Foto: Syahri Afrizal/Humas Unsyiah |
Kita kadang pernah
menjadi orang kampung. Minimal
pernah tahu jika
di dunia ini ada daerah berlabel
kampung atau pernah mengunjunginya. Banyak
orang yang berasal dari kampung kemudian hijrah ke kota lalu memilih menetap di sana.
Disaat telah menetap, mereka pun dilabeli orang kota. Padahal, sama
saja, kita yang kini berada di kota menjadikan kampung sebagai kenangan masa
kecil. Masa
yang pernah dilalui hampir semua orang.
Biasanya, orang kampung yang hijrah ke kota memiliki beragam maksud dan tujuan. Ada yang ingin berdagang, mencari
pekerjaan, menimba ilmu,
dan sebagainya. Anda tentu menjadi salah satu di antara
aktivitas yang saya sebutkan tadi. Saya tertarik pada bagian menimba ilmu. Mereka yang berasal dari beragam budaya dan
karakter hijrah ke kota untuk menjadi cerdas. Ini dilakukan agar tampil dan dipercayai oleh masyarakat. Di antara yang orang cerdas itu, ada juga yang ingin
tampil hebat, dibanggakan, atau menaikkan derajat sosial.
Saat menimba ilmu di universitas, mereka dilabeli sebagai mahasiswa dan
kerap menyebut dirinya sebagai
agen perubahan dan agen aksi yang siap menyerahkan jiwa raga demi kepentingan rakyat.
Selain itu, mereka juga dituntut memprioritaskan studi agar meraih kesuksesan.
Salah satunya melalui kegiatan
Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Kegiatan KKN mendorong mahasiswa untuk melaksanakan program-program
yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun, patut
disayangkan jika masih ada
mahasiswa yang tidak setuju dengan kegiatan
KKN. Bahkan terkadang, saat
hadir di
tengah masyarakat, mereka memposisikan diri sebagai orang yang ‘berada’. Asumsi
ini saya dapati dari beberapa teman
saya yang mengikuti KKN dan merasakan kurang nyaman saat berada dalam satu tim seperti yang diuraikan
di atas. Terkadang bagi mereka yang menganggap KKN tidak terlalu penting, bisa dikatakan kurang memaknai
kehidupan. Namun, anggapan
ini tidak bisa disamaratakan untuk semua mahasiswa.
Seharusnya, mereka yang
telah menjadi mahasiswa lebih sadar bahwa esensi pendidikan adalah mencerdasi bangsa dengan sikap santun dan ramah
kepada siapa saja tanpa membedakan ras, agama, apalagi status sosial. Sebab setiap mahasiswa patut menjalankan tri
dharma perguruan tinggi yang salah satu poinnya menekankan pengabdian kepada
masyarakat. Tidak hanya itu,
selepas menjadi sarjana, terkadang
ada juga mahasiswa
yang tidak ingin mengabdi
di kampung halaman. Padahal, di perantauan juga tidak memiliki pekerjaan jelas. Lagi-lagi orang yang lahir dari dunia pendidikan tinggi
tidak menunjukkan ekpresi dirinya kepada masyarakat. Jika seperti ini, apalah arti memperingati Hari
Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei?
Maka tak salah ketika Pramoedya Ananta Toer −sastrawan Indonesia− berujar “Seorang
terpelajar harus belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi
perbuatan.” Ini
menjadi rujukan bagi mahasiswa untuk mengedepankan hal baik dalam pendidikan
tinggi. Mereka diharapkan mampu berpikir objektif, tanpa terkungkung pola pikir
subjektif. Saat mahasiswa mampu berlaku adil, sikap mereka diharapkan memihak kepada kaum lemah yang membutuhkan
dukungan.
Oleh
karena itu,
pendidikan tinggi harus kembali kepada masyarakat bawah yang tunduk kepada kepentingan dan keadilan orang banyak. Hal sama diutarakan Tan Malaka, “Bila
kaum muda yang telah belajar di sekolah mengganggap dirinya terlalu tinggi dan
pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya
memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan tidak diberikan
sama sekali.”
Pendidikan yang baik adalah yang mampu
membekas dan berperan dalam keseharian masyarakat. Ia mampu hadir beriringan
dengan kebudayaan sehingga menciptakan peradaban. Sudah sepantasnya, negara
ini mengedepankan pendidikan agar cita-cita mencerdaskan bangsa terwujud. Sekaligus menjadikan
Indonesia lebih bermartabat dan dihargai bangsa-bangsa lain. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar