Senin, 20 Januari 2020

Krueng Aceh: Histori dan Potensi

Senin, Januari 20, 2020
Foto: Irfan Fuadi



















Bakhtiar sedang memperbaiki boat miliknya. Di tepi Krueng (sungai) Aceh di kawasan Lambhuk Banda Aceh, Bakhtiar dan beberapa rekannya sedang bersiap menuju lautan. Beberapa temannya sibuk membantu Bakhtiar memastikan boat siap berlayar.

Hari itu, Kamis (4/7/2019) aliran sungai Krueng Aceh nampak tenang. Cerahnya cuaca menambah keyakinan Bakhtiar menyalurkan hobinya memancing ikan dengan kapal. Hobi ini telah lama digelutinya, di sela rehat dari pekerjaan harian. Kedatangan ACEH TRANSit bukan tanpa maksud, melainkan sebagai wujud menyerap aspirasi warga, terkait wacana dan upaya pemerintah menjadikan Krueng Aceh sebagai angkutan sungai.

Selama ini, setiap Sabtu pagi Bakhtiar berlayar dari Krueng Aceh, tepatnya dari Gampong Lambhuk menuju laut lepas. Ia kembali keesokannya (hari Minggu). Pun demikian, di hari-hari lain, bila cuaca mendukung, Bakhtiar tetap berlayar memancing ikan. Hobi positifnya ini patut diapresiasi.

Bakhtiar dan teman-temannya menyambut baik Saat ACEH TRANSit menanyakan pendapat mereka jika Krueng Aceh ini dijadikan sebagai angkutan sungai di bawah pengelolaan pemerintah. Mereka tambah bersemangat jika tidak hanya sebagai angkutan barang dan orang, tapi angkutan sungai itu juga menjadi destinasi wisata baru di Kuta Raja.

Kami mendukung, saya siap membeli boat fiber yang lebih besar lagi untuk mendukung pariwisata. Ya, kami berharap juga diberdayakan pemerintah,” ujar warga Lambhuk ini.

Pria yang kesehariannya berprofesi sebagai pengusaha ini, berharap dibangunnya dermaga tempat bersandar kapal. Misalnya di tempat-tempat strategis, sekaligus menjadi tempat transit pengguna angkutan sungai. “Cocoknya dibangun dekat dengan masjid Keuchik Leumik, di Pango, dan Peunanyong.”

Posisi dibangunnya dermaga ini, kata Bakhtiar sesuai dengan kebutuhan. Dekat masjid memudahkan warga yang ingin beribadah. Jika di Pango, membantu warga yang ingin belanja ke pasar Peunayong ataupun ke pasar Lambaro. Sementara itu, dermaga di Peunayong dapat dibangun berdekatan dengan pusat jajanan dan kuliner di kawasan tersebut.

Dalam kesempatan itu, Bakhtiar menyampaikan kendala yang dia hadapi selama ini, yaitu kapalnya sering terhalang tumpukan sampah di bawah jembatan Beurawe. Ketinggian jembatan juga mempengaruhi, sebab itu kapal disesuaikan dengan ketinggian jembatan. Jadinya, bila tiba air pasang, mereka tidak bisa melewati bawah jembatan.

“Di bawah jembatan itu harus dibersihkan, agar tidak merusak fiber kapal. Selain itu, kebersihan pinggiran sungai perlu diperhatikan,” sebutnya sambil menunjuk ke arah jembatan.

Sejalan dengan wacana pemerintah, Bakhtiar optimis jika nantinya sudah bersih, destinasi pariwisata ini terjaga dengan baik. Pun demikian, kata Bakhtiar, warga harus selalu diberi pemahaman untuk ikut andil berpartisipasi menjaga kebersihan sungai. Tentu dengan tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah.

Bakhtiar menyarankan agar batas wilayah jalur angkutan sungai turut pula diperhatikan. Belakangan, katanya, yang layak dilewati kapal hanya sampai jembatan Pango. Setelahnya, hingga ke Lambaro banyak kayu yang berserakan. Dia menyebut sudah pernah melakukan survei ke kawasan itu.

Bakhtiar menyarankan agar pemerintah tetap berkoordinasi dengan pawang laot setempat. Apalagi, bila angkutan sungai ini tidak hanya menyasar angkutan barang, namun merambah pula angkutan orang. Misalnya untuk jalur lintasan Pango hingga Peunayong. “Sebaiknya berdiskusi juga dengan pawang laot. Artinya kita minta izin. Sekaligus silaturahmi agar lintas sektor terus harmonis,” pungkas Bakhtiar menyudahi pembicaraan menjelang siang itu.

Tahun lalu (11/02/2018), akun instagram resmi @dishub_aceh pernah menampung opini warga net terkait transportasi sungai di ibukota Provinsi Aceh. Beragam komentar warga net rata-rata menyambut positif wacana ini. Beberapa respon ini seperti diungkapkan pengikut setia akun Instagram @dishub_aceh.

“Boleh min, tapi juga diperhatikan kebersihan airnya baik dari sampah ataupun kejernihannya. Kalau saya gak salah sudah ada teknologi penjernih air.” (@erlangga.dwi.pamungkas)

“Setuju. Bagus yang penting sesuai dengan rencana dan buktikan saja untuk membangun Kota Banda Aceh agar lebih banyak peminatnya untuk pariwisata.” (@ameliyadarma)

“Untuk wisata ini bagus dikembangkan, bisa nanti ikutin kota besar Indonesia lainnya semisal buat pasa rapung di Lambhuk atau Pango dan lain-lain. Namun untuk konektvitas antar daerah lebih mudah dengan jalan raya.” (@ahmadi_znd)

Mengutip laman bandaacehtourism.com, sungai kebanggaaan warga ibukota ini memiliki panjang 145 kilometer terbentang dari hulu Krueng Aceh di Jantho, Aceh Besar. Muaranya hingga ke pesisir kota Banda Aceh, tepatnya di Gampong Jawa. Beberapa sungai lainnya di Banda Aceh dan Aceh Besar bermuara ke sungai ini, seperti Krueng Seulimum, Krueng Jreue, Krueng Keumireu, Krueng Inong, Krueng Leungpaga, dan Krueng Daroy.

Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, Krueng Aceh sebagai salah satu sungai tersibuk. Hal ini dilihat dari jalur masuk dan keluar kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia. Dari sungai inilah berbagai rempah-rempah Aceh dibawa keluar untuk diperdagangkan di ranah internasional. Tak heran bila sungai yang membelah Kota Banda Aceh ini memiliki arti khusus bagi masyarakat Aceh.

Muhammad, warga Lambhuk kepada ACEH TRANSit Selasa (2/7/2019) menyebut, posisi Krueng Aceh di kawasan Lambhuk dan Beurawe tidaklah lurus seperti sekarang. Awalnya meliuk-liuk khasnya sebuah sungai. Atas inisiatif pemerintah pusat dan daerah di masa itu, dibuatlah alur sungai menjadi lebih rapi. Tentu, ini menjadi bonus saat Krueng Aceh nantinya menjadi angkutan sungai.

Sambutan positif Bakhtiar dan rekan-rekannya ditambah opini warganet, menjadi semangat pemerintah untuk segera mengelola angkutan sungai. Optimisme bersama ini sudah sangat baik untuk terus dibangun. Agar kedepannya konektivitas dan sinergisitas pemerintah dengan warga selalu berjalan dengan baik. Artinya, ikhtiar ini perlu dukungan semua pihak demi visi Aceh Seumeugot berjalan seperti yang diharapkan.(*)

Selasa, 12 November 2019

Berawal Bantuan Kementerian Perhubungan, Bus Trans Koetaradja Terus Berinovasi

Selasa, November 12, 2019

Bus Trans Koetaradja sedang menjemput penumpang di halte depan Masjid Raya Baiturahman, Banda Aceh, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Saat menyebut Aceh pada era 2000-an, barangkali yang terbesit dalam benak kita adalah konflik berkepanjangan. Namun, pernahkah Anda mengira, bahwa setelah tsunami dan gempa bumi tahun 2004 silam menghentak bumi Aceh yang menewaskan 500 ribu jiwa lebih itu, berubah signifikan. Ditambah, pasca penandatanganan perjanjian damai tahun 2005 berbagai pembangunan di segala penjuru terus dilakukan. Tak terkecuali sektor transportasi, baik transportasi laut, udara, dan darat. Salah satu yang sangat begitu terasa, kehadiran Bus Trans Koetaradja. Bus ini dapat dibilang menjadi angin segar. Sebab, pasca bencana dahsyat yang melanda Aceh itu, Banda Aceh tidak lagi memiliki moda transportasi yang melayani penumpang.

Angkutan massal perkotaan pertama di Aceh ini, mulai beroperasi di ibukota provinsi Aceh, yaitu Banda Aceh, tepatnya 4 Mei 2016. Saat diresmikan oleh Gubernur Aceh masa itu, dr. Zaini Abdullah, disebutkan bus ini adalah upaya Pemerintah Aceh menjalin kerjasama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub RI). Di awal kehadirannya itu, sebanyak 22 unit bus Trans Koetaradja ditugasi melayani tiga koridor.

Angkutan masal perkotaan bertipe Bus Rapid Transit (BRT) ini didatangkan di Banda Aceh karena dukungan melalui bantuan teknis Kementerian Perhubungan Republik Indonesia tahun anggaran 2015. Sementara itu, dukungan pun terus diberikan Kemenhub RI dengan bantuan berupa sebanyak 8 unit bus pada tahun 2018 dan 10 unit bus pada tahun 2019.

Sementara itu, Pemerintah Aceh menyediakan prasarana dan biaya operasionalnya. Kerja sama nan apik ini antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah ini adalah bentuk komitmen mengatasi berbagai permasalahan transportasi bersama yang kian terasa di ibukota. Lalu apa permasalahannya?


Bus Trans Koetaradja sedang menlintasi salah satu sudut di Banda Aceh, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Di tahun 2025 mendatang, prediksinya pertumbuhan penduduk di kota Banda Aceh dan sekitarnya mencapai 500 ribu lebih. Dengan kepadatanan penduduk 8.148 jiwa/Km2 pada tahun yang sama. Hal ini pun, tentu selaras pula dengan kehadiran kendaraan bermotor. Angka 12-13 persen per tahunnya diprediksikan menjadi angka pertumbuhan kendaraan bermotor.

Oleh sebab itu, beragam permasalahan yang hadir di negeri berjuluk Serambi Mekkah ini, tanpa adanya transportasi alternatif, tentu kemacetan akan begitu sangat terasa, semrawut, menguras emosi, dan tenaga. 

Lalu, apakah kehadirannya selama tiga tahun terakhir ini berdampak signifikan terhadap penggunya setiap tahun? Ternyata pada tahun 2017 sebanyak 1 juta lebih penumpang menggunakan Trans Koetaradja pada tiga koridor. Sementara pada tahun 2016, penggunanya berjumlah 165 ribu orang. Yang paling menggembirakan adalah sebayak 4 juta lebih penumpang Trans Koetaradja meningkat cepat di tahun 2018. Di tahun yang sama itu, angka ini pun berhasil menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 34.579 TCO2e. Angka ini meningkat 270 persen dari tahun sebelumnya. Dengan angka peminatnya dan penurunan GRK yang terus meningkat, dapat dikatakan kenyamanan dalam bus tentu menjadi prioritas bagi penggunanya.


Penumpang siap-siap menaiki Bus Trans Koetaradja, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Hal ini dapat dirasakan, mulai dari adanya jalur khusus bagi kaum difabel bila hendak menaiki halte bus. Selain itu, adanya kursi prioritas yang diresmikan pada 31 Oktober 2019, melalui pemasangan kover tanda khusus kursi diperuntukkan bagi penumpang berkebutuhan khusus. Terutama ibu hamil, difabel, lanjut usia, dan orang membawa bayi. Hari itu, saya menyaksikan langsung peresmian ini. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 98 Tahun 2017 tentang penyediaan aksesibilitas pada pelayanan jasa transportasi public bagi pengguna berkebutuhan khusus. Jauh sebelum ini, di dalam bus sendiri juga telah disediakan kursi bagi pengguna berkebutuhan khusus.


Kernet bus Trans Koetaradja ikut membantu difabel dari halte menuju ke dalam bus, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Bus bercat biru ini juga sebagai salah satu angkutan yang sangat peka terhadap inovasi teknologi. Misalnya, dengan adanya teknologi Network Video Recoder (NVR) di dalam bus berguna untuk menghitung jumlah pengguna, mengontrol pelayanan supir dan kernet. Tentu, pemasangan Closed Circuit Television (CCTV) di dalam bus ini menjadi upaya pemerintah memberikan keamanan bagi penggunanya. Selain itu, kemunculan aplikasi time table untuk melihat posisi bus dan memastikan ketepatan waktu pelayanan dan kedatangan bus.

Selain untuk mengurai dan mengurangi kemacetan, kehadiran bus ini ikut mendukung kegiatan berskala regional, nasional, hingga internasional yang diselenggarakan di Aceh. Sebut saja, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII, Pekan Olahraga Aceh (PORA) 2018, Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (PENAS KTNA) XV, Musabaqah Tilawatil Quran Mahasiswa Nasional (MTQMN) 2019, hingga Muzakarah Sufi Internasional 2018.

Kini, Trans Koetaradja telah memiliki 40 bus, 5 koridor dengan 90 halte permanen, 43 halte portabel, dan 118 awak kendaraan baik sopir maupun kernet. Sejak tahun 2018 pula, Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan telah membentuk Unit Pelaksanan Teknis Daerah (UPTD) Angkutan Massal Perkotaan Trans Koetaradja. Kehadirannya, tentu untuk lebih memberikan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan bagi penggunanya.



Bus yang kini telah hadir di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Terminal Tipe A Banda Aceh, dan Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue Banda Aceh ini telah menghubungkan ketiganya. Kehadirannya menjadi penghubung antar moda transportasi, sekaligus menjadi transportasi alternatif bagi masyarakat. Dengan demikian, dapat dipastikan kehadiran pelayanan pemerinta bagi warga negara jelas adanya.

Hal ini tentu sejalan dengan misi Kementerian Perhubungan RI, yaitu Transportasi Unggul, Indonesia Maju. Maka tak heran, ini menadi bentuk komintmen pemerintah dalam menyamaratakan pembangunan bagi warga negaranya. Ayo naik bus Trans Koetaradja!
---
Bagi yang ingin mengetahui, apa saja kinerja Kementerian Perhubungan Republik Indonesia selama lima tahun terakhir ini, tak salah mengikuti informasinya pada:

Website                : .www.dephub.go.id
Media Sosial        
Facebook             : @kemenhub151
Twitter                 : @kemenhub151
Instagram             : @kemenhub151
YouTube              : @kemenhub151


*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Kemenhub 2019

Minggu, 20 Oktober 2019

Mengaji Kepada Teungku, Budaya Aceh yang Patut Dijaga

Minggu, Oktober 20, 2019

Pengajian bersama Dr. Teungku Fatmi di masjid Al Makmur, Banda Aceh. Pengajian ini sangat digandrungi anak-anak muda di kota para raja ini. Foto: Dok. Pribadi.
Pernahkah Anda merasa jenuh dengan segala rutinitas yang dijalani setiap harinya? Pernahkah Anda merasa kekosongan jiwa tak terkiranya saat Anda kesepian? Barangkali inilah beberapa hal yang menghantui kalangan muda Aceh masa kini. Jika hal ini sudah mulai ada dalam diri Anda, kemungkinan bisa dipastikan ada satu sudut dalam jiwa Anda merasakan kehampaan. Dalam ritme hidup demikian, beberapa orang akan melakukan upaya penyegaran jiwa, baik mencari hiburan malam – meski bahagia sesaat – hingga meditasi, atau berzikir saat tengah malam.

