Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 November 2013

Pada Sebuah Buku

Jumat, November 08, 2013
Gerai pintu kamar baru saja kubuka. Burung gereja keluar dari loteng rumahku. Siluet ayam jantan seolah aku sedang berada di Paris, lambang negara itu. Aku turun ke bawah. Kedai toko Abuaku telah dibuka sedari fajar tadi. Setelah kebakaran lima tahun lalu dan merenggut ibu bapakku, aku terpaksa hijrah ke tempat Abua. Terpaksa tinggal bersamanya sih tidak masalah, yang lebih parah aku malah dipaksa mencintai anak gadis semata wayangnya. Firasatku, Abua menginginkan harta peninggalan ibu bapakku. Makanya setiap sarapan pagi, aku dipaksa makan semeja dengan anaknya.

Pagi-pagiku ya begitulah. Makin bulan, atau bahkan sudah setahun, pagiku begini-gini saja. Macam makhluk dekte aku. Beda dengan pagiku ketika bersama bapak ibu. Tiap pagi aku harus sarapan pagi sendirian. Ibu bapakku? Ah mereka sudah duluan berangkat ke kantornya masing-masing. Orang tua macam apa mereka, pikirku masa itu. Aku menjadi insan pendiam, dan karena pula demikian, aku jadi pengangum sepi. Ini dia pagiku, tapi dulu.
Sepupuanku ini namanya Farah. Dia berbeda umur setahun denganku. Aku lebih tua darinya. Sekarang dia duduk di bangku kelas tiga SMA. Kalau aku? Ya tepat, aku tidak melanjutkan lagi pendidikanku. Pernah ketika aku SMA, membawa motor ke sekolah tanpa memakai helm. Eh aku kena tilang sama polisi. Semenjak itu aku malah marah dan benci ketika melihat yang namanya pejabat negara, apapun itu. Farah ini anaknya cerdas, yang kutahu pada semester lalu dia mendapatkan juara umum di sekolahnya. Kulitnya putih, penampilannya selalu sederhana, datar.

Apa kamu tertarik padanya? Oh jelas tidak, sejak aku kenal Abua dengan segala sikapnya, aku muak dengannya. Istrinya pun anaknya, begitupun segala yang melekat padanya. Bulu ketiaknya pun aku benci. Shit!

Lalu kenapa kamu masih tinggal dengannya? Ya aku tak punya tempat lain, setidaknya aku masih dikasih jatah makan 3 kali sehari. Pernah satu ketika aku tidak makan malam, Abua malah memakasaku untuk makan juga. Katanya jatah makananku sudah dianggarkan, ah macam anggota dewan saja. Dulu dia pernah jadi caleg dari partai GOLDEM (Golongan Demo-krak). Persis dia mengingingkan di komisi anggaran, akhir suara malah lain. Dia kalah telak, tepatnya kalah uang. Makanya, sampai makan aku pun dia anggarkan.
Setelah sarapan pagi ada hal lain lagi yang harus kukerjakan, ya mengantar anaknya ke sekolah. Pulangnya pun mesti aku jemput. Ini terus terjadi selama aku tinggal bersama Abua.
Sore itu Farah harus pulang sore, hujan begitu lebat menghalangiku menjemputnya. Aku di rumah menengadahkan tangan, mengenai tanganku akan rintiknya. Jam 18.00 bukan waktu yang baik bagi seorang gadis, begitu terlintas sembari waktu itu. Hujan diperkirakan stasiun televisi masih belum mereda. Mau tidak mau aku harus menjemputnya.

Sampai di sekolahnya, dia berdiri sendiri. Aku menghampirinya. Dia basah kuyup. Aku kasih jaketku padanya dengan gaya cuek .Farah memakainya, dia diam tak berkata. Aku meluncur menuju rumah.

Sejak aku mengenalnya, dia sama sekali belum pernah berbicara sepatah katapun denganku. Aku pun kadang bingung dengan keadaan begini, tapi kadang malah sangat-sangat ku benci.  Pendiam telah melekat padanya.
Setelah lulus SMA, Farah diterima kuliah di Bandung. Abua dan istrinya tak tega melepas kepergian anak semata wayangya menuntut ilmu kepulau seberang. Segala kebutuhan Farah di Bandung diatur oleh sanak keluara Abua yang ada di Bandung. Aku hanya bisa mengantarnya sampai bandara Blang Bintang. Abua tak kuasa meneteskan air matanya, begitu juga istrinya. Aku hanya memberikan sebuah buku catatan harian padanya, isinya masih kosong putih. Jelaslah itukan buku baru aku beli pagi tadi, itupun hasil uang yang aku dapat dari tip-tip yang diberi penikmat kopi warkop Abua. Tunggu gajian dari Abua, dia pelit. Beserta pulpen dan buku itu kuberikan padanya. Farah tersenyum ramah seperti biasa padaku. Buku itu kuberi dengan harap, kapan-kapan dia berjumpa artis ibukota idamanku seperti Sule OVJ sempat dia minta tanda tangannya.
***
Gerai telah aku buka. Aku ke toilet hendak kencing. Lantas mandi dan sikat gigi sambil sikat lidah. Aku ke bawah sarapan dulu. Kemudian ke bagasi motor, tepat jam 7.15 aku harus mengantar Farah ke sekolahnya.
“Bibiii…Farah mana? Sudah jam 7.20 ini!”
“Kau bodoh ya, dia kan sudah ke Bandung” Cetusnya dengan geram.
Benarkah? Ya Tuhan itupun aku sudah lupa. Ini perihal sudah kebiasaanku tiap pagi. Ah iya aku kan jadi tambah nyaman sekarang, tak perlu mengantar lagi Farah. Tidur pagiku jadi tambah panjang kan.

Seminggu sudah aku tak lagi mengantar Farah. Awal-awalnya aku merasa biasa saja. Namun pada Senin pagi ini, naluriku hendak ingin melakukan kebiasaanku yang dulu. Yaps! Aku pun melakukan kebiasaan itu pagi ini, seolah Farah sedang berada dibelakangku. Aku beranggapan begitu. Motor melaju sampai ke sekolahnya. Aku berhentikan motor, dia turun dan kembali senyum padaku. Aku balas senyum pula. Ah itu banyangan saja.

Aku melakukan hal gila dan bodoh ini sampai sebulan lamanya semenjak kepergian Farah. Belum kutahu benar ini perasaan apa. Aku menjalani dan menikmatinya. Pernah terbesit kalau aku ingin menuju ke Bandung juga, biar tiap pagi aku bisa mengantarnya ke kampus. Tapi setelah kupikir, masa dan suasana pagi di sini dan disana tentunya berbeda. Kalau disini pas musim bunga sedap malam sedang mekar dan wangi basah jalan ketika hujan paginya tentu berbeda dengan yang di sana. Aku merindukan suasana malam saat aku dan Farah sedang sama-sama menghirup semerbak wanginya bunga sedap malam, pada ruang berbeda.
***
Telah empat tahun kepergian Farah ke Bandung. Dia tidak pulang-pulang ke Aceh, ingin fokus pada belajarnya. Hari ini dia kembali ke Aceh. Aku rasa hidup badanku tambah meriah kembali. Mendengar kabar kedatangannya saja aku sudah suka, apalagi bisa bertatap muka dengannya, walau sejenak. Aku menjemputnya di bandara Blang Bintang. Mobil Abua yang aku kendarai penuh dengan barang bawaan Farah. Abua duduk di kursi depan, Farah dan bibi di belakang. Abua dan bibi kian senang atas kepulangan Farah. Tapi, Farah malah tak memberi senyum terindahnya padaku. Senyum yang sudah kunanti-nati empat tahun lamanya. Senyum yang selalu kulihat tiap pagi mengantarnya ke sekolah, senyum ketika kulihat dia memandang hujan atau bulan purnama, senyum anggun dan ramah miliknya kini beda, kenapa?

Di rumah aku masih bengong saja. Hari ini warkop tutup. Begitu spesialnya kepulangan Farah. Kopi susu tinggal sisanya saja, aku persilahkan semut-semut menyeruput sisanya. Kasihan juga makhluk Tuhan yang ini. Jendela terbuka lebar, sepoi angin menghampiriku. Kuputar lagu aliran jepang ‘Kiroro-Mirae’, ah semakin syahdu saja petang ini. Namun, tetap tak sesyahdu kepura-puraan hati dan rasa ingin milik.
Arah pandanganku berbalik. Sosok bayang gadis menuju kearahku. Itu Farah. Untuk apa dia mengampiriku? Bukankah diapun tak senyum padaku sejak tadi? Farah mendekat dan semakin dekat. Degup jantung seolah sedang goyang-goyang dangdut.
“Maaf saya gak sempat minta tanda tangan Sule OVJ, gak apa kan?”
Seumur-umur baru itu aku mendengarnya bertutur kata denganku. Suaranya lembut, tidak fals.
“Oh ya, gak apa-apa Farah”. Cetusku datar
“Ada yang mau saya minta sama bang Hamdi”.
“Minta apa? Bolehlah”. Dengan nada cuek
“Mau tidak tanda tangan di buku yang seperti ini?”

Farah menyodorkan buku nikah padaku. Aku tercengang, linglung, basah oleh keringat. Abua dan bibi tampak mengintip dari belakang. Suasana sore tanpa hujan dan badai, anak-anak juga sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Aku tak menjawab, aku hanya mengangguk pun Farah senyum juga dengan ceria padaku.

Selasa, 17 September 2013

Gadis Alue Naga

Selasa, September 17, 2013


Entah apa yang membuatku sore itu begitu syahdu melihat anak-anak memainkan layangan. Aku baru saja pulang mencuri ilmu. Kulihat anak itu bersama ibu dan pembantunya telah menaikkan layangan yang bayangnya tak jatuh ke mukaku. Aku pun tak tahu kemana bayangan layang itu. Apa kau tau ?

Jumat, 02 November 2012

Safir dan Pamannya

Jumat, November 02, 2012



Sebongkah rasa masih terbayang-bayang dalam ingatan Safir. Tatkala ia hendak membaca buku tokoh-tokoh Indonesia di kamar tidurnya. Suasana dingin begitu menyerap dalam tulang-tulang tubuhnya. Seakan kaku dalam es yang beraroma segar, menusuk sel-sel kehidupan birahi duniawi. Beberapa jejak tapak buruh bangunan terdengar menginjak batu-batu kerikil yang bertebaran di jalan-jalan Komplek Pusaka Jamee. Tak pelak dalam dinginnya angin memasuki ruangan kamar Safir. Mereka melikuk-likuk di bilik-bilik gorden. Mereka ingin terus menari bersama-sama. Pukulan-pukulan domino yang dimainkan bapak-bapak pembenci para isteri-isteri yang hanya merepet kala pulang kerja. Isteri-isteri yang hanya berbagi kasih dengan mal-mal yang ada di kota. Tanpa tahu kebutuhan jasmaniah imamnya. Sungguh materialisme menjelma dalam benak mereka. Dunia seolah bagai milik mereka-mereka yang berkelompok, tanpa menghiraukan tetangganya yang barangkali sulit dalam pendapatan hidup. Safir menempati kamar tengah dari tiga ruang kosan yang pemiliknya terkenal kurang bersahabat dengan anak kos. Di kamar sebelah rasa-rasanya akan nada gejolak jiwa-jiwa penuh hasrat akan buaian asmara penuh dosa. Safir menutup telinganya tak mau mendengar suara-suara aneh nan durja. Para pengumbar dosa.
Melawan itu semua, hampir di setiap tengah malam Safir merasakannya. Dia mahasiswa awal yang baru semester awal berada di Kuta Raja. Safir memiliki kelainan pada kepribadiannya. Rada-rada gangguan fungsi kelancaran proses berpikir. Terkadang Safir salah dalam berbuat untuk kebutuhannya. Tak jarang selama sebulan ini Safir hanya berdiam diri di kamar mendengar kata-kata kenakalan. Sungguh dia terbeban. Arah sorotan matanya terbelalak ke jam yang tanpa henti detak-detak waktu menghidupkan kelam malam itu. Senter handphone miliknya dinyalakan sebagai penerangan membaca novel bekas patungan dengan kawan SMA dulu. Kini menjadi miliknya. Kelambu putih menghidarinya dari gigitan nyamuk-nyamuk pencari nafkah ragawi. Nyamuk-nyamuk pemberani. Sebuah perjuangan nyawa bagi kelangsungan hidup ke depan. Kain batik panjang menutupi tubuh Safir. Bantalnya pun sudah tampak goresan-goresan yang membentuk sebuah pulau. Tak ada kehirauan dalam dirinya. Ini hal biasa. Safir tidak mempedulikan. Tidur malam ini dibuai oleh mimpi-mimpi yang akan menjadi impian. Cekukan tetangga rumah sebelah, lagi-lagi menambah irama bagai sebuah orkestra di malam petaka ini, juga bunyi stir kendaraan tetangga depan yang sangat memekik telinga. Sesaatpun bunyi stir itu dimatikan pemiliknya lantaran kena marah sama tetangga sebelah. Kegundahan merangsek dalam serpihan-serpihan kebimbangan Safir akan kepentingan dia dalam berpikir untuk mengikuti ujian di kampus besok. Kampus Universitas Syiah Kuala.
Baru seperempat malam dia melaluinya. Suasana agak begitu sepi. Jangkrik pun sudah lelah berorkestra seirama sendu di malam Senin. Hanya kamar sebelah yang masih terdengar kegaduhan. Sampai kapan Safir tidak tahu kelanjutan mereka. Geli-gelitik membuat mereka tawa-tawa kecil suka cita. Tanpa tahu saat duka cita, sampai di liang di tanyai malaikat Munkar wal Nangkir. Entahlah, mereka manusia-manusia tanpa mendambakan kelembutan hidup dan tidak menjadikan rasa syukur sebagai rasa nikmat yang Illahi berikan. Sepintas kenangan di kampung datang menjuntai dalam benak Safir. Kala dia menatap baju pemberian Paman Farid di belakang pintu kamar kostnya. Baju itu diberikan saat dia mau berangkat ke Kuta Raja.
***
Entah seberapa jauh juga kesenjangan antara kokok ayam kampung dengan ayam siam. Mereka saling membusung dada, mengagungkan diri. Lirik ayam betina seolah tak menghiraukan sang jantan. Buat apa, lantaran betina sedang mengasuh anak-anaknya. Merpati sedang terbang membumbung tinggi di atap rumbia rumah Miwa Rabumah. Beliau isteri paman Farid. Keseharian beliau biasanya bekerja membuat atap rumbia dan mengayam tikar pandan. Tikarnya pun di kenal di kampung Kumbang. Tiap hari kamis beliau membawa hasil anyamannya ke pasar Geulumpang Manyang. Saat sedang asyik-asyiknya mengayam tikar, Safir datang dengan sepeda kecil nan unik pemberian almarhum Ayahnya. Safir melihat gelagat Miwa Rabumah menyukai kedatangannya. Salam terucap ciri khas anak-anak. Kewajiban kita menjawab salam dan Miwa Rambumah tidak melupakannya. Safir duduk di bangku bambu. Bangku tersebut sudah mengkilat. Ada tanda hitam di tempat bersandar. Sepertinya bekas keringat penduduknya. Safir hanya berbincang-bincang biasa. Raut wajahnya tampak ceria. Miwa Rabumah mengatakan kalau paman Farid sedang ke kebun milik Apa Kasem. Hari ini paman Farid berdinas memanjat pohon kelapa.
Safir meninggalkan rumah Miwa Rabumah. Laju kencang sepedanya meliku-liku di jalan-jalan kecil perkebunan kopra. Melewati kebun-kebun kopra, tempat anak-anak dan pemuda kampung main sepak bola. Jarak semakin dekat dengan kebun kelapa Apa Kasem. Rem sepeda menghentikan sejenak kaki Safir. Paman Farid sedang duduk istirahat. Arah kaki Safir mendekati paman Farid.
“Ada apa Safir?”
“Jumpa sama paman, kata Miwa Rabumah paman sedang di kebun kelapa Apa Kasem”.
“Hmm… kamu tidak sekolah hari ini?”
“Kan libur paman, libur Isra’ dan Mi’raj”.
“Oh ya, paman gak lihat kalender hari ini”.
Safir dipersilahkan duduk di sampingnya. Buah kelapa sebagai alasnya. Di depan Safir masih ada sisa kue dan juga air kopi dan teh hangat racikan Nyak Dollah. Safir menuangnya dalam batok kelapa. Dia meminumnya sambil sedikit-sedikit. Kopinya masih berasa panas. Dau potong kue hinggap sudah di mulutnya. Rasanya legit dan nikmat. Hari ini paman Farid tampaknya begitu lelah. Tak seperti  biasa yang bugar walau sebenarnya dia capek. Bulatan bakung masuk ke mulutnya. Dia tidak merokok lagi lantaran batuk yang dideritanya beberapa tahun belakangan. Kini di diagnosis dokter sudah sembuh. Namun, paman Farid juga tetap betingkah. Dia suka menghisap bulatan bakung. Padahal kan sama saja rokok dan bakung. Sama-sama bahayanya. Ini baru cuma sebagian masalah yang dideritanya. Paman Farid akhir-akhir ini diketahui Safir kalau tidak pernah pergi shalat jum’at. Saat di tanyai Safir, paman Farid malah mengatakan beliau selalu pergi shalat jum’at. Katanya beliau pergi lewat jalan setapak belakang rumah. Sebaliknya, Safir masih ragu dengan pencerahan paman Farid. Dalam sebulan ini Safir sampai beberapa kali menanyai sama pamannya. Maksud niatnya pun hari ini jumpa paman Farid tak lain adalah melanjutkan ekspedisi penelitiannya. Berbekal pertanyaan cirri khas anak-anak yang memojokkan orang dewasa. Safir mulai bercerita sama pamannya kalau jum’at yang lalu ada khutbah sangat baik tentang melaksanakan shalat jum’at. Khatib mengatakan kalau kita pergi ke mesjid pada hari jum’at dan melaksanakan shalat fardhunya adalah mendapat ganjaran pahala seprti kita naik haji. Juga berbagai hal-hal yang menyangkut musibah apa yang akan menimpa bagi orang-orang yang tidak shalat jum’at. Sepuluh menit menghilang saat pekikan suara elang melintas di dahan pohon mangga golek kebun sebelah. Raut wajah paman Farid seolah tak ingin mendengar kelanjutan cerita Safir. Lantas dia pun angkat bicara.
“Kamu mau mengajari paman heuh?”
“Bukan, saya cuma mau bialng saja sama paman, kan gak salah?”
Ngak perlu banyak bicara lagi, sekarang kamu pulang…! Kamu dengar ngak paman bilang!? Pulang sana…!!!”
Di kebun itu hanya degap jantung dan suara nafas Safir dan paman Farid saja. Tak ada kehidupan lain yang seperti mereka. Sepeda yang ditambat di pohon kelapa diambil Safir. Dengan wajah cemberut dan rada-rada takut. Dia membelakangi paman Farid. Menuju ke rumahnya. Paman Farid tinggal sendiri, dan termenung beberapa saat setalah kepergian Safir dan menatapnya pergi. Penuh iba dalam hatinya. Kenapa dia begitu tega terhadap anak kecil. Ayahnya pun sudah tiada. Semestinya dia lah yang memberi nasehat buat Safir. Dia membantin, matanya kemudian berkaca-kaca.
 Jauh  juga paman Farid untuk menjumpai Safir di hari minggu ini. Safir mungkin sudah menceritakan ke ibunya. Tapi, Safir bukanlah tipe anak perengek dan manja. Dia lain, kuat dan suka membantu. Langkah sepeda melintasi jalan kampung Kumbang. Jarak rumahnya tidak begitu jauh. Barang sekitar 500 meter saja. Di rumah Safir, paman Farid agak malu berjumpa Safir. Dia memberanikan diri. Safir duduk di atas kursi plastik. Dia memegang celananya yang sudah sobek. Paman Farid menyapanya. Mereka saling menghadang mata dalam beberpa puluhan detik. Maksud hati paman Farid pun berkata. Dia ingin mendengar kelanjutan isi khutbah jum’at yang diceritakan Safir kemarin. Safir bingung, mau melanjutkan atau tidak. Bisa saja pamannya mulai sadar. Lantas tak diam lagi, Safir menyegerkan epilog khutbah minggu lalu. Akhir cerita paman Farid senyum menghampirinya.
“Ayo kita ke toko baju!” ajak paman Farid dengan seuara lembut.
“Untuk apa paman?”
“Beli baju buat kamu Safir”.
“Hmm… baiklah paman”.
“Ya sekalian paman mau mampir beli perlengkapan shalat”.
“Alhamdulillah”.
Safir pamit pada ibunya dihalaman rumah yang sedang menjemur gabah, hasil panen minggu lalu. Paman Farid memboncengnya. Sepeda motor butut mereka pun sangat nyentrik.  Mereka pun melaju bersama kendaraan lain.
***
Sebuah gigitan tikus  mengejutkan lamunan Safir. Tepat  mengenai kaki kelingkingnya. Dia tahu harus segera di basahi dengan air panas. Biar bakteri-bakteri yang ada di bekas gigitan tikus hilang. Pengalaman Safir kala di kampung. Katanya tidak ada obat untuk gigitan tikus. Kalau bukan dengan di basahi air panas. Namun, rasa sakit itu menyenangkannya. Dia  memiliki paman yang sudah berubah, lebih dekat dengan Illahi. Safir memanaskan dispenser. Sambil menghidupkan lampu kamar. Dia melanjutkan membaca buku kembali, walau malam telah sepi. Hanya suara-suara nyamuk masih mengintainya. Hujan pun turun perlahan, semakin sedap saja malam itu. Jelang waktu shubuh masih terlalu lama, Safir kemudian menarik selimutnya beriring membaca doa sebelum tidur. Senyum manis di dua bibirnya sumringah pelan. Anugerah terindah melintas malam ini, semacam takjub dan kagum akan apa yang telah dia lakukan mengajak Paman Farid pada sebuah kebaikan dalam ibadah. [*]

Jumat, 14 September 2012

Cintaku yang Terjebak

Jumat, September 14, 2012

Hari jum’at setelah menyelesaikan salat fardu jum’at. Saya tidak tau mau berbuat apa-apa. Putaran musik lagu oleh teman. Sambilan menceritakan kabar anak pinang kampungnya. Ku coba putar otak ini untuk melawan malas. Memutuskan sejenak bersiyul-siyulan dengan teman. Ada tuntutan uatang saya untuk tulisan kali ini. yak utang tulisan dari teman FLP. Adus sebenarnya mau nulis apa? Ternyata ada yang lewat. Silau men…!

Dosen tak kunjung unjuk kaki di kampus.
Pasangan suami istri itu lewat mengendarai motor Supra X. Brrrmmm… debu mengenai baju saya. Mereka lantas senyum saja. You can see. Senyum saja. Ah sudahlah itu namanya sosiolove. Eh bukan juga. Rasa santun karena sudah berbuat “dosa” sama saya.

Mereka menuju taman kota. Ramai orang disana. Ada yang sudah halal bahkan yang haram pun ada. Waduh pihak agamis perlu ambil jatah lah. Tetap positif.
Mereka lalu menambatkan motor dekat pohon pinus. Berhenti sejenak. Istrinya menyodorkan air minum. Sang suami lelah kadang. Segar badan. Istri masih saja senyum genit-genittan. Khusus 18 tahun ke atas ya. Mereka jalan perlahan. Sampai di jembatan. Wah di bawahnya ada sugai kecil. Airnya kehijauan. Tapi, dua insane ini tetap mesra. Istrinya berjalan ke depan sambil membentangkan tangan. Muka menghadap ke atas. Sambil mata terpejam. Suaminya geleng-geleng kepala. Si istri terus berjalan sambil menikmati alam.
“Gubrakkkkk…”
“Mas tolong saya”
Suamin kalang kabut istrinya hilang. Putar otak dan kaki bin mata.
“Selamat anda masuk di acara SUPER TRAP!”

Rabu, 11 April 2012

Peluru

Rabu, April 11, 2012



ilustrasi

Sore itu di kala hari masih begitu terik. Ibu sudah bersiap-siap hendak pergi ke sawah. Saya masih saja asyik bersepeda ditemani kucing kesayangan bernama Pelangi. Bulunya berwarna putih di perutnya, bulu hitam melingkar indah di setiap keempat kakinya. Juga wajahnya ditutupi bulu hitam, hanya sedikit bulu putih di hidung dan mulutnya. Dia kucing yang cerdik. Hampir tiap malam tikus-tikus di rumah ditangkapnya, laiknya KPK menangkap para koruptor.

Namun kucing saya ini tidak perlu bekerja sama dengan kucing lain untuk menangkap tikus yang nakal, karena terlalu keseringan mencuri ikan asin di dapur Ibu. Walaupun umurnya sudah tidak remaja lagi, tapi si Pelangi tetap bersikap bagaikan masih remaja. Dia suka sekali bermain tali, atau berkejaran dengan saya. Namun, sayang si Pelangi sekarang telah mati. Terakhir kuketahui dia mati di lumbung padi milik Bibi saya. Kala itu dia sedang mencari tikus, namun terperangkap di dalam lumbung dan akhirnya tidak bisa keluar lagi. Dan akhirnya mati. Alhamdulillah kejadian ini tidak menimpa instansi hukum di negeri kita, mungkin ya. Selamat jalan Pelangi, kau akan menjadi kucing kebanggaan keluarga saya. Karena telah menjadi penegak hukum yang baik di rumah ini. Baik siang maupun malam, kau tetap bersiaga dan terjaga, walau matamu sedang melek.

