Pada Sebuah Buku
Anonim
Jumat, November 08, 2013
Gerai pintu kamar baru saja kubuka. Burung gereja keluar
dari loteng rumahku. Siluet ayam jantan seolah aku sedang berada di Paris,
lambang negara itu. Aku turun ke bawah. Kedai toko Abuaku telah dibuka sedari
fajar tadi. Setelah kebakaran lima tahun lalu dan merenggut ibu bapakku, aku
terpaksa hijrah ke tempat Abua. Terpaksa tinggal bersamanya sih tidak masalah,
yang lebih parah aku malah dipaksa mencintai anak gadis semata wayangnya.
Firasatku, Abua menginginkan harta peninggalan ibu bapakku. Makanya setiap
sarapan pagi, aku dipaksa makan semeja dengan anaknya.
Pagi-pagiku ya begitulah. Makin bulan, atau bahkan sudah
setahun, pagiku begini-gini saja. Macam makhluk dekte aku. Beda dengan pagiku
ketika bersama bapak ibu. Tiap pagi aku harus sarapan pagi sendirian. Ibu
bapakku? Ah mereka sudah duluan berangkat ke kantornya masing-masing. Orang tua
macam apa mereka, pikirku masa itu. Aku menjadi insan pendiam, dan karena pula
demikian, aku jadi pengangum sepi. Ini dia pagiku, tapi dulu.
Sepupuanku ini namanya Farah. Dia berbeda umur setahun
denganku. Aku lebih tua darinya. Sekarang dia duduk di bangku kelas tiga SMA.
Kalau aku? Ya tepat, aku tidak melanjutkan lagi pendidikanku. Pernah ketika aku
SMA, membawa motor ke sekolah tanpa memakai helm. Eh aku kena tilang sama
polisi. Semenjak itu aku malah marah dan benci ketika melihat yang namanya
pejabat negara, apapun itu. Farah ini anaknya cerdas, yang kutahu pada semester
lalu dia mendapatkan juara umum di sekolahnya. Kulitnya putih, penampilannya
selalu sederhana, datar.
Apa kamu tertarik padanya? Oh jelas tidak, sejak aku kenal
Abua dengan segala sikapnya, aku muak dengannya. Istrinya pun anaknya,
begitupun segala yang melekat padanya. Bulu ketiaknya pun aku benci. Shit!
Lalu kenapa kamu masih tinggal dengannya? Ya aku tak punya
tempat lain, setidaknya aku masih dikasih jatah makan 3 kali sehari. Pernah
satu ketika aku tidak makan malam, Abua malah memakasaku untuk makan juga.
Katanya jatah makananku sudah dianggarkan, ah macam anggota dewan saja. Dulu
dia pernah jadi caleg dari partai GOLDEM (Golongan Demo-krak). Persis dia
mengingingkan di komisi anggaran, akhir suara malah lain. Dia kalah telak,
tepatnya kalah uang. Makanya, sampai makan aku pun dia anggarkan.
Setelah sarapan pagi ada hal lain lagi yang harus
kukerjakan, ya mengantar anaknya ke sekolah. Pulangnya pun mesti aku jemput.
Ini terus terjadi selama aku tinggal bersama Abua.
Sore itu Farah harus pulang sore, hujan begitu lebat
menghalangiku menjemputnya. Aku di rumah menengadahkan tangan, mengenai
tanganku akan rintiknya. Jam 18.00 bukan waktu yang baik bagi seorang gadis,
begitu terlintas sembari waktu itu. Hujan diperkirakan stasiun televisi masih
belum mereda. Mau tidak mau aku harus menjemputnya.
Sampai di sekolahnya, dia berdiri sendiri. Aku
menghampirinya. Dia basah kuyup. Aku kasih jaketku padanya dengan gaya cuek .Farah
memakainya, dia diam tak berkata. Aku meluncur menuju rumah.
Sejak aku mengenalnya, dia sama sekali belum pernah
berbicara sepatah katapun denganku. Aku pun kadang bingung dengan keadaan
begini, tapi kadang malah sangat-sangat ku benci. Pendiam telah melekat padanya.
Setelah lulus SMA, Farah diterima kuliah di Bandung. Abua
dan istrinya tak tega melepas kepergian anak semata wayangya menuntut ilmu
kepulau seberang. Segala kebutuhan Farah di Bandung diatur oleh sanak keluara
Abua yang ada di Bandung. Aku hanya bisa mengantarnya sampai bandara Blang
Bintang. Abua tak kuasa meneteskan air matanya, begitu juga istrinya. Aku hanya
memberikan sebuah buku catatan harian padanya, isinya masih kosong putih.
Jelaslah itukan buku baru aku beli pagi tadi, itupun hasil uang yang aku dapat
dari tip-tip yang diberi penikmat
kopi warkop Abua. Tunggu gajian dari Abua, dia pelit. Beserta pulpen dan buku
itu kuberikan padanya. Farah tersenyum ramah seperti biasa padaku. Buku itu
kuberi dengan harap, kapan-kapan dia berjumpa artis ibukota idamanku seperti
Sule OVJ sempat dia minta tanda tangannya.
***
Gerai telah aku buka. Aku ke toilet hendak kencing. Lantas mandi
dan sikat gigi sambil sikat lidah. Aku ke bawah sarapan dulu. Kemudian ke
bagasi motor, tepat jam 7.15 aku harus mengantar Farah ke sekolahnya.
“Bibiii…Farah mana? Sudah jam 7.20 ini!”
“Kau bodoh ya, dia kan sudah ke Bandung” Cetusnya dengan
geram.
Benarkah? Ya Tuhan itupun aku sudah lupa. Ini perihal sudah
kebiasaanku tiap pagi. Ah iya aku kan jadi tambah nyaman sekarang, tak perlu
mengantar lagi Farah. Tidur pagiku jadi tambah panjang kan.
Seminggu sudah aku tak lagi mengantar Farah. Awal-awalnya
aku merasa biasa saja. Namun pada Senin pagi ini, naluriku hendak ingin
melakukan kebiasaanku yang dulu. Yaps! Aku pun melakukan kebiasaan itu pagi
ini, seolah Farah sedang berada dibelakangku. Aku beranggapan begitu. Motor
melaju sampai ke sekolahnya. Aku berhentikan motor, dia turun dan kembali
senyum padaku. Aku balas senyum pula. Ah itu banyangan saja.
Aku melakukan hal gila dan bodoh ini sampai sebulan lamanya
semenjak kepergian Farah. Belum kutahu benar ini perasaan apa. Aku menjalani
dan menikmatinya. Pernah terbesit kalau aku ingin menuju ke Bandung juga, biar
tiap pagi aku bisa mengantarnya ke kampus. Tapi setelah kupikir, masa dan
suasana pagi di sini dan disana tentunya berbeda. Kalau disini pas musim bunga
sedap malam sedang mekar dan wangi basah jalan ketika hujan paginya tentu
berbeda dengan yang di sana. Aku merindukan suasana malam saat aku dan Farah
sedang sama-sama menghirup semerbak wanginya bunga sedap malam, pada ruang
berbeda.
***
Telah empat tahun kepergian Farah ke Bandung. Dia tidak pulang-pulang
ke Aceh, ingin fokus pada belajarnya. Hari ini dia kembali ke Aceh. Aku rasa
hidup badanku tambah meriah kembali. Mendengar kabar kedatangannya saja aku
sudah suka, apalagi bisa bertatap muka dengannya, walau sejenak. Aku
menjemputnya di bandara Blang Bintang. Mobil Abua yang aku kendarai penuh
dengan barang bawaan Farah. Abua duduk di kursi depan, Farah dan bibi di
belakang. Abua dan bibi kian senang atas kepulangan Farah. Tapi, Farah malah
tak memberi senyum terindahnya padaku. Senyum yang sudah kunanti-nati empat
tahun lamanya. Senyum yang selalu kulihat tiap pagi mengantarnya ke sekolah,
senyum ketika kulihat dia memandang hujan atau bulan purnama, senyum anggun dan
ramah miliknya kini beda, kenapa?
Di rumah aku masih bengong saja. Hari ini warkop tutup.
Begitu spesialnya kepulangan Farah. Kopi susu tinggal sisanya saja, aku
persilahkan semut-semut menyeruput sisanya. Kasihan juga makhluk Tuhan yang
ini. Jendela terbuka lebar, sepoi angin menghampiriku. Kuputar lagu aliran
jepang ‘Kiroro-Mirae’, ah semakin syahdu saja petang ini. Namun, tetap tak
sesyahdu kepura-puraan hati dan rasa ingin milik.
Arah pandanganku berbalik. Sosok bayang gadis menuju kearahku.
Itu Farah. Untuk apa dia mengampiriku? Bukankah diapun tak senyum padaku sejak
tadi? Farah mendekat dan semakin dekat. Degup jantung seolah sedang
goyang-goyang dangdut.
“Maaf saya gak sempat minta tanda tangan Sule OVJ, gak apa
kan?”
Seumur-umur baru itu aku mendengarnya bertutur kata
denganku. Suaranya lembut, tidak fals.
“Oh ya, gak apa-apa Farah”. Cetusku datar
“Ada yang mau saya minta sama bang Hamdi”.
“Minta apa? Bolehlah”. Dengan nada cuek
“Mau tidak tanda tangan di buku yang seperti ini?”
Farah menyodorkan buku nikah padaku. Aku tercengang,
linglung, basah oleh keringat. Abua dan bibi tampak mengintip dari belakang.
Suasana sore tanpa hujan dan badai, anak-anak juga sudah pulang ke rumahnya
masing-masing. Aku tak menjawab, aku hanya mengangguk pun Farah senyum juga
dengan ceria padaku.