Minggu, 13 Oktober 2019

Mengenang Robur, Si Pengantar Mahasiswa


Keuchik Harun berpose di rumahnya. Foto: Irfan Fuadi/Aceh Transit

Saat dihampiri ACEH TRANSit, Keuchik Harun sedang beraktivitas di depan rumahnya. Di usianya yang tak lagi muda, Keuchik Harun masih nampak sehat. Kesehariannya kini bersama istri tercintanya. Mahasiswa era tahun 70-an dan 80-an yang kuliah di Komplek Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam tentu akrab dengannya. Dialah sopir Robur generasi pertama di Aceh.

Keuchik Harun memulai pembicaraanya. Dia menyebut, pertama kali Robur ada di Aceh setelah Pemilu 1972, tepatnya pada tahun 1974. Bus angkutan umum perkotaan ini, hadir di Banda Aceh atas inisiasi Pemerintah Daerah Istimewa Aceh masa itu. Empat unit Robur didatangkan dari Jakarta melalui Belawan, Medan.

Sesampai mobil dari Medan inilah, angkutan massal perkotaan pertama hadir di Banda Aceh. Keseharian Keuchik Harun bersama dengan sopir Robur lainnya rutin mengantar mahasiswa. Setiap harinya, pukul 07.00 WIB bus Robur parkir dengan rapi di depan Masjid Raya Baiturahman. Dari pagi hingga sore, Robur melaju dari pusat kota menuju Darussalam, begitu sebaliknya.

Semasa menjadi sopir, rasa lelah rutin menghampiri Keuchik Harun. Apalagi terkadang mahasiswa berkelahi di dalam Robur. Beberapa sopir menyampaikan keluhannya kepadanya.

Hal yang membuat Keuchik Harun mengernyitkan dahi. Mereka berkelahi dan cekcok antar fakultas atau sesama fakultasnya di dalam Robur. Jadinya, terkadang Keuchik Harun melaporkan hal ini kepada Senat Mahasiswa.

Masa itu, Dimurtala menjadi Senat Mahasiswa. Ke sana lah Keuchik Harun menyampaikan keluh kesahnya. Selain, tentu peran Keuchik Harun juga tetap melerai cek-cok antarmahasiswa. Karena hal inilah, Keuchik Harun dipilih menjadi Keuchik Gampong Peurada masa itu.

“Saya menjumpai Pak Dimurtala, selaku senat mahasiswa kala itu. Untuk menyampaikan hal ini agar ada nasihat langsung kepada rekan mahasiswa,” ujar pemilik nama lengkap Harun Husen ini.

Selain berkelahi, bermacam polah tingkah laku lainnya dilakukan mahasiswa kala itu. Mereka meminta dibelokkan khusus saat di salah satu simpang di kawasan Lingke. Beberapa sopir lainnya menuruti permintaan mahasiswa. Tujuannya, agar saling berhimpitan mesra. Sehingga, konon, jadilah simpang itu dinamai Simpang Mesra hingga kini. Meski demikian, Keuchik Harun tidak menuruti permintaan mahasiswa, sebab berbahaya bagi mereka.

“Namun yang menyakitkan saya bukan itu, mereka tidak membayar ongkos naik Robur. Padahal, dari pusat kota ke Darussalam hanya 50 Rupiah. Ada yang bahkan beberapa mahasiswa meminta kembaliannya, padahal tidak pernah sama sekali memberikan uangnya kepada kernet,” sebutnya mengenang masa pahitnya.

Kendati demikian, Keuchik Harun sering mentraktir mahasiswa yang sedang nonkrong di warung kopi. Terkhusus, Keuchik Harun menyuruh mereka memesan segelas kopi, sepotong kue, dan sebatang rokok. Terutama saat mereka belum mendapat kiriman dari orang tuanya di kampung.

“Saya bilang, jangan menahan lapar. Nanti menganggu kuliahnya.”

Saat hari wisuda tiba sekaligus menjadi sarjana muda, mereka datang menjumpai Keuchik Harun. Seraya meminta maaf atas perbuatan mereka kepadanya. Sebagai yang dituakan, Keuchik Harun menerima permintaan maaf mereka. Sambil mendoakan agar mereka sukses.

Ada hal unik yang diceritakan Keuchik Harun. Saat beliau ke Kota Langsa bersama rombongan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh kala itu. Ternyata banyak mantan mahasiswa yang masih mengenalnya. Bukannya menyambut Wakil Gubernur, mereka malah mengampiri Keuchik Harun. Saat akan pulang ke Banda Aceh, maka tangan kanan dan kirinya penuh dengan oleh-oleh khas kota itu.

“Mereka kasih ke saya macam-macam. Hingga saya dikasih kecap,” sebutnya sambil tertawa.

Selama menjadi sopir bus pabrikan Volkseigener Betrieb VEB Robur-Werke Zittau dari Jerman Timur itu, Keuchik Harun memiliki kesan mendalam. Selain merasa bahagia saat mengetahui mantan mahasiswa pengguna Robur telah sukses, Dia mengagumi sosok Ali Hasyimi, Gubernur Aceh masa itu. Baginya, sosok Ali Hasyimi berbeda dengan pemimpin kebiasaan.

“Jarang kita temui Gubernur yang bertanya dan berdiskusi dengan sopir,” ujarnya mengenang.

Kesan ini pun sesuai, saat Keuchik Harun memberi ide kepada Ali Hasyimi tentang pertanyannya mengatur jam operasional Robur, agar tidak bentrok dengan jam keluar kuliah mahasiswa. Sebab, kala itu, penumpang membludak di hari Jumat.

“Pak, kita atur jam keluar mahasiswa tiap satu jam sekali. Kalau hari lain, tidak apa-apa,” sebutnya mengulang percakapan dengan Ali Hasyimi.

Karena masukannya ini, Ali Hasyimi mengiyakan. Jadi, inilah salah satu konsep yang terbaik pada masa itu guna memanajemen angkutan massal yang banyak diminati mahasiswa, pelajar, hingga masyarakat.

Teriakan Darma Darma, Apung, Kramat, Jambo Tape, Lorong Mangga, Mesra, Simpang Galon, selalu terdengar dari kernet Robur. Inilah beberapa kenangan Keuchik Harun yang menjadi sopir Robur 18 tahun lamanya. Dia pensiun dari sopir Robur karena menjadi sopir pribadi Wakil Gubernur Teuku Johan. Apalagi Keuchik Harun juga pegawai pemerintah masa itu, beliau pun mengiyakan.

Generasi ketiga

Selain dengan Keuchik Harun, ACEH TRANSit juga bertemu dengan seorang sopir Robur generasi ketiga. Dia adalah Azhari yang kini bekerja di Badan Penganggalungan Bencana  Aceh (BPBA).

Saat ditemui, Jumat (16/7/2019), Azhari bercerita, dia mewarisi profesi dari ayahnya, sopir Robur generasi pertama. Adiknya, Faisal yang kini bekerja di salah satu kampus ternama di Aceh juga pernah menjadi sopir Robur. Mereka, satu keluarga menjadi sopir Robur.

“Generasi Robur terakhir kini tinggal di Unsyiah. Yang lainnya disapu oleh tsunami 26 Desember 2004 silam. Setelahnya, Robur tak lagi beroperasi di Banda Aceh,” sebutnya yang mulai menjadi sopir tahun 2001.


Angkutan massal generasi terakhir bermerek Hino Superior Coach kini terparkir di kampus Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, Jumat (6/9/2019). Meski bus produksi Hino, nama Robur masih sangat kental dan sering disebut oleh masyarakat di Aceh. Foto: Irfan Fuadi/Aceh Transit

Hamdani, mantan pengguna Robur mengaku punya banyak kenangan dengan Robur. Dia rutin menggunakan Robur saat kuliah. Menurutnya, Robur sangat nyaman dan memang sangat dibutuhkan masyarakat.

Robur menjadi inspirasi Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan untuk melahirkan bus Trans Koetaradja, sebagai transportasi angkutan massal perkotaan. Seperti halnya Robur, Trans Koetaradja memiliki semangat yang sama dengan terus mengupayakan inovasi sesuai dengan peradaban di Aceh.

Robur telah menjadi kenangan bagi kita semua. Dalam kaitan itu, Dinas Perhubungan Aceh, menghadirkan Robur hias pada saat perayaan karnaval HUT ke 74 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2019 di Banda Aceh. Ini adalah upaya mengenang kembali jasa Robur dalam mengangkut para mahasiswa. Jika Robur kembali hadir di Banda Aceh, berminatkah warga Aceh menjajalnya lagi?[]



Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."