Tampilkan postingan dengan label Catatan Harian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Harian. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 November 2018

Saatnya Mencintai Lingkungan

Rabu, November 21, 2018
















Manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki peran penting sebagai penyeimbang di segala kebaikan, tidak terkecuali bagi alam semesta. Seorang muslim pasti mengerti, tanpa mencintai alam, maka ia belum menjurus kepada upaya mencintai Allah Swt dan Rasulullah Saw. Sebab mencintai alam dan lingkungan merupakan bagian dari ibadah.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Wakil Dekan FMIPA Unsyiah Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr.rer.nat Ilham Maulana, S.Si., saat diwawancarai Warta Unsyiah beberapa waktu lalu. Ilham menjelaskan, seorang muslim cenderung memahami ibadah hanya di seputar puasa, salat, haji, dan berbagai kegiatan sejenisnya. Sementara menjaga ketertiban dan lingkungan jarang dianggap sebagai ibadah.

“Banyak yang menganggap bahwa melanggar lampu lalu lintas, membuang sampah sembarangan, atau merusak lingkungan tidak dianggap sebagai dosa,” ujar doktor lulusan University of Leipzig, Jerman ini.

Maka tidak heran, menurut Ilham, banyak orang yang rajin ibadah, tetapi lingkungannya kotor. Bahkan terjadi kerusakan lingkungan di mana-mana.

“Padahal Allah juga menyoroti pemeliharaan lingkungan sebagai catatan pahala, atau merusaknya sebagai dosa.”

Hal ini seperti firman Allah Swt dalam Surat Ar-Rum ayat 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Beberapa waktu belakangan ini, kita dikejutkan dengan dibunuhnya gajah jinak bernama Bunta di Aceh Timur. Mereka mengincar gadingnya. Padahal selama ini, Bunta dikenal akrab dengan manusia. Bahkan, ia menghalau gajah liar agar menjadi tenang.Ustaz Masrul Aidi, Lc., dalam pengajiannya pernah menyebutkan, konflik antara gajah dan manusia cenderung muncul dari kekeliruan manusia yang tinggal di jalur migrasi gajah. Setiap tahun, gajah akan menempuh perjalanan jauh dan kembali lagi pada jalur yang sama. Sementara gajah tidak berniat merusak perumahan dan kebun warga. Mereka hanya bereaksi atas aksi manusia.

Pimpinan Dayah Babul Magfirah, Aceh Besar, itu juga berpesan agar keseimbangan alam dan manusia sepatutnya dijaga. Ia memberi contoh semakin maraknya babi yang merusak kebun warga. Ini disebabkan karena populasi harimau di hutan berkurang akibat diburu oleh manusia.

“Balasan Allah sesuai dengan apa yang kita kerjakan. Jika baik, maka baiklah. Begitu juga sebaliknya.”

Ia menambahkan, dampak dari kerusakan lingkungan bagi manusia juga dijelaskan di
Alquran Surat Al An’Am ayat 44, “Manakala penduduk negeri itu telah mengabaikan peringatan kami. Barangsiapa berpaling berzikir kepadaku, maka hidupnya sempit.”

Terkadang manusia pongah merusak hutan dan lingkungan hanya mengejar nafsu duniawi. Padahal alam dan manusia merupakan dua sumbu yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Andai dua sumbu ini saling jalan beriringan, maka manfaat besar akan dirasa. Daripada hidup sengsara, kenapa tidak manusia dan alam bersinergi dalam kebaikan. (mr)


Sabtu, 11 November 2017

Sail Sabang 2017 yang Menawan

Sabtu, November 11, 2017

Sekali waktu, kakak saya bercerita kunjungan kerja temannya dari Jakarta. Seusai menyelesaikan tugas negaranya itu, si ibu langsung minta diantarkan ke pelabuhan Ule Lheue, Banda Aceh, untuk menuju pelabuhan Balohan, Sabang. Sudah menjadi kegiatan rutin, si ibu tersebut kebelet tetap ingin ke Sabang meskipun pergi untuk sekian kalinya.

Ibu itu meresapi dengan dalam tiap hal yang menarik mata. Sabang baginya menjadi rumah kedua,  pelepas lelah kerja di ibukota negara. Sampai-sampai saking senangnya di Sabang, si ibu itu tak sadar bahwa kapalnya yang akan menuju ke Banda Aceh sudah duluan berangkat. Si ibu ketinggalan kapal cepat! Berupaya mencari kapal lambat yang hanya berangkat dua kali dalam sehari, pun tak ada. Sementara besoknya, si ibu itu harus sudah ada di Jakarta. Hari Senin masuk kerja!

Mulailah ibu ini memutar otak mencari alternatif penyeberangan. Teringat olehnya kapal nelayan yang menyeberang ke Pulau Aceh berkat info yang di dapat dari temannya. Karena lobi-lobi, akhirnya si pemilik kapal mau memberangkatkan si ibu itu hingga tiba ke Banda Aceh. Tapi, dengan bayaran mahal. Tak banyak ambil pusing, si ibu langsung deal dengan pemilik kapal. Bila tidak, bisa saja dia tidak akan tiba pada Senin-nya di Jakarta. Begitulah, ‘kegilaan’ orang-orang kepada Sabang.

Barangkali, si ibu ini akan semakin berbinar, jika tahu kini Sabang semakin berbenah. Kegiatan Sail Sabang 2017 misalnya yang akan diadakan pada 28 November – 5 Desember, akan dimeriahkan beragam kegiatan. Sebut saja Sabang Fun Bike, Aceh Fun Dive, Sabang City Tour, Coffee & Cullinary Festival, Paramotor Show, Blogging Competition, hingga International Yacht Rally. Para yachter dunia akan berada di Sabang. Jika tahun-tahun sebelumnya, Sail Indonesia hanya diikuti 40-50 yachter, tahun ini mengalami penambahan.

“Sudah ada 100 peserta yachter yang akan mengikuti Sail Sabang 2017,” kata Reza Fahlevi, Kadisbupar Aceh saat membuka Flash Blogging, Sabtu (11/11) di Hotel Kartika, Banda Aceh.

2015 lalu, pergi kedua kalinya ke Sabang, saya baru pertama kalinya menyaksikan yachter. Berlabuh di dekat Pulau Iboih, pemilik kapal yang berasal dari luar negeri tersebut sedang menikmati indahnya eksotika Sabang. Konon lagi, karena kelamaan menepi di sana, kabar angin menyebut si pemilik kapal sedang menenangkan hati setelah bertengkar hebat dengan kekasihnya. Dia memilih Sabang, artinya ada sesuatu ketenangan yang didapatnya. Saya berharap, yachter yang galau merana itu kembali lagi untuk mengikuti Sail Indonesia yang kali ini diberi nama Sail Sabang. Apalagi, bisa saja ajang ini mempertemukan dirinya dengan pasangan hidupnya kelak.

Tak hanya untuk orang luar Aceh, kemeriahan Sail Sabang pun merebak di media sosial. Sebuah postingan di akun instagram ternama dengan memiliki berpuluh ribuan pengikut rutin memposting daya tarik wisata Sabang. Saya sangat senang, saat melihat tugu nol kilometer Indonesia sudah bisa dinikmati masyarakat. Bentuknya sudah jadi dengan ciri khas angka 0 (nol) itu. Kalau tahun 2015, saya hanya bisa melihat bentuk kasarnya saja. Sementara sekarang, saat mengetik tangggal #sabang #wisatasabang atau #tugunolkilometersabang akan banyak sekali postingan tentang keindahan tugu tersebut. Tentu, tugu ini akan menjadi daya tarik nomor wahid di Sabang. Betapa tidak, tugu ini semacam menjadi ‘foto wajib’ kalau ke Sabang.

Selain foto keindahan Sabang dengan pemandangan alamnya itu, pemerintah pun sudah membenahi jalan. Sebuah postingan foto instaragam tentang suasana jalan di Sabang memberikan bukti nyata, jika dulu jalan tak dihiraukan, kini berbenah menyambut turis. Jalan di  lokasi wisata pada tengahnya sudah dicat garis warna kuning, di sampingnya di cat garis putih. Pemenuhan fasilitas seperti ini sangat penting. Agar menunjukkan keseriusan menggaet wisatawan untuk bidang transportasi wisata. Apalagi, kini Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata telah menggandeng mitra transportasi. Perubahan ini menjadi penting agar turis tak kocar kacir mencari mobil atau taksi saat menikmati destinasi keindahan Sabang. ()



Sabtu, 19 Agustus 2017

Bahagia Jadi Blogger, Meskipun Blog ‘Meujeulabah’

Sabtu, Agustus 19, 2017



Betapa bahagianya saat ngeblog.  Bisa menularkan semua hal yang sifatnya informatif. Semasa masih mempunyai alamat blogspot, berupaya rutin menulis. Mulai ngeblog sejak 2010, mencoba menulis semenarik mungkin. Meskipun hal tersebut sungguh alay dan kekanakan jika dibaca kembali sekarang. Mulai suka ngeblog jika disukai pembaca. Semacam bangga, bahwa saya mampu menularkan hal positif di tiap tulisan.

