Sabtu, 04 Maret 2017

Sarana dan Prasarana atau Prasarana dan Sarana?

Sabtu, Maret 04, 2017

Lelaki yang sering disapa Pak Yarmen itu komat-kamit menjelaskan perihal dunia ilmu jurnalistik. Redaktur Pelaksana koran harian Serambi Indonesia itu menjelaskan dengan runut dari tiap materinya. Saya yang berkesempatan mengikuti pelatihan tersebut mendengar materi hingga usai workshop sorenya. Beberapa ilmu terkait jurnalistik saya lamat dengan baik. Penjelasan Pak Yarmen yang lugas dan jelas itu memudahkan saya memahami dasar-dasar jurnalistik. Salah satunya adalah terkait pemilihan kata dalam tulisan rilis berita.

“Banyak sekali kesalahpahaman kata-kata di tengah masyarakat kita dan parahnya berlangsung turun temurun,” sebutnya. “Nampaknya masyarakat kita seolah membiasakan yang biasa, padahal salah,” ujarnya lagi.

Pak Yarmen lalu menyebut penggunaan kata ‘sarana dan prasarana’. Dua kata ini digabungkan menjadi satu padanan makna baru. Saya coba memaknai pada gabungan kata lainnya. Seperti halnya penyebutan gabungan kata terima kasih, lalu lintas, tanggung jawab, dan ragam gabungan kata lainnya. Hanya saja, yang membedakan pada gabungan kata ‘sarana dan prasarana’ terdapat kata penghubung ‘dan’. Pun demikian, gabungan kata ini oleh masyarakat Indonesia telah mengganggap hal yang biasa. Sepintas, saya jadi teringat bahwa sejak mulai bisa membaca, gabungan kata ‘sarana dan prasarana’ sering saya dengar dan baca dalam perbincangan atau buku bacaan hingga produk hukum yang menjurus kepada penulisan bagian di sebuah kantor pemerintahan.

Saya pun teringat, bersamaan dengan hal itu, dalam sebuah perjalanan liputan bakti sosial, seseorang yang satu mobil dengan saya berujar bahwa bapak fulan bekerja pada bagian Sarpras. Akronim tersebut dimaksudkan pada pemendekan bacaan untuk gabungan kata ‘sarana dan prasarana’. Saya hanya mangun-mangun saja waktu itu. Tidak ada yang aneh, karena gabungan kata ‘sarana dan prasarana’ sudah lazim terdengar dan ditulis. Pun demikian, jabaran dari Pak Yarmen, sempat membuat saya berpikir ulang, apa macam tiba-tiba kata yang sebenarnya adalah ‘prasarana dan sarana’?

Pria yang memiliki kulit putih tersebut seperti tak pernah berhenti menjelaskan pada bagian itu. Dia menjelaskan perumpamaan pemakaian kata ‘prasarana dan sarana’. Jika kita ingin membangun sebuah sekolah, sementara di samping sekolah tersebut ada sungai atau irigasi. Tentu, yang harus di bangun dulu adalah jembatan ke sekolah tersebut. Jembatan dimaksudkan sebagai pewujudan kata ‘prasarana’ dan sekolah sebagai pewujudan dari kata ‘sarana’.

“Kalau duluan kita tulis kata ‘sarana’ dan seterusnya diikuti kata ‘prasarana’, artinya kita duluan bangun sekolah baru bangun jembatan. Coba dibayangkan,” sebutnya. “Jadinya, yang benar adalah membangun jembatan dulu (prasarana), setelah itu selesai baru kita bisa membangun gedung sekolah (sarana) dan fasilitas lainnya,” tambahnya lagi.

Hari itu, Pak Yarmen menganjurkan agar kesalahan ini jangan sampai terulang. Menurutnya, ini sudah jadi kesalahan berjamaah dan berzaman. Hampir bisa dikata telah hidup dalam pembiaran. Bersebab, kesalahan ini terjadi dari pusat hingga ke daerah-daerah. “Saya berharap, kita semua dapat menyebarkan informasi ini kepada semua orang. Kita punya tanggung jawab memperbaikinya.”

Menelaah pada salah satu produk hukum yang menyangkut pemakaian kata ‘sarana dan prasarana’, jika merujuk pada UU Standar Nasional Pendidikan Tahun 2003 Nomor 20 Pasal 35, jelas-jelas tertulis begini “Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.” 

Kendati pun jika kita mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 Poin 9 berbunyi “Standar Sarana dan Prasarana adalah kriteria mengenai ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.”

Bayangkan, tiga buah produk hukum berkenaan dengan standar nasional pendidikan dari 2003, 2005, dan 2013 terhitung 10 tahun lebih negara kita abai dalam hal remeh temeh pemakaian kata ‘sarana dan prasarana’. Ini belum lagi kita mengecek pada produk hukum UU pada tahun sebelumnya dan pada produk hukum bidang lain, baik olahraga, kesehatan, ekonomi, politik, keuangan dan bidang setara lainnya. Artinya, untuk tingkatan kementerian yang membidangi perihal pendidikan masih juga salah dan abai hanya untuk penggunaan kata sarana dan prasarana yang seharusnya prasana dan sarana.

Saya sempat menanyakan via kotak masuk facebook kepada Reza Idria yang merupakan mahasiswa doktor di Harvad University, Amerika Serikat. Saya tertarik menanyakan berkaitan awal mula penggunaan kata ‘prasarana dan sarana’ dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurutnya, kemungkinan yang paling dekat adalah tinjauan asal kata yang dipakai, kata sarana itu berasal dari bahasa sanskrit. Bahasa yang kalau kita tahu lebih dahulu dikenal dan diadopsi oleh bahasa Melayu/Indonesia.

“Sementara penambahan kata pra- dalam kata sarana menurut saya baru dikenal belakangan setelah kita bersentuhan dengan Eropa secara awalan tersebut berasal dari rumpun bahasa Eropa ‘pre-‘ yang artinya ‘sebelum’. Penggunaan awalan ‘pra’ lalu juga dilekatkan pada kata-kata lain. Kasus di atas tidak hanya terjadi pada kata sarana dan prasarana, tapi juga syarat dan prasyarat,” ujar pendiri Komunitas Tikar Pandan itu.[]

Selasa, 14 Februari 2017

Empat Penulis yang Melawan

Selasa, Februari 14, 2017

Saat mengunjungi kosan saudara kandung saya, di pertengahan tahun 2010 lalu. Di muka pintu kamarnya, saya memperhatikan kata-kata yang sangat menarik dan berisi. “Ketika pers dibungkam, sastra harus bicara”, saya menatap dengan lamat. Penggalan kalimat ini – selaku awam sastra masa itu – memberikan pencerahan bahwa, ternyata ada jalan lain ketika dunia jurnalistik bisa dilawan oleh pemerintahan. Saya yang besar dalam dunia konflik Aceh sedang berkecamuknya, tentu dengan kalimat itu menelisik batin dan pikiran saya untuk mengenal sastra lebih dalam.

Hingga tahun-tahun kemudian, saya baru tahu ternyata, kalimat itu diutarakan Seno Gumira Adjidarma (SGA) semasa konflik Timor-Timor – sekarang menjadi negara Timor Leste – pada dekade 1990-an. Oleh SGA, pikirannya itu kemudian dibukukan dengan gubahan judul menjadi “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Sialnya, saya belum membaca bukunya. Dan bisa jadi, minat baca orang Indonesia – yang 0,01 % itu di tingkatan dunia – sayalah salah satu penyebab kemundurannya.

Cerpen SGA yang berjudul “Pelajaran Mengarang” karyanya mengkritik sistem pendidikan kita yang kaku dan terkesan melahirkan pelajar robot. Cerpen ini membuat pikiran Sandra – yang dijadikan SGA objek utama cerita dan siswa SD berusia 10 tahun – terhambat topik yang diberikan gurunya, tidak diberikan kebebasan berpikir. Hingga kini, ternyata kondisi pendidikan kita pun masih sama! Anak-anak sejak dari SD hingga SMA ‘dipaksa’ menelan semua ilmu mata pelajaran. Selain itu, dalam cerpen ini turut diutarakan kondisi keluarga masyarakat urban. Karena kondisi entitas sosial negara, membuat orang tua Sandra mencari profesi yang gampangan dan akibatnya Sandra menjadi pelampiasan kemarahan keluarganya dengan kata-kata tak baik.

Jauh, jauh sebelum Seno mengkritik pemerintah lewat kata-katanya. Adalah Pramoedya Ananta Toer – satu-satunya putra bangsa Indonesia sebagai nominator peraih hadial nobel sastra. Olehnya, rezim Orde Baru Soeharto dibuat kalut lantaran karya Pram dianggap masih berbau rezim Orde Lama Seokarno. Pram diungsikan ke Pulau Buru dan karyanya dibakar rezim, begitu menyakitkan! Aksesnya ke media, usai pergulatan 1965 dibungkam. Media semacam kertas sak semen disimpannya dengan baik, disanalah seluruh karya Pram di Pulau Buru lahir. Salah satunya novel roman “Bumi Manusia”. 

Ketika ke Batam 2015 silam, saya cepat-cepat ke sebuah toko buku ternama, mencari buku itu. Dan dekade akhir 2016, saya hampir saja menyelesaikannya. Jika boleh dikata, novel roman ini menunjukkan perbedaan kelas pribumi dengan non-pribumi – sebut saja orang Eropa. Namun, saya tidak memandang bahwa ini perbedaan soal kebangsaan saja, tetapi dalam konteks masyarakat Indonesia kekinian, hingga kinipun, rasanya pemerintah masih abai soal status perbedaan antara si kaya dengan si miskin. Masyarakat kita pun sama saja, saat melihat orang berbaju perlente, rapi, mempunyai mobil akan memberikan perhatian dengan begitu dilebih-lebihkan. Sementara saat masyarakat miskin menjumpainya, mereka akan dilihat dengan ujung mata dan sering dianggap sebagai peminta-peminta. Lagi-lagi, ada yang salah dalam pendidikan kita. Hingga usai jatuhnya rezim Soeharto, Pram baru benar-benar punya ruang untuk menulis. Dia mampu menjadi inspirasi penulis pemula dalam tiap karya mereka.

“Setiap masa punya tokoh, setiap tokoh punya masanya”, kalimat ini pun menjadi dasar mengapa Pram dikenal masa itu hingga kini. Pun demikian, sebelum masa Pram, tersebutlah Soe Hok Gie, penulis kawakan yang menulis kritis dan pedas terhadap rezim Orde Lama, Soekarno. Tulisan-tulisannya hingga kini telah dibukukan. Sebut saja Catatan Sang Demonstran  yang femomenal itu.

Gie tidak menyukai sikap pemimpin yang cenderung menikmati kesenangan pribadi dan menyepelekan kepentingan kaum lemah. Oleh Gie, dalam tulisannya dia menyebut bahwa, Soekarno dengan senangnya menikmati setiap kemewahan istana bersama istri-istrinya yang cantik-cantik. Sementara itu, beberapa kilometer dari istana, orang-orang kelaparan. Hal inilah yang membuat Gie berang dan membuat aksi menentang Soekarno. Mereka melawan tidak hanya untuk unsur kenaikan harga bensin, namun melawan rezim yang seolah mempunya kuasa atas ‘nyawa’ seluruh rakyat Indonesia. Gie menulis dengan apik setiap karya-karyanya.

Benar, tak salah rasanya, cerita yang berlatar kemanusiaan selalu asik dikaji. Barangkali jika boleh dikata, keseriusan yang dilakukan Gie juga sebenarnya dilakukan oleh penulis novel berlatar konflik Aceh. Sebutlah novel ‘Bidadari Hitam’ karya T.I. Thamrin, putra Aceh yang membuka mata siapa saja tentang kejamnya penyiksaan di Rumoh Geudong. Ketika saya membacanya, rasa ngeri begitu kentara dalam isi novelnya. Dia menulis dengan gaya jurnalistik, novel ini membuat siapapun bergidik. Hingga kini, kasus kekerasan ini tidak pernah dituntaskan!

Jika saya hanya merangkum nama penulis di atas, abai rasanya terhadap penulis lainnya. Masih banyak penulis kawakan yang menulis tentang kejahatan terhadap kemanusian. Namun, kesan itu semua apakah hanya berhenti dalam setiap kata saja? Lantas tak ada bukti nyata, asal-asalan penulis itu? Kiranya kita selaku orang Indonesia memang harus memperbanyak membaca daripada mengomentari sesuatu. Orang-orang ini bergerak melawan rezim dengan kata-kata. Sungguh bahaya jika pemerintah mengganggap ini petaka bagi negara, lalu membredelnya. Kita, kata, dan kuasa-Nya, saya yakin dengan baik bahwa kata-kata masih punya tempat di hati rakyat Indonesia. []

Senin, 30 Januari 2017

Alih Kucing Hitam Putih

Senin, Januari 30, 2017

Pemberhentian kami sepulang dari Gayo Lues, mantap meluruskan niat untuk segera shalat. Sebuah masjid agung kebanggan masyarakat Bireuen menjadi pilihan kami. Kawan saya yang badannya sedikit gumpal berisi mulai berseloroh, dia sudah kebelet pipis. Dia pun menitipkan tasnya kepada saya. Sembari menunggunya pipis, saya memperhatikan kucing menghadap sebuah bagunan. Dari gaya tubuhnya, kalausanya dia manusia, seperti orang galau ditinggal isteri atau pacarlah namanya. Saya mendekatinya. Berniat memotret. Trap… beberapa kali saya memotretnya. Bunyi dari kamera DSLR mengalihkan pandangannya ke arah saya. Begitu nanar. Bisa jadi kucing berbulu campuran hitam putih itu memikirkan begini “Entah apalah manusia ini, dikit-dikit foto.”

---

Minggu (21/9) tahun lalu, Ikbal kawan dekat saya berangkat ke Sambas, Kalimantan Barat. Dari awal, dai begitu semangat mendaftar untuk  menjadi guru SM3T. Berkali-kali dia menghubungi saya memantapkan hatinya. Padahal di sebuah sekolah di Aceh Utara, telah menerimanya menjadi guru. Tapi, apatah daya, kawan saya ini memang nekadnya ketulungan. Sampai-sampailah dia diterima sebagai guru SM3T. Perpisahan sementara hari itu biasa saja, tak ada tangis-tangis palsu beberapa orang kebanyakan. Yang ada kami malah saling tikung menikung soal perutnya yang buncit dan dia berseloroh lalu ketawa karena tubuh saya yang boleh dikata langsing – antitesa kata kurus sih sebenarnya. Sepulang mengantar Ikbal, saya dan Rahmat – manusia gempal dan buncit lainnya turun ke parkiran. Aroma pagi masih terasa di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Sebuah kursi biru terbuat dari plastik keras menerima kami. Kebanyakan kursi ini menjadi semacam landmark­ tiap warung kopi di Aceh. Rupanya saya salah sangka, ternyata ada pengunjungnya. Seekor kucing berbulu hitam campur putih sedang rebahan ala-ala di pantai. Warna putihnya hampir hilang lantaran dominasi warna hitam. Hanya ada di wajah dan di perutnya yang rupanya sedang hamil tua. Saya mengendong kucing itu, bulunya halus. Tiap kali lihat kucing, suka saja lantaran imut-imut meunan. Sang kucing nyatanya tak betah lama-lama saya gendong, takut dilihat oleh suaminya, malah merusak rumah tangga mereka. Dan efeknya, saya hampir kena cakar darinya. “Nah kan udah aku bilang tadi, hati-hati bang,” sebut Rahmat sambil menertawai saya.

--- 

Lebaran Idul Fitri tahun lalu, seperti biasanya saya pulang kampung. Keseringannya saya tiba malam hari. Setiap sampai di rumah, kucing hitam putih rumah kami sering menyambut kedatangan saya. Entah, rasa-rasanya dia seakan tahu bahwa saya baru saja pulang dari tempat jauh. Kucing ini bulu putihnya lebih mendominasi. Beberapa tutul hitam ada di tubuhnya. Ibu menamainya Pelangi, padahal kucingnya jantan sejantan-jantannya. Sejak kaki belakang sebelah kanannya kecelakan ditabrak motor, ibu sangat rutin menyembuhkannya. Bisa dibilang bertahun ibu mengobatinya. Ada banyak obat direkomendasikan tetangga kala itu, ibu mantap memilih satu obat. Menurutnya obat itu amat mujarab. Ada yang unik saat ibu menaruh obat di kakinya, ibu telah menganggap kucingnya sebagai anggota keluarga. Bayangkan saja, tiap ibu menaruh obat, dia berbicara dengannya. Dan kita tahu, entah kucing itu tahu atau tidak, tapi rasa-rasanya dia memahaminya. Sebelum dan sesudah ditabrak, Pelangi tetap saja menangkap tikus di rumah. Biasanya abang saya membawa pulang buruan tupai, untuk diberikan kepadanya. Lagi pun cecak juga menjadi santapan favoritnya. Bahkan, jika ibu menangkap cecak di tempat lain, ibu mengantonginya dalam kantong plastik. Dibawainya untuk Pelangi. Sebelum ada Pelangi di rumah, juga ada kucing lainnya. Bulu hitam putih juga jadi khas kucing kami. Namun, dia mati dalam lumbung padi rumah saudara saat mencari tikus. Namanya Si Kleng, saya percaya kucing ini sudah di surga, tempat idaman setiap makhluk.

--- 

Tidak seperti biasanya, kucing tetangga saya di Banda Aceh, kali ini nampak jinak. Karena biasanya kucing itu semacam sok jual mahal, gak mau ditangkap, dielus-elus atau lainnya. Barangkali dia tipe kucing yang gak mau dipermainkan manusia. Alah! Entah udah macam perasaan. Kucing ini peliharaan anak tetangga samping rumah yang masih belajar di Taman Kanak-kanak (TK). Sebelum dia memelihara kucing itu, padahal sudah ditawarin kucing tipe Persia oleh orang tua. Namun, dengan mantap anak itu menepisnya. Dia memilih kucing kampung. Badan kucing itu gumpal dan sehat, mirip-mirip atletis. Dia tidak diberi nama khusus, hanya dipanggil Pus. Pagi itu, Pus bermain ke rumah. Tiba-tiba Pus jadi sok akrab dengan saya. Nah, kan kalau begini jadi aman kita berteman. Pus datang mengelus-ngelus bulunya ke baju saya. Saya lalu mencoba mempermainkannya dengan tetalian. Ternyata hal itu hanya bertahan sebentar. Benar, dia tidak suka dipermainkan! Pus yang akrab dengan saya membuatnya hadir pada lain hari. Di hari kerja, saya hanya sebentar menyapanya, lalu bergegas berangkat kerja. Pus hanya melihat dari kejauhan, sambil tidak melambaikan tanggannya.

--- 

Di masjid, warung makan, kampus atau rumah-rumah pesta. Saya juga menjumpai kucing berbulu corak hitam putih. Selain kucing-kucing yang saya alamatkan di atas. Saya tidak tahu pasti, dalam beberapa bulan ini sering menjumpai kucing hitam putih. Di mana pun tempatnya, corak mereka selalu saja berbeda. Saya sempat teringat ingin menanyakan kepada ahli tamsil. Barangkali ada maksud di tiap perjumpaan saya dengan kucing hitam putih. Namun, hal itu urung saya lakukan, belum tahu siapa yang paham tentang ilmu tamsil. Atau ini hanya kebetulan saja. Jika pun kebetulan, saya melihat bahwa dunia ini selalu saja hitam putih. Orang-orang yang berkulit putih akan cenderung menatap nanar orang berkulit hitam, beberapa di antaranya adalah oknum. Misalkan desain grafis, latar sebuah desain akan lebih ekecing jika putih, Nampak bersih. Orang-orang alim pun kebanyakan memakai baju putih. Seperti anjuran pergi salat Jumat sebaiknya memakai pakaian serba putih. Pun demikian, warna hitam tetap saja tidak bisa dianggap tak ada manfaatnya. Contohnya kucing, saat percampuran warna hitam putih jadilah kita melihat keindahan luar biasa dalam karya Maha Dahsyat Kuasa-Nya. Apatah kita manusia yang hanya mampu menilai dan menerka saja. Bayangkan jika hanya didominasi satu warna saja, sungguh dunia ini sangatlah monoton. Tetap saja, perbedaan selalu membawa rahmat untuk mencapai persamaan. Jika pun tidak sama, mari sama-sama kita mencari persamaan dalam tiap perbedaan. Dari pada mencemooh mengganggap dirilah yang terbaik. []

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."