Minggu, 13 Juli 2014

Bagaimana Menjadi Palestina?


Nun pada masa sekarang begitu banyak konflik yang terjadi. Tidak usah jauh memandang, Aceh saja yang dari dulu sudah menjadi daerah basis peperangan. Semisal dari melawan Kapheei Beulanda sampai tiba pada saat kita sama-sama melawan ‘penjajah’ dari pulau seberang. Tentu ingat betul pagi-pagi Minggu itu saat hendak membuang air bekasan cuci piring, Mak saya di kampung hampir saja menumpahkan air bekasan itu ke wajah penghuni pulau seberang. Jika saja itu terjadi, barangkali Mak saya akan ditendang oleh mereka. Pernah juga ikutan marah saat saya tahu anak tupai peliharaan abang saya di culik oleh mereka. Alhamdulillah, kabar bulan selanjutnya si penculik tupai abang saya itu mati dalam peperangan di hamok oleh bedil pejuang negara kami. Belum lagi abang saya yang tertua saat lari pagi, ujung senapan mereka diarahkan ke kelaminnya. Mereka pikir abang saya kelompok pergerakan kemerdekaan. Padahal buta dan tuli benar mereka anggap begitu. Abang saya yang rajin jadi bilal kadang jadi imam di meunasah kampung dianggap begitu, cuih!

Inilah Aceh dengan baru sedikit yang diceritakan. Sangat banyak kejadian-kejadian dari pelaku jahannam pulau seberang. Hal ikhwal belum lagi mereka merebut hati gadis-gadis kampung kami. Heran kadang, gadis kampung kami juga ada yang ikut-ikut kegatalan dengan menaiki hati si mereka itu penghuni pulau seberang. Tapi, menurut amatan mereka-mereka inilah penjajah baik dari masa Soekarnois sampai Seokarnoputriis.

Lantas apa kaitannya Aceh dengan Palestina? Penting menjadi Aceh untuk membantu para pejuag Palestina? Apa hebatnya mereka sampai sebegitu berkeringatnya  kita rela-relain diri berpanasan dalam terik matahari di tengah Ramadhan pula mengumpulkan dana bagi mereka? Bukankah mereka lain ras dengan kita? Kita kan Aceh dikenal sampai keluar negeri, di dalam negeri terus diinjak oleh pusat! Jika negara Palestina saja sampai saat ini masih diperdebatkan kemerdekaannya, mengapa kita Aceh mau membantu mereka? Siapa mereka ini? Inilah sekelompok pertanyaan yang merunut tak perlu jawaban. Ini bukan kausal pertanyaan pada saat mengikuti ujian akhir sekolah.

Kemudian Indonesia, kenapa ada orang-orang yang mengatasnamakan dirinya dengan komunitas ini, lembaga itu, yayasan begini juga ada organisasi begitu mau-maunya mendonorkan jiwa raganya bagi kepentingan negara Palestina? Sejak Indonesia merdeka 1947 apa sudah ada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Palestina? Kenapa kita rakyat Indon mau-maunya membela Palestina yang belum diakui beberapa negara sebagai negara merdeka. Bayangkan yang Indonesia saja sudah merdeka lama belumlah ada KBRInya di sana. Tak usahlah memabantu Palestina?

Gaza, kota yang memiliki tanah suci bagi suatu agama samawi yang muncul di duniawi. Kota ini telah ramai orang mengenalnya. Sesiapa didunia ini tinggal memasukkan di mesin pencari di google, langsung dikisahkan hal-hal konflik berkepanjangan di sana. Orang-orang dibelahan dunia lain pun tahu tentang Palestina. Seberapa perhatiannya publik internasional ketika Aceh konflik? Negeri ini kan juga penganut Islam terbesar. Apa salahnya mendukung Aceh yang bahkan sampai saat ini masih belum tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM semasa konflik lalu? Enak saja kita mau melupakannya begitu saja, lalu memilih memperhatikan kota Gaza di Palestina yang sangat jauh bagi kita-kita yang menetap di tanoh Indatu ini.

Coba ambil Kartu Tanda Penduduk (KTP) lihat dengar benar-benar apa status kenegaraan kita, Palestina atau Indonesia? Tepat! Status kenegaraannya adalah Indonesia, provinsi Aceh, Kabupaten Bireuen, Kecamatan Kuta Blang, Gampong Pulo Reudeup, Dusun Jrat Barom, Rumah Alm Pak Salda! Oh ternyata tidak lahir dan besar di tanah Gaza. Apa untungnya membantu meraka. Ah!

Pernah tersadar bahwa menjadi Aceh cukuplah mudah, ketika sudah menetap di Indonesia maka dianggap warga Indonesia. Tetapi ketika menetap di Aceh tidaklah dianggap warga negara Aceh, iya semua orang pun tahu. Nah, apanya lagi menjadi Melayu, tentu orang-orang yang kebanyakan bermukim di pulau Sumatera.

Menurut, menjadi Palestina tidaklah usah beragama Islam, berdarah Palestina, punya paspor atau KTP berwarga negara Palestina, cukuplah ada hati dan pikiran yang diberikan Allah untuk senantiasa mengingat saudara sejenis dalam satuan makhluk hidup bernama manusia, bukan juga dari kalangn tumbuhan atau hewaniyah. Jika masih berpikiran sempit bahwa kita hidup dalam lain tubuh, tidak memandang Islam secara konteks global, adakalanya bulan puasa ini cocok untuk ikut bertadarusan lagi. Dalam ilmu konseling, diajarkan untuk menerima siapa saja yang menjadi konseli (yang membutuhkan layanan konseling) tidak memandang dari latar belakang apa, tetapi dia membutuhkan apa. Jadi, sudah tahu bagaimana menjadi Palestina? Coba lihat lagi KTP kita masing-masing! []

sumber foto | deviantart.com

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bingung harus bicara apa lagi. sedih melihat nasib umat Islam yang ada disana. Kita puasa dengan nyaman disni, tapi mereka setiap harinya harus menghadapi situasi yang sulit.

Anonim mengatakan...

ya bang, kita bantu doa, setidaknya dengan tulisan bisa membuka mata hati teman2 yg lain ya

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."