Rabu, 02 April 2014

Setelah Simpang Tujuh




Malam telah bersama sinarnya bulan. Tidak temaram, cahayanya menyinari jalan setapak ke arah rumahku. Dari simpang tujuh aku berjalan pelan. Setelah motorku hilang di curi orang, tepatnya magrib tadi usai salat di mesjid raya. Jadilah aku naik labi-labi sampai ke simpang tujuh.

Aku tak langsung pulang memang. Segelas bandret dan pisang goreng yang kalau istilah org daerah sini dengan Bada Teucroh mampu mengahmabat rasa lapar. Bandret tipe biasa jadi pesananku, di antara bandret susu atau bandret telur ditambah susu. Sepiring pisang goreng ku lumat habis. Gerimis hujan mulai turun. Rintik-rintiknya jatuh menghantam bumi Tuhan. Bumi para syuhada, bukan bumi penguasa.

Aku tinggal sendiri di kota ini. Untuk mahasiswa tingkat akhir  tugas rutinnya menjumpai dosen wali yang baik budinya. Cuma aku saja yang malas.
Aku membayar bandret dan pisang goreng. Sejenak aku melihat ke jalan. Lalu lalang orang sudah mulai sedikit. Entah berapa jam aku bersantai khas lajang. Aku jalan pelan. Dinginnya Koeta Radja, tanganku pun kumasukkan ke dalam jaket. Botol minuman kaleng aku tendang sampai ke depan warkop seberang. Bebrapa orang yang baru datang ke Koeta Radja bakalan bingung memilih jalan bila sudah di simpang tujuh. Aku pun dulu juga begitu. Tapi sekarang tidak. 

Jalan Lamreung menjadi tujuanku. Dari jalan ini bisa tembus ke Darusdalam juga ke makam T Nyak Arief. Di pinggir jalan di tumbuhi pohon asam jawa. Rindangnya asam jawa ditambah batangnya yang terlihat menua, menambah gelapnya jalan ini. Toko-toko di jalan ini sudah pada tutup semua. Cuma ada 1 kios yang masih buka. Bapak itupun langsung menutup kiosnya ketika aku sampai di depannya. Entah apa dia pikir tentang wujudku ini.

Aku berjalan sambil menunduk. Angin sesekali menghampiri helaian rambutku. Seperti  suara tangisan perlahan terdengar. Makin dekat, makin tersedu-sedu. Di jembatan kecil itu tampak sesosok manusia. Dia memakai gaun warna merah. Wajahnya menunduk. Aku menghampirinya. Smbil berkata "Hallo!"

Dia tidak menjawab. Dari kejauhan bajunya tampak merah memang, kalau dekat malah tampak putih memanjg ke bawah. Aku sempat kaget, jangan-jangan. Aku terkejut ternyata ini bukan manusia. Tetapi wanita yang sedang gentangan. Helai bulu kuduk tak bisa di suruh duduk lagi. Mereka bangun sendiri.
Dia memegang tanganku. Dia membalik tubuhnya. Aku terpana, wajahnya putih bersinar. Giginya putih ditambah rambutnya yang terurai. Seperti bukan. Aku tercegat untuk kabur. "Maukah kau bicara denganku sejenak?" ucap wanita itu. Aku mengiyakan saja, walau rasa takut tak elak kutahan.

Dia sudah lama menanti sesorang yang datang menghampirinya. Di jembatan ini juga. lelaki itu sampai seminggu-an tidak menjumpainya kala itu. Dia bahkan tetap menunggu. Yakin dengan janji sang lelaki. Lewat handphone mereka mengikat janji. Malam-malam menjadi buah rindu bila sejenak tidak menyapa.

Menunggu bukan perkara ringan. Bila malam sudah larut, maka dia baru pulang ke rumahnya. Paginya, dia kembali menunggu. Di jembatan yang sama. Ya masih lelaki yg sama. Itu tidak lama. Dia termasuk korban konflik negeri ini. 

Pada malam itu dia diperkosa aparat secara bergiliran, sangat beringas. Dia pun lalu ditembaki. Mayatnya mati tanpa ada yang tahu. Aparat mengikat tubuhnya dengan batu, lalu ditenggelamkan ke dalam air di bawah jembatan.

Lelaki yang diinginkannya malah tidak kunjung datang. Justeru gerombolan lelaki hasrat yang menghampirinya. Wajah cantiknya sudah tidak ada lagi. Maka, tiap malam diapun masih menunggu lelaki yang sama. Karena wajahku mirip dengan lelaki yang dicintainya, diapun mendekat kearahku.

Ceritanya yg tadi sangat memilukan. Dia juga sadar kalau aku bukanlah lelaki yg dicarinya itu. Diapun melepas genggaman tanganku. Aku tersenyum.  Katanya, aku boleh pergi. Dia meminta maaf juga sudah menghambatku. Tetapi aku tidak marah, putih wajahnya memikat hatiku. Ah atau ini cinta ya, oh Tuhan.

Sadar diri kalau dalam alam yang lain. Dia mempersilahkanku pulang kerumah. Dia berucap senang karena aku sudah mau mendengar ceritanya. Dia tersenyum. Baiklah. Mungkin malam besok aku dapat menjumpainya lagi. Aku menjauh darinya dengan berjalan terbalik. Agar tetap selalu melihat wajah manisnya.

Beberapa langkah wajahnya masih menyiratkan senyum termanis dan terindah. Sampai di depan lorong memasuki komplek tempat tinggalku, aku berbalik badan karena telah di jalan yang baru. Langkah kedua aku malah ingin melihatnya lagi. Tetapi, dianya sudah tak ada. Jembatannya kosong. Asap dari pembakaran sampah rumah sebelah memutihkan jemabatan tadi.

Aku harap malam esoknya aku kembali berjumpa. Seraya aku juga punya cerita soal cintaku. Ah dia memang manis, walau awalnya menyeramkan.
***
Malam yang kutunggu telah tiba. Aku mengulang sperti malam lalu. Pulang telat. Berharap berjumpa dengannya lagi. Berharap melihat senyumnya. Tetapi, aku tak menjumpainya lagi. Lama aku di sana. Sambilan menghisap cerutu terakhirku. Aku duduk di jembatan sambil menearwang kemana mana. Mugkin ini bukan malam terbaikku. Dia tidak datnag. Aku teringat pesannya malam sebelumnya. "Kau tak perlu menjumpaiku di malam-malam lain".
 
Namanya saja lelaki tetap berusaha. Nyatanya  benar saja ucapannya. Aku bahkan tidak mencium wangi mawar dari tubuhnya. Selayaknya aku pernah menyenangkan orang lain dengan mendengar ceritanya. Walaupun dia bukan lagi manusia. Ya kuharap, menemukan gadis sepertinya.

Aku tersenyum, melangkah pulang. Dalam batin penuh yakin, bakal ada yg sedang menunggu. Ya dengan sama-sama menunggu suatu saat. Yakin pada-Nya.[*]

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."