Kamis, 16 Juni 2022

Sejarah Penulisan Alquran dan Pengumpulannya

Kamis, Juni 16, 2022

Foto: freepik.com

Alquran yang dapat kita baca dalam bentuk mushaf masa kini, tidaklah hadir dengan mudah. Ada beragam perbedaan dinamika diantara para sahabat Rasulullah. Namun, kebermanfaatan adanya Alquran dalam bentuk mushaf memudahkan kita untuk menghafalnya. Lantas, bagaimana sejarah pengumpulan Alquran? Yuk simak ulasan kami berikut ini hasil dari perkuliahan Studi Alquran bersama Dr. Abizal Muhammad Yati, Lc., M.A.


  • Periode Rasulullah Muhammad SAW (Periode Pertama)

Pada masa Rasulullah masih hidup, metodenya dengan menghafal dan tulisan. Nabi Muhammad yang pertama kali menghafal Alquran. Allah-lah yang langsung memudahkan hafalan Rasulullah melalui Jibril. Hal ini sesuai yang tercatat dalam Surat Thaha ayat ke 114:

فَتَعٰلَى اللّٰهُ الۡمَلِكُ الۡحَـقُّ‌ ۚ وَلَا تَعۡجَلۡ بِالۡقُرۡاٰنِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ يُّقۡضٰٓى اِلَيۡكَ وَحۡيُهٗ‌ۖ وَقُلْ رَّبِّ زِدۡنِىۡ عِلۡمًا



Terjemahannya:

“Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur'an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”

Dalam Surat lain juga Allah sebutkan dengan bunyinya:

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ  إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ

Terjemahannya:

“Jangan engkau, wahai Nabi Muhammad, gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur’an sebelum Malaikat Jibril selesai membacakannya, karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya di dadamu dan membacakannya, sehingga engkau menjadi pandai dan lancar dalam membacanya.” (QS. Alqiyamah: 16-17).


Metode belajar Alquran oleh Rasulullah ini dikenal dengan metode Syafahi yaitu metode belajar Alquran melalui lisan bukan dengan tulisan. Allah tidak menurunkan Alquran sekaligus agar memudahkan Rasulullah dalam menghafalnya. Oleh sebab itu, Alquran turun selama 22 tahun, 22 bulan, dan 22 hari.


Tujuh Sahabat luar biasa penghafal Alquran, Abdullah Bin Mas’ud, Ubay Bin Ka'ab, Muaz Bin Jabal, Abu Dardak, Zaid Bin Sabid, Abu Zaid, dan Abu Musa Al Asy’ari. Alquran tidak bisa dipalsukan karena Allah yang menjaganya. Alquran dituliskan pada masa Nabi, tidak ditulis dalam satu tempat, tapi berserakan, yang paling banyak menulisnya adalah Zaid Bin Sabid (sekretaris nabi). Misalnya dituliskan pada kulit binatang, bebatuan, hingga tulang binatang.


  • Periode Khalifah Abu Bakar (Periode Pertama)

Yang menjadi titik utama mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf (tempat). Awalnya Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak mau mengumpulkannya, akhirnya Umar Bin Khattab yang menyampaikan fakta bahwa banyak penghafal Alquran yang meninggal dalam peperangan. Lalu Umar meminta kepada Abu Bakar, tetapi Abu Bakar takut karena belum pernah dilakukan oleh Nabi. Kemudian Umar mengatakan bahwa ini adalah salah satu kebijakan yang baik, akhirnya Abu bakar bersedia untuk menuliskannya. Ketika Abu Bakar wafat, lalu dititipkan kepada Umar. Tidak ada hal yang baru pada masa ini, karena periode kekhalifahan ini Umar banyak meluaskan daerah kekuasaan Islam.


  • Periode Usman Bin Affan (Periode Ketiga)

Pada periode ini dimulailah pengumpulan Alquran dalam satu bahasa, Bahasa Quraisy. Allah menurunkan Alquran dalam tujuh bahasa dari pada bahasa kabilah. Boleh dibaca dengan model bahasa manapun, asal ada dalam tujuh bahasa tersebut. Ketika terjadi peluasan Islam, maka sahabat yang membawa Alquran ini disampaikan dengan bahasanya. Lalu, inisiatif Usman menyatukan bahasa Alquran dalam bahasa Quraisy yang mudah dimengerti oleh semuanya. Maka dikenal Mushaf Usmani, sementara Alquran pada sebelumnya dibakar semuanya. (*)

Selasa, 03 Mei 2022

Komunikasi Perdamaian Solusi Konflik Myanmar

Selasa, Mei 03, 2022


Pemaparan Hsu Thiri Zaw dalam momentum ICONIC 2021 Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry membuka mata pendengarnya. Terkhusus tentang negara yang sangat sulit diakses informasinya, yaitu Myanmar dulunya memiliki nama Burma. Mengawali paparannya, Hsu Thiri Zaw membahas tentang kedamaian. Ia mengumpamakan bahwa kedamaian layaknya kebahagian dan harmoni, meskipun manusia mencarinya ketika kehilangan cinta, rasa adil, dan kebebasan.

Dosen di National Management Degree College Republic of Union of Myanmar itu mengutip kalimat Johan Galtung dan tokoh lainnya yang memaknai perdamaian positif dan negatif. Dimaksudkan pula perdamaian perlu dipelihara dan upaya menciptakan perdamaian berkelanjutan. Oleh karenanya, upaya ini membutuhkan dukungan aktif dari lintas kelompok.


Paparan yang diikuti para akademisi dunia itu, Hsu Thiri mencoba membuka ruang kekosongan manajemen konflik melalui Komunikasi untuk Perdamaian. Ia menambahkan untuk daerah konflik, peranan komunikasi amat penting. Namun, sedikit sekali kehadiran komunikasi guna merekontruksi paca konflik, termasuk adanya keberlangsungn perdamaian, pemerintahan, dan perkembangan jangka panjang. Ia mencoba memberi solusi bahwa komunikasi dapat menjadi jembatan rekonsiliasi konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, organisasi dapat menggunakan komunikasi menjadi alat untuk mencegah konflik.


Keterkaitan komunikasi juga menitikberatkan pada komunikasi kebudayaan, yang mana selama ini perbedaan budaya telah menjadi penghalang berkomunikasi. Kita ketahui, setiap orang memiliki banyak perbedaan dilatari kebudayaannya. Komunikasi kebudayaan dianggap penting karena dapat diterapkan agar interaksi antar budaya berjalan maksimal.


Kemajemukan masyarakat dunia ini telah berupaya untuk menghargai perbedaan kebudayaan. Telah banyak penelitian menyebutkan bahwa kebudayaan dapat menjadi kunci upaya resolusi konflik. Karenanya, komunikasi kebudayaan yang dibentuk komunikator dari beragam praktik sesuai dengan latar kebudayaan yang berbeda pula.


Terkait  kasus di Myanmar, Hsu Thiri menyebut Myanmar memiliki 135 etnis resmi. Etnis Burma menjadi mayoritas dengan dua pertiga dari populasi penduduk negara itu. Selama dijajah Inggris, wilayah etnis dikontrol terpisah dari Burma pusat yang menjadi kawasan mayoritas kawasan tersebut. Konflik etnis telah terjadi disini sejak kemerdekaan tahun 1949. Terjadinya konflik ini tak lepas dari hak dan kebebasan etnis oleh rezim sosialis. Bahkan terkait percetakan dan penerbitan tahun 1962 sekaligus adanya hukum sensor di tahun 1965 sebagai upaya rezim menekan hak-hak etnis. Jadinya rezim menutup publikasi bahasa etnis, hal ini diperparah tidak adanya lembaga yang menjaga dan melindungi bahasa etnis.


Masyarakat minoritas sebenarnya tetap memiliki trauma Burmanisasi yang bermakna hanya etnis Burma yang memiliki kesempaytan dalam politik, bisnis, sosial, pendidikan, dan pekerjaan. Minoritas tentu percaya bahwa federalisme dapat menjadi ruang persamaan hak mereka. Namun, dalam sisi lainnya, beberapa masyarakat Burma meyakini federalisme adalah ruang pemisah. Sebenarnya, Myanmar punya mimi untuk perdamaan pada masa dimulainya demokrasi. Masa ini diawali U Thein Sein tahun 2010 yang menjadi masa emas perdamaian. Ditandai lahirnya 6 daerah otonom baru wilayah etnis yang diatur Undang-Undang pada tahun 2008. Dilanjutkan pembentukan Pusat Perdamian Myanmar guna mempercepat proses negosiasi perdamaian. Penandatanganan perjanjian gencatan senjata nasional pada 15 Oktober 2015 menjadi bukti kontkrit lainnya dalam sejarah perdamaian di Myanmar.


Kendati demikian, ada hal yang terlupakan dalam proses perdamaian ini. Diantaranya masih ada anggapan sebagain besar orang menghubungkan perdamaian dengan solusi politigk, senjata, perang, dan lainnya. Beberapa konflik mencuat karena kurangnya kehadiran komunikasi kebudayaan. Padahal komunikasi kebudayaan menjadi aspek baru dalam proses perdamaian di dalam negara yang beragam etnis.


Hasil kajian Hsu Thiri menyebut masyarakat Myanmar sebenarnya tidak paham komunikasi kebudayaan dan manfaatnya dalam proses perdamaian. Masalah ini pun masih menjadi kendala antar pemangku kebijakan, mereka tidak mampu membangun kepercayaan kepada publik. Lantas apa yang semestinya dilakukan? Masyarakat etnis di Myanmar sangat terikat dengan pembicaraan identitas etnis, terkhusus promosi bahasa etnis. Karena jika tidak ada bahasa etnis, tidak ada identitas etnis. Promosi ini diharuskan menjadi pembelajaran guna menjaga bahasa etnis sebagai khazanah identitas etnis tersebut.


Harapan perdamaian itu pun dapat dibangun melalui adopsi kebijakan keragaman budaya melalui pendekatan antar etnis dapat diadopsi oleh daerah etnis yang lebih besar. Sikap saling percaya dan pemahaman dapat membawa negosiasi perdamaian menjadi mudah. Jadi, pemahaman keberagaman budaya dan adopsi kebijakannya menjadi solusi terbaik. Usaha pemerintah dalam komunikasi kebudayaan dan multikulturalisme dapat ditempuh dengan beragam cara. Meliputi tindakan afirmatif pemerintah. Di Myanmar, Kementerian Urusan Etnis bertanggungjawab terhadap semua  masalah yang berkaitan dengan hak etnis, tradisi, budaya, dan norma. Sejauh ini, telah dilakukan Pendidikan Bahasa Ibu sebagai upaya mempromosikan identitas etnis. Menyatakan hukum perlindungan atas hak-hak etnis nasional dan komitmen pemerintah memberikan dukungan dapat membentuk perjalanan menuju perdamaian. (*)


Sabtu, 16 April 2022

Banyak Pesona di Pulau Banyak

Sabtu, April 16, 2022


Biasanya, wisatawan menuju Pulau Banyak melalui Pelabuhan Penyeberangan Singkil. Namun, malam Selasa itu justru sebaliknya. Bersama dua orang teman kami menaiki KMP. Aceh Hebat 3 menuju Pulau Banyak. Perkiraannya menjelang pertengahan malam, kapal ini melaju dari Pelabuhan Sinabang membawa penuh muatan barang dan penumpang. Kebanyakan dari mereka menuju Singkil. Misalnya Bang Ajo, pengusaha warung nasi Padang ini bahkan bersama rombongan keluarganya menaiki kapal hendak menyeberang ke Singkil lalu via jalur darat menuju ke Sumatera Barat, kampung halamannya.


Saat KMP. Aceh Hebat 3 bersandar di Pelabuhan Pulau Banyak, beberapa pedagang kecil menjual nasi, kue, hingga air mineral. Yang turun dari kapal ini tak banyak, kami bertiga dan beberapa penumpang lainnya. Seorang Anak Buah  Kapal (ABK) malah menancapkan kail pancingan ikannya di sekitar pelabuhan. Ia mengisi waktu senggang sambil ada bongkar muat satu kendaraan memasuki badan kapal. Tak lama berselang, tepatnya pukul 08.00 WIB kapal bertolak ke Singkil.


Penginapan yang dekat pelabuhan ini jadi pilihan kami untuk menginap semalam saja. Ia amat ramah menyambut kami. Dari logatnya, saya perkirakan dia bersuku Aneuk Jamee dari Aceh Selatan. Dan benar saja, ketika kami temui anaknya bernama Bang Wandi bahwa ia mengaku punya kerabat di sana. Namun, keluarga bapaknya sudah lama menetap di Pulau Banyak. Jika Ayahnya Bang Wandi memiliki usaha penginapan, maka Bang Wandi memiliki usaha mengantar wisatawan yang menuju Pulau Panjang, Pulau Sarok hingga pulau sekitar. Jika mengacu secara literatur bahasa, gugusan Pulau Banyak ini dinamai Kepulauan Banyak. Terdiri dari dua kecamatan yaitu Pulau Banyak dan Pulau Banyak Barat yang lebih luas daratannya. Pusat Kecamatan Pulau Banyak ini berada di Pulau Balai.



Bang Wandi sudah siap dengan boat kecilnya, ia mempersilakan kami menaikinya. Seperangkat alat perekam video dan foto punya teman juga sudah berada di dalam boat. Dari Pulau Balai menuju Pulau Panjang sekitar 15-20 menit. Kita akan dapat menyentuh air lautnya yang amat jernih, rasa-rasanya ingin segera mandi sebegitu menggodanya air tersebut.


Boat ini akhirnya tertancap dengan baik. Hari itu agak mendung, namun hawa panasnya tetap terasa. Nyiuran daun kelapa menambah keharuman pantai makin terasa. Pulau Panjang ini benar seperti namanya. Pulau yang kebanyakan ditanami pohon kelapa ini di tiap pinggir pantainya memutih. Ada beberapa penginapan tersedia di sini dari milik pribadi hingga milik badan usaha masyarakat desa.


Drone terbang saat saya dan teman mendayung kano. Alih-alih terlalu jauh khawatir terbawa arus, kami mendayung dalam posisi nyaman saja. Namun, rasa yang terlalu khawatir ini dikalahkan dengan anak-anak yang mendayung jauh dari pinggir pantai. Ikhwal karena bocah ini adalah penduduk setempat, jadi setiap harinya sudah berhadapan dengan gelombang laut.


Usai puas-puasin diri bermain di pantai, waktu lapar dan haus pun tiba. Serupan air kelapa muda murni mampu menghilangkan kelalahan tadi. Walaupun tak lama berselang, kami tetap menikmati deburan ombak dan nyiuran daun kelapa pinggir pantai. Wisawatan yang mengunjungi pulau ini beragam. Dari provinsi tetangga juga amat banyak, bahkan yang baru tiba ke sini dari Bogor. Mereka sekeluarga telah memesan tempat penginapan untuk semalam.


Menjelang sore, kaki ini pun rasanya tak kuasa untuk beranjak. Matahari yang terbenam dan langsung menyentuk permukaan laut menyapa kami. Jingga kemerah-merahkan matahari terbenam ini seumur-umur belum pernah saya lihat. Lama saya menatapnya, bahkan lupa mengabadikan dengan ponsel pintar, sesuatu yang saya kesalkan di hari kemudian. Air laut telah berubah warna dari jingga ke hitam. Dan boat Bang Wandi menepi kembali di dermaga rakyat ini.

Sekumpulan ikan cakalang menghampiri KMP. Aceh Hebat 3 yang telah lama bersandar. Saya menatapnya lamat, badannya meliuk-liuk menampilkan kilatan di badannya. Sekejap kemudian, sekitar pukul 11.00 WIB kapal pun melaju kembali menuju Pelabuhan Penyeberangan Singkil selama empat jam lamanya. Pulau Banyak memang banyak pesonanya. Suatu saat, saya berharap bisa kembali ke pulau ini. Sesuatu yang dulunya semasa kecil hanya melihatnya dalam peta di buku kios Waled. Mungkin doa ini yang dikabulkan-Nya karena dulu pernah berharap dapat mengelilingi Aceh.(*)


Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."