Pengajian bersama Dr. Teungku Fatmi di masjid Al Makmur, Banda Aceh. Pengajian ini sangat digandrungi anak-anak muda di kota para raja ini. Foto: Dok. Pribadi. |
Pernahkah Anda merasa jenuh dengan segala rutinitas yang
dijalani setiap harinya? Pernahkah Anda merasa kekosongan jiwa tak terkiranya
saat Anda kesepian? Barangkali inilah beberapa hal yang menghantui kalangan
muda Aceh masa kini. Jika hal ini sudah mulai ada dalam diri Anda, kemungkinan
bisa dipastikan ada satu sudut dalam jiwa Anda merasakan kehampaan. Dalam ritme
hidup demikian, beberapa orang akan melakukan upaya penyegaran jiwa, baik mencari
hiburan malam – meski bahagia sesaat – hingga meditasi, atau berzikir saat
tengah malam.
Anak-anak muda yang merasakan kesepian itu, tentu akan
berupaya mencari alternatif mengisi ketenangan jiwanya. Tak terkecuali melalui
mengisi hatinya dengan spiritualitas. Beragam cara akan mereka lakukan untuk
hatinya dapat utuh termotivasi kembali. Bukan tidak mungkin, upaya
spiritualisme ini melalui pengajian.
Di era kekinian ini, fasilitas untuk mendapat ilmu
pengetahuan begitu cepat, ialah melalui internet. Begitu juga bagi yang ingin
menemukan ilmu agama, tentu internet salah satu solusi tercepat. Media daring
baik lama website, twitter, facebook, Instagram, WhatsApp Group (WAG), maupun
channel YouTube menjadi pilihan generasi milenial masa kini. Salah satu alasan
mereka, lebih mudah dan bisa akses di mana saja. Namun, apakah keabsahan
informasi yang disampaikan media daring ini dapat terpercaya? Apalagi mencari
ilmu agama akan menjadi fatal jika salah dimaknai, berbeda dengan ilmu lainnya.
Inilah yang sedang terjadi pada kehidupan anak-anak muda Aceh.
Jika meneropong lebih jauh, sebenarnya Aceh memiliki
kebudayaan yang komplit saat seseorang akan berangjak belajar ilmu agama.
Anak-anak sebelum diantar ke Teungku (sebutan guru mengaji di Aceh) orang
tuanya mempersiapkan semuanya dengan mantap. Mulai dari memasak Bu Leukat
(nasi ketan) hingga selai isian parutan kelapa yang dicampur dengan gula aren.
Bahkan, di beberapa kalangan lainnya, memasak nasi beserta lauknya.
Saat malam diantar ke tempat mengaji tiba, maka semua anak
akan melahap dengan nikmat bawaan tadi. Anak yang tadinya merasa asing ke
tempat baru, akan disambut gembira oleh Teungku dan kawan-kawannya.
Semuanya berbaur merayakan ada anak baru yang menjadi teman mereka dalam
berilmu.
Dipilihnya Bu Leukat sebenarnya terkandung nilai filosofis
yang sangat kuat. Beras yang tadinya terpisah, ketika menjadi ketan, dia
menyatu. Ini dimaksudkan agar nantinya ilmu yang diajarkan oleh Teungku
dapat melekat kuat dalam ingatan santrinya dan menyatu dalam perbuatannya. Pun
demikian, selai isian kelapa campur gula yang manis ini dimaksudkan agar santri
memahami bahwa ilmu ini akan amat manis bila terus dipelajari hingga akhir
hayat.
Aktivitas anak-anak mengaji di Taman Pendidikan Alquran masjid Baitusshalihin, Ulee Kareng, Banda Aceh. Foto: Dok. Pribadi |
Selain melalui Bu Leukat ini, tradisi mengaji di Aceh
tentu memiliki fase. Masa dulunya, anak-anak sebelum diantar ke
Dayah/Pesantren, mereka akan diajarkan terlebih dulu oleh orang tuanya. Barulah
kemudian oleh Teungku Imum di Meunasah Gampong. Kemudian, saat anak sudah
berani dan mandiri, orang tuanya akan mengantarnya ke Pesantren/Dayah. Program
Magrib Mengaji, sebenarnya sudah lebih dulu dilakukan orang zaman. Sayup-sayup
terdengar pengajian dari setiap rumah. Berbeda sekali dengan masa sekarang,
anak-anak belia kita disibukkan dengan gawai dan orang tuanya pun semakin lalai.
Inilah yang harus dikhawatirkan. Generasi seperti apa yang
akan lahir di Aceh, jika fase sejarah yang terjadi hari ini demikian? Mengaji
melalui ‘Guru YouTube’ tanpa pendamping yang mahir, maka lahirlah generasi yang
merasa paling benar dalam beragama. Alih-alih tontonan YouTube yang mereka
nonton ini terkait terorisme. Sebab, tidak ada yang menyaring informasi yang
sampai ke pemikiran muda mereka. Anak-anak muda yang sedang galau, mudah sekali
hatinya menjadi kacau. Menganggap yang telah dilakukannya adalah yang paling
benar, inilah bonus demografi yang membahayakan ruang entitas sosial maupun
keagamaan kita hari ini.
Tradisi ini telah hilang saat mengaji di YouTube. Tentu akan jauh berbeda dengan apa yang
saya sampaikan di atas. Tidak aka ada Bu Leukat saat Anda pertama kali
mengantarkan pandangan Anda kepada channel ini. Tidak akan ada
keberkahan dapat mencium tangan Teungku, seperti yang sering kita temui
saat usai mengaji. Atau bahkan, tidak aka nada santri yang berdiri saat Teungku
memasuki balai pengajian. Di Dayah, berdiri saat Teungku memasuki balai
pengajian adalah bentuk penghormatan kepadanya. Saat Teungku sudah duduk
bersilakan sajadah, barulah santrinya akan duduk dan dimulailah pengajian.
Infografis Mengaji Kepada Teungku dan YouTube |
Kini, semuanya melalui perangkat daring. Belum lagi, bila ada
yang salah mengutip, sengaja mengedit dengan maksud jahat, ataupun kesalahan
editor video sebelum mengunggahnya di channel mereka. Meski, pada kolom
komentar kita dapat bertanya, belum tentu akan dijawab di hari tersebut. Pun
bila dijawab, seberapa persenkah keabsahan jawabannya?
Ya, tentu kita tidak dapat menyalahkan teknologi yang semakin
berkembang ini. Semangat budaya post islamisme ini harusnya dapat
dibendung dengan manajemen yang rapi. Beragam video yang tersebar di jagat maya
kita, sejatinya menjadi wadah bagi anak-anak muda. Oleh sebab itu, anak-anak
muda Aceh sejatinya punya cara berbeda dalam mengaji di YouTube. Misalnya,
mencari dengan jelas biografi guru mengajinya; YouTube adalah sarana penamping,
sementara mengaji langsung adalah sarana utama; jika masih ingin bertanya,
sebaiknya kepada guru langsung; tak salah pula memulainya dengan makan Bu
Leukat.
Budaya Aceh khususnya mengaji langsung kepada Teungku,
sepatutnya harus terus digaungkan. Seraya tetap mengedepankan memanggil sebutan
orang alim dengan Teungku, ketimbang menggunakan kata Ustaz. Sebab, istilah Teungku
begitu melekat dalam benak orang Aceh. Harusnya ada kombinasi yang unik saat
mengedepankan mengaji langsung kepada Teungku. Seraya mengaji dengan YouTube
adalah pilihan kedua. Bila ada hal yang kurang penjelasannya di media daring,
sejatinya anak muda Aceh sepatutnya menanyakan langsung kepada Teungku
tersebut atau kepada Teungku lainnya.
Orang terdahulu sudah mengajarkan kepada kita pentingnya
kroscek setiap informasi yang kita temui. Tak terkecuali ilmu agama. Sebab,
agar tak salah dalam penafsiran maupun dalam beribadah. Ketika sudah begini,
maka saya jadi ingat hadih maja Aceh “Jak
beutroh kalon beudeuh, bek rugo meuh saket ate” (Datanglah sampai ke tujuan
hingga nampak, jangan sampai rugis emas bikin sakit hati). Hadih maja ini
selaras pula dengan mengaji, sebab semua ilmu yang diserap santri perlu adanya
kroscek mendalam. Guna tranfer ilmu agama dibentengi verifikasi yang akurat dan
terpercaya dari Teungku-nya.
Kita tidak ingin, menjadi santri yang berilmu tapi tidak
dibarengi dengan akhlak mulia. Kita tidak ingin menjadi santri yang serba tahu,
tapi tidak bisa dicap orang berilmu lantaran tidak berguru langsung pada Teungku.
Ikhtiar baik perlu komitmen bersama, agar budaya Aceh khususnya mengaji tak
luntur oleh zaman dengan tetap menjaganya dan merawatnya. (*)
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Blog Budaya dengan Tema "Budaya Aceh di Mata Milenial", Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tahun 2019.
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Blog Budaya dengan Tema "Budaya Aceh di Mata Milenial", Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tahun 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar