Minggu, 20 Oktober 2019

Mengaji Kepada Teungku, Budaya Aceh yang Patut Dijaga


Pengajian bersama Dr. Teungku Fatmi di masjid Al Makmur, Banda Aceh. Pengajian ini sangat digandrungi anak-anak muda di kota para raja ini. Foto: Dok. Pribadi.
Pernahkah Anda merasa jenuh dengan segala rutinitas yang dijalani setiap harinya? Pernahkah Anda merasa kekosongan jiwa tak terkiranya saat Anda kesepian? Barangkali inilah beberapa hal yang menghantui kalangan muda Aceh masa kini. Jika hal ini sudah mulai ada dalam diri Anda, kemungkinan bisa dipastikan ada satu sudut dalam jiwa Anda merasakan kehampaan. Dalam ritme hidup demikian, beberapa orang akan melakukan upaya penyegaran jiwa, baik mencari hiburan malam – meski bahagia sesaat – hingga meditasi, atau berzikir saat tengah malam.

Anak-anak muda yang merasakan kesepian itu, tentu akan berupaya mencari alternatif mengisi ketenangan jiwanya. Tak terkecuali melalui mengisi hatinya dengan spiritualitas. Beragam cara akan mereka lakukan untuk hatinya dapat utuh termotivasi kembali. Bukan tidak mungkin, upaya spiritualisme ini melalui pengajian.

Di era kekinian ini, fasilitas untuk mendapat ilmu pengetahuan begitu cepat, ialah melalui internet. Begitu juga bagi yang ingin menemukan ilmu agama, tentu internet salah satu solusi tercepat. Media daring baik lama website, twitter, facebook, Instagram, WhatsApp Group (WAG), maupun channel YouTube menjadi pilihan generasi milenial masa kini. Salah satu alasan mereka, lebih mudah dan bisa akses di mana saja. Namun, apakah keabsahan informasi yang disampaikan media daring ini dapat terpercaya? Apalagi mencari ilmu agama akan menjadi fatal jika salah dimaknai, berbeda dengan ilmu lainnya. Inilah yang sedang terjadi pada kehidupan anak-anak muda Aceh.

Jika meneropong lebih jauh, sebenarnya Aceh memiliki kebudayaan yang komplit saat seseorang akan berangjak belajar ilmu agama. Anak-anak sebelum diantar ke Teungku (sebutan guru mengaji di Aceh) orang tuanya mempersiapkan semuanya dengan mantap. Mulai dari memasak Bu Leukat (nasi ketan) hingga selai isian parutan kelapa yang dicampur dengan gula aren. Bahkan, di beberapa kalangan lainnya, memasak nasi beserta lauknya.

Saat malam diantar ke tempat mengaji tiba, maka semua anak akan melahap dengan nikmat bawaan tadi. Anak yang tadinya merasa asing ke tempat baru, akan disambut gembira oleh Teungku dan kawan-kawannya. Semuanya berbaur merayakan ada anak baru yang menjadi teman mereka dalam berilmu.

Dipilihnya Bu Leukat sebenarnya terkandung nilai filosofis yang sangat kuat. Beras yang tadinya terpisah, ketika menjadi ketan, dia menyatu. Ini dimaksudkan agar nantinya ilmu yang diajarkan oleh Teungku dapat melekat kuat dalam ingatan santrinya dan menyatu dalam perbuatannya. Pun demikian, selai isian kelapa campur gula yang manis ini dimaksudkan agar santri memahami bahwa ilmu ini akan amat manis bila terus dipelajari hingga akhir hayat.

Aktivitas anak-anak mengaji di Taman Pendidikan Alquran masjid Baitusshalihin, Ulee Kareng, Banda Aceh. Foto: Dok. Pribadi
Selain melalui Bu Leukat ini, tradisi mengaji di Aceh tentu memiliki fase. Masa dulunya, anak-anak sebelum diantar ke Dayah/Pesantren, mereka akan diajarkan terlebih dulu oleh orang tuanya. Barulah kemudian oleh Teungku Imum di Meunasah Gampong. Kemudian, saat anak sudah berani dan mandiri, orang tuanya akan mengantarnya ke Pesantren/Dayah. Program Magrib Mengaji, sebenarnya sudah lebih dulu dilakukan orang zaman. Sayup-sayup terdengar pengajian dari setiap rumah. Berbeda sekali dengan masa sekarang, anak-anak belia kita disibukkan dengan gawai dan orang tuanya pun semakin lalai.

Inilah yang harus dikhawatirkan. Generasi seperti apa yang akan lahir di Aceh, jika fase sejarah yang terjadi hari ini demikian? Mengaji melalui ‘Guru YouTube’ tanpa pendamping yang mahir, maka lahirlah generasi yang merasa paling benar dalam beragama. Alih-alih tontonan YouTube yang mereka nonton ini terkait terorisme. Sebab, tidak ada yang menyaring informasi yang sampai ke pemikiran muda mereka. Anak-anak muda yang sedang galau, mudah sekali hatinya menjadi kacau. Menganggap yang telah dilakukannya adalah yang paling benar, inilah bonus demografi yang membahayakan ruang entitas sosial maupun keagamaan kita hari ini.

Tradisi ini telah hilang saat mengaji di YouTube. Tentu akan jauh berbeda dengan apa yang saya sampaikan di atas. Tidak aka ada Bu Leukat saat Anda pertama kali mengantarkan pandangan Anda kepada channel ini. Tidak akan ada keberkahan dapat mencium tangan Teungku, seperti yang sering kita temui saat usai mengaji. Atau bahkan, tidak aka nada santri yang berdiri saat Teungku memasuki balai pengajian. Di Dayah, berdiri saat Teungku memasuki balai pengajian adalah bentuk penghormatan kepadanya. Saat Teungku sudah duduk bersilakan sajadah, barulah santrinya akan duduk dan dimulailah pengajian.

Infografis Mengaji Kepada Teungku dan YouTube
Kini, semuanya melalui perangkat daring. Belum lagi, bila ada yang salah mengutip, sengaja mengedit dengan maksud jahat, ataupun kesalahan editor video sebelum mengunggahnya di channel mereka. Meski, pada kolom komentar kita dapat bertanya, belum tentu akan dijawab di hari tersebut. Pun bila dijawab, seberapa persenkah keabsahan jawabannya?

Ya, tentu kita tidak dapat menyalahkan teknologi yang semakin berkembang ini. Semangat budaya post islamisme ini harusnya dapat dibendung dengan manajemen yang rapi. Beragam video yang tersebar di jagat maya kita, sejatinya menjadi wadah bagi anak-anak muda. Oleh sebab itu, anak-anak muda Aceh sejatinya punya cara berbeda dalam mengaji di YouTube. Misalnya, mencari dengan jelas biografi guru mengajinya; YouTube adalah sarana penamping, sementara mengaji langsung adalah sarana utama; jika masih ingin bertanya, sebaiknya kepada guru langsung; tak salah pula memulainya dengan makan Bu Leukat.

Budaya Aceh khususnya mengaji langsung kepada Teungku, sepatutnya harus terus digaungkan. Seraya tetap mengedepankan memanggil sebutan orang alim dengan Teungku, ketimbang menggunakan kata Ustaz. Sebab, istilah Teungku begitu melekat dalam benak orang Aceh. Harusnya ada kombinasi yang unik saat mengedepankan mengaji langsung kepada Teungku. Seraya mengaji dengan YouTube adalah pilihan kedua. Bila ada hal yang kurang penjelasannya di media daring, sejatinya anak muda Aceh sepatutnya menanyakan langsung kepada Teungku tersebut atau kepada Teungku lainnya.

Kehadiran ulama dari kota lain di Aceh, menambah khazanah keilmuan dalam beragama di Aceh. Hal ini bukanlah yang baru, sebab dari dulu Aceh sudah berguru hingga ke ulama dari Timur Tengah. Foto : Dok. Pribadi
Orang terdahulu sudah mengajarkan kepada kita pentingnya kroscek setiap informasi yang kita temui. Tak terkecuali ilmu agama. Sebab, agar tak salah dalam penafsiran maupun dalam beribadah. Ketika sudah begini, maka saya jadi ingat hadih maja  Aceh “Jak beutroh kalon beudeuh, bek rugo meuh saket ate” (Datanglah sampai ke tujuan hingga nampak, jangan sampai rugis emas bikin sakit hati). Hadih maja ini selaras pula dengan mengaji, sebab semua ilmu yang diserap santri perlu adanya kroscek mendalam. Guna tranfer ilmu agama dibentengi verifikasi yang akurat dan terpercaya dari Teungku-nya.

Kita tidak ingin, menjadi santri yang berilmu tapi tidak dibarengi dengan akhlak mulia. Kita tidak ingin menjadi santri yang serba tahu, tapi tidak bisa dicap orang berilmu lantaran tidak berguru langsung pada Teungku. Ikhtiar baik perlu komitmen bersama, agar budaya Aceh khususnya mengaji tak luntur oleh zaman dengan tetap menjaganya dan merawatnya. (*)

*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Blog Budaya dengan Tema "Budaya Aceh di Mata Milenial", Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tahun 2019.

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."