Kamis, 21 Agustus 2014

Menanti Kebijakan Baru di 'Kota Ratu'

SEJAK meninggalnya almarhum bapak Mawardi Nurdin yang merupakan walikota Banda Aceh untuk periode 2012-2017 yang berpasangan dengan Illiza Sa’adudin Jamal sebagai wakil walikota, secara hukum negara maka Illiza berhak menggantikan Mawardi untuk menjabat sebagai walikota. Illiza wajib melanjutkan program-program pembangunan kota sesuai dengan janji-janjinya pada pemilihan walilkota tahun 2012 lalu. Ditetapkannya Illiza sebagai walikota tidak secara serta merta langsung menjadi walikota, tetapi ada masa ‘magang’ sebagai Pelaksana Harian (Plh) walikota. Dalam hal ini dikarenakan belum keluarnya surat keputusan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi perihal pengangkatannya secara resmi dan dilantik sebagai walikota Banda Aceh meneruskan periode 2012-2017.

Tanggal 16 Juni 2014 lalu, Illiza atau yang lebih santer dikenal dengan sebutan ‘Bunda’ telah dilantik oleh Gubernur Aceh dr. H.  Zaini Abdullah di gedung DPRK Banda Aceh. Ini menjadi peristiwa paling bersejarah dalam kehidupan Bunda kita, bagi keluarganya dan juga bagi rakyat kota Banda Aceh. Betapa tidak, semenjak Aceh bergolak pada tahun 70-an sampai saat ini, belum pernah dipimpin oleh seorang walikota/bupati dari kalangan perempuan. Maka, ditanggal itu kita sama-sama telah menyaksikan bahwa Kuta Raja kali ini dipimpin oleh seorang ‘Ratu’.

Berbagai spekulasi di dunia maya semacam facebook dan karibnya twitter berpendapat bahwa ini menjadi peluang bagi kaum ibu-ibu untuk menampakkan gaungnya kembali di tanah rencong ini. Mereka perlu didorong untuk terlibat dalam pemerintahan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Banda Aceh kurang layak dipimpin oleh seorang wanita, melihat Banda Aceh adalah ibukota dari Provinsi Aceh . barangkali ini tidak menjadi soal bagi kebanyakan rakyat Aceh, toh Bunda hanya memimpin Banda Aceh, kan tidak memimpin Aceh? Kilah beberapa pendapat lain yang saya temukan di jejaring dunia maya.

Ada hal yang membuat Illiza terkenal akhir-akhir ini. Beliau dengan beberapa ormas Islam sedang giat-giatnya menyapu bersih kaum maksiat di kota berjuluk Madani ini. Terlebih dengan gayanya itu, sampai waktu larut malam pula tetap melakukan sapu bersih maksiat tersebut. Menarik memang melihat geliat beliau dalam upaya memantapkan salah satu misinya yaitu meningkatkan kualitas pengamalan agama menuju pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Pemerintah kota Banda Aceh berharap dengan misi ini akan tercapai masyarakat yang madani.

Illiza mulai dikenal oleh khalayak di Aceh semenjak beliau bersama almarhum bapak Mawardi Nurdin untuk pertama kalinya memimpin Banda Aceh pada periode sebelumnya, yaitu periode 2007-2012. Berbagai pembenahan tata ruang dan tatanan pemerintahan di Banda Aceh terus dibenah sedemikian rupa. Pasca dihantam oleh gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, secara kasat mata kota ini telah lumpuh bahkan bisa dikatakan telah mati. Akibat bencana hebat ini, kota Banda Aceh mengalami kerusakan cukup parah. Terutama infrastrukturnya. Banyak gedung-gedung penting tidak layak digunakan lagi. Kemudian, pada saat kepemimpinan Mawardi Nurdin semuanya terus dibenah dan merubah segala apa yang telah terjadi akibat bencana dahsyat tersebut. Dengan wajah kota yang saat ini sudah lebih berwarna bak kota metropolitan, Banda Aceh telah lahir dengan rupawan baru, bergaya modern, entah bermartabat pula orang-orangnya.

Dengan gaya khasnya, Illiza selalu tampil dengan santun di setiap pidato-pidato kewalikotaannya. Kita mengapresiasi beliau sering mengambil ayat-ayat Allah dan ucapan Rasul dalam setiap isi pidatonya. Sebagai wujud kecintaan pada kota Madani ini sudah sewajarnya Illiza menghadirkan nuansa ‘Khutbah’ bagi dirinya, bawahannya agar tahu diri akan sebuah kepentingan bagi rakyat pimpinannya. Jujur, saya menyukai ciri khasnya beliau ini.

Bagi saya yang sedang mencoba menjadi orang yang menjaga kesehatan, minimal untuk diri sendiri tertarik dengan tatanan masyarakat yang Madani jiwa dan raga pula. Sehat menjadi hal utama dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, apakah bekerja atau pula beribadah. Muslim yang baik adalah yang baik pula menjaga kesehatan dirinya dan kesehatan lingkungannya.

Baru-baru ini di balai kota Banda Aceh ada diselenggarakan diskusi bahaya merokok. Dalam diskusi itu memberikan informasi bahwa kaum-kaum perokok sudah layak meninggalkan kebiasaan buruknya itu. Menjadi perokok aktif malah sangat merugikan perokok pasif. Anak-anak, ibu-ibu hamil adalah target yang sangat berbahaya dari asap rokok tersebut. Illiza juga ikut terlibat dalam diskusi bahaya rokok tersebut. Saya mengapresiasi upaya dari teman-teman yang sadar akan pentingnya menciptakan masyarakat Madani tanpa rokok.

Namun, apakah sejalan ucapan Illiza pada diskusi tersebut dengan begitu banyak iklan baliho-baliho rokok di sepanjang jalan kota Madani ini? Baik dalam bentuk baliho kecil maupun besar, sama-sama dikemas seolah-olah rokok itu tidak salah untuk dihisap. Ini menjadi pertanyaan bagi saya yang pasif merokok, apakah ini wujud baru membentuk karakter Madani cinta rokok sejak dini? Atau apa yang sering diucapkan Illiza pada setiap isi pidatonya mencerminkan perbuatannya? Atau saya saja yang terlampau melebih-lebihkan prinsip yang dipegang oleh beliau. Bisa jadi ini kesilapan sesaat dari beliau, maka kita-kita yang berada di pinggiran kota hanya mampu mengingatkan di dunia maya.

Iklan rokok di pasang pada baliho-baliho ibukota provinsi Aceh ini membuat sampah baru bagi kota ini. Mungkin bagi pemerintah kota Banda Aceh tidaklah rugi, dengan pajak yang didapatkan dari iklan tersebut menambah pendapatan bagi kemajuan lebarnya kantong segelintir elit di Banda Aceh ini. Saya mulai ragu dengan stigma Banda Aceh kota Madani. Apa ini memang benar proyek besar yang diinginkan walikota Banda Aceh? Atau barangkali ini modal awal untuk mencetak generasi cinta merokok sejak dini. Belum lagi masih berkeliarnya dengan mudah para Sales Promotion Girl (SPG) rokok di setia sudut warung-warung kopi bahkan sampai ke objek wisata Ule Lhee dan objek wisata lainnya. Jika ini benar cara yang digunakan oleh walikota dalam upaya menciptakan khasnya Madani adalah dengan menjadi pengrajin penghisap rokok, maka saya tidak jadi mengangkat jempol. Apa yang akan kita bayangkan bila SPG-SPG itu menawarkan rokoknya kepada para pelajar kita yang rentan dengan bahaya zat yang terkandung dalam rokok tersebut. Apalagi yang menjual rokoknya berpenampilan menarik, tentu memikat beberapa kaum lelaki untuk membeli rokok.

Masalah ini belum juga terselesaikan, muncul lagi semisal masalah kebutuhan akan air bersih bagi warga kota. Seperti yang diberitakan oleh Harian Serambi Indonesia pada Sabtu, 10 Mei 2014 lalu.

“Warga Gampong Ateuk Jawo, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh sudah sekitar dua bulan tak dapat menikmati air PDAM Tirta Daroy, Banda Aceh. Pasalnya suplai air itu tak mengalir ke pipa di gampong mereka. Akibatnya warga terpaksa menggunakan air sumur yang kuning dan sebagian membeli air PDAM itu yang dibawa menggunakan mobil tangki”.

Ada 600 kepala keluarga lebih menggunakan air dari PDAM di gampong tersebut. Para warga mengeluh lantaran biasanya air dari PDAM baru hidup pada jam 3 dini hari. Sungguh ironis, lantaran para warga sudah membayar pemakain air PDAM tersebut setiap bulannya. Namun, warga terpaksa harus membeli lagi air PDAM yang dibawa dengan mobil-mobil tangki seharga 130 ribu untuk 300 liter. Apakah kekurangan air PDAM ini juga wujud penerapan Banda Aceh segera berubah simsalabim abrakadraba menjadi kota Madani?

Kebijakan dan Ketegasan
Selaku mahasiswa perantauan, saya mempunyai masukan untuk rezim Bunda Illiza kali ini. Tidak menjadi penghalang rasanya ketika beliau belum memilih pendamping yang akan menggantikan posisinya dulu yaitu wakil walikota. Apa yang saya gambarkan diatas adalah diantara sekelumit bobroknya pelayanan publik. Persoalan masih banyaknya iklan-iklan rokok, rasanya Illiza perlu belajar banyak dari walikota Bandung, Ridwan Kamil. Selaku walikota yang baru terpilih, Ridwan Kamil membuat terobosan bagus perihal ketegasannya melarang adanya iklan-iklan rokok di kota Bandung. Beliau tidak takut berkurangnya pendapatan daerah lantaran tidak adanya iklan rokok, baginya adalah menciptakan warga yang sehat harus dituntaskan secepatnya.

Menjadi pertanyaan sekarang, apa yang ditakutkan oleh walikota kita sehingga belum tegas menutup iklan-iklan rokok di sepanjang jalan ibukota. Jika benar ingin menciptakan masyarakat yang sehat, sudah layak Illiza dengan tegas menolak iklan rokok tersebut. Jika syariat Islam masih dipahami hanya pada urusan razia tempat maksiat saja, lantas iklan rokok yang tersebar dimana-dimana tidak perlu dipandang dari sudut syariat Islam? Apalagi kekurangan air bersih bagi sebagian warga juga tak termasuk dalam bidang pemerataan syariat Islam secra Kaffah? Baiknya walikota kita secepatnya melakukan restorasi kepemimpinannya, jika tidak dianggap hanya retorika semata.

Setelah dilantik sebagai walikota, Illiza menjadi penentu kebijakan-kebijakan penting perihal kebutuhan rakyat Banda Aceh, disamping diperbantukan oleh wali rakyat legislatif. Apalagi baru-baru saja kita semua pada 9 April lalu memilih wakil rakyat, khususnya Banda Aceh. Otomatis, orang-orang yang menduduki lembaga eksekutif dan legislatif adalah orang-orang yang masih baru. Tidak ada alasan menunda-nunda kebutuhan rakyatnya. Kita perlu pemimpin yang tidak hanya sibuk menyuruh memilih pemimpin yang kabarnya tegas itu, lantas beliau sendiri tidak tegas. Ayo tegas Bunda! []

Opini ini sudah dimuat oleh www.ajnn.net
Menanti kebijakan baru di ‘Kota Ratu’

Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."