Minggu, 11 Juni 2023

Mengembalikan Trotoar Bagi Pejalan Kaki

Minggu, Juni 11, 2023


Seharusnya
keberadaan trotoar menjadi sarana transportasi yang memudahkan bagi pejalan kaki. Namun, kini trotoar telah dialihfungsikan menjadi sarana lain. Misalnya di Kota Banda Aceh, ruas jalan beralihfungsi menjadi arena yang ‘nyaman’ bagi pedagang kaki lima, dipakai pengendara sepeda motor, hingga menjadi area parkir liar.

Dampak lain, beralihnya fungsi trotoar berpotensi mengakibatkan kecelakaan bagi pejalan kaki yang terpaksa masuk ke jalan raya. Saat trotoar beralihfungsi, kemacetan biasanya menjadi tak terelakkan. Karenanya aspek keselamatan dan kenyamanan trotoar perlu menjadi perhatian sejumlah pihak. Lantas apakah ini melanggar aturan lalu lintas angkutan jalan?

Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), Pasa 45 ayat (1) dikatakan bahwa fasilitas pendukung penyelenggaran lalu lintas dan angkutan jalan meliputi, trotoar, lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, dan/atau fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas, dan manusia lanjut usia.

Selanjutnya, jika kita berpedoman pada Daerah Milik Jalan atau DAMAJA disebutkan bahwa trotoar telah didesain memiliki elevasi lebih tinggi dari badan jalan. Sesuai DAMAJA ini pula, fungsi trotoar merujuk pada Departemen Pekerjaan Umum Tahun 1990, fungsi trotoar pertama sebagai jalur transportasi bagi pejalan kaki agar selamat dan merasa nyaman, kedua untuk meningkatkan kelancaran lalu lintas baik kendaraan maupun pejalan kaki. Terakhir, guna menyediakan akses ruang di bawah trotoar menjadi tempat utilitas kelengkapan jalan.

Melihat acuan ini, dapat kita katakan bahwa trotoar seharusnya menjadi sarana transportasi bagi pejalan kaki untuk mobilitas dan prasarana jalan pendukung utama transportasi kendaraan. Artinya, trotoar ini secara tak langsung menjadi milik utama pejalan kaki.

Beralihnya fungsi trotoar di Kota Banda Aceh menjadi lahan parkir, dan sejenisnya, dapat disimpulkan sebagai pelanggaran lalu lintas karena tertutupnya akses bagi pejalan kaki. Padahal pada Pasal 28 ayat (2) UU LLAJ disebutkan setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan.

Lebih lanjut, secara tegas terdapat sanksi yang diberikan bagi masyarakat yang memakai trotoar menjadi milik pribadi dan menganggu pejalan kaki. Bunyi Pasal 274 ayat (2) UU LLAJ yaitu memberikan ancaman pidana bagi setiap orang yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan adalah dipidana dengan kurungan penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000,00. Selain itu, jika melakukan aktivitas atau perbuatan yang mengakibatkan gangguan fungsi rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan dipidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00.

Lalu, langkah apa yang sebaiknya diambil Pemerintah Kota Banda Aceh agar akses terbaik bagi pejalan kaki tetap tersedia. Sebagai salah satu kota di Aceh yang menerapkan Syariat Islam, Pemerintah Kota Banda Aceh harusnya juga memandang bahwa menghargai dan menjamin hak bagi pejalan kaki juga menjadi upaya menegakkan aturan agama.

Ruas jalan di Kota Banda Aceh memiliki banyak fungsi, yang tidak hanya digunakan untuk aktivitas harian baik ke sekolah, atau tempat kerja, akan tetapi ia juga berfungsi sebagai sarana menuju rumah ibadah. Pun demikian, pejalan kaki juga menggunakan trotoar menuju halte terdekat saat akan menaiki Bus Trans Koetaradja. Artinya, pemakaian trotoar di Banda Aceh cukup beragam, maka amatlah perlu menjadi perhatian pemangku kebijakan atas pemanfaatan ini. Karena kita tahu bahwa fungsi trotoar ini sebagai bagian dari sistem transportasi. Oleh karenanya ini sejalan pula dengan perbaikan jalan dan halte, maka trotoar juga harus menjadi tempat yang nyaman bagi pejalan kaki.

Secara konkrit, pemerintah dalam hal ini Kesatuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) Kota Banda Aceh harus melakukan upaya preventif maupun kuratif. Upaya preventif ini dengan melakukan sosialisasi melalui berbagai media baik baliho, radio, televisi, media cetak, dan media daring. Salah satu momen yang dapat dijadikan sebagai wadah sosialisasi adalah saat Pemerintah Kota Banda Aceh menyelenggaraan Car Free Day setiap hari Minggu.

Selain itu, tak salah pula Pemerintah Kota Banda Aceh dapat menggandeng pemuka agama menyampaikan dalam sesi ceramahnya bahwa menghargai pejalan kaki juga bagian menegakkan nilai-nilai Islam. Sementara itu, upaya kuratif melalui penegasan pelaksanaan fungsi pemerintah sebagai fungsi eksekutif dengan menindaklanjuti amanat UU LLAJ.

Jika selama ini PKL menjadi masalah dalam upaya pengembalian fungsi trotoar, maka Pemerintah Kota Banda Aceh perlu mencari solusi penataannya dengan merelokasi PKL ke tempat yang mudah diakses dan strategis.  Tentunya, Pemko Banda Aceh harus tegas dalam artian melalui pendekatan yang humanis dan tidak arogan.

Selain itu, Pemerintah Kota Banda Aceh perlu memahami pentingnya peran pejalan kaki dan hak-haknya dengan  membaca Laporan dari World Health Organization (WHO) berjudul Make Walking Safe: A Brief Overview of Pedestrian Safety Around the World.

Dalam laporan ini dikatakan bahwa keselamatan pejalan kaki adalah tanggung jawab bersama. Semua pengguna jalan memiliki peran dalam melindungi pejalan kaki. Namun, pemerintah dan mitranya harus memberi perhatian khusus melalui perundang-undangan, penegakan hukum, standar perlindungan pejalan kaki, dan desain yang dibangun untuk mencegah kecelakaan pejalan kaki.

Advokasi semisal membangkitkan tuntutan publik akan keselamatan pejalan kaki, termasuk anak-anak, orang tua, penyandang disabilitas sebagai pejalan kaki paling rentan juga dapat diterapkan. Upaya intervesi yang efektif guna melindungi pejalan kaki harus menggunakan pendekatan yang komprehensif dan berfokus pada kombinasi rekayasa, penegakan, dan pendidikan. Sehingga, melalui tindakan ini akan berkontribusi pada budaya keselamatan, pejalan kaki menjadi aman, dan menyelamatkan nyawa pejalan kaki.

Akhirnya, saat mendapati trotoar yang berfungsi pada semestinya, pemerintah telah menjamin kenyamanan pejalan kaki sesuai amanat Undang-Undang. Tinggal saja kapan dan bagaimana pemerintah melakukan aksi terbaiknya bagi masyarakat kota. Atau, ini hanya akan menjadi wacana klasik seperti klasiknya permasalahan ini yang tak kunjung diselesaikan.(*)

Opini sudah dipublikasikan di website matauro.id 

Kamis, 16 Juni 2022

Sejarah Penulisan Alquran dan Pengumpulannya

Kamis, Juni 16, 2022

Foto: freepik.com

Alquran yang dapat kita baca dalam bentuk mushaf masa kini, tidaklah hadir dengan mudah. Ada beragam perbedaan dinamika diantara para sahabat Rasulullah. Namun, kebermanfaatan adanya Alquran dalam bentuk mushaf memudahkan kita untuk menghafalnya. Lantas, bagaimana sejarah pengumpulan Alquran? Yuk simak ulasan kami berikut ini hasil dari perkuliahan Studi Alquran bersama Dr. Abizal Muhammad Yati, Lc., M.A.


  • Periode Rasulullah Muhammad SAW (Periode Pertama)

Pada masa Rasulullah masih hidup, metodenya dengan menghafal dan tulisan. Nabi Muhammad yang pertama kali menghafal Alquran. Allah-lah yang langsung memudahkan hafalan Rasulullah melalui Jibril. Hal ini sesuai yang tercatat dalam Surat Thaha ayat ke 114:

فَتَعٰلَى اللّٰهُ الۡمَلِكُ الۡحَـقُّ‌ ۚ وَلَا تَعۡجَلۡ بِالۡقُرۡاٰنِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ يُّقۡضٰٓى اِلَيۡكَ وَحۡيُهٗ‌ۖ وَقُلْ رَّبِّ زِدۡنِىۡ عِلۡمًا



Terjemahannya:

“Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur'an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”

Dalam Surat lain juga Allah sebutkan dengan bunyinya:

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ  إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ

Terjemahannya:

“Jangan engkau, wahai Nabi Muhammad, gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur’an sebelum Malaikat Jibril selesai membacakannya, karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya di dadamu dan membacakannya, sehingga engkau menjadi pandai dan lancar dalam membacanya.” (QS. Alqiyamah: 16-17).


