Selasa, 14 Februari 2017

Empat Penulis yang Melawan


Saat mengunjungi kosan saudara kandung saya, di pertengahan tahun 2010 lalu. Di muka pintu kamarnya, saya memperhatikan kata-kata yang sangat menarik dan berisi. “Ketika pers dibungkam, sastra harus bicara”, saya menatap dengan lamat. Penggalan kalimat ini – selaku awam sastra masa itu – memberikan pencerahan bahwa, ternyata ada jalan lain ketika dunia jurnalistik bisa dilawan oleh pemerintahan. Saya yang besar dalam dunia konflik Aceh sedang berkecamuknya, tentu dengan kalimat itu menelisik batin dan pikiran saya untuk mengenal sastra lebih dalam.

Hingga tahun-tahun kemudian, saya baru tahu ternyata, kalimat itu diutarakan Seno Gumira Adjidarma (SGA) semasa konflik Timor-Timor – sekarang menjadi negara Timor Leste – pada dekade 1990-an. Oleh SGA, pikirannya itu kemudian dibukukan dengan gubahan judul menjadi “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Sialnya, saya belum membaca bukunya. Dan bisa jadi, minat baca orang Indonesia – yang 0,01 % itu di tingkatan dunia – sayalah salah satu penyebab kemundurannya.

Cerpen SGA yang berjudul “Pelajaran Mengarang” karyanya mengkritik sistem pendidikan kita yang kaku dan terkesan melahirkan pelajar robot. Cerpen ini membuat pikiran Sandra – yang dijadikan SGA objek utama cerita dan siswa SD berusia 10 tahun – terhambat topik yang diberikan gurunya, tidak diberikan kebebasan berpikir. Hingga kini, ternyata kondisi pendidikan kita pun masih sama! Anak-anak sejak dari SD hingga SMA ‘dipaksa’ menelan semua ilmu mata pelajaran. Selain itu, dalam cerpen ini turut diutarakan kondisi keluarga masyarakat urban. Karena kondisi entitas sosial negara, membuat orang tua Sandra mencari profesi yang gampangan dan akibatnya Sandra menjadi pelampiasan kemarahan keluarganya dengan kata-kata tak baik.

Jauh, jauh sebelum Seno mengkritik pemerintah lewat kata-katanya. Adalah Pramoedya Ananta Toer – satu-satunya putra bangsa Indonesia sebagai nominator peraih hadial nobel sastra. Olehnya, rezim Orde Baru Soeharto dibuat kalut lantaran karya Pram dianggap masih berbau rezim Orde Lama Seokarno. Pram diungsikan ke Pulau Buru dan karyanya dibakar rezim, begitu menyakitkan! Aksesnya ke media, usai pergulatan 1965 dibungkam. Media semacam kertas sak semen disimpannya dengan baik, disanalah seluruh karya Pram di Pulau Buru lahir. Salah satunya novel roman “Bumi Manusia”. 

Ketika ke Batam 2015 silam, saya cepat-cepat ke sebuah toko buku ternama, mencari buku itu. Dan dekade akhir 2016, saya hampir saja menyelesaikannya. Jika boleh dikata, novel roman ini menunjukkan perbedaan kelas pribumi dengan non-pribumi – sebut saja orang Eropa. Namun, saya tidak memandang bahwa ini perbedaan soal kebangsaan saja, tetapi dalam konteks masyarakat Indonesia kekinian, hingga kinipun, rasanya pemerintah masih abai soal status perbedaan antara si kaya dengan si miskin. Masyarakat kita pun sama saja, saat melihat orang berbaju perlente, rapi, mempunyai mobil akan memberikan perhatian dengan begitu dilebih-lebihkan. Sementara saat masyarakat miskin menjumpainya, mereka akan dilihat dengan ujung mata dan sering dianggap sebagai peminta-peminta. Lagi-lagi, ada yang salah dalam pendidikan kita. Hingga usai jatuhnya rezim Soeharto, Pram baru benar-benar punya ruang untuk menulis. Dia mampu menjadi inspirasi penulis pemula dalam tiap karya mereka.

“Setiap masa punya tokoh, setiap tokoh punya masanya”, kalimat ini pun menjadi dasar mengapa Pram dikenal masa itu hingga kini. Pun demikian, sebelum masa Pram, tersebutlah Soe Hok Gie, penulis kawakan yang menulis kritis dan pedas terhadap rezim Orde Lama, Soekarno. Tulisan-tulisannya hingga kini telah dibukukan. Sebut saja Catatan Sang Demonstran  yang femomenal itu.

Gie tidak menyukai sikap pemimpin yang cenderung menikmati kesenangan pribadi dan menyepelekan kepentingan kaum lemah. Oleh Gie, dalam tulisannya dia menyebut bahwa, Soekarno dengan senangnya menikmati setiap kemewahan istana bersama istri-istrinya yang cantik-cantik. Sementara itu, beberapa kilometer dari istana, orang-orang kelaparan. Hal inilah yang membuat Gie berang dan membuat aksi menentang Soekarno. Mereka melawan tidak hanya untuk unsur kenaikan harga bensin, namun melawan rezim yang seolah mempunya kuasa atas ‘nyawa’ seluruh rakyat Indonesia. Gie menulis dengan apik setiap karya-karyanya.

Benar, tak salah rasanya, cerita yang berlatar kemanusiaan selalu asik dikaji. Barangkali jika boleh dikata, keseriusan yang dilakukan Gie juga sebenarnya dilakukan oleh penulis novel berlatar konflik Aceh. Sebutlah novel ‘Bidadari Hitam’ karya T.I. Thamrin, putra Aceh yang membuka mata siapa saja tentang kejamnya penyiksaan di Rumoh Geudong. Ketika saya membacanya, rasa ngeri begitu kentara dalam isi novelnya. Dia menulis dengan gaya jurnalistik, novel ini membuat siapapun bergidik. Hingga kini, kasus kekerasan ini tidak pernah dituntaskan!

Jika saya hanya merangkum nama penulis di atas, abai rasanya terhadap penulis lainnya. Masih banyak penulis kawakan yang menulis tentang kejahatan terhadap kemanusian. Namun, kesan itu semua apakah hanya berhenti dalam setiap kata saja? Lantas tak ada bukti nyata, asal-asalan penulis itu? Kiranya kita selaku orang Indonesia memang harus memperbanyak membaca daripada mengomentari sesuatu. Orang-orang ini bergerak melawan rezim dengan kata-kata. Sungguh bahaya jika pemerintah mengganggap ini petaka bagi negara, lalu membredelnya. Kita, kata, dan kuasa-Nya, saya yakin dengan baik bahwa kata-kata masih punya tempat di hati rakyat Indonesia. []

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."