Senin, 16 November 2020

Cara Mudah ke Pulo Aceh

Senin, November 16, 2020

Pelabuhan Ulee Paya. (Photo by: Irfan Fuadi)


JARAKNYA lebih dekat dengan Banda Aceh ketimbang pusat ibukota Aceh Besar, Jantho. Itulah Pulo Aceh, kecamatan di Aceh Besar yang memiliki 17 gampong ini, adalah sekumpulan pulau besar dan kecil. Pulau terbesarnya adalah adalah Pulau Nasi dan Pulau Breuh yang menjadi pusat kecamatan.

Untuk menuju Pulo Aceh, kita bisa menempuhnya melalui Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue Banda Aceh dengan menumpang KMP.Papuyu. Kapal motor ini mulai berlayar ke Pelabuhan Penyeberangan Lamteng yang terletak di Pulau Nasi sejak tahun 2012. Jarak lintasan 12 mil menghabiskan waktu selama 1,5 jam perjalanan. Jadwal berlayarnya setiap hari kecuali Selasa dan Jumat bergerak pada pukul 08.00 WIB dari Ulee Lheue dan pukul 10.00 dari Lamteng.

Sebelumnya, pelayaran ke Pulo Aceh dilayani oleh KMP. Simeuleu yang berlayar perdana pada 30 Oktober 2008. Seperti halnya KMP. Papuyu, KMP. Simeulue juga merapat di Pelabuhan Lamteng Pulau Nasi. Pelabuhan ini dibangun oleh Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias pada tahun 2006 dan 2007.

Seiring kebutuhan dan permintaan masyarakat, mulai 3 Juni 2020, KMP. Papuyu juga telah melayani rute Ulee Lheue menuju Seurapong yang terletak di Pulau Breueh. Jarak tempuhnya lebih jauh, yaitu 16 mil dengan masa tempuh 1,5 jam perjalanan.

Berbeda dengan Pelabuhan Lamteng, status Pelabuhan Seurapong masih pelabuhan perintis berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 552.3/05/2020 Tentang Penetapan Lintas Penyeberangan Perintis Aceh. Jadwal berlayarnya hanya hari Kamis dan Sabtu bergerak pada pukul 07.00 WIB dari Ulee Lheue dan pukul 10.30 dari Seurapong/Ulee Paya. Tempat bersandarnya di ujung talud/breakwater dermaga perikanan Ulee Paya milik BPKS-Sabang.

Maryam, warga Pulo Aceh sekaligus salah satu penumpang KMP. Papuyu yang ditemui Tim Aceh TRANSit di pagi Sabtu (8/8/2020), mengaku gembira dengan kehadiran KMP.Papuyu ke Seurapong/Ulee Paya. Ia mengaku lebih nyaman menggunakan kapal yang dikelola pihak ASDP Ferry Indonesia Cabang Banda Aceh itu. “Biasanya kan pakai boat. Kebetulan pulangnya Sabtu dan ada jadwal kapal. Dari segi harga saya lebih memilih KMP.Papuyu karena lebih murah, juga lebih nyaman,” ujarnya.

Selain Maryam, mayoritas penumpang KMP. Papuyu adalah pedagang yang dalam seminggu dapat beberapa kali bolak-balik Ulee Lheue menuju Pulo Aceh, menggunakan mobil maupun sepeda motor.

KMP. Papuyu mampu menampung 105 penumpang dan memuat 8 unit kendaraan dengan 2 unit kendaraan kecil dan 6 unit bis/truk ukuran sedang. Hanya saja, karena fasilitas pelabuhan yang berada di kawasan terumbu karang, maka pelayaran KMP. Papuyu ke dua pelabuhan ini sangat tergantung cuaca, pasang surut air laut, serta arah angin di kawasan ini.

Terkait pasang surut air laut, ini menjadi masalah utama. Kendangkalan dermaga pelabuhan menjadi penentu mudah tidaknya kapal bersandar. Oleh karena itu, jadwal kapal pun tak ayal bergantung pasangnya air laut.

Hal ini seperti yang disebut Nahkoda KMP. Papuyu, Capt. Syaiful Akmal. Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya Pulo Breueh ini belum layak untuk didatangi kapal penumpang. Karena kelayakan seperti dermaga dan tempat tambat talinya, semuanya belum tersedia.

Jika masuk ke pelabuhan ini sangat riskan, sebab lokasi pelabuhan sekarang sangat tergantung pasang surut air laut. “Kalau air rendah kita gak berani masuk, karena banyak karang di sini,” sebutnya.

Keberadaan terumbu karang di dua pelabuhan ini menjadi dilema tersendiri. Di satu sisi, keindahan terumbu karang menjadi nilai destinasi wisata. Di sisi lainnya, terumbu karang ini menghalangi jalur masuk kapal penumpang ketika air surut dangkal.

Perihal ini, Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Joni, S.T., M.T., mengungkapkan hal menarik. Terkait dengan perizinan lingkungan dapat dilakukan pengerukan bila secara tata ruang laut dapat merekomendasikan rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat dilaksanakan.

KMP. Papuyu saat tiba di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue. (Photo by: Midika Utama Putra)

Nanti dokumen lingkungan yang harus disusun berdasarkan Permen LHK No. P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 Tentang Jenis dan Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Di antaranya jenis Amdal karena berada pada kawasan lindung dan/atau berbatasan langsung dengan Kawasan Lindung. “Jadi dari aspek rekomendasi atau perizinan lingkungan hidup, kegiatan dapat dilaksanakan sepanjang secara rekomendasi tata ruang terpenuhi,” ungkap Joni.

Sementara itu, informasi yang dihimpun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh menyebut Pelabuhan Penyeberangan Lamteng termasuk dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Aceh. Zonasi ini tercantum dalam Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2020. Kawasan ini dapat digunakan sebagai kawasan pemanfaatan umum. Salah satunya adalah pemanfaatan zona pelabuhan. Tak terkecuali memuat Pelabuhan Lamteng sebagai pelabuhan pengumpan lokal. (*)

Senin, 20 Januari 2020

Krueng Aceh: Histori dan Potensi

Senin, Januari 20, 2020
Foto: Irfan Fuadi



















Bakhtiar sedang memperbaiki boat miliknya. Di tepi Krueng (sungai) Aceh di kawasan Lambhuk Banda Aceh, Bakhtiar dan beberapa rekannya sedang bersiap menuju lautan. Beberapa temannya sibuk membantu Bakhtiar memastikan boat siap berlayar.

Hari itu, Kamis (4/7/2019) aliran sungai Krueng Aceh nampak tenang. Cerahnya cuaca menambah keyakinan Bakhtiar menyalurkan hobinya memancing ikan dengan kapal. Hobi ini telah lama digelutinya, di sela rehat dari pekerjaan harian. Kedatangan ACEH TRANSit bukan tanpa maksud, melainkan sebagai wujud menyerap aspirasi warga, terkait wacana dan upaya pemerintah menjadikan Krueng Aceh sebagai angkutan sungai.

Selama ini, setiap Sabtu pagi Bakhtiar berlayar dari Krueng Aceh, tepatnya dari Gampong Lambhuk menuju laut lepas. Ia kembali keesokannya (hari Minggu). Pun demikian, di hari-hari lain, bila cuaca mendukung, Bakhtiar tetap berlayar memancing ikan. Hobi positifnya ini patut diapresiasi.

Bakhtiar dan teman-temannya menyambut baik Saat ACEH TRANSit menanyakan pendapat mereka jika Krueng Aceh ini dijadikan sebagai angkutan sungai di bawah pengelolaan pemerintah. Mereka tambah bersemangat jika tidak hanya sebagai angkutan barang dan orang, tapi angkutan sungai itu juga menjadi destinasi wisata baru di Kuta Raja.

Kami mendukung, saya siap membeli boat fiber yang lebih besar lagi untuk mendukung pariwisata. Ya, kami berharap juga diberdayakan pemerintah,” ujar warga Lambhuk ini.

Pria yang kesehariannya berprofesi sebagai pengusaha ini, berharap dibangunnya dermaga tempat bersandar kapal. Misalnya di tempat-tempat strategis, sekaligus menjadi tempat transit pengguna angkutan sungai. “Cocoknya dibangun dekat dengan masjid Keuchik Leumik, di Pango, dan Peunanyong.”

Posisi dibangunnya dermaga ini, kata Bakhtiar sesuai dengan kebutuhan. Dekat masjid memudahkan warga yang ingin beribadah. Jika di Pango, membantu warga yang ingin belanja ke pasar Peunayong ataupun ke pasar Lambaro. Sementara itu, dermaga di Peunayong dapat dibangun berdekatan dengan pusat jajanan dan kuliner di kawasan tersebut.

Dalam kesempatan itu, Bakhtiar menyampaikan kendala yang dia hadapi selama ini, yaitu kapalnya sering terhalang tumpukan sampah di bawah jembatan Beurawe. Ketinggian jembatan juga mempengaruhi, sebab itu kapal disesuaikan dengan ketinggian jembatan. Jadinya, bila tiba air pasang, mereka tidak bisa melewati bawah jembatan.

“Di bawah jembatan itu harus dibersihkan, agar tidak merusak fiber kapal. Selain itu, kebersihan pinggiran sungai perlu diperhatikan,” sebutnya sambil menunjuk ke arah jembatan.

Sejalan dengan wacana pemerintah, Bakhtiar optimis jika nantinya sudah bersih, destinasi pariwisata ini terjaga dengan baik. Pun demikian, kata Bakhtiar, warga harus selalu diberi pemahaman untuk ikut andil berpartisipasi menjaga kebersihan sungai. Tentu dengan tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah.

Bakhtiar menyarankan agar batas wilayah jalur angkutan sungai turut pula diperhatikan. Belakangan, katanya, yang layak dilewati kapal hanya sampai jembatan Pango. Setelahnya, hingga ke Lambaro banyak kayu yang berserakan. Dia menyebut sudah pernah melakukan survei ke kawasan itu.

Bakhtiar menyarankan agar pemerintah tetap berkoordinasi dengan pawang laot setempat. Apalagi, bila angkutan sungai ini tidak hanya menyasar angkutan barang, namun merambah pula angkutan orang. Misalnya untuk jalur lintasan Pango hingga Peunayong. “Sebaiknya berdiskusi juga dengan pawang laot. Artinya kita minta izin. Sekaligus silaturahmi agar lintas sektor terus harmonis,” pungkas Bakhtiar menyudahi pembicaraan menjelang siang itu.

Tahun lalu (11/02/2018), akun instagram resmi @dishub_aceh pernah menampung opini warga net terkait transportasi sungai di ibukota Provinsi Aceh. Beragam komentar warga net rata-rata menyambut positif wacana ini. Beberapa respon ini seperti diungkapkan pengikut setia akun Instagram @dishub_aceh.

“Boleh min, tapi juga diperhatikan kebersihan airnya baik dari sampah ataupun kejernihannya. Kalau saya gak salah sudah ada teknologi penjernih air.” (@erlangga.dwi.pamungkas)

“Setuju. Bagus yang penting sesuai dengan rencana dan buktikan saja untuk membangun Kota Banda Aceh agar lebih banyak peminatnya untuk pariwisata.” (@ameliyadarma)

“Untuk wisata ini bagus dikembangkan, bisa nanti ikutin kota besar Indonesia lainnya semisal buat pasa rapung di Lambhuk atau Pango dan lain-lain. Namun untuk konektvitas antar daerah lebih mudah dengan jalan raya.” (@ahmadi_znd)

Mengutip laman bandaacehtourism.com, sungai kebanggaaan warga ibukota ini memiliki panjang 145 kilometer terbentang dari hulu Krueng Aceh di Jantho, Aceh Besar. Muaranya hingga ke pesisir kota Banda Aceh, tepatnya di Gampong Jawa. Beberapa sungai lainnya di Banda Aceh dan Aceh Besar bermuara ke sungai ini, seperti Krueng Seulimum, Krueng Jreue, Krueng Keumireu, Krueng Inong, Krueng Leungpaga, dan Krueng Daroy.

Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, Krueng Aceh sebagai salah satu sungai tersibuk. Hal ini dilihat dari jalur masuk dan keluar kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia. Dari sungai inilah berbagai rempah-rempah Aceh dibawa keluar untuk diperdagangkan di ranah internasional. Tak heran bila sungai yang membelah Kota Banda Aceh ini memiliki arti khusus bagi masyarakat Aceh.

Muhammad, warga Lambhuk kepada ACEH TRANSit Selasa (2/7/2019) menyebut, posisi Krueng Aceh di kawasan Lambhuk dan Beurawe tidaklah lurus seperti sekarang. Awalnya meliuk-liuk khasnya sebuah sungai. Atas inisiatif pemerintah pusat dan daerah di masa itu, dibuatlah alur sungai menjadi lebih rapi. Tentu, ini menjadi bonus saat Krueng Aceh nantinya menjadi angkutan sungai.

Sambutan positif Bakhtiar dan rekan-rekannya ditambah opini warganet, menjadi semangat pemerintah untuk segera mengelola angkutan sungai. Optimisme bersama ini sudah sangat baik untuk terus dibangun. Agar kedepannya konektivitas dan sinergisitas pemerintah dengan warga selalu berjalan dengan baik. Artinya, ikhtiar ini perlu dukungan semua pihak demi visi Aceh Seumeugot berjalan seperti yang diharapkan.(*)

Selasa, 12 November 2019

Berawal Bantuan Kementerian Perhubungan, Bus Trans Koetaradja Terus Berinovasi

Selasa, November 12, 2019

Bus Trans Koetaradja sedang menjemput penumpang di halte depan Masjid Raya Baiturahman, Banda Aceh, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Saat menyebut Aceh pada era 2000-an, barangkali yang terbesit dalam benak kita adalah konflik berkepanjangan. Namun, pernahkah Anda mengira, bahwa setelah tsunami dan gempa bumi tahun 2004 silam menghentak bumi Aceh yang menewaskan 500 ribu jiwa lebih itu, berubah signifikan. Ditambah, pasca penandatanganan perjanjian damai tahun 2005 berbagai pembangunan di segala penjuru terus dilakukan. Tak terkecuali sektor transportasi, baik transportasi laut, udara, dan darat. Salah satu yang sangat begitu terasa, kehadiran Bus Trans Koetaradja. Bus ini dapat dibilang menjadi angin segar. Sebab, pasca bencana dahsyat yang melanda Aceh itu, Banda Aceh tidak lagi memiliki moda transportasi yang melayani penumpang.

Angkutan massal perkotaan pertama di Aceh ini, mulai beroperasi di ibukota provinsi Aceh, yaitu Banda Aceh, tepatnya 4 Mei 2016. Saat diresmikan oleh Gubernur Aceh masa itu, dr. Zaini Abdullah, disebutkan bus ini adalah upaya Pemerintah Aceh menjalin kerjasama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub RI). Di awal kehadirannya itu, sebanyak 22 unit bus Trans Koetaradja ditugasi melayani tiga koridor.

Angkutan masal perkotaan bertipe Bus Rapid Transit (BRT) ini didatangkan di Banda Aceh karena dukungan melalui bantuan teknis Kementerian Perhubungan Republik Indonesia tahun anggaran 2015. Sementara itu, dukungan pun terus diberikan Kemenhub RI dengan bantuan berupa sebanyak 8 unit bus pada tahun 2018 dan 10 unit bus pada tahun 2019.

Sementara itu, Pemerintah Aceh menyediakan prasarana dan biaya operasionalnya. Kerja sama nan apik ini antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah ini adalah bentuk komitmen mengatasi berbagai permasalahan transportasi bersama yang kian terasa di ibukota. Lalu apa permasalahannya?


Bus Trans Koetaradja sedang menlintasi salah satu sudut di Banda Aceh, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Di tahun 2025 mendatang, prediksinya pertumbuhan penduduk di kota Banda Aceh dan sekitarnya mencapai 500 ribu lebih. Dengan kepadatanan penduduk 8.148 jiwa/Km2 pada tahun yang sama. Hal ini pun, tentu selaras pula dengan kehadiran kendaraan bermotor. Angka 12-13 persen per tahunnya diprediksikan menjadi angka pertumbuhan kendaraan bermotor.

Oleh sebab itu, beragam permasalahan yang hadir di negeri berjuluk Serambi Mekkah ini, tanpa adanya transportasi alternatif, tentu kemacetan akan begitu sangat terasa, semrawut, menguras emosi, dan tenaga. 

Lalu, apakah kehadirannya selama tiga tahun terakhir ini berdampak signifikan terhadap penggunya setiap tahun? Ternyata pada tahun 2017 sebanyak 1 juta lebih penumpang menggunakan Trans Koetaradja pada tiga koridor. Sementara pada tahun 2016, penggunanya berjumlah 165 ribu orang. Yang paling menggembirakan adalah sebayak 4 juta lebih penumpang Trans Koetaradja meningkat cepat di tahun 2018. Di tahun yang sama itu, angka ini pun berhasil menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 34.579 TCO2e. Angka ini meningkat 270 persen dari tahun sebelumnya. Dengan angka peminatnya dan penurunan GRK yang terus meningkat, dapat dikatakan kenyamanan dalam bus tentu menjadi prioritas bagi penggunanya.


Penumpang siap-siap menaiki Bus Trans Koetaradja, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Hal ini dapat dirasakan, mulai dari adanya jalur khusus bagi kaum difabel bila hendak menaiki halte bus. Selain itu, adanya kursi prioritas yang diresmikan pada 31 Oktober 2019, melalui pemasangan kover tanda khusus kursi diperuntukkan bagi penumpang berkebutuhan khusus. Terutama ibu hamil, difabel, lanjut usia, dan orang membawa bayi. Hari itu, saya menyaksikan langsung peresmian ini. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 98 Tahun 2017 tentang penyediaan aksesibilitas pada pelayanan jasa transportasi public bagi pengguna berkebutuhan khusus. Jauh sebelum ini, di dalam bus sendiri juga telah disediakan kursi bagi pengguna berkebutuhan khusus.


Kernet bus Trans Koetaradja ikut membantu difabel dari halte menuju ke dalam bus, Selasa (12/10/2019). Dok. Pribadi
Bus bercat biru ini juga sebagai salah satu angkutan yang sangat peka terhadap inovasi teknologi. Misalnya, dengan adanya teknologi Network Video Recoder (NVR) di dalam bus berguna untuk menghitung jumlah pengguna, mengontrol pelayanan supir dan kernet. Tentu, pemasangan Closed Circuit Television (CCTV) di dalam bus ini menjadi upaya pemerintah memberikan keamanan bagi penggunanya. Selain itu, kemunculan aplikasi time table untuk melihat posisi bus dan memastikan ketepatan waktu pelayanan dan kedatangan bus.

Selain untuk mengurai dan mengurangi kemacetan, kehadiran bus ini ikut mendukung kegiatan berskala regional, nasional, hingga internasional yang diselenggarakan di Aceh. Sebut saja, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII, Pekan Olahraga Aceh (PORA) 2018, Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (PENAS KTNA) XV, Musabaqah Tilawatil Quran Mahasiswa Nasional (MTQMN) 2019, hingga Muzakarah Sufi Internasional 2018.

Kini, Trans Koetaradja telah memiliki 40 bus, 5 koridor dengan 90 halte permanen, 43 halte portabel, dan 118 awak kendaraan baik sopir maupun kernet. Sejak tahun 2018 pula, Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan telah membentuk Unit Pelaksanan Teknis Daerah (UPTD) Angkutan Massal Perkotaan Trans Koetaradja. Kehadirannya, tentu untuk lebih memberikan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan bagi penggunanya.



Bus yang kini telah hadir di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Terminal Tipe A Banda Aceh, dan Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue Banda Aceh ini telah menghubungkan ketiganya. Kehadirannya menjadi penghubung antar moda transportasi, sekaligus menjadi transportasi alternatif bagi masyarakat. Dengan demikian, dapat dipastikan kehadiran pelayanan pemerinta bagi warga negara jelas adanya.

Hal ini tentu sejalan dengan misi Kementerian Perhubungan RI, yaitu Transportasi Unggul, Indonesia Maju. Maka tak heran, ini menadi bentuk komintmen pemerintah dalam menyamaratakan pembangunan bagi warga negaranya. Ayo naik bus Trans Koetaradja!
---
Bagi yang ingin mengetahui, apa saja kinerja Kementerian Perhubungan Republik Indonesia selama lima tahun terakhir ini, tak salah mengikuti informasinya pada:

Website                : .www.dephub.go.id
Media Sosial        
Facebook             : @kemenhub151
Twitter                 : @kemenhub151
Instagram             : @kemenhub151
YouTube              : @kemenhub151


*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Kemenhub 2019

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."