannya adalah mengenai kajian biodiversitas di kawasan DAS
Peusangan yang aliran sungainya dari Danau Lut Tawar, Aceh Tengah hingga
bermuara ke sungai Kuala Ceurapee, Bireuen.
“Dikarenakan terlibat dalam
program ini pula, tahun 2019 tercetus ide melakukan submit ke Satu Astra Award.
Tetapi, realisasi dan pendampingannya baru berjalan pada tahun 2020,”
ungkapnya.
Pada tahun tersebut, Halim memutuskan
untuk membuat terobosan dengan memilih Desa Blang Asan, Kecamatan Peusangan,
Kabupaten Bireuen, sebagai desa pertama yang akan ia bina. Menurutnya, desa
atau dalam bahasa Aceh disebut gampong ini memiliki kepadatan penduduk sehingga
tentunya memiliki sampah yang tak terbendung. Apalagi, desa ini termasuk ke
dalam kawasan di pinggiran Kota Matang Geulumpang Dua yang terkenal dengan
kuliner Sate Matangnya itu.
Halim menyebut permasalahan
sampah di desa perkotaan sebenarnya sudah menjadi permasalahan utama, sehingga
perlu solusi penangangan sampah, area juga sempit sehingga warga kesulitan
mengelola sampah secara mandiri.
“Kami berinisiatif mendorong
kepala desanya menyediakan jasa pengelolaan sampah tingkat desa di bawah BUMDes
atau di Aceh disebut dengan Badan Usaha Milik Gampong (BUMG). Jadi, mulai tahun
2020 desa mulai mngelola sampah dan berjalan 60 kepala keluarga yang berpartisipasi
dari 110 kepala keluarga di desa tersebut,” tambah Halim.
Selang setahun kemudian, pada 2021,
ia melihat aktivitas penyedia jasa berjalan dan warga mulai berpartisipasi
meskipun belum semuanya dan berdampak. Desa juga berkolabroasi dengan Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bireuen sehingga membuang
sampah dari desanya ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Dari berbagai pengalaman
tadi, Halim pada tahun 2021 memutuskan untuk kembali melakukan submit untuk
apresisasi SATU Indonesia Awards. Ia terpilih sebagai penerima Satu Indonesia Award
Tahun 2021 tingkat provinsi dengan inovasi ‘Pengelolaan Sampah untuk Masa Depan
Bumi’.
Setelah mendapatkan apresiasi
dari Astra ini, tidak membuatnya berada di menara gading. Halim terus
berinovasi dengan terus mengajak warga lainnya untuk terlibat. Misalnya ia
bersama komunitas The Power of Mak-Mak, Dusun Geudong Teungoh Desa Pulo Ara,
Kecamatan Kota Juang yang berada di pusat ibukota Kabupaten Bireuen ini salah
satunya adalah isu pengelolaan sampah.
Sebab hampir sama kasusnya dengan
di Desa Blang Asan, di kawasan ibukota kabupaten warga mulai membungan sampah
di selokan, jalan-jalan umum. Bahkan menjadi pemberitaan serius di Bireuen. Salah
satu isu yang cukup besar adalah adanya penolakan keberadaan TPA di salah satu
desa dengan Pemkab Bireuen. Walaupun kini TPA-nya sudah ditutup dan dipindahkan
ke tempat lain, namun ini hanya menggesar persoalan dari TPA lama ke TPA baru
dan pastinya akan muncul masalah penolakan lagi.
“Makanya kita dorong komunitas perempuan
ini untuk mulai memilah sampah, sehingga persoalan sampah ini dapat kita
kendalikan bersama-sama.”
Dikatakan Halim, sambil ia
menerapkan ilmu Sosiologinya, menurut ia ada perbedaan penanganan sampah di Blang
Asan dan Pulo Ara. Jika di Blang Asan, Keuchik (Kepala Desa) yang terjun
langsung sangat terbuka terhadap perbaikan lingkungan desanya. Apalagi mereka
juga semangat karena memperoleh pemasukan dari pengelolaan sampah mereka
sendiri. Sementara di desa Pulo Ara, komunitas perempuan yang awalmya sebagai
komunitas olaharaga, sosial, dan lainnya ini mendorong anggotanya untuk mulai
memilah sampah rumah tangga. Dampaknya, kaum perempuan ini lebih progresif dan
semangat. Kita tahu, ibu-ibu yang keserahiannya lebih banyak dihabiskan di
rumah tentu menjadi individu yang paling berdampak dengan sampah. Oleh karena
itu, ketika ada inovasi BSA, mereka lebih cepat tertarik karena BSA mendorong
perempuan untuk memanfaatkan kemabli sampah-sampahnya. Apalagi, beberapa jenis
sampah plastik dapat dijadikan sebagai kerajinan tangan.
Dari berbagai rangkaian pendirian
BSA, Halim juga bercerita bahwa ia memiliki sejumlah tantangan dalam menjalankan
programmnya. Untuk BSA sendiri masih ada kendala dikarenakan harga sampah yang
anjlok, sehingga membuat pemilahan sampah di rumah tangga menurun. Namun, Halim
terus menyoliasisikan bahwa semua pribadi perlu bertaanggung jawab atas sampah
yang telah kita hasilkan.
“Kita terus memotivasi masyarakat
bahwa pemilahan sampah baik di rumah maupun di lembaga pendidikan sebenarnya
telah membantu negara mengurangi biaya yang harus dikeluarkan setiap tahunnya
untuk mengurangi timbunan sampah. Apalagi Pemkab Bireuen harus mengeluarkan
biaya yang besar setiap tahunnya mencapai 5 miliah rupiah.”
Angka yang cukup fantastis,
sehingga jika sampah dikelola secara mandiri oleh masyarakat tentu oeperasional
sebesar itu tidak perlu dikeluarkan. Bersebab pengelolaan sampah memang
tanggung jawab setiap individu, meskipun pemerintah juga punya kewenagan tersendiri.
Tantangan lain yang dihadapi
Halim adalah saat pertama kali mencetus ide ini ada saja suara-suara sumbing. Ada
warga yang pesimis bahwa progra BSA ini tidak mungkin berhasil. Selain itu,
terkadang ada petugas kebersihan desa yang akhirnya tidak mau mengambil sampah
dikarenakan upah yang diterimanya sedikit. Namun, warga yang tadinya pesimis,
akhirnya dialah yang kini menjadi garda terdepan menggantikan petugas
kebersihan sebelumnya.
“Tipikal masyarakat kita, ketika
sudah sukses, barulah mereka menyukai sehingga mengubah mindset mereka.
Apalagi, program ini juga menjadi pemasukan untuknya, meskipun belum besar.”
Sejak berdiri tahun 2020 silam
hinga sata ini, program yang telah terealisasi yaitu jasa pengangkutan sampah
desa dan pendirian bank sampah. Halim memiliki target ke depannya, pemanfaatan
dan pengelolaan sampah dapat makin masif misalnya sampah-sampah seperti botol
mineral dapat dijadikan kursi. Selain itu, seperti tutup botol bisa dijadikan
bros atau kantong kopi kemasan bisa dijadikan tas dan sebagainya.
Dikarenakan terpilih sebagai penerima
Satu Indonesia Awards sebagai Apresiasi Astra bagi anak bangsa yang telah
berkontribusi untuk mendukung terciptanya kehidupan berkelanjutan melalui
bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi serta
satu kategori kelompok yang mewakiliki lima bidang tersebut. Halim merasakan benar
bahwa Astra telah sangat membantunya menwujudkan ikhtiar pengelolaan sampah
untuk masa depan bumi hingga sekarang.
“Sejauh ini, sejak tahun 2021,
Astra telah menjadi wadah dan membuka jaringan dipertemukan dengan jejaring
yang bisa saling mendukung. Upaya Astra ini membantu ide-ide kreatif dan
inovatif untuk dipertemukan dengan banyak pihak sehingga mendukung keberlanjutan
program ini terus berjalan,” ujar Abdul Halim.
Kini, ia telah merancang strategi
agar upaya kolaborasi positifnya ini dengan Astra Indonesia dapat terus
berlanjut dan memiliki dapat pada masyarakat setempat. Halim mengatakan bahwa
ini menjadi titik fokusnya, karena ia tidak ingin dianggap hanya sukses dalam
kegiatan yang sifatnya seremonial saja. Sebab itu, ia ingin masyarakat
mendapatkan hasil yang lebih banyak dari pengelolaan sampah ini dan membantu
perekonomian warga dan desa. Selain itu, Halim juga akan mengajak keterlibatan
generasi muda untuk mulai peduli dan sadar terkait isu lingkungan sebagai
bagian dari hidupnya. Halim punya cita-cita dari apa yang telah dicetuskannya
ini. Ia pribadi berharap bahwa ke depan adasemacam tempat pengelolaan sampah terpadu
yang menghubungkan desa-desa yang
berpartisipasi di Kabupaten Bireuen. Terutama di kawasan perkotaan padat
penduduk dan tenapt wisata, lembaga pendidikan yang produksi sampahnya banyak.(*)
#SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia #KitaSATUIndonesia