Ada kabar bahwa santri di salah satu dayah ternama di Aceh kini diharuskan
berubah. Terutama perihal dalam cara mereka berpakaian, terutama di lingkungan
dayah ataupun di dalam lingkungan masyarakat. Sebab, dalam beberapa dekade
belakangan dikenal dengan tampilan yang terkesan lusuh, tidak terlalu menarik
dari segi penampilan pakaian dan sebagainya. Oleh karena itu, di dayah tersebut
telah ada semacam anjuran, memakai pakaian yang bagus-bagus dan enak dipandang.
Agar diharapkan, masyarakat yang melihat santri adalah sosok yang dapat
dipercayai, terawat dan sebagainya. Salah satu pimpinan dayah pun pernah
melarang santrinya untuk merokok selama di lingkungan dayah maupun di dayah,
sebab santri ini telah dilabeli sebagai santri dari dayah bergengsi ini.
Menurut saya, dua hal kecil yang dilakukan ini, tentunya berdampak besar
terhadap reaktualisasi santri dan dayah ke depan. Lalu, bagaimana reaktualisasi
lainnya dapat dilakukan? Saya mencoba
menguraikannya dalam tulisan ini.
Kita mengakui, bahwa kehadiran dayah di Aceh dalam rentang beberapa tahun
terakhir dan tahun-tahun sebelumnya memiliki peran melahirkan generasi yang berpegang teguh pada
nilai-nilai agama. Selain dibekali dengan ilmu keislaman, mereka juga dibekali
cara berdakwah (mendirikan dayah, mengisi pengajian, maupun menjadi pendai)
sebagai upaya menyebarkan ilmu keislaman yang telah didapatkan di dayah. Namun,
tak dapat kita pungkiri, perkembangan zaman yang kian hari kian serba cepat ini
disertai tantangan global, arah pergerakan dakwah dan aktivismen kader dayah
nampaknya perlu direaktualisasikan sehingga tetap sejalan dalam menjawab
dinamaki yang berkembang di masyarakat kekinian. Kenapa ini diperlukan? Agar
kehadiran para aktivisme dayah ini dapat selalu dirasakan oleh masyarakat yang
pada masa kini sejatinya sedang haus akan ilmu keagamaan yang sedang kita
rasakan saat ini.
Mengacu pada apa yang saya sampaikan di atas, kehadiran pergerakan dakwah
para kaum santri di Aceh tidak bisa dilepas dari masyarakat sebagai objek
dakwah. Selama ini, dayah dianggap sebagai motor penggerak utama sebagai
penyelaras, pembuka jalan, ataupun penyeimbang kala masyarakat kebingungan
terkait dinamika-dinamika keilmuan, baik tauhid, fiqih, hingga tasawuf. Sejarah
pun mencatat, sebelum adanya pendidikan formal seperti saat ini baik jenjang SD
hingga perguruan tinggi di Aceh, dayahlah lembaga pendidikan keagamaan yang
menjadi rujukan masyarakat, terutama sebagai lembaga untuk mendidik generasi
mulia. Pendekatan yang dilakukan selama ini tentunya, alumni santri atau
aktivisme dayah berpaku pada kegiatan dakwah tradisional, misalnya mengisi
pengajian di gampong-gampong, khatib jumat, menjadi muballigh, atau hadir untuk
melakukan peusijuek sebagai satu tradisi yang melekat. Pertanyaannya
saat ini, apakah pola pergerakan dakwah dan aktivisme kader dayah hanya
berbatas pada hal ini saja? Jika stagnan pada tataran level demikian, maka
santri dayah akan tenggelam dalam arus yang semakin bergerak cepat.
Kita tahu dan merasakan bahwa tantangan dakwah dan aktivismen di masa
sekarang tentunya menghadapi berbagi tantangan beragam. Misalnya, ‘tsunami
informasi’ yang hari ini membanjiri dan kian meresahkan jagat media sosial
hampir tak dapat dibendung. Tentunya, informasi juga menyangkut dan
bersinggungan dengan ruang keagamaan islam kita. Oleh karena itu, kehadiran
kader dayah harus dapat menjawab tantangan ini sebagai generasi penerus ulama
di Aceh. Karena kita khawatir, arus informasi yang simpang siur di media
sosial, tanpa dibarengi kekuatan literasi dari kalangan dayah, maka ini akan
merusak ruang-ruang sosial kita.
Fenomena lain yang hadir di tengah-tengah kita yaitu pola hidup yang
cenderung mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan. Gaya hidup yang
dipengaruhi perkembangan global ini, tentunya mengancam ruang hidup kita yang
kental dengan nuansa gotong royong. Maka, aktivisme dayah perlu menyentuh
tantangan ini dengan menghadirkan perilaku etis nan positif sebagai daya tawar
menghadapi tantangan tersebut dengan menggunakan pendekatan berbasis keagamaan
Islam.
Tantangan berikutnya yang perlu diperhatkan aktivis dayah menyangkut
kehidupan ekonomi masyarakat. Akhir-akhir ini kita mendapati banyaknya
perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal, yang
efeknya kian terasa. Ini berimbas pada bertambahnya penggangguran dan
kemiskinan. Kita khawatir, jika angka ini meningkat dapat menyembangkan angka
kriminalitas di Aceh pun bisa saja meningkat. Isu keadilan sosial, sejatinya
menjadi catatan menarik untuk diaktualisasikan kembali oleh aktivis dayah.
Dari beragam, fenomena, tantangan yang telah saya sampaikan di atas, perlu
sesegera mungkin aktivis dayah menyelaraskannya dalam berdakwah guna menjadi
‘mata air’ kehidupan masyarakat. Lalu, apa dan bagaimana gerakan aktivisme
dayah ini dapat dilakukan pada masa sekarang?
Pertama, kader dayah perlu dibekali dan membekali diri dengan kecakapan
atau literasi digital dengan pendekatan komunikasi yang interaktif. Mungkin,
kebanyakan santri dayah sudah mengenal media sosial, namun belum sepenuhnya
memahami bagaimana platform media sosial ini bekerja. Jika hanya sebatas, pola
dakwah berpindah dari majelis tatap muka langsung ke dunia maya, maka itu bukan
suatu keharusan. Namun, yang perlu diingat bahwa, kader dayah perlu menjadikan
media sosial dapat menyebarkan konten keagamaan islam yang edukatif dan
inspiratif. Maksudnya, kader dayah perlu membekali diri dengan keilmuan public
speaking yang baik dan menjaga nilai-nilai etika yang melekat pada santri.
Kedua, santri dayah perlu meningkatkan kemampuan intelektual ilmu agama,
menganalisis isu-isu terbarukan baik budaya, ekonomi, politik, maupun isu
lingkungan yang telah menjadi concern aktivis di negara lain yang bahkan
bukan latar belakang agamawan. Sebab, isu-isu yang sampaikan tadi, jika
diberikan solusi dengan pendekatan agama, misalnya ‘bagaimana ulama di Aceh
memandang tentang tambang?’ atau ‘bagiamana santri dayah menyikapi perbedaan
politik masyarakat yang semakin terkotak-kotakkan?’, kiranya
pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab oleh santri dayah, maka kehadirannya
akan sangat diperhitungkan kehadirannya.
Terakhir, sebagai wadah partisipasi lebih aktif dalam masyarakat adalah
terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial. Langkah ini sangatlah strategis, sebab
mengingat dayah tidak hanya sebagai corong utama penyampaian dakwah kepada
masyarakat, kehadiran dalam ranah sosial tentunya sangat dinanti masyarakat.
Kegiatan strategis dapat dilakukan misalnya pemberdayaan ekonomi umat,
pendidikan bagi kaum marginal (misalnya aktif berdakwah untuk kaum disabilitas
dan lainnya). Terpenting pula, kehadiran gerakan aktivisme daya dapat pula
disalurkan melalui advokasi keadilan sosial yang terintegrasi dalam nilai-nilai
perjuangan dakwah mereka.
Sejujurnya, penulis melihat tiga langkah strategis ini sudah pernah
dilakukan oleh aktivisme dayah. Sebut saja ulama kharismatik, Tgk Muhammad
Yusuf atau lakap dikenal Ayah Sop Jeunib telah memulainya sebagai gerakan mulia
yang menyentuh langsung sebagai solusi aktif bagi masyarakat. Lewat wadah
Barisan Muda Umat (BMU) mendirikan rumah-rumah bagi kaum dhuafa, Training Kader
Dakwah (TKD) langsung ke pemuda-pemuda gampong, serta aktif menyampaikan dakwah
wasathaniyah melalui berbagai platform media sosial. Maka, tinggal saat ini,
seberapa banyak aktivis dayah yang siap
dan mampu terjun ke ranah yang telah dimulai oleh Ayah Sop? Kita tunggu saja.(*)
*Juara III Lomba Menulis Esai PB Rabithah Thaliban Aceh Tahun 2024
Baca Tulisan Lainnya:
- Harmoni Aceh dalam Karya Livery Talal dan Wendi
- Kisah Guru dan Nahkoda di KMP Aceh Hebat 1: Perjalanan Membanggakan Menyatukan Nusantara
- Kerja Bersama Menghalau Asap Rokok


Tidak ada komentar:
Posting Komentar