Minggu, 27 April 2014

Biaya dan Buaya

Malam itu saya keluar dari peraduan. Dalam penelusuran malam, saya memakai sandal dengan celanan jeans yang compang di lutut bawah kaki sebelah kiri. Dengan sebatang rokok, saya coba telusuri jalan-jalan dari simpang tujuh menuju ke kota. Bau asap kendaraan perlahan hilang berkat hujan yang turun deras malam ini. Dari arah simpang BPKP saya beranikan jalan setapak ke arah Beurawee yang tembus ke arah simpang surabaya.

Air sungai Beurawe mengalir dengan tenang. Pemancing ikan sedang asyik menghisap rokok, lalu fokus lagi pada pancingannya. Kalau malam, tidak ada penjahit sepatu. Justru jalan inilah yang paling padat kalau malam hari. Dari Beurawees saya menuju ke simpang surabaya. Saya melihat para abang-abang rantauan yang menjual berbagai macam kuliner malam. Mulai nasi goreng, sate matang, sate padang, mie, jus buah dan berbagai kuliner lainnya.

Di sini saya bertemu dengan kawan lama semasa SMP dulu. Ternyata dia sekarang hijrah ke Kota Ratu. Baginya disinilah tempat mencari pendapatan yang memberikan peluang bagi pemenuhan mahar ketika dai menikah kelak. Anggapannya, Kota Raja begitu menjanjikan. Setiap malam tempat dia jualan selalu ramai. Suami isteri, pasca suami isteri, pra suami isteri, mereka selalu ramai berkunjung ke tempatnya. Apalagi malam Minggu. Karena merasa tidak enak hati, ikutlah saya memesan makanannya.

Nasi goreng dan jus alpukat saya lahap habis di tengah-tengah sepintas melihat ibu-ibu memakai baju hijau berjilbab putih, mengemudi mobil dengan tergesa-gesa. Bahkan menerobos lampu merah. Di belakang mobilnya ada sejumlah kotak. Saya pun belum tau apa isinya. Arah mobilnya menuju ke Batoh.

Saya bincang-bincang sejenak dengan kawan se-SMP itu. Tak lama berselang saya lalu pamitan. Ingin rasanya malam ini menghabiskan minum kopi pada warkop seberang. Jujur, selama hampir empat tahun di Kota Ratu saya belum pernah minum kopi di sana. Kesanalah saya bergerak dengan tangan kanan dan kiri saya masukkan ke dalam jaket.

Lantai dua menjadi favorit bagi saya kali ini. Beruntung pada sudut masiha ada kursi kosong. Kesanalah saya. Pada pojok ini, saya dapat menyaksikan keindahan malam di salah satu sudut Kota Ratu. Ternyata kopi di sini berbeda rasanya dengan yang di simpang tujuh. Aromanya menyengat. Konon teman saya pernah bercerita kalau kopi di sini sudah diracik dengan ramuan yang khas. Setiap racikannya selalu dibumbui daun hijau, biar nikmat sampai ke ubun-ubun. Dan nyatanya benar, sampai saya harus menghabiskan air putih 3 gelas. Rasa haus mendera.

Kebosanan saya mulai datang. Walau memposisikan duduk paling pas menatap indahnya sungai Beruawee dengan lampu hiasnya di samping kiri kanan seberang sungai, alhasil saya duduk sendirian membuat saya justeru seolah sedang berdiam diri.

Mata saya menangkap objek yang sama ketika semula saat saya masih makan nasi goreng. Ibu-ibu memakau baju hijau tadi dengan mobilnya melaju ke arah Lampriet. Saya perhatikan bak belakang mobilnya sudah bertambah jumlah kotak disertai dua orang pemuda yang sedang memegang seekor buaya besar. Saya terperangah, untuk apa malam-malam begini ibu-ibu membawa buaya dan kotak banyak-banyak?

Penasaran. Saya pun menyusul ibu-ibu tadi. Sebuah taksi saya stop. Saya perintahkan "Kau kejar mobil yang di depan pak!", ucap saya dengan nada kesal.

Saya menemui ibu-ibu tadi di sebuah lapangan. Dia sedang menyembelih seekor buaya bersama teman-temannya. Dia menguliti habis-habisan buaya tadi walau dalam keadaan hidup. Kulit buaya diambilnya. Saya beranikan bertanya.

"Untuk apa itu bu!". 
"Ah kau ini tak tahu saja, ini sebagai modal membeli suara untuk adikku, dia sedang sekarat, suaranya telah diculik seseorang. Kau kenal Yahlan, dialah dukun yang merenggut suara adikku. Kulit buaya ini sebagai tebusan untuk mendapatkan kembali suara adikku itu. Uangku sudah habis gegara membeli buaya brengsek ini!", cetusnya dengan nada gegabah.

Tak ku hirau ibu itu lagi. Aku menyisir arah pantai Syiah Kuala. Dalam kesunyian, kurebahkan badanku di pasir-pasir. Aku memegang tenggorokan. Lalu bersuara. Ternyata suaraku masih ada. Aman.

sumber foto : pixabay.com

2 komentar:

Ade mengatakan...

Berarti dia golput ya? Karena suaranya masih ada. Hehe... keren Rif

Anonim mengatakan...

Hahaha, kak ade sampe ke hal itu. Gk maksud sih kesana
:D

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."