Selasa, 15 Agustus 2017

Kita Membaca, Kita Merdeka


Dicetuskannnya Agustus menjadi Bulan Kemerdekaan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, adalah keputusan yang bagus. Bahagianya mendengar bulan ini menjadi Bulan Kemerdekaan. Saya yang besar dan lahir di Aceh, mulai merasakan kemederkaan sejak lahir. Pun demikian, hal ini tidak serta merta merdeka ketika beranjak memasuki sekolah dasar. Perseteruan GAM dengan RI membuat akses kami kacau. Konflik militer itu telah membuat sipil hilang hak yang sebenarnya. Dulu, ketika konflik terjadi, saya sekeluarga harus tiarap menghindari kontak senjata. Ditambah kecamuk psikologis, sungguh menganggu jiwa saya. Kini, sejak 15 Agustus 2005, GAM dengan Pemerintah Indonesia telah berdamai. Dua hari selanjutnya di tahun yang sama, kami merayakan 17 Agustus dengan penuh kebahagian, hingga kini.

Maka wajar, bulan Agustus, tepat sekali menjadi Bulan Kemerdekaan. Satu sisi kami telah merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang sejak 1945. Kini pun kami telah ‘merdeka’ dari yang namanya konflik senjata. Lalu, ketika telah mendapatkan dua momen merdeka di Bulan Kemerdekaan, apakah kami selamanya euforia dengan capaian tersebut? Ternyata tidak! Pekerajaan Rumah (PR) besar menanti segenap elemen yang hidup di Aceh. Tugasnya adalah apakah kami sanggup merawat perdamaian ini?

Ketika terpilihnya Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh untuk kedua kalinya, yang nampak pada masyarakat adalah semangat hadirnya kembali wujud cinta damai. Ini dibuktikan dengan Pilkada Aceh 2017 adalah Pilkada paling damai, dibandingkan Pilkada 2012 silam yang merenggut nyawa masyarakat sipil. Masyarakat kini mulai sadar, untuk membenahi suatu daerah, perlu partisipasi semua pihak. Ada hal baru yang ditawarkan Irwandi, misalnya memberikan bantuan rumah kepada dhuafa dan anak yatim bersumber dana dari donatur. Padahal, dana tersebut awalnya akan digunakan untuk merayakan terpilihnya Irwandi sebagai Gubernur Aceh periode 2017-2022. Program kerja politiknya sejalan dengan Presiden Jokowi. Jika sang presiden mengusung jargon Indonesia Hebat, maka sang gubernur – yang memiliki pesawat itu – mengusung jargon  Aceh Hebat.


Melihat keseriusan dua tokoh politik ini, ada kesamaan visi di antara keduanya. Indonesia ini sungguh luas, memiliki kehidupan majemuk yang luar biasa. Tanpa adanya kesinambungan bersama, tentu program-program nasional takkan berjalan tanpa ada dukungan oleh regional.

Mengubah Indonesia, dapat dimulai dari mana pun. Salah satunya Aceh. Wilayah bekas kerajaan itu sebagai provinsi paling ujung, memiliki PR besar setelah 12 tahun mendapatkan kemerdekaan. Usia tersebut memasuki usia remaja. Tantangan di depan perlu mendapatkan perhatian bersama. Bangsa yang besar, akan mampu mengubah tatanan kehidupan masyarakatnya.

Sungguh miris saat melihat data pada tahun 2016, persentase minat baca masyarakat Indonesia untuk dunia pada angka 0,0001%. Jika Soekarno masih hidup, tentu beliau akan sangat sedih. Seolah tak ada manfaatnya usaha beliau mengurangi buta aksara di masa itu yang bahkan mendapatkan pujian dunia. Status facebook Reza Idria – mahasiswa doktoral Harvard University – beberapa waktu lalu mengatakan sangat senang melihat orang yang membaca, karena menurutnya orang yang seperti itu sangat langka!

Kota Banda Aceh yang menjadi ibukota Provinsi Aceh mestinya menjadi ujung tombak dimulainya kebudayaan baru. Sebab itulah, mengutip pernyataan Ridwan Kamil “Anak muda bukan mencaci maki, tapi memberi solusi”, nampaknya harus diamini dengan baik oleh anak muda Aceh. Kebiasaan nongkrong di warung kopi yang menurut pantaun saya hanya mampu melahirkan debat kusir malah menjadi bahan diskusi omong kosong belaka. Berbeda ketika diskusi tersebut dibumbui dengan hasil bacaan masing-masing. Tentu ini menjadi budaya baru dalam melahirkan generasi emas Indonesia. Orang-orang akan berubah dengan kecerdasannya. Akan peka terhadap situasi sosial, semakin banyak membaca, ide-ide kreatif aka muncul, hoax akan kabur!



Indonesia kini telah berusia 72 Tahun, apa pantas selamanya kita mengutuk kegelapan, tanpa berupaya menghidupkan titik terang untuk membenahi nusantara? Indonesia Kerja Bersama yang menjadi tema merayakan kemerdekaan Indonesia 72 tahun, salah satunya adalah kerja bersama mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai sumbangsih yang nyata untuk negara. Mulai kurangi penggunaan gawai yang berlebih, saatnya kita membaca, mengajak orang-orang minat membaca. Dengan begini, kerja-kerja kebangsaan akan membuahkan hasil yang nyata, untuk perubahan bersama, agar Indonesia benar-benar bercahaya. []

*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba "Flash Blogging 72 Tahun RI, Indonesia Kerja Bersama" yang diadakan oleh Direktorat Kemitraan Komunikasi, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."