Rabu, 29 Oktober 2025

Menggugah Peran Santri: Literasi, Intelektual, dan Aksi Sosial untuk Perubahan


Ada kabar bahwa santri di salah satu dayah ternama di Aceh kini diharuskan berubah. Terutama perihal dalam cara mereka berpakaian, terutama di lingkungan dayah ataupun di dalam lingkungan masyarakat. Sebab, dalam beberapa dekade belakangan dikenal dengan tampilan yang terkesan lusuh, tidak terlalu menarik dari segi penampilan pakaian dan sebagainya. Oleh karena itu, di dayah tersebut telah ada semacam anjuran, memakai pakaian yang bagus-bagus dan enak dipandang. Agar diharapkan, masyarakat yang melihat santri adalah sosok yang dapat dipercayai, terawat dan sebagainya. Salah satu pimpinan dayah pun pernah melarang santrinya untuk merokok selama di lingkungan dayah maupun di dayah, sebab santri ini telah dilabeli sebagai santri dari dayah bergengsi ini. Menurut saya, dua hal kecil yang dilakukan ini, tentunya berdampak besar terhadap reaktualisasi santri dan dayah ke depan. Lalu, bagaimana reaktualisasi lainnya dapat dilakukan? Saya mencoba  menguraikannya dalam tulisan ini.


Kita mengakui, bahwa kehadiran dayah di Aceh dalam rentang beberapa tahun terakhir dan tahun-tahun sebelumnya memiliki peran  melahirkan generasi yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama. Selain dibekali dengan ilmu keislaman, mereka juga dibekali cara berdakwah (mendirikan dayah, mengisi pengajian, maupun menjadi pendai) sebagai upaya menyebarkan ilmu keislaman yang telah didapatkan di dayah. Namun, tak dapat kita pungkiri, perkembangan zaman yang kian hari kian serba cepat ini disertai tantangan global, arah pergerakan dakwah dan aktivismen kader dayah nampaknya perlu direaktualisasikan sehingga tetap sejalan dalam menjawab dinamaki yang berkembang di masyarakat kekinian. Kenapa ini diperlukan? Agar kehadiran para aktivisme dayah ini dapat selalu dirasakan oleh masyarakat yang pada masa kini sejatinya sedang haus akan ilmu keagamaan yang sedang kita rasakan saat ini.


Mengacu pada apa yang saya sampaikan di atas, kehadiran pergerakan dakwah para kaum santri di Aceh tidak bisa dilepas dari masyarakat sebagai objek dakwah. Selama ini, dayah dianggap sebagai motor penggerak utama sebagai penyelaras, pembuka jalan, ataupun penyeimbang kala masyarakat kebingungan terkait dinamika-dinamika keilmuan, baik tauhid, fiqih, hingga tasawuf. Sejarah pun mencatat, sebelum adanya pendidikan formal seperti saat ini baik jenjang SD hingga perguruan tinggi di Aceh, dayahlah lembaga pendidikan keagamaan yang menjadi rujukan masyarakat, terutama sebagai lembaga untuk mendidik generasi mulia. Pendekatan yang dilakukan selama ini tentunya, alumni santri atau aktivisme dayah berpaku pada kegiatan dakwah tradisional, misalnya mengisi pengajian di gampong-gampong, khatib jumat, menjadi muballigh, atau hadir untuk melakukan peusijuek sebagai satu tradisi yang melekat. Pertanyaannya saat ini, apakah pola pergerakan dakwah dan aktivisme kader dayah hanya berbatas pada hal ini saja? Jika stagnan pada tataran level demikian, maka santri dayah akan tenggelam dalam arus yang semakin bergerak cepat.


Kita tahu dan merasakan bahwa tantangan dakwah dan aktivismen di masa sekarang tentunya menghadapi berbagi tantangan beragam. Misalnya, ‘tsunami informasi’ yang hari ini membanjiri dan kian meresahkan jagat media sosial hampir tak dapat dibendung. Tentunya, informasi juga menyangkut dan bersinggungan dengan ruang keagamaan islam kita. Oleh karena itu, kehadiran kader dayah harus dapat menjawab tantangan ini sebagai generasi penerus ulama di Aceh. Karena kita khawatir, arus informasi yang simpang siur di media sosial, tanpa dibarengi kekuatan literasi dari kalangan dayah, maka ini akan merusak ruang-ruang sosial kita.


Fenomena lain yang hadir di tengah-tengah kita yaitu pola hidup yang cenderung mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan. Gaya hidup yang dipengaruhi perkembangan global ini, tentunya mengancam ruang hidup kita yang kental dengan nuansa gotong royong. Maka, aktivisme dayah perlu menyentuh tantangan ini dengan menghadirkan perilaku etis nan positif sebagai daya tawar menghadapi tantangan tersebut dengan menggunakan pendekatan berbasis keagamaan Islam.


Tantangan berikutnya yang perlu diperhatkan aktivis dayah menyangkut kehidupan ekonomi masyarakat. Akhir-akhir ini kita mendapati banyaknya perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal, yang efeknya kian terasa. Ini berimbas pada bertambahnya penggangguran dan kemiskinan. Kita khawatir, jika angka ini meningkat dapat menyembangkan angka kriminalitas di Aceh pun bisa saja meningkat. Isu keadilan sosial, sejatinya menjadi catatan menarik untuk diaktualisasikan kembali oleh aktivis dayah.


Dari beragam, fenomena, tantangan yang telah saya sampaikan di atas, perlu sesegera mungkin aktivis dayah menyelaraskannya dalam berdakwah guna menjadi ‘mata air’ kehidupan masyarakat. Lalu, apa dan bagaimana gerakan aktivisme dayah ini dapat dilakukan pada masa sekarang?


Pertama, kader dayah perlu dibekali dan membekali diri dengan kecakapan atau literasi digital dengan pendekatan komunikasi yang interaktif. Mungkin, kebanyakan santri dayah sudah mengenal media sosial, namun belum sepenuhnya memahami bagaimana platform media sosial ini bekerja. Jika hanya sebatas, pola dakwah berpindah dari majelis tatap muka langsung ke dunia maya, maka itu bukan suatu keharusan. Namun, yang perlu diingat bahwa, kader dayah perlu menjadikan media sosial dapat menyebarkan konten keagamaan islam yang edukatif dan inspiratif. Maksudnya, kader dayah perlu membekali diri dengan keilmuan public speaking yang baik dan menjaga nilai-nilai etika yang melekat pada santri. Kedua, santri dayah perlu meningkatkan kemampuan intelektual ilmu agama, menganalisis isu-isu terbarukan baik budaya, ekonomi, politik, maupun isu lingkungan yang telah menjadi concern aktivis di negara lain yang bahkan bukan latar belakang agamawan. Sebab, isu-isu yang sampaikan tadi, jika diberikan solusi dengan pendekatan agama, misalnya ‘bagaimana ulama di Aceh memandang tentang tambang?’ atau ‘bagiamana santri dayah menyikapi perbedaan politik masyarakat yang semakin terkotak-kotakkan?’, kiranya pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab oleh santri dayah, maka kehadirannya akan sangat diperhitungkan kehadirannya.


Terakhir, sebagai wadah partisipasi lebih aktif dalam masyarakat adalah terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial. Langkah ini sangatlah strategis, sebab mengingat dayah tidak hanya sebagai corong utama penyampaian dakwah kepada masyarakat, kehadiran dalam ranah sosial tentunya sangat dinanti masyarakat. Kegiatan strategis dapat dilakukan misalnya pemberdayaan ekonomi umat, pendidikan bagi kaum marginal (misalnya aktif berdakwah untuk kaum disabilitas dan lainnya). Terpenting pula, kehadiran gerakan aktivisme daya dapat pula disalurkan melalui advokasi keadilan sosial yang terintegrasi dalam nilai-nilai perjuangan dakwah mereka.


Sejujurnya, penulis melihat tiga langkah strategis ini sudah pernah dilakukan oleh aktivisme dayah. Sebut saja ulama kharismatik, Tgk Muhammad Yusuf atau lakap dikenal Ayah Sop Jeunib telah memulainya sebagai gerakan mulia yang menyentuh langsung sebagai solusi aktif bagi masyarakat. Lewat wadah Barisan Muda Umat (BMU) mendirikan rumah-rumah bagi kaum dhuafa, Training Kader Dakwah (TKD) langsung ke pemuda-pemuda gampong, serta aktif menyampaikan dakwah wasathaniyah melalui berbagai platform media sosial. Maka, tinggal saat ini, seberapa banyak aktivis dayah  yang siap dan mampu terjun ke ranah yang telah dimulai oleh Ayah Sop? Kita tunggu saja.(*)

*Juara III Lomba Menulis Esai PB Rabithah Thaliban Aceh Tahun 2024

Baca Tulisan Lainnya:


Tidak ada komentar:

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."