Rabu, 01 Juni 2016

Damai Bersama Kutu


Memori saya berputar saat membaca cerpen Kutu karya Fuady S Keulayu, dimuat Serambi Indonesia (14/3/2016). Cerpen Kutu mengingatkan saya pada novel Bidadari Hitam (Imparsial-AJMI, 2008) karya T.I. Thamrin. Ide utama novel Bidadari Hitam juga mengangkat cerita tentang tragedi Rumoh Geudong. Cerpen Kutu dan novel Bidadari Hitam berjarak sekitar 8 tahun.
Cerpen Kutu diawali tatkala seorang anak kecil - berumur 10 tahun dan sering nongkrong ngopi dengan orang-orang dewasa - mulai takut ke pasar saat mengetahui ada dua mayat ditemukan terpisah. Anak itu menyaksikan langsung kedua mayat sebelum ditutup daun pisang oleh warga.
Rumor yang beredar membuat anak itu takut: bahwa dua mayat ini mati karena kutu. Di Aceh, jika seseorang anak berkutu, konon dia akan diterbangkan ke gunung.
Jika mengamati kalimat “Saat Ibu mencabut kalender, seekor cicak yang bersembunyi di baliknya melarikan diri masuk ke celah loteng”, dalam kebiasaan tutur bahasa keseharian orang Aceh, agaknya Fuady ingin mengisahkan bahwa cicak tersebut sebagai istilah cicak puteh yang dianggap sebagai manusia yang suka menyebar gosip. Sepertinya, Fuadi ingin mendekatkan cicak tersebut dengan istilah cuak, karena pada masa konflik istilah cuak menguat di tengah masyarakat karena suka memberi informasi keberadaan pihak GAM kepada TNI.
“Walaupun pernah kudengar dari orang pasar bahwa kutu pernah menciptakan banyak korban di Kampung Utara lima tahun silam”, jika maksud Fuadi mengenai ‘Kampung Utara’ sebagai Aceh Utara, maka Fuadi sedang membuka memoar tragedi Simpang KKA. Tapi, jika menyimak penggalan kalimat “lima tahun silam” dan kita gabungkan dengan umur si aku saat cerita ini ditulis, artinya latar cerita ini terjadi pada tahun 2008. Ditambah pada paragraf berikutnya pengarang menyebutkan ayah aku juga hilang dibawa kutu pada 21 Oktober 1999, saat itu aku baru berumur 1 tahun. Jika 2008 dikurangkan lima tahun belakang yang kejadian di Kampung Utara tadi, maka kasusnya bukan simpang KKA, tetapi diterapkannya status Darurat Militer (DM) yang banyak merenggut nyawa warga sipil.
Dengan alur maju mundur, ada yang kurang menarik pada cerpen ini, yakni saat pengarang mengisahkan latar kehidupan Pawang Lem, Kak Sam dan Syik Insyah sebelum mereka diterbangkan oleh kutu. Jika bagian ini tidak ada, maka ritme cerpen akan semakin menarik, karena pembaca dibawa memasuki konflik cerita. Tapi, saat dimasukkan tiga karakter tokoh pembantu tadi, pembacaan saya menjadi buyar dan kehiangan fokus kepada tokoh utama.
Pada paragraf terakhir, kutu mulai masuk ke kampung. Mereka masuk ke rumah penduduk. “Kata orang mereka mencari lawannya. Ada kutu lain yang menjadi musuh mereka bersembunyi di kampung kami” di kalimat ini, rupaya ada kutu lain yang menyerang kutu sebelumnya. Di sini saya baru ngeh rupanya, maksud dari kutu adalah tentara dari dua belah pihak di masa konflik.
Jika memperhatikan kalimat sambungannya “Seperti tentara merazia orang yang dicurigai” harusnya kalimat ini tidak ditulis. Akan menarik jika pembaca menerka sendiri, siapa sebenarnya yang menjadi simbol kutu tersebut. Secara langsung, penulis telah membuka kesempatan bagi pembaca mengetahui langsung bahwa kutu adalah tentara.
Kini kutu telah hilang saat merpati putih mengusirnya. Agaknya Fuadi ingin mengatakan bahwa, dua kutu yang berseberangan tadi telah berdamai, yaitu GAM dan TNI. MoU Perdamaian yang ditandatangani 15 Agustus 2005 yang sering dikaitkan dengan burung merpati sebagai lambang perdamaian. Kini pasar kembali ramai, orang makin mudah bergaul sesama, tak adalagi bayang-bayang kutu. Rumoh Geudong yang menjadi sarang kutu tadi telah dibakar. Secara gamblang, jika mendengar Rumoh Geudong, tentu kita mengingat penyiksaan yang tidak manusiawi, wanita yang dihancurkan kehormatannya, hingga banyak anak yatim piatu tak tahu ayahnya kemana, hingga sekarang!
Jika ada cerpen seperti Kutu, tentu akan semakin menarik mencermati cerpen-cerpen bertema konflik setelah hampir satu dekade lebih perdamaian di Aceh.
* Muarrief Rahmat M Salda, Pegiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Banda Aceh; Inisiator Kelompok Kajian Sastra di PII Aceh

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."