Ilustrasi Cerpen Koran Kompas edisi Minggu 5 Maret 2018 karya Amrizal Salayan |
Kali ini berbeda. Guntur Alam (GA) punya latar
cerita lain pada cerpen Kue Itu Memakan Ayahku, dimuat KOMPAS (4/3/2018).
Biasanya GA menulis cerpen dengan kisah kehidupan adat masyarakat, terutama
latar masyarakat Sumatera Selatan, tempat GA lahir.
Cerpen Kue Itu Memakan Ayahku menarik dibaca semua
kalangan, terutama keluarga, pimpinan kantor, bahkan wajib bagi politisi! Dalam
cerpen ini, GA nampaknya menisbatkan kue sebagai anggaran. Tokoh utama yang bertindak
sebagai Ayah adalah akuntan, tapi sayang, di kantornya dia hanya menjadi
pemotong kue.
Ayah bercerita kepada anaknya, kalau dia sangat
menyukai kue buatan ibunya. Terutama kue bolu nanas. Namun, istrinya tidak bisa
membuat kue senikmat buatan ibunya. Si Ayah bergeming. Bahkan Ayah yang awalnya
menyukai kue, akhirnya takut untuk memakanya. Dengan dalih dia takut kalau kue
itu akan balik memakannya.
Saya melihat bahwa, diksi kue ingin dinisbatkan GA
tidak hanya kue dalam bentuk uang, tapi memang nyata kue asli. Si Ayah yang
ahli memotong kue di kantor, ketika berhadapan dengan kue asli di rumah,
jadinya takut. Sebab pada kalimat “Bahkan kue yang ayah potong-potong di kantor
itu telah membunuh banyak orang.”
Jika kue ini dianggap sebagai anggaran dewan, pembagian
jatah sesuai asas keadilan menurut versi mereka. Semua punya kepentingan. Seolah
punya hak leluasa dalam memotong dan memilah anggaran. Jika salah potong,
menyengsarakan rakyat jelata yang tak lagi jelita. Contohnya, sekolah rusak,
rumah ibadah terbengkalai, fasilitas kesehatan mengkhawatirkan, kemiskinan
bertambah tiap tahun, pengangguran apalagi. Ini semua adalah eses dari potongan
kue anggaran yang kacau.
Pada kalimat “Kulihat wajah Ayah, bola matanya telah
hilang. Kepalanya terbelah, otaknya kosong. Kulihat dadanya. Ada bolong besar.
Jantung dan hatinya telah raib.” Nampaknya GA ingin mengatakan bahwa, jangan
salah dalam memotong kue anggaran. Ini akan berimbas pada hilangnya akal budi,
pandangan mata melupakan kepetingan rakyat kecil, dan tak lagi berhati-hati
memakai hatinya, artinya si Ayah tak punya hati!
Selain itu, kalimat di atas dapat dimaknai pula
kalau orang yang hidup dalam kenikmatan sesaat, meraup kesenangan pribadi,
ujungnya sebelum dia mati, biasanya akan dihinggapi penyakit. Bisa saja geger
otak, kanker hati, mata katarak, atau bahkan serangan jantung!
Di lain kondisi, si Ayah sebenarnya sudah tak tahan
lagi dengan kondisinya sebagai pemotong kue. Dia merasa menjadi alat orang lain
bagi anak dan istrinya. Dulunya apa pun bisa diceritakan di meja makan. Kini
ayah berbeda. Terutama saat cerita rumah sekolah ambruk yang baru di bangun
setahun lalu. Si Anak terheran-heran, apa pasal kue yang dipotong Ayah bisa
menyebabkan sekolah ambruk. “Itu karena kue yang ayah potong-potong”, lalu
dilanjutkannya dengan kalimat “Kelak, kalau kau sudah besar akan paham.”
Kita tentu tahu, rumah sekolah baru dibangun lalu
roboh lantaran material bagunan yang dipakai bukan material semestinya. Apalagi,
ada banyak kasus korupsi menjerat pencuri uang negara akhirnya terpenjara,
karena memainkan anggaran pembangunan gedung sekolah, salah satunya.
GA berhasil memainkan perannya dalam hal semisal
pemotong kue lalu digambarkan sebagai pelaku korupsi. Meski GA sendiri tak
satupun menyebut kata korupsi dalam cerpennya. Dibumbui dengan tanda tanya (?)
di tiap adegan, membuat orang makin bertanya-tanya ke mana maksud tujuan cerpen
ini.
Betapa pun cerpen ini berhasil memainkan isu, di
paragraf kedua, GA nampaknya keliru menuliskan kata ‘fotocopy’. Padahal dalam Panduan
Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) jelas-jelas kata baku adalah ‘fotokopi.
Pada paragraf delapan, kalimat ini kurang logis “Mula-mula, kue itu memakan
otak ayah. Kemudian mata, lidah dan mulut.” Kalimat ini diutarakan si Ayah
kepada anaknya. Bagi saya, GA tidak berhasil mencerminkan kalimat logis. Sebab,
mana mungkin orang yang sudah tak memiliki otak masih dapat hidup. Tanpa lidah
dan mulut bagaimana si Ayah berbicara dengan anaknya.
Cerpen dengan latar korupsi layak punya tempat.
Indonesia negara besar, seolah menjadi pejabat negara, tanpa mencuri uangnya
adalah hal tabu. Maka berbondong-bondong politisi maupun calon politisi memakan
kue potongan itu. tak penting kue itu dari mana, asal kenyang selesai perkara. Masih
mau makan kue anggaran?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar