Rabu, 22 Juni 2016

Bolu Delapan Jam: Memaksakan Cinta, Kemudian Menenggelamkannya!

pixabay.com
Cerpen “Bolu Delapan Jam” karya Guntur Alam yang dimuat oleh KOMPAS pada 23 Agutus 2015 lalu menarik untuk dibaca. Selaku pembaca cerpen Guntur, beberapa tulisannya sering terinspirasi dari lingkungannya. Keadaan daerah setempat ini membuat cerpennya sering dimuat koran KOMPAS. Kali ini, cerpen “Bolu Delapan Jam” mengambil sudut pandang drama keluarga. Tentang pemaksaan cinta dan tentang rencan ‘pembunuhan’ rasa cinta dengan aktivitas yang pasti. Beberapa catatan berikut, hasil uraian saya setelah membaca cerpen Guntur, dalam dunia sastra, dibutuhkan kritik sastra. Dikarenakan, tanpa kritik yang membangun karya, maka kita hanya akan mendapati karya-karya yang monoton.

Cerpen ini menceritakan tentang kehidupan seorang ibu yang hidup menderita suatu penyakit. Ibu berencana meracuni suaminya, yang merupakan orang yang telah melukai batinnya selama ini. Itulah sebabnya, si suami pun ingin membunuh istrinya dengan bolu delapan jam. Delapan jam semacam pengingat untuknya. Setiap Lebaran, si Antoni yang merupakan pacar si Ibu masa muda dulu akan pulang kampung dan bolu delapan jam melebarkan jurang kembali antara aku dan Antoni.
Hal yang menarik untuk dibahas diantranya yang membuat saya bingung di kalimat ini pada paragraf ketiga:
“Apa kau tahu kenapa aku menggunakan dua puluh butir telur bebek untuk adonan ini?”
Aku menggeleng. Dalam resep bolu delapan jam yang ibu tuliskan untukku seharusnya ibu menggunakan dua puluh dua butir telur bebek dan dua butir telur ayam. Namun, ibu menggunakan hanya dua puluh butir.

Awal kalimat ini sebenarnya sudah menjelaskan bahwa Ibu menggunakan 20 butir telur bebek, namun pada akhir kalimat di paragraf berikutnya, si anak menjelaskan kembali bahwa ibunya menggunakan 20 butir telur bebek. Ada pengulangan kalimat yang sama pada paragraf berikutnya, padahal secara tidak langsung pembaca juga sudah tahu bahwa ibu menggunakan 20 butir telur bebek.
Masih ada sambungan paragraf diatas. Coba kita simak kalimat dialog di paragraf yang lain:
Hal yang membuatku menelan ludah, dua butir telur ayam berikutnya ibu masukkan langsung ke dalam adonan.

Di atas sebenarnya sudah dijelaskan ibu menggunakan 20 butir telur bebek. Namun, disini kenapa ada tambahan 2 butir telur ayam lagi ya? Kalau dijumlahkan jadinya 22 butir telur. Apakah maksud kalimat di atas“Namun, ibu menggunkan hanya dua puluh butir”. Pada kalimat itu juga tidak disebutkan, apakah 20 ini sudah ada telur bebek 18 ditambah 2 telur ayam?

Jika kita telusuri pada kalimat tentang gula pasir:
“Gula pasir.” Ibu menunjuk 420 gram gula pasir yang ada di atas meja.
Bagaimana si anak tau bahwa gula pasir itu, takarannya 420 gram? Jika pada kalimat sebelumnya ada disebutkan contoh kalimatnya begini (Ibu telah mempersiapkan 420 gram gula pasir, katanya ukuran tersebut harus pas, tidak boleh kurang atau lebih). Jadi, kalau kalimatnya seperti itu, maka akan tersambung ke kalimat berikutnya.

Cerpen Guntur Alam kali ini membuat saya menyukainya karena segmen yang diambil adalah latar sosial daerahnya. Terus, bahasanya juga mudah dipahami oleh pembaca, diksi yang dipilih adalah bahasa familiar. Di KOMPAS, segmen cerpen dengan latar daerah selalu menarik, makanya Guntur Alam kayaknya memang lebih sering menulis cerpen atau novel dengan latar daerahnya. Yang membuat kita terkejut bahwa, sepahit-pahitnya asmara, adalah orang itu juga yang menjalaninya, terlepas dari rongrongan orang lain dalam sebuah hubungan. Si lelaki berhasil memperjuangkan cintanya, walau dengan nuansa anti mainstream, kalau di Aceh sudah ditangkap WH. Bagi lelaki yang sedang memperjuangkan cintanya, tabahlah dalam kejombloan. Biarkan kayak kata grup musik Payung Teduh, “Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan”. Atau seperti kata di salah satu adegan film Fast Furios 7 “Karena tak bisa minta orang lain untuk mencintaimu”. Jomblo tanpa harapan dan cita-cita, kayak ayam penyet rasanya manis legit.[]



Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."