Tampilkan postingan dengan label Terbaru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Terbaru. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 Juni 2022

Sejarah Penulisan Alquran dan Pengumpulannya

Kamis, Juni 16, 2022

Foto: freepik.com

Alquran yang dapat kita baca dalam bentuk mushaf masa kini, tidaklah hadir dengan mudah. Ada beragam perbedaan dinamika diantara para sahabat Rasulullah. Namun, kebermanfaatan adanya Alquran dalam bentuk mushaf memudahkan kita untuk menghafalnya. Lantas, bagaimana sejarah pengumpulan Alquran? Yuk simak ulasan kami berikut ini hasil dari perkuliahan Studi Alquran bersama Dr. Abizal Muhammad Yati, Lc., M.A.


  • Periode Rasulullah Muhammad SAW (Periode Pertama)

Pada masa Rasulullah masih hidup, metodenya dengan menghafal dan tulisan. Nabi Muhammad yang pertama kali menghafal Alquran. Allah-lah yang langsung memudahkan hafalan Rasulullah melalui Jibril. Hal ini sesuai yang tercatat dalam Surat Thaha ayat ke 114:

فَتَعٰلَى اللّٰهُ الۡمَلِكُ الۡحَـقُّ‌ ۚ وَلَا تَعۡجَلۡ بِالۡقُرۡاٰنِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ يُّقۡضٰٓى اِلَيۡكَ وَحۡيُهٗ‌ۖ وَقُلْ رَّبِّ زِدۡنِىۡ عِلۡمًا



Terjemahannya:

“Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur'an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”

Dalam Surat lain juga Allah sebutkan dengan bunyinya:

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ  إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ

Terjemahannya:

“Jangan engkau, wahai Nabi Muhammad, gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur’an sebelum Malaikat Jibril selesai membacakannya, karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya di dadamu dan membacakannya, sehingga engkau menjadi pandai dan lancar dalam membacanya.” (QS. Alqiyamah: 16-17).


Metode belajar Alquran oleh Rasulullah ini dikenal dengan metode Syafahi yaitu metode belajar Alquran melalui lisan bukan dengan tulisan. Allah tidak menurunkan Alquran sekaligus agar memudahkan Rasulullah dalam menghafalnya. Oleh sebab itu, Alquran turun selama 22 tahun, 22 bulan, dan 22 hari.


Tujuh Sahabat luar biasa penghafal Alquran, Abdullah Bin Mas’ud, Ubay Bin Ka'ab, Muaz Bin Jabal, Abu Dardak, Zaid Bin Sabid, Abu Zaid, dan Abu Musa Al Asy’ari. Alquran tidak bisa dipalsukan karena Allah yang menjaganya. Alquran dituliskan pada masa Nabi, tidak ditulis dalam satu tempat, tapi berserakan, yang paling banyak menulisnya adalah Zaid Bin Sabid (sekretaris nabi). Misalnya dituliskan pada kulit binatang, bebatuan, hingga tulang binatang.


  • Periode Khalifah Abu Bakar (Periode Pertama)

Yang menjadi titik utama mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf (tempat). Awalnya Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak mau mengumpulkannya, akhirnya Umar Bin Khattab yang menyampaikan fakta bahwa banyak penghafal Alquran yang meninggal dalam peperangan. Lalu Umar meminta kepada Abu Bakar, tetapi Abu Bakar takut karena belum pernah dilakukan oleh Nabi. Kemudian Umar mengatakan bahwa ini adalah salah satu kebijakan yang baik, akhirnya Abu bakar bersedia untuk menuliskannya. Ketika Abu Bakar wafat, lalu dititipkan kepada Umar. Tidak ada hal yang baru pada masa ini, karena periode kekhalifahan ini Umar banyak meluaskan daerah kekuasaan Islam.


  • Periode Usman Bin Affan (Periode Ketiga)

Pada periode ini dimulailah pengumpulan Alquran dalam satu bahasa, Bahasa Quraisy. Allah menurunkan Alquran dalam tujuh bahasa dari pada bahasa kabilah. Boleh dibaca dengan model bahasa manapun, asal ada dalam tujuh bahasa tersebut. Ketika terjadi peluasan Islam, maka sahabat yang membawa Alquran ini disampaikan dengan bahasanya. Lalu, inisiatif Usman menyatukan bahasa Alquran dalam bahasa Quraisy yang mudah dimengerti oleh semuanya. Maka dikenal Mushaf Usmani, sementara Alquran pada sebelumnya dibakar semuanya. (*)

Selasa, 03 Mei 2022

Komunikasi Perdamaian Solusi Konflik Myanmar

Selasa, Mei 03, 2022


Pemaparan Hsu Thiri Zaw dalam momentum ICONIC 2021 Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry membuka mata pendengarnya. Terkhusus tentang negara yang sangat sulit diakses informasinya, yaitu Myanmar dulunya memiliki nama Burma. Mengawali paparannya, Hsu Thiri Zaw membahas tentang kedamaian. Ia mengumpamakan bahwa kedamaian layaknya kebahagian dan harmoni, meskipun manusia mencarinya ketika kehilangan cinta, rasa adil, dan kebebasan.

Dosen di National Management Degree College Republic of Union of Myanmar itu mengutip kalimat Johan Galtung dan tokoh lainnya yang memaknai perdamaian positif dan negatif. Dimaksudkan pula perdamaian perlu dipelihara dan upaya menciptakan perdamaian berkelanjutan. Oleh karenanya, upaya ini membutuhkan dukungan aktif dari lintas kelompok.


Paparan yang diikuti para akademisi dunia itu, Hsu Thiri mencoba membuka ruang kekosongan manajemen konflik melalui Komunikasi untuk Perdamaian. Ia menambahkan untuk daerah konflik, peranan komunikasi amat penting. Namun, sedikit sekali kehadiran komunikasi guna merekontruksi paca konflik, termasuk adanya keberlangsungn perdamaian, pemerintahan, dan perkembangan jangka panjang. Ia mencoba memberi solusi bahwa komunikasi dapat menjadi jembatan rekonsiliasi konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, organisasi dapat menggunakan komunikasi menjadi alat untuk mencegah konflik.


Keterkaitan komunikasi juga menitikberatkan pada komunikasi kebudayaan, yang mana selama ini perbedaan budaya telah menjadi penghalang berkomunikasi. Kita ketahui, setiap orang memiliki banyak perbedaan dilatari kebudayaannya. Komunikasi kebudayaan dianggap penting karena dapat diterapkan agar interaksi antar budaya berjalan maksimal.


Kemajemukan masyarakat dunia ini telah berupaya untuk menghargai perbedaan kebudayaan. Telah banyak penelitian menyebutkan bahwa kebudayaan dapat menjadi kunci upaya resolusi konflik. Karenanya, komunikasi kebudayaan yang dibentuk komunikator dari beragam praktik sesuai dengan latar kebudayaan yang berbeda pula.


Terkait  kasus di Myanmar, Hsu Thiri menyebut Myanmar memiliki 135 etnis resmi. Etnis Burma menjadi mayoritas dengan dua pertiga dari populasi penduduk negara itu. Selama dijajah Inggris, wilayah etnis dikontrol terpisah dari Burma pusat yang menjadi kawasan mayoritas kawasan tersebut. Konflik etnis telah terjadi disini sejak kemerdekaan tahun 1949. Terjadinya konflik ini tak lepas dari hak dan kebebasan etnis oleh rezim sosialis. Bahkan terkait percetakan dan penerbitan tahun 1962 sekaligus adanya hukum sensor di tahun 1965 sebagai upaya rezim menekan hak-hak etnis. Jadinya rezim menutup publikasi bahasa etnis, hal ini diperparah tidak adanya lembaga yang menjaga dan melindungi bahasa etnis.


Masyarakat minoritas sebenarnya tetap memiliki trauma Burmanisasi yang bermakna hanya etnis Burma yang memiliki kesempaytan dalam politik, bisnis, sosial, pendidikan, dan pekerjaan. Minoritas tentu percaya bahwa federalisme dapat menjadi ruang persamaan hak mereka. Namun, dalam sisi lainnya, beberapa masyarakat Burma meyakini federalisme adalah ruang pemisah. Sebenarnya, Myanmar punya mimi untuk perdamaan pada masa dimulainya demokrasi. Masa ini diawali U Thein Sein tahun 2010 yang menjadi masa emas perdamaian. Ditandai lahirnya 6 daerah otonom baru wilayah etnis yang diatur Undang-Undang pada tahun 2008. Dilanjutkan pembentukan Pusat Perdamian Myanmar guna mempercepat proses negosiasi perdamaian. Penandatanganan perjanjian gencatan senjata nasional pada 15 Oktober 2015 menjadi bukti kontkrit lainnya dalam sejarah perdamaian di Myanmar.


Kendati demikian, ada hal yang terlupakan dalam proses perdamaian ini. Diantaranya masih ada anggapan sebagain besar orang menghubungkan perdamaian dengan solusi politigk, senjata, perang, dan lainnya. Beberapa konflik mencuat karena kurangnya kehadiran komunikasi kebudayaan. Padahal komunikasi kebudayaan menjadi aspek baru dalam proses perdamaian di dalam negara yang beragam etnis.


Hasil kajian Hsu Thiri menyebut masyarakat Myanmar sebenarnya tidak paham komunikasi kebudayaan dan manfaatnya dalam proses perdamaian. Masalah ini pun masih menjadi kendala antar pemangku kebijakan, mereka tidak mampu membangun kepercayaan kepada publik. Lantas apa yang semestinya dilakukan? Masyarakat etnis di Myanmar sangat terikat dengan pembicaraan identitas etnis, terkhusus promosi bahasa etnis. Karena jika tidak ada bahasa etnis, tidak ada identitas etnis. Promosi ini diharuskan menjadi pembelajaran guna menjaga bahasa etnis sebagai khazanah identitas etnis tersebut.


Harapan perdamaian itu pun dapat dibangun melalui adopsi kebijakan keragaman budaya melalui pendekatan antar etnis dapat diadopsi oleh daerah etnis yang lebih besar. Sikap saling percaya dan pemahaman dapat membawa negosiasi perdamaian menjadi mudah. Jadi, pemahaman keberagaman budaya dan adopsi kebijakannya menjadi solusi terbaik. Usaha pemerintah dalam komunikasi kebudayaan dan multikulturalisme dapat ditempuh dengan beragam cara. Meliputi tindakan afirmatif pemerintah. Di Myanmar, Kementerian Urusan Etnis bertanggungjawab terhadap semua  masalah yang berkaitan dengan hak etnis, tradisi, budaya, dan norma. Sejauh ini, telah dilakukan Pendidikan Bahasa Ibu sebagai upaya mempromosikan identitas etnis. Menyatakan hukum perlindungan atas hak-hak etnis nasional dan komitmen pemerintah memberikan dukungan dapat membentuk perjalanan menuju perdamaian. (*)


Sabtu, 16 April 2022

Banyak Pesona di Pulau Banyak

Sabtu, April 16, 2022


Biasanya, wisatawan menuju Pulau Banyak melalui Pelabuhan Penyeberangan Singkil. Namun, malam Selasa itu justru sebaliknya. Bersama dua orang teman kami menaiki KMP. Aceh Hebat 3 menuju Pulau Banyak. Perkiraannya menjelang pertengahan malam, kapal ini melaju dari Pelabuhan Sinabang membawa penuh muatan barang dan penumpang. Kebanyakan dari mereka menuju Singkil. Misalnya Bang Ajo, pengusaha warung nasi Padang ini bahkan bersama rombongan keluarganya menaiki kapal hendak menyeberang ke Singkil lalu via jalur darat menuju ke Sumatera Barat, kampung halamannya.


Saat KMP. Aceh Hebat 3 bersandar di Pelabuhan Pulau Banyak, beberapa pedagang kecil menjual nasi, kue, hingga air mineral. Yang turun dari kapal ini tak banyak, kami bertiga dan beberapa penumpang lainnya. Seorang Anak Buah  Kapal (ABK) malah menancapkan kail pancingan ikannya di sekitar pelabuhan. Ia mengisi waktu senggang sambil ada bongkar muat satu kendaraan memasuki badan kapal. Tak lama berselang, tepatnya pukul 08.00 WIB kapal bertolak ke Singkil.


Penginapan yang dekat pelabuhan ini jadi pilihan kami untuk menginap semalam saja. Ia amat ramah menyambut kami. Dari logatnya, saya perkirakan dia bersuku Aneuk Jamee dari Aceh Selatan. Dan benar saja, ketika kami temui anaknya bernama Bang Wandi bahwa ia mengaku punya kerabat di sana. Namun, keluarga bapaknya sudah lama menetap di Pulau Banyak. Jika Ayahnya Bang Wandi memiliki usaha penginapan, maka Bang Wandi memiliki usaha mengantar wisatawan yang menuju Pulau Panjang, Pulau Sarok hingga pulau sekitar. Jika mengacu secara literatur bahasa, gugusan Pulau Banyak ini dinamai Kepulauan Banyak. Terdiri dari dua kecamatan yaitu Pulau Banyak dan Pulau Banyak Barat yang lebih luas daratannya. Pusat Kecamatan Pulau Banyak ini berada di Pulau Balai.



Bang Wandi sudah siap dengan boat kecilnya, ia mempersilakan kami menaikinya. Seperangkat alat perekam video dan foto punya teman juga sudah berada di dalam boat. Dari Pulau Balai menuju Pulau Panjang sekitar 15-20 menit. Kita akan dapat menyentuh air lautnya yang amat jernih, rasa-rasanya ingin segera mandi sebegitu menggodanya air tersebut.


Boat ini akhirnya tertancap dengan baik. Hari itu agak mendung, namun hawa panasnya tetap terasa. Nyiuran daun kelapa menambah keharuman pantai makin terasa. Pulau Panjang ini benar seperti namanya. Pulau yang kebanyakan ditanami pohon kelapa ini di tiap pinggir pantainya memutih. Ada beberapa penginapan tersedia di sini dari milik pribadi hingga milik badan usaha masyarakat desa.


Drone terbang saat saya dan teman mendayung kano. Alih-alih terlalu jauh khawatir terbawa arus, kami mendayung dalam posisi nyaman saja. Namun, rasa yang terlalu khawatir ini dikalahkan dengan anak-anak yang mendayung jauh dari pinggir pantai. Ikhwal karena bocah ini adalah penduduk setempat, jadi setiap harinya sudah berhadapan dengan gelombang laut.


Usai puas-puasin diri bermain di pantai, waktu lapar dan haus pun tiba. Serupan air kelapa muda murni mampu menghilangkan kelalahan tadi. Walaupun tak lama berselang, kami tetap menikmati deburan ombak dan nyiuran daun kelapa pinggir pantai. Wisawatan yang mengunjungi pulau ini beragam. Dari provinsi tetangga juga amat banyak, bahkan yang baru tiba ke sini dari Bogor. Mereka sekeluarga telah memesan tempat penginapan untuk semalam.


Menjelang sore, kaki ini pun rasanya tak kuasa untuk beranjak. Matahari yang terbenam dan langsung menyentuk permukaan laut menyapa kami. Jingga kemerah-merahkan matahari terbenam ini seumur-umur belum pernah saya lihat. Lama saya menatapnya, bahkan lupa mengabadikan dengan ponsel pintar, sesuatu yang saya kesalkan di hari kemudian. Air laut telah berubah warna dari jingga ke hitam. Dan boat Bang Wandi menepi kembali di dermaga rakyat ini.

Sekumpulan ikan cakalang menghampiri KMP. Aceh Hebat 3 yang telah lama bersandar. Saya menatapnya lamat, badannya meliuk-liuk menampilkan kilatan di badannya. Sekejap kemudian, sekitar pukul 11.00 WIB kapal pun melaju kembali menuju Pelabuhan Penyeberangan Singkil selama empat jam lamanya. Pulau Banyak memang banyak pesonanya. Suatu saat, saya berharap bisa kembali ke pulau ini. Sesuatu yang dulunya semasa kecil hanya melihatnya dalam peta di buku kios Waled. Mungkin doa ini yang dikabulkan-Nya karena dulu pernah berharap dapat mengelilingi Aceh.(*)


Kamis, 02 September 2021

Muhammad Noer, Nahkodai Kapal dengan Rute Terlama di Aceh

Kamis, September 02, 2021

Capt. M. Noer sedang mengecek kesiapan kapal sebelum berangkat dari Calang menuju Sinabang

Penumpang yang pernah menyeberang dari Ulee Lheue Banda Aceh menuju Balohan Sabang, tentu mengenal Capt. Muhammad Noer. Dialah nahkoda KMP. BRR selama 12 tahun. Kini, ia diberi kepercayaan baru menahkodai KMP. Aceh Hebat 1.


Calang, Aceh Jaya memiliki pesona keindahan alam yang luar biasa. Seperti terlihat di Pelabuhan Calang yang menjadi tempat Capt. M. Noer menyandarkan KMP. Aceh Hebat 1 yang kini telah tepat 100 hari berlayar menyusuri lautan barat Aceh.


Sayup terdengar suara petugas pelabuhan menginformasikan kepada masyarakat bahwa KMP. Aceh Hebat 1 akan segera berlayar. Rampdoor diturunkan dan penumpang menaiki kapal ini seraya diikuti mobil pribadi, truk logistik, hingga petugas medis pembawa vaksin Covid-19 ke Pulau Simeulue. Capt. M. Noer bersyukur adanya kapal ini sangat membantu masyarakat kepulauan menuju Banda Aceh. “Jadinya masyarakat tidak menunggu-nunggu kapal yang akan ke Banda Aceh juga ke Simeulue. Sudah ada kepastian jadwal,” ucapnya.


Pria asli Sabang ini bercerita bahwa ini kali pertama ia berlayar ke Pantai Barat-Selatan Aceh menahkodai kapal penyeberangan dengan jarak tempuh terjauh selama 14 jam lamanya ditambah ombaknya yang menantang. “Di tengah perjalanan, jika tiba-tiba ada badai, kita menghindar dari alun ombak besar. Sehingga kita berlayar zig zag mencari jalur yang aman. Alhamdulillah bisa kita atasi.” sambungnya.


Secara rutin, pihaknya selalu berkoordinasi dengan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Aceh guna memantau intensitas gelombang Pantai Barat Selatan Aceh. “Alam tak bisa kita lawan. Jika cuaca buruk dan ekstrem, kita tunda berlayar. Selama ini pernah dua kali kita tunda berlayar. Jadinya, kita selalu menginformasikan kepada penumpang baik di pelabuhan maupun media sosial.”


Capt. M. Noer dan ABK merasakan kendala saat bersandar di Pelabuhan Calang. Walaupun karakteristiknya berupa teluk, tetapi alun lautnya membuat kapal sering berbenturan dengan fender di dermaga. Ia berharap, agar pemerintah menyiapkan pelabuhan lain yang lebih tenang dan tersedianya prasarana dan sarana pendukung sandaran kapal.


