Senin, 19 Desember 2016

Padi


Sejak dalam kandungan, saya telah dibawa ibu ke sawah. Baginya, masa awal mengandung bukan penghalang baginya untuk tetap beraktivitas seperti biasa. Saat masih balita, ibu memang tidak bisa selalu membawa saya ke sawah. Adalah kakak tertua yang menjaga saya, baru dibawa jika saya sudah benar membutuhkan ASI. Lagi pun bila kakak ke sekolah, ibu senantiasa membawa saya ke sawah pula. Begitu cerita ibu dalam kisahnya saat saya sudah dewasa.

Saya masih ingat betul, hari itu ayah pergi mengajar. Saya diboncengi ibu menghampiri penjual mie langganan kampung kami. Ibu membeli satu bungkus mie dengan porsi besar. Di sawah, saya menyantap lahap mie itu sambil menemani ibu mengusir burung pipit yang menggerogoti padi kami. Di sudut sawah, saya duduk menepi pada  rangkang (pondok kecil tempat berteduh petani). Rangkang itu dibuat dengan rapi oleh ayah. Saya melihat ibu menarik-narik tali menghalau burung pipit. Ada suara batu yang sudah dimasukkan ke dalam kaleng susu bekas. Grok… grok… grok… itulah berkali-kali suara yang dimainkan ibu.

Saat musim padi akan ditanami, saya juga masih ingat betul. Kami sekeluarga beramai-ramai ke sawah. Abang saya – anak keenam – takut pada satu benda berwarna hijau yang mengapung di air keruh persawahan. Bentuknya mirip agar-agar. Abang saya takut melihat benda itu, saya malah tertawa cekikian. Padahal benda ini biasa aja, kali aja abang saya geli dibuatnya. Di hari itu, sebelum turun ke sawah, ayah sebenarnya melarang kami ke sawah karena masih kanak-kanak. Namun, ibu punya pikiran lain bahwa anak-anak harus tahu gimana susahnya bekerja, mendapatkan rezeki yang halal.

Lain cerita lagi saat musim menamam palawija, ibu memilih menanam jagung. Sawah kami yang lainnya lebih rendah dari sawah tetangga, karena ada pupuk yang mengendam saat masa tanam padi yang turun dari sawah tetangga itu, jadilah jagung hasil panenan kami lebih besar dan berisi.

Di dekat sawah itu juga, semasa usai SMA saya pernah duduk menepi di sana. Masa di mana saya harus pusing memilih untuk studi lanjutan. Saya sempat menangis memang kala itu, cengeng betul saya. Tapi, tentu sawah dengan padinya memberi saya ketenangan dan menuntun saya untuk memilih keputusan, padi dan pemandangan luasanya itu memberi kemewahan mata bagi siapa saja yang memandangnya.

Seberang tahun sebelum hari itu, saat SMP saya bingung ketika disuruh guru bahasa dan sastra Indonesia menulis puisi. Dalam batin, saya harus menulis puisi hasil karya sendiri. Lantas, rupanya sawah dengan padi yang sedang menguningnya memberikan inspirasi menulis puisi. Saying, saya tidak tahu lagi di mana kini puisi itu saya simpan. Barangkali pun tidak ada, namun saya memiliki kenangan yang masih melekat.

Saat kuliah pun, jika ada waktu libur kuliah dan sedang musim turun ke sawah, baik musim menanam padi atau memanennya, saya sempatkan pulang ke kampung. Bersama ibu dan saudara saya lainnya, kami sama-sama bekerja. Mulai dari membuat tempat menabur benih padi, membereskan tempat tanamanya – termasuk memungut keong selaku hama –, membuat baris batas padi yang akan ditanami oleh buruh tani yang kami beri upah. Jika mereka terkejut melihat saya, mereka akan berkata “Oh, na awak Banda Aceh lagoe (Oh, rupanya ada orang Banda Aceh)”, mereka menyebut saya begitu karena beberapa tahun belakangan menetap di Banda Aceh. Jadilah kalimat semacam itu melekat bagi saya. Namun, saya juga membalas sambil bercanda bahwa hati saya selalu ada di sini, tempat di mana saya belajar menanam padi hingga mampu menanak nasi. Selain bisa membereskan tanah yang akan ditanami padi, saya juga bisa mencabut benih padi, menanamnya, hingga memotong padi saat kami panen.

Memang, berat benar menjadi petani, rasanya tidak ada orang yang sanggup jika belum pernah merasakannya sejak kecil. Belum lagi saat padi kami diganggu hama tikus, dari mulai jadi benih hingga padi sudah mulai tumbuh bijinya. Setiap orang pada kondisi begini mestinya sabar, jika tidak, maka siap-siap orang akan mengumpat serapah apapun. Ibu mengajari kami untuk tidak seperti itu. Padi seperti keluarga sendiri, dia yang telah ‘memberi penghidupan’ bagi keluarga kami – melalui kuasa-Nya.

Kemana pun saya pergi, saya akan sangat senang melihat pemandangan sawah. Burung-burung yang terbang, jika sedang naik motor, saya sempatkan memotretnya. Jika dalam mobil, saya membuka kaca jendelanya untuk menghirup udara segar, beserta bau harum aroma pagi yang memberi ketenangan dan jiwa. Padi dan keseluruhannya, bagi saya adalah tempat yang memberikan ketenangan, kita tidak perlu bayar mahal-mahal untuk mengikuti seminar motivasi, dengan melihat pemadangan hijaunya, saya merasakan kebahagian. Ada semangat lebih yang ditawarkannya, Anda yakin tidak mau melihatnya? Simpan semua kesenangan di kota, ke desa-desa Anda turun dan bertutur dengan masyarakat. Pastinya kita akan dijamu dengan begitu mempesonanya. Padi dan apa yang saya lihat adalah wujud nyata pemberian Tuhan bagi hambanya. []

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."