Anak-anak muda yang merasakan kesepian itu, tentu akan berupaya mencari alternatif mengisi ketenangan jiwanya. Tak terkecuali melalui mengisi hatinya dengan spiritualitas. Beragam cara akan mereka lakukan untuk hatinya dapat utuh termotivasi kembali. Bukan tidak mungkin, upaya spiritualisme ini melalui pengajian.

Di era kekinian ini, fasilitas untuk mendapat ilmu pengetahuan begitu cepat, ialah melalui internet. Begitu juga bagi yang ingin menemukan ilmu agama, tentu internet salah satu solusi tercepat. Media daring baik lama website, twitter, facebook, Instagram, WhatsApp Group (WAG), maupun channel YouTube menjadi pilihan generasi milenial masa kini. Salah satu alasan mereka, lebih mudah dan bisa akses di mana saja. Namun, apakah keabsahan informasi yang disampaikan media daring ini dapat terpercaya? Apalagi mencari ilmu agama akan menjadi fatal jika salah dimaknai, berbeda dengan ilmu lainnya. Inilah yang sedang terjadi pada kehidupan anak-anak muda Aceh.

Jika meneropong lebih jauh, sebenarnya Aceh memiliki kebudayaan yang komplit saat seseorang akan berangjak belajar ilmu agama. Anak-anak sebelum diantar ke Teungku (sebutan guru mengaji di Aceh) orang tuanya mempersiapkan semuanya dengan mantap. Mulai dari memasak Bu Leukat (nasi ketan) hingga selai isian parutan kelapa yang dicampur dengan gula aren. Bahkan, di beberapa kalangan lainnya, memasak nasi beserta lauknya.

Saat malam diantar ke tempat mengaji tiba, maka semua anak akan melahap dengan nikmat bawaan tadi. Anak yang tadinya merasa asing ke tempat baru, akan disambut gembira oleh Teungku dan kawan-kawannya. Semuanya berbaur merayakan ada anak baru yang menjadi teman mereka dalam berilmu.

Dipilihnya Bu Leukat sebenarnya terkandung nilai filosofis yang sangat kuat. Beras yang tadinya terpisah, ketika menjadi ketan, dia menyatu. Ini dimaksudkan agar nantinya ilmu yang diajarkan oleh Teungku dapat melekat kuat dalam ingatan santrinya dan menyatu dalam perbuatannya. Pun demikian, selai isian kelapa campur gula yang manis ini dimaksudkan agar santri memahami bahwa ilmu ini akan amat manis bila terus dipelajari hingga akhir hayat.

Aktivitas anak-anak mengaji di Taman Pendidikan Alquran masjid Baitusshalihin, Ulee Kareng, Banda Aceh. Foto: Dok. Pribadi
Selain melalui Bu Leukat ini, tradisi mengaji di Aceh tentu memiliki fase. Masa dulunya, anak-anak sebelum diantar ke Dayah/Pesantren, mereka akan diajarkan terlebih dulu oleh orang tuanya. Barulah kemudian oleh Teungku Imum di Meunasah Gampong. Kemudian, saat anak sudah berani dan mandiri, orang tuanya akan mengantarnya ke Pesantren/Dayah. Program Magrib Mengaji, sebenarnya sudah lebih dulu dilakukan orang zaman. Sayup-sayup terdengar pengajian dari setiap rumah. Berbeda sekali dengan masa sekarang, anak-anak belia kita disibukkan dengan gawai dan orang tuanya pun semakin lalai.

Inilah yang harus dikhawatirkan. Generasi seperti apa yang akan lahir di Aceh, jika fase sejarah yang terjadi hari ini demikian? Mengaji melalui ‘Guru YouTube’ tanpa pendamping yang mahir, maka lahirlah generasi yang merasa paling benar dalam beragama. Alih-alih tontonan YouTube yang mereka nonton ini terkait terorisme. Sebab, tidak ada yang menyaring informasi yang sampai ke pemikiran muda mereka. Anak-anak muda yang sedang galau, mudah sekali hatinya menjadi kacau. Menganggap yang telah dilakukannya adalah yang paling benar, inilah bonus demografi yang membahayakan ruang entitas sosial maupun keagamaan kita hari ini.

Tradisi ini telah hilang saat mengaji di YouTube. Tentu akan jauh berbeda dengan apa yang saya sampaikan di atas. Tidak aka ada Bu Leukat saat Anda pertama kali mengantarkan pandangan Anda kepada channel ini. Tidak akan ada keberkahan dapat mencium tangan Teungku, seperti yang sering kita temui saat usai mengaji. Atau bahkan, tidak aka nada santri yang berdiri saat Teungku memasuki balai pengajian. Di Dayah, berdiri saat Teungku memasuki balai pengajian adalah bentuk penghormatan kepadanya. Saat Teungku sudah duduk bersilakan sajadah, barulah santrinya akan duduk dan dimulailah pengajian.

Infografis Mengaji Kepada Teungku dan YouTube
Kini, semuanya melalui perangkat daring. Belum lagi, bila ada yang salah mengutip, sengaja mengedit dengan maksud jahat, ataupun kesalahan editor video sebelum mengunggahnya di channel mereka. Meski, pada kolom komentar kita dapat bertanya, belum tentu akan dijawab di hari tersebut. Pun bila dijawab, seberapa persenkah keabsahan jawabannya?

Ya, tentu kita tidak dapat menyalahkan teknologi yang semakin berkembang ini. Semangat budaya post islamisme ini harusnya dapat dibendung dengan manajemen yang rapi. Beragam video yang tersebar di jagat maya kita, sejatinya menjadi wadah bagi anak-anak muda. Oleh sebab itu, anak-anak muda Aceh sejatinya punya cara berbeda dalam mengaji di YouTube. Misalnya, mencari dengan jelas biografi guru mengajinya; YouTube adalah sarana penamping, sementara mengaji langsung adalah sarana utama; jika masih ingin bertanya, sebaiknya kepada guru langsung; tak salah pula memulainya dengan makan Bu Leukat.

Budaya Aceh khususnya mengaji langsung kepada Teungku, sepatutnya harus terus digaungkan. Seraya tetap mengedepankan memanggil sebutan orang alim dengan Teungku, ketimbang menggunakan kata Ustaz. Sebab, istilah Teungku begitu melekat dalam benak orang Aceh. Harusnya ada kombinasi yang unik saat mengedepankan mengaji langsung kepada Teungku. Seraya mengaji dengan YouTube adalah pilihan kedua. Bila ada hal yang kurang penjelasannya di media daring, sejatinya anak muda Aceh sepatutnya menanyakan langsung kepada Teungku tersebut atau kepada Teungku lainnya.

Kehadiran ulama dari kota lain di Aceh, menambah khazanah keilmuan dalam beragama di Aceh. Hal ini bukanlah yang baru, sebab dari dulu Aceh sudah berguru hingga ke ulama dari Timur Tengah. Foto : Dok. Pribadi
Orang terdahulu sudah mengajarkan kepada kita pentingnya kroscek setiap informasi yang kita temui. Tak terkecuali ilmu agama. Sebab, agar tak salah dalam penafsiran maupun dalam beribadah. Ketika sudah begini, maka saya jadi ingat hadih maja  Aceh “Jak beutroh kalon beudeuh, bek rugo meuh saket ate” (Datanglah sampai ke tujuan hingga nampak, jangan sampai rugis emas bikin sakit hati). Hadih maja ini selaras pula dengan mengaji, sebab semua ilmu yang diserap santri perlu adanya kroscek mendalam. Guna tranfer ilmu agama dibentengi verifikasi yang akurat dan terpercaya dari Teungku-nya.

Kita tidak ingin, menjadi santri yang berilmu tapi tidak dibarengi dengan akhlak mulia. Kita tidak ingin menjadi santri yang serba tahu, tapi tidak bisa dicap orang berilmu lantaran tidak berguru langsung pada Teungku. Ikhtiar baik perlu komitmen bersama, agar budaya Aceh khususnya mengaji tak luntur oleh zaman dengan tetap menjaganya dan merawatnya. (*)

*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Blog Budaya dengan Tema "Budaya Aceh di Mata Milenial", Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tahun 2019.

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."