Pada libur Idul Fitri 1442H lalu, Noer menceritakan adanya lonjakan penumpang yang menaiki KMP. Aceh Hebat 1. Rata-rata penumpang saat itu didominasi mahasiswa, pedagang, wisatawan, pekerja hingga sopir truk logistik yang ingin merayakan momen suci bersama keluarga. “Alhamdulillah tidak ada antrian baik kendaraan maupun orang, kita bisa maksimum mengangkut penumpang.” tambahnya.


Saat ditanyai perbedaan teknologi dengan kapal lainnya, Noer menyebut kapal kebanggaan rakyat aceh ini dibuat dengan teknologi canggih terbaru menggunakan double engine mitsubishi yang mampu menghasilkan kecepatan tempuh maksimum 14,3 knot (sekitar 26,5 km/jam). Selain itu, dilengkapi dengan Automatic Identification Sysem (AIS) / Sistem Pelacakan Otomatis, memiliki Dek Kendaraan dengan 2 lantai bersistem hidrolik, Rampdoor depan dengan sistem teknologi bow visor dengan pintu hidrolik yang dapat terbuka 90o untuk memberikan jarak pandang maksimum bagi nahkoda ketika sandar.


Selain sebagai lintasan perintis sekaligus prioritas daerah, perannya membantu distribusi logistik maupun penyeberangan penumpang lebih cepat sampai ke Sinabang sangat dirasakan masyarakat. “Dari sektor bisnis menguntungkan pebisnis yang mengangkut hasil komiditi Simeulue diantaranya sektor perikanan dan perkebunan menuju Calang. Begitu pula sembako dari Calang menuju Sinabang.”


Pada akhir wawancara di tengah laut Samudra Hindia ini, Capt. Noer menceritakan kerinduannya dengan keluarga, dengan menebar senyum penuh harap ia ingin sekali bisa segera dapat mengambil cuti dan menikmati liburan bersama keluarganya. “Ya kangenlah, sudah lama gak ketemu anak-anak dan istri,” pungkasnya. Terakhir ia berpesan kepada penumpang agar tetap menjaga kebersihan kapal ini.(*)

Senin, 16 November 2020

Cara Mudah ke Pulo Aceh

Senin, November 16, 2020

Pelabuhan Ulee Paya. (Photo by: Irfan Fuadi)


JARAKNYA lebih dekat dengan Banda Aceh ketimbang pusat ibukota Aceh Besar, Jantho. Itulah Pulo Aceh, kecamatan di Aceh Besar yang memiliki 17 gampong ini, adalah sekumpulan pulau besar dan kecil. Pulau terbesarnya adalah adalah Pulau Nasi dan Pulau Breuh yang menjadi pusat kecamatan.

Untuk menuju Pulo Aceh, kita bisa menempuhnya melalui Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue Banda Aceh dengan menumpang KMP.Papuyu. Kapal motor ini mulai berlayar ke Pelabuhan Penyeberangan Lamteng yang terletak di Pulau Nasi sejak tahun 2012. Jarak lintasan 12 mil menghabiskan waktu selama 1,5 jam perjalanan. Jadwal berlayarnya setiap hari kecuali Selasa dan Jumat bergerak pada pukul 08.00 WIB dari Ulee Lheue dan pukul 10.00 dari Lamteng.

Sebelumnya, pelayaran ke Pulo Aceh dilayani oleh KMP. Simeuleu yang berlayar perdana pada 30 Oktober 2008. Seperti halnya KMP. Papuyu, KMP. Simeulue juga merapat di Pelabuhan Lamteng Pulau Nasi. Pelabuhan ini dibangun oleh Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias pada tahun 2006 dan 2007.

Seiring kebutuhan dan permintaan masyarakat, mulai 3 Juni 2020, KMP. Papuyu juga telah melayani rute Ulee Lheue menuju Seurapong yang terletak di Pulau Breueh. Jarak tempuhnya lebih jauh, yaitu 16 mil dengan masa tempuh 1,5 jam perjalanan.

Berbeda dengan Pelabuhan Lamteng, status Pelabuhan Seurapong masih pelabuhan perintis berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 552.3/05/2020 Tentang Penetapan Lintas Penyeberangan Perintis Aceh. Jadwal berlayarnya hanya hari Kamis dan Sabtu bergerak pada pukul 07.00 WIB dari Ulee Lheue dan pukul 10.30 dari Seurapong/Ulee Paya. Tempat bersandarnya di ujung talud/breakwater dermaga perikanan Ulee Paya milik BPKS-Sabang.

Maryam, warga Pulo Aceh sekaligus salah satu penumpang KMP. Papuyu yang ditemui Tim Aceh TRANSit di pagi Sabtu (8/8/2020), mengaku gembira dengan kehadiran KMP.Papuyu ke Seurapong/Ulee Paya. Ia mengaku lebih nyaman menggunakan kapal yang dikelola pihak ASDP Ferry Indonesia Cabang Banda Aceh itu. “Biasanya kan pakai boat. Kebetulan pulangnya Sabtu dan ada jadwal kapal. Dari segi harga saya lebih memilih KMP.Papuyu karena lebih murah, juga lebih nyaman,” ujarnya.

Selain Maryam, mayoritas penumpang KMP. Papuyu adalah pedagang yang dalam seminggu dapat beberapa kali bolak-balik Ulee Lheue menuju Pulo Aceh, menggunakan mobil maupun sepeda motor.

KMP. Papuyu mampu menampung 105 penumpang dan memuat 8 unit kendaraan dengan 2 unit kendaraan kecil dan 6 unit bis/truk ukuran sedang. Hanya saja, karena fasilitas pelabuhan yang berada di kawasan terumbu karang, maka pelayaran KMP. Papuyu ke dua pelabuhan ini sangat tergantung cuaca, pasang surut air laut, serta arah angin di kawasan ini.

Terkait pasang surut air laut, ini menjadi masalah utama. Kendangkalan dermaga pelabuhan menjadi penentu mudah tidaknya kapal bersandar. Oleh karena itu, jadwal kapal pun tak ayal bergantung pasangnya air laut.

Hal ini seperti yang disebut Nahkoda KMP. Papuyu, Capt. Syaiful Akmal. Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya Pulo Breueh ini belum layak untuk didatangi kapal penumpang. Karena kelayakan seperti dermaga dan tempat tambat talinya, semuanya belum tersedia.

Jika masuk ke pelabuhan ini sangat riskan, sebab lokasi pelabuhan sekarang sangat tergantung pasang surut air laut. “Kalau air rendah kita gak berani masuk, karena banyak karang di sini,” sebutnya.

Keberadaan terumbu karang di dua pelabuhan ini menjadi dilema tersendiri. Di satu sisi, keindahan terumbu karang menjadi nilai destinasi wisata. Di sisi lainnya, terumbu karang ini menghalangi jalur masuk kapal penumpang ketika air surut dangkal.

Perihal ini, Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Joni, S.T., M.T., mengungkapkan hal menarik. Terkait dengan perizinan lingkungan dapat dilakukan pengerukan bila secara tata ruang laut dapat merekomendasikan rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat dilaksanakan.

KMP. Papuyu saat tiba di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue. (Photo by: Midika Utama Putra)

Nanti dokumen lingkungan yang harus disusun berdasarkan Permen LHK No. P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 Tentang Jenis dan Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Di antaranya jenis Amdal karena berada pada kawasan lindung dan/atau berbatasan langsung dengan Kawasan Lindung. “Jadi dari aspek rekomendasi atau perizinan lingkungan hidup, kegiatan dapat dilaksanakan sepanjang secara rekomendasi tata ruang terpenuhi,” ungkap Joni.

Sementara itu, informasi yang dihimpun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh menyebut Pelabuhan Penyeberangan Lamteng termasuk dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Aceh. Zonasi ini tercantum dalam Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2020. Kawasan ini dapat digunakan sebagai kawasan pemanfaatan umum. Salah satunya adalah pemanfaatan zona pelabuhan. Tak terkecuali memuat Pelabuhan Lamteng sebagai pelabuhan pengumpan lokal. (*)

Senin, 20 Januari 2020

Krueng Aceh: Histori dan Potensi

Senin, Januari 20, 2020
Foto: Irfan Fuadi



















Bakhtiar sedang memperbaiki boat miliknya. Di tepi Krueng (sungai) Aceh di kawasan Lambhuk Banda Aceh, Bakhtiar dan beberapa rekannya sedang bersiap menuju lautan. Beberapa temannya sibuk membantu Bakhtiar memastikan boat siap berlayar.

Hari itu, Kamis (4/7/2019) aliran sungai Krueng Aceh nampak tenang. Cerahnya cuaca menambah keyakinan Bakhtiar menyalurkan hobinya memancing ikan dengan kapal. Hobi ini telah lama digelutinya, di sela rehat dari pekerjaan harian. Kedatangan ACEH TRANSit bukan tanpa maksud, melainkan sebagai wujud menyerap aspirasi warga, terkait wacana dan upaya pemerintah menjadikan Krueng Aceh sebagai angkutan sungai.

Selama ini, setiap Sabtu pagi Bakhtiar berlayar dari Krueng Aceh, tepatnya dari Gampong Lambhuk menuju laut lepas. Ia kembali keesokannya (hari Minggu). Pun demikian, di hari-hari lain, bila cuaca mendukung, Bakhtiar tetap berlayar memancing ikan. Hobi positifnya ini patut diapresiasi.

Bakhtiar dan teman-temannya menyambut baik Saat ACEH TRANSit menanyakan pendapat mereka jika Krueng Aceh ini dijadikan sebagai angkutan sungai di bawah pengelolaan pemerintah. Mereka tambah bersemangat jika tidak hanya sebagai angkutan barang dan orang, tapi angkutan sungai itu juga menjadi destinasi wisata baru di Kuta Raja.

Kami mendukung, saya siap membeli boat fiber yang lebih besar lagi untuk mendukung pariwisata. Ya, kami berharap juga diberdayakan pemerintah,” ujar warga Lambhuk ini.

Pria yang kesehariannya berprofesi sebagai pengusaha ini, berharap dibangunnya dermaga tempat bersandar kapal. Misalnya di tempat-tempat strategis, sekaligus menjadi tempat transit pengguna angkutan sungai. “Cocoknya dibangun dekat dengan masjid Keuchik Leumik, di Pango, dan Peunanyong.”

Posisi dibangunnya dermaga ini, kata Bakhtiar sesuai dengan kebutuhan. Dekat masjid memudahkan warga yang ingin beribadah. Jika di Pango, membantu warga yang ingin belanja ke pasar Peunayong ataupun ke pasar Lambaro. Sementara itu, dermaga di Peunayong dapat dibangun berdekatan dengan pusat jajanan dan kuliner di kawasan tersebut.

Dalam kesempatan itu, Bakhtiar menyampaikan kendala yang dia hadapi selama ini, yaitu kapalnya sering terhalang tumpukan sampah di bawah jembatan Beurawe. Ketinggian jembatan juga mempengaruhi, sebab itu kapal disesuaikan dengan ketinggian jembatan. Jadinya, bila tiba air pasang, mereka tidak bisa melewati bawah jembatan.

“Di bawah jembatan itu harus dibersihkan, agar tidak merusak fiber kapal. Selain itu, kebersihan pinggiran sungai perlu diperhatikan,” sebutnya sambil menunjuk ke arah jembatan.

Sejalan dengan wacana pemerintah, Bakhtiar optimis jika nantinya sudah bersih, destinasi pariwisata ini terjaga dengan baik. Pun demikian, kata Bakhtiar, warga harus selalu diberi pemahaman untuk ikut andil berpartisipasi menjaga kebersihan sungai. Tentu dengan tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah.

Bakhtiar menyarankan agar batas wilayah jalur angkutan sungai turut pula diperhatikan. Belakangan, katanya, yang layak dilewati kapal hanya sampai jembatan Pango. Setelahnya, hingga ke Lambaro banyak kayu yang berserakan. Dia menyebut sudah pernah melakukan survei ke kawasan itu.

Bakhtiar menyarankan agar pemerintah tetap berkoordinasi dengan pawang laot setempat. Apalagi, bila angkutan sungai ini tidak hanya menyasar angkutan barang, namun merambah pula angkutan orang. Misalnya untuk jalur lintasan Pango hingga Peunayong. “Sebaiknya berdiskusi juga dengan pawang laot. Artinya kita minta izin. Sekaligus silaturahmi agar lintas sektor terus harmonis,” pungkas Bakhtiar menyudahi pembicaraan menjelang siang itu.

Tahun lalu (11/02/2018), akun instagram resmi @dishub_aceh pernah menampung opini warga net terkait transportasi sungai di ibukota Provinsi Aceh. Beragam komentar warga net rata-rata menyambut positif wacana ini. Beberapa respon ini seperti diungkapkan pengikut setia akun Instagram @dishub_aceh.

“Boleh min, tapi juga diperhatikan kebersihan airnya baik dari sampah ataupun kejernihannya. Kalau saya gak salah sudah ada teknologi penjernih air.” (@erlangga.dwi.pamungkas)

“Setuju. Bagus yang penting sesuai dengan rencana dan buktikan saja untuk membangun Kota Banda Aceh agar lebih banyak peminatnya untuk pariwisata.” (@ameliyadarma)

“Untuk wisata ini bagus dikembangkan, bisa nanti ikutin kota besar Indonesia lainnya semisal buat pasa rapung di Lambhuk atau Pango dan lain-lain. Namun untuk konektvitas antar daerah lebih mudah dengan jalan raya.” (@ahmadi_znd)

Mengutip laman bandaacehtourism.com, sungai kebanggaaan warga ibukota ini memiliki panjang 145 kilometer terbentang dari hulu Krueng Aceh di Jantho, Aceh Besar. Muaranya hingga ke pesisir kota Banda Aceh, tepatnya di Gampong Jawa. Beberapa sungai lainnya di Banda Aceh dan Aceh Besar bermuara ke sungai ini, seperti Krueng Seulimum, Krueng Jreue, Krueng Keumireu, Krueng Inong, Krueng Leungpaga, dan Krueng Daroy.

Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, Krueng Aceh sebagai salah satu sungai tersibuk. Hal ini dilihat dari jalur masuk dan keluar kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia. Dari sungai inilah berbagai rempah-rempah Aceh dibawa keluar untuk diperdagangkan di ranah internasional. Tak heran bila sungai yang membelah Kota Banda Aceh ini memiliki arti khusus bagi masyarakat Aceh.

Muhammad, warga Lambhuk kepada ACEH TRANSit Selasa (2/7/2019) menyebut, posisi Krueng Aceh di kawasan Lambhuk dan Beurawe tidaklah lurus seperti sekarang. Awalnya meliuk-liuk khasnya sebuah sungai. Atas inisiatif pemerintah pusat dan daerah di masa itu, dibuatlah alur sungai menjadi lebih rapi. Tentu, ini menjadi bonus saat Krueng Aceh nantinya menjadi angkutan sungai.

Sambutan positif Bakhtiar dan rekan-rekannya ditambah opini warganet, menjadi semangat pemerintah untuk segera mengelola angkutan sungai. Optimisme bersama ini sudah sangat baik untuk terus dibangun. Agar kedepannya konektivitas dan sinergisitas pemerintah dengan warga selalu berjalan dengan baik. Artinya, ikhtiar ini perlu dukungan semua pihak demi visi Aceh Seumeugot berjalan seperti yang diharapkan.(*)

Selasa, 12 November 2019

Berawal Bantuan Kementerian Perhubungan, Bus Trans Koetaradja Terus Berinovasi

Selasa, November 12, 2019

Bus Trans Koetaradja sedang menjemput penumpang di halte depan Masjid Raya Baiturahman, Banda Aceh, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Saat menyebut Aceh pada era 2000-an, barangkali yang terbesit dalam benak kita adalah konflik berkepanjangan. Namun, pernahkah Anda mengira, bahwa setelah tsunami dan gempa bumi tahun 2004 silam menghentak bumi Aceh yang menewaskan 500 ribu jiwa lebih itu, berubah signifikan. Ditambah, pasca penandatanganan perjanjian damai tahun 2005 berbagai pembangunan di segala penjuru terus dilakukan. Tak terkecuali sektor transportasi, baik transportasi laut, udara, dan darat. Salah satu yang sangat begitu terasa, kehadiran Bus Trans Koetaradja. Bus ini dapat dibilang menjadi angin segar. Sebab, pasca bencana dahsyat yang melanda Aceh itu, Banda Aceh tidak lagi memiliki moda transportasi yang melayani penumpang.

Angkutan massal perkotaan pertama di Aceh ini, mulai beroperasi di ibukota provinsi Aceh, yaitu Banda Aceh, tepatnya 4 Mei 2016. Saat diresmikan oleh Gubernur Aceh masa itu, dr. Zaini Abdullah, disebutkan bus ini adalah upaya Pemerintah Aceh menjalin kerjasama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub RI). Di awal kehadirannya itu, sebanyak 22 unit bus Trans Koetaradja ditugasi melayani tiga koridor.

Angkutan masal perkotaan bertipe Bus Rapid Transit (BRT) ini didatangkan di Banda Aceh karena dukungan melalui bantuan teknis Kementerian Perhubungan Republik Indonesia tahun anggaran 2015. Sementara itu, dukungan pun terus diberikan Kemenhub RI dengan bantuan berupa sebanyak 8 unit bus pada tahun 2018 dan 10 unit bus pada tahun 2019.

Sementara itu, Pemerintah Aceh menyediakan prasarana dan biaya operasionalnya. Kerja sama nan apik ini antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah ini adalah bentuk komitmen mengatasi berbagai permasalahan transportasi bersama yang kian terasa di ibukota. Lalu apa permasalahannya?


Bus Trans Koetaradja sedang menlintasi salah satu sudut di Banda Aceh, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Di tahun 2025 mendatang, prediksinya pertumbuhan penduduk di kota Banda Aceh dan sekitarnya mencapai 500 ribu lebih. Dengan kepadatanan penduduk 8.148 jiwa/Km2 pada tahun yang sama. Hal ini pun, tentu selaras pula dengan kehadiran kendaraan bermotor. Angka 12-13 persen per tahunnya diprediksikan menjadi angka pertumbuhan kendaraan bermotor.

Oleh sebab itu, beragam permasalahan yang hadir di negeri berjuluk Serambi Mekkah ini, tanpa adanya transportasi alternatif, tentu kemacetan akan begitu sangat terasa, semrawut, menguras emosi, dan tenaga. 

Lalu, apakah kehadirannya selama tiga tahun terakhir ini berdampak signifikan terhadap penggunya setiap tahun? Ternyata pada tahun 2017 sebanyak 1 juta lebih penumpang menggunakan Trans Koetaradja pada tiga koridor. Sementara pada tahun 2016, penggunanya berjumlah 165 ribu orang. Yang paling menggembirakan adalah sebayak 4 juta lebih penumpang Trans Koetaradja meningkat cepat di tahun 2018. Di tahun yang sama itu, angka ini pun berhasil menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 34.579 TCO2e. Angka ini meningkat 270 persen dari tahun sebelumnya. Dengan angka peminatnya dan penurunan GRK yang terus meningkat, dapat dikatakan kenyamanan dalam bus tentu menjadi prioritas bagi penggunanya.


Penumpang siap-siap menaiki Bus Trans Koetaradja, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Hal ini dapat dirasakan, mulai dari adanya jalur khusus bagi kaum difabel bila hendak menaiki halte bus. Selain itu, adanya kursi prioritas yang diresmikan pada 31 Oktober 2019, melalui pemasangan kover tanda khusus kursi diperuntukkan bagi penumpang berkebutuhan khusus. Terutama ibu hamil, difabel, lanjut usia, dan orang membawa bayi. Hari itu, saya menyaksikan langsung peresmian ini. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 98 Tahun 2017 tentang penyediaan aksesibilitas pada pelayanan jasa transportasi public bagi pengguna berkebutuhan khusus. Jauh sebelum ini, di dalam bus sendiri juga telah disediakan kursi bagi pengguna berkebutuhan khusus.


Kernet bus Trans Koetaradja ikut membantu difabel dari halte menuju ke dalam bus, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Bus bercat biru ini juga sebagai salah satu angkutan yang sangat peka terhadap inovasi teknologi. Misalnya, dengan adanya teknologi Network Video Recoder (NVR) di dalam bus berguna untuk menghitung jumlah pengguna, mengontrol pelayanan supir dan kernet. Tentu, pemasangan Closed Circuit Television (CCTV) di dalam bus ini menjadi upaya pemerintah memberikan keamanan bagi penggunanya. Selain itu, kemunculan aplikasi time table untuk melihat posisi bus dan memastikan ketepatan waktu pelayanan dan kedatangan bus.

Selain untuk mengurai dan mengurangi kemacetan, kehadiran bus ini ikut mendukung kegiatan berskala regional, nasional, hingga internasional yang diselenggarakan di Aceh. Sebut saja, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII, Pekan Olahraga Aceh (PORA) 2018, Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (PENAS KTNA) XV, Musabaqah Tilawatil Quran Mahasiswa Nasional (MTQMN) 2019, hingga Muzakarah Sufi Internasional 2018.

Kini, Trans Koetaradja telah memiliki 40 bus, 5 koridor dengan 90 halte permanen, 43 halte portabel, dan 118 awak kendaraan baik sopir maupun kernet. Sejak tahun 2018 pula, Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan telah membentuk Unit Pelaksanan Teknis Daerah (UPTD) Angkutan Massal Perkotaan Trans Koetaradja. Kehadirannya, tentu untuk lebih memberikan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan bagi penggunanya.



Bus yang kini telah hadir di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Terminal Tipe A Banda Aceh, dan Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue Banda Aceh ini telah menghubungkan ketiganya. Kehadirannya menjadi penghubung antar moda transportasi, sekaligus menjadi transportasi alternatif bagi masyarakat. Dengan demikian, dapat dipastikan kehadiran pelayanan pemerinta bagi warga negara jelas adanya.

Hal ini tentu sejalan dengan misi Kementerian Perhubungan RI, yaitu Transportasi Unggul, Indonesia Maju. Maka tak heran, ini menadi bentuk komintmen pemerintah dalam menyamaratakan pembangunan bagi warga negaranya. Ayo naik bus Trans Koetaradja!
---
Bagi yang ingin mengetahui, apa saja kinerja Kementerian Perhubungan Republik Indonesia selama lima tahun terakhir ini, tak salah mengikuti informasinya pada:

Website                : .www.dephub.go.id
Media Sosial        
Facebook             : @kemenhub151
Twitter                 : @kemenhub151
Instagram             : @kemenhub151
YouTube              : @kemenhub151


*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Kemenhub 2019

Minggu, 20 Oktober 2019

Mengaji Kepada Teungku, Budaya Aceh yang Patut Dijaga

Minggu, Oktober 20, 2019

Pengajian bersama Dr. Teungku Fatmi di masjid Al Makmur, Banda Aceh. Pengajian ini sangat digandrungi anak-anak muda di kota para raja ini. Foto: Dok. Pribadi.
Pernahkah Anda merasa jenuh dengan segala rutinitas yang dijalani setiap harinya? Pernahkah Anda merasa kekosongan jiwa tak terkiranya saat Anda kesepian? Barangkali inilah beberapa hal yang menghantui kalangan muda Aceh masa kini. Jika hal ini sudah mulai ada dalam diri Anda, kemungkinan bisa dipastikan ada satu sudut dalam jiwa Anda merasakan kehampaan. Dalam ritme hidup demikian, beberapa orang akan melakukan upaya penyegaran jiwa, baik mencari hiburan malam – meski bahagia sesaat – hingga meditasi, atau berzikir saat tengah malam.

Anak-anak muda yang merasakan kesepian itu, tentu akan berupaya mencari alternatif mengisi ketenangan jiwanya. Tak terkecuali melalui mengisi hatinya dengan spiritualitas. Beragam cara akan mereka lakukan untuk hatinya dapat utuh termotivasi kembali. Bukan tidak mungkin, upaya spiritualisme ini melalui pengajian.

Di era kekinian ini, fasilitas untuk mendapat ilmu pengetahuan begitu cepat, ialah melalui internet. Begitu juga bagi yang ingin menemukan ilmu agama, tentu internet salah satu solusi tercepat. Media daring baik lama website, twitter, facebook, Instagram, WhatsApp Group (WAG), maupun channel YouTube menjadi pilihan generasi milenial masa kini. Salah satu alasan mereka, lebih mudah dan bisa akses di mana saja. Namun, apakah keabsahan informasi yang disampaikan media daring ini dapat terpercaya? Apalagi mencari ilmu agama akan menjadi fatal jika salah dimaknai, berbeda dengan ilmu lainnya. Inilah yang sedang terjadi pada kehidupan anak-anak muda Aceh.

Jika meneropong lebih jauh, sebenarnya Aceh memiliki kebudayaan yang komplit saat seseorang akan berangjak belajar ilmu agama. Anak-anak sebelum diantar ke Teungku (sebutan guru mengaji di Aceh) orang tuanya mempersiapkan semuanya dengan mantap. Mulai dari memasak Bu Leukat (nasi ketan) hingga selai isian parutan kelapa yang dicampur dengan gula aren. Bahkan, di beberapa kalangan lainnya, memasak nasi beserta lauknya.

Saat malam diantar ke tempat mengaji tiba, maka semua anak akan melahap dengan nikmat bawaan tadi. Anak yang tadinya merasa asing ke tempat baru, akan disambut gembira oleh Teungku dan kawan-kawannya. Semuanya berbaur merayakan ada anak baru yang menjadi teman mereka dalam berilmu.

Dipilihnya Bu Leukat sebenarnya terkandung nilai filosofis yang sangat kuat. Beras yang tadinya terpisah, ketika menjadi ketan, dia menyatu. Ini dimaksudkan agar nantinya ilmu yang diajarkan oleh Teungku dapat melekat kuat dalam ingatan santrinya dan menyatu dalam perbuatannya. Pun demikian, selai isian kelapa campur gula yang manis ini dimaksudkan agar santri memahami bahwa ilmu ini akan amat manis bila terus dipelajari hingga akhir hayat.

Aktivitas anak-anak mengaji di Taman Pendidikan Alquran masjid Baitusshalihin, Ulee Kareng, Banda Aceh. Foto: Dok. Pribadi
Selain melalui Bu Leukat ini, tradisi mengaji di Aceh tentu memiliki fase. Masa dulunya, anak-anak sebelum diantar ke Dayah/Pesantren, mereka akan diajarkan terlebih dulu oleh orang tuanya. Barulah kemudian oleh Teungku Imum di Meunasah Gampong. Kemudian, saat anak sudah berani dan mandiri, orang tuanya akan mengantarnya ke Pesantren/Dayah. Program Magrib Mengaji, sebenarnya sudah lebih dulu dilakukan orang zaman. Sayup-sayup terdengar pengajian dari setiap rumah. Berbeda sekali dengan masa sekarang, anak-anak belia kita disibukkan dengan gawai dan orang tuanya pun semakin lalai.

Inilah yang harus dikhawatirkan. Generasi seperti apa yang akan lahir di Aceh, jika fase sejarah yang terjadi hari ini demikian? Mengaji melalui ‘Guru YouTube’ tanpa pendamping yang mahir, maka lahirlah generasi yang merasa paling benar dalam beragama. Alih-alih tontonan YouTube yang mereka nonton ini terkait terorisme. Sebab, tidak ada yang menyaring informasi yang sampai ke pemikiran muda mereka. Anak-anak muda yang sedang galau, mudah sekali hatinya menjadi kacau. Menganggap yang telah dilakukannya adalah yang paling benar, inilah bonus demografi yang membahayakan ruang entitas sosial maupun keagamaan kita hari ini.

Tradisi ini telah hilang saat mengaji di YouTube. Tentu akan jauh berbeda dengan apa yang saya sampaikan di atas. Tidak aka ada Bu Leukat saat Anda pertama kali mengantarkan pandangan Anda kepada channel ini. Tidak akan ada keberkahan dapat mencium tangan Teungku, seperti yang sering kita temui saat usai mengaji. Atau bahkan, tidak aka nada santri yang berdiri saat Teungku memasuki balai pengajian. Di Dayah, berdiri saat Teungku memasuki balai pengajian adalah bentuk penghormatan kepadanya. Saat Teungku sudah duduk bersilakan sajadah, barulah santrinya akan duduk dan dimulailah pengajian.

Infografis Mengaji Kepada Teungku dan YouTube
Kini, semuanya melalui perangkat daring. Belum lagi, bila ada yang salah mengutip, sengaja mengedit dengan maksud jahat, ataupun kesalahan editor video sebelum mengunggahnya di channel mereka. Meski, pada kolom komentar kita dapat bertanya, belum tentu akan dijawab di hari tersebut. Pun bila dijawab, seberapa persenkah keabsahan jawabannya?

Ya, tentu kita tidak dapat menyalahkan teknologi yang semakin berkembang ini. Semangat budaya post islamisme ini harusnya dapat dibendung dengan manajemen yang rapi. Beragam video yang tersebar di jagat maya kita, sejatinya menjadi wadah bagi anak-anak muda. Oleh sebab itu, anak-anak muda Aceh sejatinya punya cara berbeda dalam mengaji di YouTube. Misalnya, mencari dengan jelas biografi guru mengajinya; YouTube adalah sarana penamping, sementara mengaji langsung adalah sarana utama; jika masih ingin bertanya, sebaiknya kepada guru langsung; tak salah pula memulainya dengan makan Bu Leukat.

Budaya Aceh khususnya mengaji langsung kepada Teungku, sepatutnya harus terus digaungkan. Seraya tetap mengedepankan memanggil sebutan orang alim dengan Teungku, ketimbang menggunakan kata Ustaz. Sebab, istilah Teungku begitu melekat dalam benak orang Aceh. Harusnya ada kombinasi yang unik saat mengedepankan mengaji langsung kepada Teungku. Seraya mengaji dengan YouTube adalah pilihan kedua. Bila ada hal yang kurang penjelasannya di media daring, sejatinya anak muda Aceh sepatutnya menanyakan langsung kepada Teungku tersebut atau kepada Teungku lainnya.

Kehadiran ulama dari kota lain di Aceh, menambah khazanah keilmuan dalam beragama di Aceh. Hal ini bukanlah yang baru, sebab dari dulu Aceh sudah berguru hingga ke ulama dari Timur Tengah. Foto : Dok. Pribadi
Orang terdahulu sudah mengajarkan kepada kita pentingnya kroscek setiap informasi yang kita temui. Tak terkecuali ilmu agama. Sebab, agar tak salah dalam penafsiran maupun dalam beribadah. Ketika sudah begini, maka saya jadi ingat hadih maja  Aceh “Jak beutroh kalon beudeuh, bek rugo meuh saket ate” (Datanglah sampai ke tujuan hingga nampak, jangan sampai rugis emas bikin sakit hati). Hadih maja ini selaras pula dengan mengaji, sebab semua ilmu yang diserap santri perlu adanya kroscek mendalam. Guna tranfer ilmu agama dibentengi verifikasi yang akurat dan terpercaya dari Teungku-nya.

Kita tidak ingin, menjadi santri yang berilmu tapi tidak dibarengi dengan akhlak mulia. Kita tidak ingin menjadi santri yang serba tahu, tapi tidak bisa dicap orang berilmu lantaran tidak berguru langsung pada Teungku. Ikhtiar baik perlu komitmen bersama, agar budaya Aceh khususnya mengaji tak luntur oleh zaman dengan tetap menjaganya dan merawatnya. (*)

*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Blog Budaya dengan Tema "Budaya Aceh di Mata Milenial", Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tahun 2019.

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."