[Terbaru][carousel][6]

Rabu, 09 Juli 2025

Kerja Bersama Menghalau Asap Rokok

Rabu, Juli 09, 2025


Mengawali perkuliahan sebagai mahasiswa baru tahun 2010 silam, dosen saya di program studi Bimbingan Konseling, Dr. Hasballah M. Saad, bercerita tentang seorang pecandu alkohol yang berhasil berhenti setelah temannya memasukkan cicak mati ke dalam minumannya. Cerita ini mengajarkan kami, calon guru Bimbingan Konseling (BK), pentingnya strategi unik dalam mendekati konseli – personal yang menjalani layanan konseling –, terutama untuk masalah yang serius seperti kecanduan merokok. Terkadang, solusi yang efektif berasal dari ide-ide tak terduga yang mampu menyentuh sisi emosional konseli.


Merokok telah menjadi masalah serius di kalangan pelajar sejak lama. Saat saya masih duduk di bangku SD, banyak teman mulai merokok untuk menunjukkan ‘kedewasaan’ mereka. Ketika saya SMP, perayaan kelulusan bahkan diwarnai beberapa teman nekat menghisap ganja. Bahkan, dalam kondisi mabuk ganja, mereka sampai meminum air kamar mandi sekolah yang kotor. Kebiasaan pelajar merokok terjadi pula di jenjang pelajar SMA, rokok seolah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama saat jam istirahat.


Dua tahun lalu, jagat Twitter dihebohkan oleh video seorang gadis remaja di Aceh yang dengan terbuka merokok di warung kopi. Reaksi publik terbagi, namun lebih banyak yang mengecamnya karena merokok dianggap tidak pantas untuk perempuan. Padahal, masalah rokok seharusnya menjadi perhatian serius tanpa memandang jenis kelamin. Rokok membawa dampak buruk bagi siapa saja yang menghisapnya, terutama bagi perokok pasif, yang sering kali terkena dampak kesehatan meskipun mereka tidak merokok sendiri.


Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh berada di peringkat 14 nasional dalam persentase perokok pada penduduk usia 15 tahun ke atas. Data dari tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa angka ini hanya turun sedikit, dari 28.30% pada 2021 menjadi 27.58% pada 2022. Penurunan yang sangat minim ini menunjukkan bahwa masalah rokok masih jauh dari tuntas. Padahal, rokok merupakan salah satu faktor penyebab utama penyakit serius seperti kanker paru-paru dan penyakit jantung.


Saat ini, sangat mudah bagi remaja hingga orang dewasa untuk mendapatkan rokok. Di beberapa daerah, merokok bahkan menjadi bagian dari adat. Sebagai contoh, dalam tradisi mengundang tamu ke pesta pernikahan, sering kali tuan rumah menyuguhkan sebatang rokok sebelum menyampaikan undangan. Di pesta pernikahan sendiri, rokok kadang disajikan dalam jumlah besar kepada tamu, terutama anak-anak muda yang membantu acara.


Lembaga pendidikan, baik umum maupun agama, juga tidak luput dari masalah ini. Banyak guru yang masih merokok di lingkungan sekolah, bahkan di hadapan peserta didik mereka. Saya sendiri pernah mengalami hal ini ketika belajar di sebuah pesantren. Namun kondisi ini berbeda di Dayah Mudi Mesra Samalanga, di mana pimpinan pesantren, Abu Mudi, melarang tegas santri dan pengajar merokok. Abu Mudi menegaskan bahwa merokok tidak membawa manfaat apapun, dan bagi lembaga pendidikan agama, kebiasaan ini bisa mencoreng marwah institusi tersebut.


Langkah-langkah apa yang bisa diambil untuk menanggulangi masalah ini? Di lingkungan sekolah, kepala sekolah bisa menerapkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan melarang guru merokok di hadapan siswa. Selain itu, poster-poster yang menampilkan bahaya merokok bisa dipasang di seluruh area sekolah. Guru BK memiliki peran kunci dalam menyosialisasikan dampak buruk merokok melalui layanan informasi dan konseling. Mereka juga bisa menyediakan layanan konseling individu atau kelompok bagi siswa yang sudah kecanduan rokok atau yang masih coba-coba.


Layanan kunjungan rumah bisa dilakukan untuk mengetahui latar belakang siswa yang terlibat dalam merokok. Sering kali, kebiasaan ini bermula dari rumah, karena orang tua mereka juga perokok. Oleh karena itu, orang tua perlu diberi pemahaman agar mereka menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya.


Selain Guru BK, guru mata pelajaran agama juga bisa berkontribusi dengan mengajarkan hadis atau ayat Alquran yang relevan tentang bahaya merokok. Ini bisa membantu membentuk karakter siswa agar menjauhi rokok. Pimpinan lembaga pendidikan agama pun harus lebih tegas melarang rokok di lingkungan pesantren atau dayah.


