Kamis, 24 November 2016

Warkop Cot Iri, Tempat yang Cocok untuk Menyendiri


Lokasinya tidak jauh dari pusat kota, hanya beberapa menit mengendarai sepeda motor dari Simpang Tujuh Ule Kareng, Banda Aceh, kita akan sampai di warkop ini. Biar tidak salah pilih jalan pada Simpang Tujuh tersebut, saya memastikan memilih jalan menuju bandara internasional Sultan Iskandar Muda (SIM). Memang bagi yang baru tiba di Banda Aceh, simpang terbanyak di Aceh ini lumayan memusingkan kepala.

Mengendarai sepeda motor pemberian mamak ini, mantaplah saya ‘melaju cantik’ ke arah Warkop Cot Iri. Untuk sampai kesana, kita harus menyeberangi jembatan desa Cot Iri. Jembatan ini sudah lama dibangun, berbarengan dengan jembatan Lamnyong, bisa dikata semasa Orde Baru. Saat melewatinya, keindahan gunung Seulawah membiru yang dibalut awan putih siap menyambut mata siapapun yang memandangnya. Kiri hingga kanan jembatan, keindahan alam yang hijau juga menggoda mata untuk betah lama-lama menikmatinya, juga menghirup udara pagi. Jembatan ini super sibuk pada paginya. Ada yang mengantar anak ke sekolah, berangkat kerja, hingga mahasiswa banyak menggunakan jalan pintas ini untuk cepat sampai ke kampusnya.

Warkop Cot Iri – begitulah sebutan orang-orang – berada di ujung jembatan sebelah kiri simpang 4. Jika lurus, kita bisa menuju Lam Ateuk dan berlanjut ke bandara SIM, jika belok ke sebelah kanan, kita bisa menuju ke desa Meunasah Tutong dan terus ke Simpang Lambaro, Aceh Besar. Sementara jika melaju ke sebelah kanan, jalan itu akan tembus ke Darussalam. Kali ini, saya harus berhenti sejenak sebelum melaju kea rah Darussalam.

Rasa lapar yang tiba, memantapkan perut dan lidah saya untuk segera melunasi hutang lapar yang belum terselesaikan usai makan tadi malam. Tidak seperti warkop di perkotaan, di sini Anda akan menemukan beragam profesi orang yang ngobrol. Mulai dari petani, peternak sapi, penjual ikan, pedagang hingga seorang suami yang menikmati usia senjanya bersama kekasihnya. Saya melihat mereka berdua begitu romantis menyeruput kopi sanger dan nasi guri.

Nasi Guri

Saya sudah berada duluan dari sepasang kekasih itu. Pagi tadi saya agak bingung memilih tempat duduk. Meja di warkop itu penuh dengan beragam profesi yang saya beberkan tadi. Saya duduk di luar, sepintas kemudian melihat tempat duduk yang sangat ‘beautiful view’. Tempat duduk ini menjadi incaran saya sejak awal. Selama ini, tempat duduk ini menjadi favorit karena di sebelahnya kita bisa menyaksikan orang lalau lalang di jembatan Cot Iri.

Lantas, tak sabaran rasanya mengisi perut dengan nasi guri – nasi khas orang Aceh untuk sarapan. Nasi guri ini porsinya tidak banyak, hampir sama dengan ‘Bu Prang’ – nasi khas Aceh lainnya. Nasi guri adalah santapan menggoda, nasi ini dimasak dengan bumbu khusus. Ada banyak lauk yang bisa dipilih, mulai dari telur rebus sambal, ikan, udang hingga teri sambal.

Sebagai teman menikmati nasi guri dan biar makin beautiful view, saya juga memesan kopi sanger. Namun, sepertinya pembuat kopi lupa menaruh gula pasir, jadi sangernya hampir mirip kopi susu. Tapi, dari segi rasa, bolehlah kita sebut kopi sanger, yang penting sama-sama ngerti.

Sensasi buih kopi sanger

Selain menikmati sarapan dan sanger tadi, saya juga menikmati suasana penuh akrab bersama orang-orang yang nongkrong sejenak. Tetapi, saya duduk sendiri dan menikmati sepi, pedih jenderal!

Orang-orang itu membicarakan beragam hal, ada yang bahkan sudah menjadi pelanggan tetap warkop ini. Mereka semacam melakukan ‘cang panah’ soal pekerjaannya hingga isu terkini. Mereka sangat antusias menikmati kopi yang disuguhkan. Orang yang di samping saya, mereka berdua asik betul bercengkrama, awalnya mereka duduk di meja sebelahnya lagi. Namun, mereka berceloteh, tak sanggup menghisap asap rokok dari meja lainnya. Sama seperti saya juga, saya akan menghindari asap rokok. Tetapi, begitulah majemuknya warung kopi, dimanapun orang akan tetap kesana juga kan.

Sepertinya sudah lama gak jumpa

Hampir sama sibuk ‘cang panah’ seperti pelanggan, pembuat kopi juga sama-sama sibuk menyaring kopi dengan beragam rasa, baik sanger, kopi susu, kopi hitam dan tidak hanya kopi, Anda juga bisa memesan teh hangat, kacang hijau, bahkan jika lebih anti mainstream, Anda dapat memesan teh dingin  sambil menyantap nasi pagi. Penganannya pun lumayan banyak, kita dapat merayakan kenikmatan sendiri yang sesungguhnya di warkop ini.

Suasana tiap pagi di Warkop Cot Iri, yang lagi serius nyimak, pelanggan tetap

Di warkop yang berwarna hijau muda itu, kita tidak akan menemukan daftar menu. Anda cukup memesan saja apa yang ada. Ini berbeda sekali dengan warkop-warkop ternama ibukota yang memakai nama minuman kopi dengan bahasa asing, mulai dari avocado coffe, vanilla latte, espresso dan lainnya. Pembuat kopi pun beragam umur, anak muda yang saya taksir baru selesai SMA, pemuda akan menikah hingga bapak-bapak yang sangat sigap menyuci gelas-gelas kopi. Saat membayar, Anda boleh datang ke kasirnya langsung atau memanggil pelayannya.


Memang, apalah daya saya menyendiri disini, saya bisa menikmati semuanya, tapi tanpa orang yang menemani, rasanya pagi hari serasa sepi.

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."