Metode belajar Alquran oleh Rasulullah ini dikenal dengan metode Syafahi yaitu metode belajar Alquran melalui lisan bukan dengan tulisan. Allah tidak menurunkan Alquran sekaligus agar memudahkan Rasulullah dalam menghafalnya. Oleh sebab itu, Alquran turun selama 22 tahun, 22 bulan, dan 22 hari.


Tujuh Sahabat luar biasa penghafal Alquran, Abdullah Bin Mas’ud, Ubay Bin Ka'ab, Muaz Bin Jabal, Abu Dardak, Zaid Bin Sabid, Abu Zaid, dan Abu Musa Al Asy’ari. Alquran tidak bisa dipalsukan karena Allah yang menjaganya. Alquran dituliskan pada masa Nabi, tidak ditulis dalam satu tempat, tapi berserakan, yang paling banyak menulisnya adalah Zaid Bin Sabid (sekretaris nabi). Misalnya dituliskan pada kulit binatang, bebatuan, hingga tulang binatang.


  • Periode Khalifah Abu Bakar (Periode Pertama)

Yang menjadi titik utama mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf (tempat). Awalnya Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak mau mengumpulkannya, akhirnya Umar Bin Khattab yang menyampaikan fakta bahwa banyak penghafal Alquran yang meninggal dalam peperangan. Lalu Umar meminta kepada Abu Bakar, tetapi Abu Bakar takut karena belum pernah dilakukan oleh Nabi. Kemudian Umar mengatakan bahwa ini adalah salah satu kebijakan yang baik, akhirnya Abu bakar bersedia untuk menuliskannya. Ketika Abu Bakar wafat, lalu dititipkan kepada Umar. Tidak ada hal yang baru pada masa ini, karena periode kekhalifahan ini Umar banyak meluaskan daerah kekuasaan Islam.


  • Periode Usman Bin Affan (Periode Ketiga)

Pada periode ini dimulailah pengumpulan Alquran dalam satu bahasa, Bahasa Quraisy. Allah menurunkan Alquran dalam tujuh bahasa dari pada bahasa kabilah. Boleh dibaca dengan model bahasa manapun, asal ada dalam tujuh bahasa tersebut. Ketika terjadi peluasan Islam, maka sahabat yang membawa Alquran ini disampaikan dengan bahasanya. Lalu, inisiatif Usman menyatukan bahasa Alquran dalam bahasa Quraisy yang mudah dimengerti oleh semuanya. Maka dikenal Mushaf Usmani, sementara Alquran pada sebelumnya dibakar semuanya. (*)

Selasa, 03 Mei 2022

Komunikasi Perdamaian Solusi Konflik Myanmar

Selasa, Mei 03, 2022


Pemaparan Hsu Thiri Zaw dalam momentum ICONIC 2021 Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry membuka mata pendengarnya. Terkhusus tentang negara yang sangat sulit diakses informasinya, yaitu Myanmar dulunya memiliki nama Burma. Mengawali paparannya, Hsu Thiri Zaw membahas tentang kedamaian. Ia mengumpamakan bahwa kedamaian layaknya kebahagian dan harmoni, meskipun manusia mencarinya ketika kehilangan cinta, rasa adil, dan kebebasan.

Dosen di National Management Degree College Republic of Union of Myanmar itu mengutip kalimat Johan Galtung dan tokoh lainnya yang memaknai perdamaian positif dan negatif. Dimaksudkan pula perdamaian perlu dipelihara dan upaya menciptakan perdamaian berkelanjutan. Oleh karenanya, upaya ini membutuhkan dukungan aktif dari lintas kelompok.


Paparan yang diikuti para akademisi dunia itu, Hsu Thiri mencoba membuka ruang kekosongan manajemen konflik melalui Komunikasi untuk Perdamaian. Ia menambahkan untuk daerah konflik, peranan komunikasi amat penting. Namun, sedikit sekali kehadiran komunikasi guna merekontruksi paca konflik, termasuk adanya keberlangsungn perdamaian, pemerintahan, dan perkembangan jangka panjang. Ia mencoba memberi solusi bahwa komunikasi dapat menjadi jembatan rekonsiliasi konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, organisasi dapat menggunakan komunikasi menjadi alat untuk mencegah konflik.


Keterkaitan komunikasi juga menitikberatkan pada komunikasi kebudayaan, yang mana selama ini perbedaan budaya telah menjadi penghalang berkomunikasi. Kita ketahui, setiap orang memiliki banyak perbedaan dilatari kebudayaannya. Komunikasi kebudayaan dianggap penting karena dapat diterapkan agar interaksi antar budaya berjalan maksimal.