Di luar sekolah, pemerintah gampong bisa memanfaatkan dana desa untuk mendanai program pencegahan merokok di kalangan remaja. Hingga kini, belum ada desa di Aceh yang memprioritaskan anggaran untuk program seperti Gampong Tanpa Rokok (GTR). Jika ada kepala desa yang berani memulai inisiatif ini, ia akan mendapat apresiasi luas karena telah mengambil langkah serius dalam menjaga kesehatan generasi muda di desanya.


Pemerintah daerah juga perlu menegakkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok dengan lebih serius. Iklan rokok di spanduk, baliho, atau acara-acara anak muda yang didanai perusahaan rokok harus dihentikan. Selain itu, kampus-kampus harus berani menolak beasiswa dari perusahaan rokok sebagai bentuk dukungan nyata terhadap upaya menekan angka perokok muda.


Media sosial bisa menjadi alat penting dalam kampanye anti-rokok. Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat bisa bekerja sama dengan influencer untuk membuat konten edukatif yang menarik bagi remaja. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga dapat mengeluarkan edaran bagi para dai dan khatib untuk menyisipkan pesan tentang bahaya merokok dalam ceramah mereka.


Berbagai strategi ini mungkin terlihat sulit diwujudkan. Namun, seperti kata Christopher Reeve, “Ketika kita memanggil kemauan, mimpi yang awalnya terlihat tidak mungkin akan menjadi kenyataan.” Mari kita bersama-sama wujudkan Aceh bebas rokok demi masa depan yang lebih sehat.(*)


Tulisan ini sudah terbit di Majalah Warta USK Edisi 297 Agustus 2024
Link publikasinya klik di sini


Rabu, 05 Maret 2025

Setia di Balik Kemudi: Kisah Cut Di, Sopir Labi-labi Seulimum

Rabu, Maret 05, 2025



Beberapa dari kita tentunya pernah menaiki angkutan umum sejenis Labi-labi yang hilir mudik membawa penumpang dari simpang jalan ke simpang jalan lainnya. Bahkan dari tiap sudut kampung hingga ke sudut perkotaan. Hari itu, Tarmizi yang sering disapa Cut Di, supir Labi-labi trayek Seulimum – Banda Aceh sedang duduk menunggu penumpang sembari ia juga mengobrol bersama rekan-rekannya sesama sopir Labi-labi.

Wajahnya tampak teduh, ia menyalami dan mempersilakan duduk. Dari Terminal Keudah, Kota Banda Aceh, Cut Di bercerita ia sudah lama menjadi sopir Labi-labi. Dimulai tahun 2000 hingga tahun 2004, ia menyupiri mobil milik orang lain.


“Alhamdulillah sejak tahun 2005 hingga sekarang, saya menyupiri mobil Labi-labi milik sendiri,” sebutnya.


Mobil bercorak putih dengan kursi dalamnya berwarna hitam, ia beli baru dari hasil pekerjaannya selama ini. Setiap hari, Cut Di sudah beranjak dari Pasar Seulimum, Aceh Besar mulai pukul 07.00 WIB dan tiba di Keudah, Banda Aceh pada pukul 08.30 WIB. Biasanya ia melayani penumpang yang beragam, misalnya pelajar, pekerja kantoran, masyarakat, dan sebagainya. Oleh teman-temannya, Cut Di saat ini ditunjuk sebagai Penasehat di Persatuan Supir Labi-labi Seulimum (PSL2S). Dalam perkumpulan ini, mereka mempunyai struktur lengkap sebagai entitas yang menyatukan mereka dalam komunitasnya. Sebab dalam perkumpulan ini, mereka mempunyai iuran wajib hingga mengatur pola kerja.



“Misalnya begini, semua supir lintasan kami wajib berkumpul di sini (Terminal Keudah), sehingga ada jarak sekitar 10-15 menit bagi tiap Labi-labi yang akan berangkat kembali,” sebut ayah empat anak ini.


Selama 25 tahun bekerja sebagai supir Labi-labi, menurutnya Labi-labi ini sudah ada di Aceh sejak era awal tahun 80-an. Sebutan Labi-labi dikarenakan jalanya lebih pelan, sehingga masyarakat teringat kepada reptil Labi-labi yang masih satu ordo dengan kura-kura. Anggapan ini pun bersebab, karena pengemudi mobil Labi-labi pada masa itu menunggu masyarakat di tiap persimpangan jalan. Apalagi, pada tahun-tahun tersebut belum banyak angkutan umum yang melayani masyarakat.


Cut Di juga melanjutkan, setiap mobil Labi-labi awalnya berbentuk pick-up, lalu dilakukan penyesuaian agar dapat menjadi angkutan umum. Di Banda Aceh sendiri, terdapat beberapa bengkel yang bisa menyesuaikannya, seperti di kawasan Lamteumen dan Peunayong. Hingga saat ini, mobil Labi-labi yang melayani trayek ini berjumlah sekitar 50-an.


“Namun terkadang tidak berjalan setiap hari, dikarenakan sedang diperbaiki, sopirnya sakit, atau yang sedang melayani sewa khusus misalnya membawa rombongan pengantin dan lainnya.”




Saat ditanyai kehadiran bus Trans Koetaradja yang telah melayani sejak tahun 2016 lalu, Cut Di juga menyampaikan pendapatnya. Ia menyebut bahwa, benar adanya Trans Koetaradja mengurangi jumlah penumpang Labi-labi.