Sepeda tua peninggalan Ayah telah dikendarai Ibu tanpa sepengetahuan saya. Mungkin Ibu diam-diam pergi tanpa mengajak saya. Ya, saya tahu ini hari begitu panasnya. Sekarang sedang musim kemarau. Kekeringan terjadi di irigasi kampung saya. Namun tak berimbas pada setiap sumur warga kampung. Sekarang sedang beramai-ramai orang ke sawah untuk menanam tanaman palawija. Tidak sedang menanam padi. Saya bergegas tidak mau ketinggalan mengejar Ibu, setelah sebelumnya shalat ashar dulu, tentunya.
Sepeda saya amat mini sesuai sekali dengan porsi tubuh saya. Sepeda ini sudah turun-temurun bagi keluarga kami. Warnya merah, sama dengan warna sepeda Ibu. Separuh perjalanan saya melihat ke samping kanan saya. Di bawah pohon beringin besar. Dimensi batangnya yang besar membutuhkan beberapa orang dewasa untuk dapat memegang lingkaran batangnya. Katanya di pohon tersebut dihuni oleh para makhluk gaib. Ah, ngeri rasanya kalau cerita ini!
Tepat di bawahnya berjejeran kuburan-kuburan yang sudah berumur lama juga ada yang baru, termasuk kuburan Ayah saya. Tepatnya di samping batang pohon beringin tersebut. Saya sedikit termenung melihat batu nisan Aya. Mengenang masa-masa bersama beliau walaupun hanya sebentar, sebelum kembali pada Sang Ilahi. Selanjutnya saya dayung kembali sepeda keren ini. Menembus setiap jalan yang berjejeran pohon rumbia, ada yang besar ada juga yang sudah siap untuk ditebang. Dan dijual. Isi batang pohon rumbia ini dijadikan tepung untuk membuat timphan (makanan khas orang Aceh), atau juga berbagai macam penganan lainnya. Di kampung sebelah ini memang terkenal dengan pohon rumbianya dan juga areal persawahan yang terhampar luas. Saya telah sampai di sawah. Menggunakan baju kemeja lengan pendek dengan celana pendek juga. “Hehehe, tidak apa-apa ya ‘kan masih anak-anak. Kalau sudah dewasa ya tak boleh lagi.”
Di sawah sudah ada Ibu dan Bibi. Mereka tersenyum manis melihat kedatangan saya. Keduanya sedang asyik menanam kacang hijau bersama-sama. Kebetulan sawahnya berdekatan, jadi dapat saling bantu-membantu. Di sawah ini kebanyakan masyarakatnya semua  menanam kacang hijau. Hanya sedikit yang menanam mentimun, semangka, juga beberapa petak ditanami jagung dan kedelai.
“Ooo… sudak datang anak saya rupanya,” sapa Ibu.
“Ya Bu, di rumah sendiri, nggak enak, ke sawah ‘kan bisa bantu Ibu sambilan menangkap belalang dan capung, boleh ‘kan?”
“Boleh, boleh.”
Biasanya kalau sedang musim menanam padi, saya tidak ketinggalan membawa pancingan. Namun sekarang irigasinya sedang kering jadi tidak ada ikan. Pegangannya saya buat dari batang pohon rumbia yang masih kecil. Cukup tahanlah untuk jenis ikan-ikan di sawah. Namun bila hal ini diketahui oleh Ibu, bisa dimarahi. Katanya saya hanya menghabiskan waktu saja untuk berleha-leha. Sebab ikan yang saya dapat itu tidak saya makan. Dan biasanya ikan hasil tangkapan saya kasih buat teman atau kadang-kadang saya bawa pulang ke rumah Bibi. Memang ya hanya capek saja yang kita dapat, tapi kita sudah melatih diri kita untuk bersikap sabar. Ibu tidak melihat sisi ini.
Sudah beberapa lubang saya isi dengan biji kacang hijau. Setiap lobang diisi tiga biji atau juga empat biji, begitu kata Ibu.
“Satu, dua, tiga, empat,” saya menghitung takutnya kelebihan atau kekurangan. Ibu hanya tersenyum.
Hmm… sudah pandai yang anak bungsu Ibu,” saya hanya tersenyum sumringah, dapat pujian dari Ibu, membatin.
Lima baris sudah saya tanam biji kacang hijau. Namun itu belum cukup. Setelah ditanam semuanya, nanti baru ditutupi dengan tanah atau boleh juga dengan jerami yang sebelumnya telah dibakar hingga hangus. Dari kejauhan seolah-olah terdengar seperti ada orang yang sedang memukul bedug. Tapi tak mungkin. Karena suaranya begitu memekik. Dan ternyata itu adalah suara letupan senjata. Dari suaranya dapat dipastikan menggunakan senjata laras panjang. Bisa jadi AK-47 atau M-16.
Saya, Ibu dan Bibi hanya mampu menunduk di jerami-jerami bekas padi yan sudah dipanen. Suara letupan pelurunya semakin menjadi-jadi dan hampir mendekati saja. Saya sudah ketakutan. Tapi tak sampai kencing di celana. Memang sekarang sedang gencarnya konflik di daerah ini. Tak siang juga malam, suara pekikan peluru bagai tak henti-hentinya menyerang telinga ini. Ibu hanya bisa berdoa.
“Ya Allah jadikanlah hasil tanaman kacang hijau ini sebanyak peluru-peluru yang keluar dan bersuara tadi  yang keluar dari inangnya, berikanlah hasil yang melimpah dan berkah bagi kami.”
Doa Ibu penuh harap. Saya terkagum-kagum. Mudah-mudahan saja doa Ibu dikabulkan. Saya memang tergolong sangat penakut dengan namanya suara letupan senjata. Pernah saya sekeluarga terpaksa tidur di lantai dapur beralas tikar pandan. Padahal suara letupan senjata tersebut jaraknya terlampau jauh dari rumah saya. Bisa kita katakan tidak akan mungkin sampai ke kampung saya.
Setelah suara letupan peluru telah mulai reda. Dan orang-orang mulai beraktivitas kembali. Walau tak banyak yang sudah pulang, karena saking takutnya. Saya melihat beberapa gerombolan orang-orang dengan memegang senjata pergi ke arah utara. Mungkin mereka baru saja baku tembak tadi. Senjata yang digunakan lumayan berkualitas. Semisal AK-47 atau sejenisnya. Saya hanya sepintas melihat mereka, dan kemudian mereka hilang jejak menuju arah entah-berantah.
“Ayo kita pulang,” kata Ibu sambil menanam bijii kacang hijau yang terakhir di hari itu. Padahal masih banyak yang belum ditanami. Besok sore dilanjutkan lagi. Karena kalau paginya tidak bisa berhubung hari Jumat. Jadi segala aktivitas di sawah dihentikan sementara. Itu sudah menjadi perturan di desa kami.
***
Beberapa bulan berselang, panen perdana kacang hijau yang kami tanam telah siap untuk dipanen. Kacang hijau dapat dipanen sampai tiga kali bila kualitasnya masih bagus. Berbeda dengan kacang kedelai yang langsung dibabat habis batangnya ketika dipanen. Dan sesuai doa Ibu, panen kacang hijau kami begitu banyak. Sebanyak peluru yang keluar dari selonsong senjata ketika kontak senjata beberapa waktu yang lalu.
Bijinya besar-besar dan berisi. Teman-teman Ibu pun meminta untuk dijadikan benih untuk ditanam musim depan, dan Ibu juga tidak lupa menyisakan untuk kami. Selebihnya kami konsumsi sendiri dan dibagikan kepada tetangga. Juga ada yang dijual ke pasar. Harganya lumayan tinggi kala itu. Cukuplah untuk kebutuhan kami sehari-hari dan juga uang keperluan saya untuk bersekolah.
Ibu tak akan segan dalam mencari nafkah. Asalkan halal. Setiap Ibu tidak akan memberikan sesuatu yang buruk bagi anaknya, beliau akan selalu memberikan setiap ketulusan dan kemurnian dalam hidup anaknya. Walau terkadang anak sering lupa akan kebaikannya. “Meuri-ri manoek karom boh kleung, meuri-ri ureung ek balah guna Ma (Hanya ayam-ayam tertentu yang mampu mengerami telur elang, hanya orang-orang tertentu yang mampu membalas budi Ibu).” Begitulah kata pepatah. Tapi, saya yakin kalau kita mampu untuk membalas kebaikan kepada Ibu juga Ayah. Walau masih dalam tahapan sederhana. Tapi, kita punya motivasi untuk membanggakan Ibu kita. Semoga…
***
Tepukan di bahu mengagetkan saya dari lamunan siang itu. Ternyata kawan saya. Untung tidak saya libas dia. Aha.. cuma bercanda saja. Sebelumnya saya terlampau lelah dengan aktivitas di kampus, terlebih saya dipercayakan menjadi komisaris letting (komting) oleh teman-teman, jadinya termenung sampai terbawa kenangan saya ketika masih imu-imut dulu, ketika masih di kampung. Bermain petak umpet, memancing dan bertani bersama Ibu.
Lantas saya ke kasir bersama teman membayar secangkir cappucino dingin pesanan tadi dan beberapa potongan kue. Kemudian  masuk kuliah lagi. Kampus tercinta di Universitas Sekitar Kita. Ibu, kau akan selalu terkenang di hati ini. Walau saya tak pernah Ibu pukul. Hanya Ibu memarahi saya ketika saya salah. Ibu, kaulah penerang di kala kegelapan. Kau telah menjadi inspirasi buat saya. Kehidupan ini memang sangat pelik, Ibu. Ibu, terima kasih atas kasih dan sayangmu selama ini terhadapku. Terima kasihku takkan pernah bisa membalas kebaikanmu. “Ayo kita masuk kelas,”, ajak kawan saya. Sejahteralah untukmu, Ibu… []
Lamgapang, Kamis, 11 Agustus 2011

 Repost dari http://detak-unsyiah.com tanggal 4 Desember 2011

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."