Kemajemukan masyarakat dunia ini telah berupaya untuk menghargai perbedaan kebudayaan. Telah banyak penelitian menyebutkan bahwa kebudayaan dapat menjadi kunci upaya resolusi konflik. Karenanya, komunikasi kebudayaan yang dibentuk komunikator dari beragam praktik sesuai dengan latar kebudayaan yang berbeda pula.


Terkait  kasus di Myanmar, Hsu Thiri menyebut Myanmar memiliki 135 etnis resmi. Etnis Burma menjadi mayoritas dengan dua pertiga dari populasi penduduk negara itu. Selama dijajah Inggris, wilayah etnis dikontrol terpisah dari Burma pusat yang menjadi kawasan mayoritas kawasan tersebut. Konflik etnis telah terjadi disini sejak kemerdekaan tahun 1949. Terjadinya konflik ini tak lepas dari hak dan kebebasan etnis oleh rezim sosialis. Bahkan terkait percetakan dan penerbitan tahun 1962 sekaligus adanya hukum sensor di tahun 1965 sebagai upaya rezim menekan hak-hak etnis. Jadinya rezim menutup publikasi bahasa etnis, hal ini diperparah tidak adanya lembaga yang menjaga dan melindungi bahasa etnis.


Masyarakat minoritas sebenarnya tetap memiliki trauma Burmanisasi yang bermakna hanya etnis Burma yang memiliki kesempaytan dalam politik, bisnis, sosial, pendidikan, dan pekerjaan. Minoritas tentu percaya bahwa federalisme dapat menjadi ruang persamaan hak mereka. Namun, dalam sisi lainnya, beberapa masyarakat Burma meyakini federalisme adalah ruang pemisah. Sebenarnya, Myanmar punya mimi untuk perdamaan pada masa dimulainya demokrasi. Masa ini diawali U Thein Sein tahun 2010 yang menjadi masa emas perdamaian. Ditandai lahirnya 6 daerah otonom baru wilayah etnis yang diatur Undang-Undang pada tahun 2008. Dilanjutkan pembentukan Pusat Perdamian Myanmar guna mempercepat proses negosiasi perdamaian. Penandatanganan perjanjian gencatan senjata nasional pada 15 Oktober 2015 menjadi bukti kontkrit lainnya dalam sejarah perdamaian di Myanmar.


Kendati demikian, ada hal yang terlupakan dalam proses perdamaian ini. Diantaranya masih ada anggapan sebagain besar orang menghubungkan perdamaian dengan solusi politigk, senjata, perang, dan lainnya. Beberapa konflik mencuat karena kurangnya kehadiran komunikasi kebudayaan. Padahal komunikasi kebudayaan menjadi aspek baru dalam proses perdamaian di dalam negara yang beragam etnis.


Hasil kajian Hsu Thiri menyebut masyarakat Myanmar sebenarnya tidak paham komunikasi kebudayaan dan manfaatnya dalam proses perdamaian. Masalah ini pun masih menjadi kendala antar pemangku kebijakan, mereka tidak mampu membangun kepercayaan kepada publik. Lantas apa yang semestinya dilakukan? Masyarakat etnis di Myanmar sangat terikat dengan pembicaraan identitas etnis, terkhusus promosi bahasa etnis. Karena jika tidak ada bahasa etnis, tidak ada identitas etnis. Promosi ini diharuskan menjadi pembelajaran guna menjaga bahasa etnis sebagai khazanah identitas etnis tersebut.


Harapan perdamaian itu pun dapat dibangun melalui adopsi kebijakan keragaman budaya melalui pendekatan antar etnis dapat diadopsi oleh daerah etnis yang lebih besar. Sikap saling percaya dan pemahaman dapat membawa negosiasi perdamaian menjadi mudah. Jadi, pemahaman keberagaman budaya dan adopsi kebijakannya menjadi solusi terbaik. Usaha pemerintah dalam komunikasi kebudayaan dan multikulturalisme dapat ditempuh dengan beragam cara. Meliputi tindakan afirmatif pemerintah. Di Myanmar, Kementerian Urusan Etnis bertanggungjawab terhadap semua  masalah yang berkaitan dengan hak etnis, tradisi, budaya, dan norma. Sejauh ini, telah dilakukan Pendidikan Bahasa Ibu sebagai upaya mempromosikan identitas etnis. Menyatakan hukum perlindungan atas hak-hak etnis nasional dan komitmen pemerintah memberikan dukungan dapat membentuk perjalanan menuju perdamaian. (*)


Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."