Meskipun demikian, Cut Di berpendapat bahwa kehadiran Trans Koetaradja merupakan kebijakan pemerintah, maka perlu untuk didukung. Tentunya ada masyarakat yang mungkin lebih membutuhkan baik untuk aktivitas sekolah dan aktivitas sehari-hari.


“Kehadiran bus Trans Koetradja ini perlu kita lihat dari berbagai sudut. Tentunya ada masyarakat mungkin lebih membutuhkannya untuk aktivitas mereka,” pungkas Cut Di.


Sebuah stiker terpasang di dalam tempat duduk penumpang Lab-labi. Di sana terpampang tarif Labi-labi trayek Seulimum – Banda Aceh sebesar Rp. 20.000. Pada trayek ini melayani pula ke Lambaro, Sibreh, Indrapuri, Lampisang, dan sekitarnya.(*)


Baca tulisan lainnya:




Selasa, 26 November 2024

Raga Maulidin Menjaga Halte Trans Koetaradja

Selasa, November 26, 2024


Usai subuh, pria berkumis dan berjenggot tipis itu sudah memakai baju kerjanya yang bercampur hitam dan biru muda. Sepeda motornya ia panaskan terlebih dahulu. Sejurus kemudian, ia pun mantap melaju ke Halte BPKP. Dari halte yang terletak dekat pangglong kayu di Gampong Lambhuk Kota Banda Aceh itu, Maulidin memulai harinya sebagai cleaning service Halte Bus Trans Koetaradja.

Ia adalah salah satu petugas kebersihan yang mulai bekerja sejak Maret 2024 hingga saat ini. “Waktu awal bekerja, saya sempat sakit. Karena banyak yang harus dibersihkan dari halte,” sebutnya di depan Halte SD 56 2, Lamglumpang, Kota Banda Aceh.

Hingga saat ini, Maulidin bersyukur masih dapat bekerja dengan maksimal setiap harinya, di hari-hari Bus Trans Koetaradja aktif beroperasi.

“Alhamdulillah, penghasilan yang saya terima dari pekerjaan ini sangat membantu saya dan keluarga.”

Lelaki yang kini menetap di Gampong Lamreung Meunasah Bak Trieng, Aceh Besar itu mulai bekerja dari pukul 06.00 pagi hingga pukul 13.00 WIB dengan membersihkan sebanyak 11 halte dari Halte BPKP hingga Halte Bung Cala 1 Blang Bintang, Aceh Besar.

“Biasanya selesai bersihin tiga halte, baru saya sarapan pagi sambil menikmati kopi Ulee Kareng dekat-dekat sini. Kalau sekarang, perutnya masih kosong Bang, hahaha,” sebutnya sambil tertawa renyah.


Lelaki berkacamata itu sudah bekerja selama delapan bulan, ia membersihkan keseluruhan halte dari menyapu, mengepel lantai, mengelap, mencabut rumput yang tumbuh liar, dan lainnya.

Maulidin terkadang tidak habis pikir dengan ulah beberapa warga yang tidak menjaga kebersihan halte. Padahal sudah disediakan tong sampah di halte, namun masih ada yang tidak buang sampah pada tempatnya.

“Pernah ada yang buang sampah rumah tangga, empat kantong plastik. Ditaruh di kursi tunggu halte. Ada marbot masjid yang lapor saya, lalu di hari lain kedapatan, maka kita tegur baik-baik.”

Di halte berwarna biru muda, oranye, dan hijau muda yang mulai beroperasi tahun 2016 itu berbagai polah warga ia temui. Bahkan ada yang berhari-hari dengan sengaja membuang dahaknya di lantai halte.

“Itu meluber ke lantai Bang, belum ketemu orangnya. Kalau ketemu, mau kita kasih teguran agar menjaga fasilitas publik ini.”

Di hari yang lain, Maulidin pun pernah menemukan halte yang dicat pilok. Ia pun harus membersihkannya.

“Beberapa warga kita masih kurang sadar akan kebersihan halte. Untuk itu, saya berharap baik warga maupun pengguna Trans Koetaradja, mari sama-sama kita jaga kebersihan halte,” pungkas Maulidin.


Usai membersihkan halte itu, Maulidin menyeberang jalan sambil menenteng sapu lidi, alat pel, dan ember menuju sepeda motornya. Ia pun masih bersemangat.

Rakan Moda mungkin pernah ingat, tahun lalu sebuah video sekumpulan remaja merusak lampu halte Trans Koetaradja terekam CCTV. Videonya sudah ditonton satu juta lebih di instagram @dishub_aceh. Akun ini juga pernah membagikan juga orang-orang yang dengan sengaja menurunkan sepeda motor di halte.

Perilaku-perilaku yang disampaikan Maulidin dan lainnya, tentu menganggu ketertiban dan kebersihan halte. Padahal kenyamanan halte adalah sesuatu yang dibutuhkan semua orang.(*)

Tulisan ini sudah tanyang di:
www.dishub.acehprov.go.id

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."