Mengawali perkuliahan sebagai mahasiswa baru tahun 2010
silam, dosen saya di program studi Bimbingan Konseling, Dr. Hasballah M. Saad,
bercerita tentang seorang pecandu alkohol yang berhasil berhenti setelah
temannya memasukkan cicak mati ke dalam minumannya. Cerita
ini mengajarkan kami, calon guru Bimbingan Konseling (BK), pentingnya strategi
unik dalam mendekati konseli – personal yang menjalani layanan konseling –,
terutama untuk masalah yang serius seperti kecanduan merokok. Terkadang, solusi
yang efektif berasal dari ide-ide tak terduga yang mampu menyentuh sisi
emosional konseli.
Merokok
telah menjadi masalah serius di kalangan pelajar sejak lama. Saat saya masih
duduk di bangku SD, banyak teman mulai merokok untuk menunjukkan ‘kedewasaan’
mereka. Ketika saya SMP, perayaan kelulusan bahkan diwarnai beberapa teman
nekat menghisap ganja. Bahkan, dalam kondisi mabuk ganja, mereka sampai meminum
air kamar mandi sekolah yang kotor. Kebiasaan pelajar merokok terjadi pula di
jenjang pelajar SMA, rokok seolah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari,
terutama saat jam istirahat.
Dua
tahun lalu, jagat Twitter dihebohkan oleh video seorang gadis remaja di Aceh
yang dengan terbuka merokok di warung kopi. Reaksi publik terbagi, namun lebih
banyak yang mengecamnya karena merokok dianggap tidak pantas untuk perempuan.
Padahal, masalah rokok seharusnya menjadi perhatian serius tanpa memandang
jenis kelamin. Rokok membawa dampak buruk bagi siapa saja yang menghisapnya,
terutama bagi perokok pasif, yang sering kali terkena dampak kesehatan meskipun
mereka tidak merokok sendiri.
Menurut
data Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh berada di peringkat 14 nasional dalam
persentase perokok pada penduduk usia 15 tahun ke atas. Data dari tiga tahun
terakhir menunjukkan bahwa angka ini hanya turun sedikit, dari 28.30% pada 2021
menjadi 27.58% pada 2022. Penurunan yang sangat minim ini menunjukkan bahwa
masalah rokok masih jauh dari tuntas. Padahal, rokok merupakan salah satu
faktor penyebab utama penyakit serius seperti kanker paru-paru dan penyakit
jantung.
Saat
ini, sangat mudah bagi remaja hingga orang dewasa untuk mendapatkan rokok. Di
beberapa daerah, merokok bahkan menjadi bagian dari adat. Sebagai contoh, dalam
tradisi mengundang tamu ke pesta pernikahan, sering kali tuan rumah menyuguhkan
sebatang rokok sebelum menyampaikan undangan. Di pesta pernikahan sendiri,
rokok kadang disajikan dalam jumlah besar kepada tamu, terutama anak-anak muda
yang membantu acara.
Lembaga
pendidikan, baik umum maupun agama, juga tidak luput dari masalah ini. Banyak
guru yang masih merokok di lingkungan sekolah, bahkan di hadapan peserta didik
mereka. Saya sendiri pernah mengalami hal ini ketika belajar di sebuah
pesantren. Namun kondisi ini berbeda di Dayah Mudi Mesra Samalanga, di mana
pimpinan pesantren, Abu Mudi, melarang tegas santri dan pengajar merokok. Abu
Mudi menegaskan bahwa merokok tidak membawa manfaat apapun, dan bagi lembaga
pendidikan agama, kebiasaan ini bisa mencoreng marwah institusi tersebut.
Langkah-langkah
apa yang bisa diambil untuk menanggulangi masalah ini? Di lingkungan sekolah,
kepala sekolah bisa menerapkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan melarang
guru merokok di hadapan siswa. Selain itu, poster-poster yang menampilkan
bahaya merokok bisa dipasang di seluruh area sekolah. Guru BK memiliki peran
kunci dalam menyosialisasikan dampak buruk merokok melalui layanan informasi
dan konseling. Mereka juga bisa menyediakan layanan konseling individu atau
kelompok bagi siswa yang sudah kecanduan rokok atau yang masih coba-coba.
Layanan
kunjungan rumah bisa dilakukan untuk mengetahui latar belakang siswa yang
terlibat dalam merokok. Sering kali, kebiasaan ini bermula dari rumah, karena
orang tua mereka juga perokok. Oleh karena itu, orang tua perlu diberi
pemahaman agar mereka menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya.
Selain
Guru BK, guru mata pelajaran agama juga bisa berkontribusi dengan mengajarkan
hadis atau ayat Alquran yang relevan tentang bahaya merokok. Ini bisa membantu
membentuk karakter siswa agar menjauhi rokok. Pimpinan lembaga pendidikan agama
pun harus lebih tegas melarang rokok di lingkungan pesantren atau dayah.
Di
luar sekolah, pemerintah gampong bisa memanfaatkan dana desa untuk mendanai
program pencegahan merokok di kalangan remaja. Hingga kini, belum ada desa di
Aceh yang memprioritaskan anggaran untuk program seperti Gampong Tanpa Rokok
(GTR). Jika ada kepala desa yang berani memulai inisiatif ini, ia akan mendapat
apresiasi luas karena telah mengambil langkah serius dalam menjaga kesehatan
generasi muda di desanya.
Pemerintah
daerah juga perlu menegakkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok dengan lebih serius.
Iklan rokok di spanduk, baliho, atau acara-acara anak muda yang didanai
perusahaan rokok harus dihentikan. Selain itu, kampus-kampus harus berani
menolak beasiswa dari perusahaan rokok sebagai bentuk dukungan nyata terhadap
upaya menekan angka perokok muda.
Media
sosial bisa menjadi alat penting dalam kampanye anti-rokok. Pemerintah dan
lembaga swadaya masyarakat bisa bekerja sama dengan influencer untuk membuat
konten edukatif yang menarik bagi remaja. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Aceh juga dapat mengeluarkan edaran bagi para dai dan khatib untuk menyisipkan
pesan tentang bahaya merokok dalam ceramah mereka.
Berbagai strategi ini mungkin terlihat sulit diwujudkan. Namun, seperti kata Christopher Reeve, “Ketika kita memanggil kemauan, mimpi yang awalnya terlihat tidak mungkin akan menjadi kenyataan.” Mari kita bersama-sama wujudkan Aceh bebas rokok demi masa depan yang lebih sehat.(*)
Tulisan ini sudah terbit di Majalah Warta USK Edisi 297 Agustus 2024
Link publikasinya klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar