Senin, 26 Desember 2016

Disapa Laut


Seperti sebuah ritual, Minggu pagi saya menghabiskan waktu menonton tontonan serial kartun anak-anak. Saya tidak akan melalukan apapun, sebelum kegiatan asyik ini usai. Selalu dan hampir selalu, saya sarapan sambil menyimak kotak bergambar itu yang bergerak. Ibu telah duluan pergi ke sawah. Beliau bersama abang buru-buru kesana. Di hari itu, sawah kami akan ditanami padi. Ibu memberikan celah lain bagi saya, bahwa ada semacam 'kelebihan waktu' untuk menonton serial favorit Minggu pagi, Doraemon. "Nanti siap nonton, langsung ke sawah ya Nyak," sebut ibu, beliau pun berlalu.

Jam 08.00 WIB serial Doraemon pun usai. Saya bergegas, agar cepat sampai ke sawah yang letaknya di desa tetangga. Sepeda merek Jonhson, kala itu nampak keren bagi siapa saja yang bisa mendayungnya, saya pun dengan 'pakaian dinas' sigap meluncur. Hingga tiba di sebuah empang, saya melihat airnya bergoyang kiri-kanan. Dan rasanya sepeda saya berjalan dengan aneh. Ada apa ini? Tanya saya dengan sendiri. Barulah spai di sebuah rumah, sebelah kiri jalan. Seorang ibu-ibu mudah menyuruh saya berhenti. "Ada gempa, turun dulu, berhentin di sini!", perintahnya, lalu saya pun dengan hati penuh takut mengiyakan. Padahal, ini momen paling mengerikan. Tanpa ibu dan saudara saya lainnya, saya dibuat panik oleh gempa itu.

Ibu- ibu muda tadi dan anak-anaknya telah lebih dulu keluar rumah. Ada juga beberapa orang lainnya. Di hadapan saya ada sebuah tiang listrik, saya berpegangan pada tali penyangga tiang yang ditancapkan ke tanah. Perhatian saya tertujubke arah tiang. "Bagaimana kalau kira-kira tiang ini roboh?", gumam saya. Namun, hal itu tak saya utarakan kepada lainnya.

Perkiraan saya, gempa itu terjadi sekitar pukul 08.10 WIB. Karena saya berangkat dari rumah sudah lewat dari pukul 08.00 sekian. Saya masih menduga-duga, bagaimana kejadian gempa ini bisa begitu dahsyatnya. Seperti kita sedang naik ayunan. Jika saja orang-orang itu tidak menyuruh saya berhenti, barangkali bisa saja saya sudah sampai ke sawah tanpa mengetahui apa-apa.

Saat gempa telah reda, saya melanjutkan perjalan ke sawah. Ibu dan saudara saya lainnya, juga bernasib sama dengan saya. Mereka ketakutan, tak ada satupun yang berada di dalam sawah. Semuanya berkumpul di jalan persawahan. Hingga beberapa saat, saya baru tahu, oleh kawan SMP saya, kami diberitahukan bahwa di kawasan Krueng Panjoe jalannya retak besar dan panjang. Hal ini menambah ketakutan kami.

Di hari-hari berikutnya, kami pun mengenal istilah tsunami. Yang oleh orang-orang menyebut kata itu dengan benar, namun kadang ada yang salah dalam menulisnya. Jadilah ditulis seperti stunami dari kata aslinya tsunami. Taulah saya bahwa kata ini diambil dari bahasa Jepang. Lantaran konon, tsunami paling sering terjadi di daerah itu. Secara ini, setelah gempa dan tsunami melanda Aceh, kata 'tsunami' menjadi populer.

Tahun-tahun setelahnya, saya baru tahu rupanya ada kata lain yang sudah di pakai oleh masyarakat Aceh, yaitu smong. Oleh masyarakat Simeulu, kata ini sudah duluan populer. Bagi masyarakat di sana ada semacam pendidikan bencana, jika air laut surut jauh, harus segera lari daerah tinggi, sebut saja gunung dan sebainya. Hal inilah yang membuat korban gempa dan tsunami di sana, menurut info yang saya dengar, tidak banyak, sekitar 7 orang (saya akan mencari data konkrit di lain waktu).

Artinya, smong bukan dalam artian kalah saing dengan tsunami. Saya tidak melihat dari kondisi ini. Namun, harus ada upaya yang konkrit dari seluruh elemen masyarakt agar membudayakan memakai kata smong. Kita yang sudah duluan kenal dengan tsunami pun, tidak menjadi perkara salah, saya melihatnya sebagai cara masyarakat mengenal tsunami dari orang Jepang.

Oleh halnya pepatah yang tidak ada yang tahu siapa pencetusnya, tersebutlah "musibah membawa berkah". Lembaga pendonor dari dalam dan luar negero uring-uringan pesawat kala itu membantu Aceh. Tidak ada yang membeda-bedakan karena suku, bangsa hingga agama. Poin utama adalah kemanusiaan. Dan setelah kondisi ini pun, saya melihat Aceh telah benar-benaf bangkit. Yang menurut penuturan 'radio bergigi' ditambah info fakta dari media, adalah benar bahwa orang Jepang kagum terhadap semangat bangkit orang Aceh. Mereka pun meneliti, mengkaji, hingga terjawablah bahwa kita Aceh (dengan semua suku di dalamnya) memengan nilai-nilai agama sebagai pondasi utama, tanpa berlama-lama larut dalam ke sedihan. "Katroh ajai geuh, hinan ka geutak tanda lee Poe (sudah tiba ajalnya, semuanya sudah ditentukan oleh Allah". Beginilah yang ditanamkan dalam setiap keseharian orang Aceh.

Kendati pun demikian, saya juga setuju bahwa bencana yang terjadi 24 Desember 2004 itu juga adanya teguran agar kita tidak keluar dari jalur agama dan benar-benad meyakini bahwa setiap bencana bisa saja menjadi ujian ataupun azab. Semuanya ditentukan oleh-Nya. Bila pun ada studi kebencanaan bahwa gempa terjadi karena adanya gesekan di dalam perut bumi, saya pun percaya, karena tugas manusia adalah belajar dan anti kebodohan.

Setelah 12 tahun bencana mahadahsyat itu melanda fisik dan psikis kami, saya baru menuliskannya. Saya melihat Aceh sebagai daerah yang telah sukses keluar dari jalur konflik darat dan amuk laut. Di sini, dari tahun setelah 2004 karya anak muda lahir menghiasi negeri ini. Kini kami telah bebas menuis sastra tanpa takut diterjang peluru konflik. Ruang diskusi terbuka lebar. Banyak pelajar telah studi jauh hingga ke luar negeri. Hanya saja, kini kami disulitkan dengan sedikitnya anak muda yang membaca, namun banyak berbicara terhadap suatu hal, tanpa ilmu. Kami sedang dibutakan oleh hidup hedonisme, dengan beberapa diantaranya 'cuih' terhadapa sekitar. Tapi, diantara hal ini, ada banyak pemuda lainnya di Aceh yang tersebar berbuat untuk sesama. Rasanya, semangat membantu jiwa orang Aceh tak pernah lekang, karena mereka dulunya berangkat dari hal serupa. Aceh dan semua entitas sosialnya, bagi say adalah hal yang meneduhkan dan mengasyikkan untuk terus dipelajari dan dimaknai. []

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."