Jumat, 02 November 2012

Safir dan Pamannya




Sebongkah rasa masih terbayang-bayang dalam ingatan Safir. Tatkala ia hendak membaca buku tokoh-tokoh Indonesia di kamar tidurnya. Suasana dingin begitu menyerap dalam tulang-tulang tubuhnya. Seakan kaku dalam es yang beraroma segar, menusuk sel-sel kehidupan birahi duniawi. Beberapa jejak tapak buruh bangunan terdengar menginjak batu-batu kerikil yang bertebaran di jalan-jalan Komplek Pusaka Jamee. Tak pelak dalam dinginnya angin memasuki ruangan kamar Safir. Mereka melikuk-likuk di bilik-bilik gorden. Mereka ingin terus menari bersama-sama. Pukulan-pukulan domino yang dimainkan bapak-bapak pembenci para isteri-isteri yang hanya merepet kala pulang kerja. Isteri-isteri yang hanya berbagi kasih dengan mal-mal yang ada di kota. Tanpa tahu kebutuhan jasmaniah imamnya. Sungguh materialisme menjelma dalam benak mereka. Dunia seolah bagai milik mereka-mereka yang berkelompok, tanpa menghiraukan tetangganya yang barangkali sulit dalam pendapatan hidup. Safir menempati kamar tengah dari tiga ruang kosan yang pemiliknya terkenal kurang bersahabat dengan anak kos. Di kamar sebelah rasa-rasanya akan nada gejolak jiwa-jiwa penuh hasrat akan buaian asmara penuh dosa. Safir menutup telinganya tak mau mendengar suara-suara aneh nan durja. Para pengumbar dosa.
Melawan itu semua, hampir di setiap tengah malam Safir merasakannya. Dia mahasiswa awal yang baru semester awal berada di Kuta Raja. Safir memiliki kelainan pada kepribadiannya. Rada-rada gangguan fungsi kelancaran proses berpikir. Terkadang Safir salah dalam berbuat untuk kebutuhannya. Tak jarang selama sebulan ini Safir hanya berdiam diri di kamar mendengar kata-kata kenakalan. Sungguh dia terbeban. Arah sorotan matanya terbelalak ke jam yang tanpa henti detak-detak waktu menghidupkan kelam malam itu. Senter handphone miliknya dinyalakan sebagai penerangan membaca novel bekas patungan dengan kawan SMA dulu. Kini menjadi miliknya. Kelambu putih menghidarinya dari gigitan nyamuk-nyamuk pencari nafkah ragawi. Nyamuk-nyamuk pemberani. Sebuah perjuangan nyawa bagi kelangsungan hidup ke depan. Kain batik panjang menutupi tubuh Safir. Bantalnya pun sudah tampak goresan-goresan yang membentuk sebuah pulau. Tak ada kehirauan dalam dirinya. Ini hal biasa. Safir tidak mempedulikan. Tidur malam ini dibuai oleh mimpi-mimpi yang akan menjadi impian. Cekukan tetangga rumah sebelah, lagi-lagi menambah irama bagai sebuah orkestra di malam petaka ini, juga bunyi stir kendaraan tetangga depan yang sangat memekik telinga. Sesaatpun bunyi stir itu dimatikan pemiliknya lantaran kena marah sama tetangga sebelah. Kegundahan merangsek dalam serpihan-serpihan kebimbangan Safir akan kepentingan dia dalam berpikir untuk mengikuti ujian di kampus besok. Kampus Universitas Syiah Kuala.
Baru seperempat malam dia melaluinya. Suasana agak begitu sepi. Jangkrik pun sudah lelah berorkestra seirama sendu di malam Senin. Hanya kamar sebelah yang masih terdengar kegaduhan. Sampai kapan Safir tidak tahu kelanjutan mereka. Geli-gelitik membuat mereka tawa-tawa kecil suka cita. Tanpa tahu saat duka cita, sampai di liang di tanyai malaikat Munkar wal Nangkir. Entahlah, mereka manusia-manusia tanpa mendambakan kelembutan hidup dan tidak menjadikan rasa syukur sebagai rasa nikmat yang Illahi berikan. Sepintas kenangan di kampung datang menjuntai dalam benak Safir. Kala dia menatap baju pemberian Paman Farid di belakang pintu kamar kostnya. Baju itu diberikan saat dia mau berangkat ke Kuta Raja.
***
Entah seberapa jauh juga kesenjangan antara kokok ayam kampung dengan ayam siam. Mereka saling membusung dada, mengagungkan diri. Lirik ayam betina seolah tak menghiraukan sang jantan. Buat apa, lantaran betina sedang mengasuh anak-anaknya. Merpati sedang terbang membumbung tinggi di atap rumbia rumah Miwa Rabumah. Beliau isteri paman Farid. Keseharian beliau biasanya bekerja membuat atap rumbia dan mengayam tikar pandan. Tikarnya pun di kenal di kampung Kumbang. Tiap hari kamis beliau membawa hasil anyamannya ke pasar Geulumpang Manyang. Saat sedang asyik-asyiknya mengayam tikar, Safir datang dengan sepeda kecil nan unik pemberian almarhum Ayahnya. Safir melihat gelagat Miwa Rabumah menyukai kedatangannya. Salam terucap ciri khas anak-anak. Kewajiban kita menjawab salam dan Miwa Rambumah tidak melupakannya. Safir duduk di bangku bambu. Bangku tersebut sudah mengkilat. Ada tanda hitam di tempat bersandar. Sepertinya bekas keringat penduduknya. Safir hanya berbincang-bincang biasa. Raut wajahnya tampak ceria. Miwa Rabumah mengatakan kalau paman Farid sedang ke kebun milik Apa Kasem. Hari ini paman Farid berdinas memanjat pohon kelapa.
Safir meninggalkan rumah Miwa Rabumah. Laju kencang sepedanya meliku-liku di jalan-jalan kecil perkebunan kopra. Melewati kebun-kebun kopra, tempat anak-anak dan pemuda kampung main sepak bola. Jarak semakin dekat dengan kebun kelapa Apa Kasem. Rem sepeda menghentikan sejenak kaki Safir. Paman Farid sedang duduk istirahat. Arah kaki Safir mendekati paman Farid.
“Ada apa Safir?”
“Jumpa sama paman, kata Miwa Rabumah paman sedang di kebun kelapa Apa Kasem”.
“Hmm… kamu tidak sekolah hari ini?”
“Kan libur paman, libur Isra’ dan Mi’raj”.
“Oh ya, paman gak lihat kalender hari ini”.
Safir dipersilahkan duduk di sampingnya. Buah kelapa sebagai alasnya. Di depan Safir masih ada sisa kue dan juga air kopi dan teh hangat racikan Nyak Dollah. Safir menuangnya dalam batok kelapa. Dia meminumnya sambil sedikit-sedikit. Kopinya masih berasa panas. Dau potong kue hinggap sudah di mulutnya. Rasanya legit dan nikmat. Hari ini paman Farid tampaknya begitu lelah. Tak seperti  biasa yang bugar walau sebenarnya dia capek. Bulatan bakung masuk ke mulutnya. Dia tidak merokok lagi lantaran batuk yang dideritanya beberapa tahun belakangan. Kini di diagnosis dokter sudah sembuh. Namun, paman Farid juga tetap betingkah. Dia suka menghisap bulatan bakung. Padahal kan sama saja rokok dan bakung. Sama-sama bahayanya. Ini baru cuma sebagian masalah yang dideritanya. Paman Farid akhir-akhir ini diketahui Safir kalau tidak pernah pergi shalat jum’at. Saat di tanyai Safir, paman Farid malah mengatakan beliau selalu pergi shalat jum’at. Katanya beliau pergi lewat jalan setapak belakang rumah. Sebaliknya, Safir masih ragu dengan pencerahan paman Farid. Dalam sebulan ini Safir sampai beberapa kali menanyai sama pamannya. Maksud niatnya pun hari ini jumpa paman Farid tak lain adalah melanjutkan ekspedisi penelitiannya. Berbekal pertanyaan cirri khas anak-anak yang memojokkan orang dewasa. Safir mulai bercerita sama pamannya kalau jum’at yang lalu ada khutbah sangat baik tentang melaksanakan shalat jum’at. Khatib mengatakan kalau kita pergi ke mesjid pada hari jum’at dan melaksanakan shalat fardhunya adalah mendapat ganjaran pahala seprti kita naik haji. Juga berbagai hal-hal yang menyangkut musibah apa yang akan menimpa bagi orang-orang yang tidak shalat jum’at. Sepuluh menit menghilang saat pekikan suara elang melintas di dahan pohon mangga golek kebun sebelah. Raut wajah paman Farid seolah tak ingin mendengar kelanjutan cerita Safir. Lantas dia pun angkat bicara.
“Kamu mau mengajari paman heuh?”
“Bukan, saya cuma mau bialng saja sama paman, kan gak salah?”
Ngak perlu banyak bicara lagi, sekarang kamu pulang…! Kamu dengar ngak paman bilang!? Pulang sana…!!!”
Di kebun itu hanya degap jantung dan suara nafas Safir dan paman Farid saja. Tak ada kehidupan lain yang seperti mereka. Sepeda yang ditambat di pohon kelapa diambil Safir. Dengan wajah cemberut dan rada-rada takut. Dia membelakangi paman Farid. Menuju ke rumahnya. Paman Farid tinggal sendiri, dan termenung beberapa saat setalah kepergian Safir dan menatapnya pergi. Penuh iba dalam hatinya. Kenapa dia begitu tega terhadap anak kecil. Ayahnya pun sudah tiada. Semestinya dia lah yang memberi nasehat buat Safir. Dia membantin, matanya kemudian berkaca-kaca.
 Jauh  juga paman Farid untuk menjumpai Safir di hari minggu ini. Safir mungkin sudah menceritakan ke ibunya. Tapi, Safir bukanlah tipe anak perengek dan manja. Dia lain, kuat dan suka membantu. Langkah sepeda melintasi jalan kampung Kumbang. Jarak rumahnya tidak begitu jauh. Barang sekitar 500 meter saja. Di rumah Safir, paman Farid agak malu berjumpa Safir. Dia memberanikan diri. Safir duduk di atas kursi plastik. Dia memegang celananya yang sudah sobek. Paman Farid menyapanya. Mereka saling menghadang mata dalam beberpa puluhan detik. Maksud hati paman Farid pun berkata. Dia ingin mendengar kelanjutan isi khutbah jum’at yang diceritakan Safir kemarin. Safir bingung, mau melanjutkan atau tidak. Bisa saja pamannya mulai sadar. Lantas tak diam lagi, Safir menyegerkan epilog khutbah minggu lalu. Akhir cerita paman Farid senyum menghampirinya.
“Ayo kita ke toko baju!” ajak paman Farid dengan seuara lembut.
“Untuk apa paman?”
“Beli baju buat kamu Safir”.
“Hmm… baiklah paman”.
“Ya sekalian paman mau mampir beli perlengkapan shalat”.
“Alhamdulillah”.
Safir pamit pada ibunya dihalaman rumah yang sedang menjemur gabah, hasil panen minggu lalu. Paman Farid memboncengnya. Sepeda motor butut mereka pun sangat nyentrik.  Mereka pun melaju bersama kendaraan lain.
***
Sebuah gigitan tikus  mengejutkan lamunan Safir. Tepat  mengenai kaki kelingkingnya. Dia tahu harus segera di basahi dengan air panas. Biar bakteri-bakteri yang ada di bekas gigitan tikus hilang. Pengalaman Safir kala di kampung. Katanya tidak ada obat untuk gigitan tikus. Kalau bukan dengan di basahi air panas. Namun, rasa sakit itu menyenangkannya. Dia  memiliki paman yang sudah berubah, lebih dekat dengan Illahi. Safir memanaskan dispenser. Sambil menghidupkan lampu kamar. Dia melanjutkan membaca buku kembali, walau malam telah sepi. Hanya suara-suara nyamuk masih mengintainya. Hujan pun turun perlahan, semakin sedap saja malam itu. Jelang waktu shubuh masih terlalu lama, Safir kemudian menarik selimutnya beriring membaca doa sebelum tidur. Senyum manis di dua bibirnya sumringah pelan. Anugerah terindah melintas malam ini, semacam takjub dan kagum akan apa yang telah dia lakukan mengajak Paman Farid pada sebuah kebaikan dalam ibadah. [*]

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."