Duit yang keluar untuk membeli domain, hosting, dan biaya desain web, bagi saya adalah hal lumrah. Jika ingin mengubah sesuatu, maka blog juga harus dibikin menarik dan asik untuk dilihat, apalagi dibaca. Semangat saya bertambah setelah jadi dotcom itu. Berkat pancingan dari kawan-kawan, arifsalda.com melalangbuana sejak setahun silam. Sebelum menjadi dotcom, saya bahagia saat mengetahui bahwa blog saya dikunjungi oleh orang dalam hingga luar negeri. Walau pun mereka bisa saja salah pencet.

Hal menggemberikan lainnya adalah teman dekat saya mulai rutin ngeblog. Tiap hari semasa kuliah, saya rutin jadi agen kompor gas. Tugasnya, saya komporin dia untuk mulai ngeblog  dan lupakan mantan!

Kawan saya tersebut, rutin menulis review buku hingga film fantasi. Berhubung, antara saya dengan dia memiliki kiblat bacaan yang berbeda. Saya menyukai novel roman, sementara dia novel fantasi. Meskipun perbedaan mazhab bacaan yang signifikan itu, usaha saling menyemangati tak hentinya. Kamisaling bertukar pikiran. Malah ketika dia lebih produktif ngeblog, saya sebaliknya. Kawan saya ini sudah pernah jadi Juara III Nasional dan mendapatkan bonus 4 jutaan.

“Rif, uang ini bisa aku pake buat bayar utang hahaha,” katanya.

Rupanya, blog saya makin meujeulabah (Bersarang laba-laba). Kawan saya selalu memotivasi untuk ikut lomba blog. Wajar, karena dia pun sadar sebab blog saya meujeulabah-nya luar biasa. Setelah memenangkan lomba blog, dia rajin ngeblog meskipun tak juara. Selain untuk ikut lomba blog, teman saya itu juga menulis tentang isu-isu kekinian. Yang paling saya suka, dia mampu membuat poin-poin tertentu dari ide yang ditulisnya.

Kebahagian lainnya, saat mengompori abang kandung saya buat ngeblog. Sebab, sebelum jadi blogger, abang saya sudah melalang buana menjadi penulis koran. Tulisannya beragam, cerpen, puisi, esai, dan opini. Blog-nya pun telah menjadi pembaca tetap. Sebab abang saya rajin promosi – agak narsis juga sebenarnya – di media sosial. Nampaknya, dia sangat sadar kalau blogger itu dunianya artis. Ya bukan harus main film juga, semisal terkenal di warung-warung kopi sekitaran Banda Aceh saja sudah kebahagian yang tak terkira.
Blog saya memang meujeulabah

Kata ini saya populerkan saat memperingati hari blogger tahun silam. Banyak respon karena kata tersebut. Semisal “Rif, abang mau rajin ngeblog lah. Takut meujeulabah kayak blogmu,” timpalinya sambil ketawa ngakak. Inspiratif kali kan kalau jadi blogger, meskipun blog saya meujeulabah!



Jumat, 18 Agustus 2017

Langkah yang Harus Ditempuh Agar Menjadi Youtuber

Jumat, Agustus 18, 2017

Orangnya ramah. Itu yang saya lihat dari karakter Muhammad Hanif Hasballah. Putra asli Pidie, Aceh itu menjelaskan dengan runut perihal dunia vlog yang mulai digelutinya setahun belakang. Kebetulan, Sabtu sore (19/8) saya lebih cepat hadir dari biasanya. Bahagia ketika tiba-tiba didampuk menjadi moderator sesi Kelas Menulis “Vlogging Itu Asik”, bikinan teman-teman FLP Banda Aceh.

Pemilik nama akun instagram @emhanief memulai kelas dengan mengenalkan vlogger internastional, dialah Casey Neistat. Padanya, Hanif berguru vlog online. Untuk deretan vlogger nasional, deretan nama yang dikenalkannya, Agung Hapsah, Arief Muhammad, Ria Ricis, Gita Savitri, hingga Raditya Dika. Nama tadi menjadi referensi calon magister salah satu universitas ternama di China itu untuk membuat vlog pribadinya.

“Vlog cepat tumbuh karena anak muda indonesia suka dengan video, ketimbang membaca buku,” ujar Hanif.

Saat mendengar Agung Hapsah, saya teringat dialah anak muda berusia 18 tahunan yang diundang khusus Presiden Jokowi untuk bareng satu pesawat kepresidenan dalam satu kunjungan kenegaraan itu. Setelahnya, Agung Hapsah juga diundang pada acara Kick Andy Show. Dia memberi inspirasi bahwa, anak muda harus menularkan hal positif melalui konten vlog.

Setelah sesaat wajah Agung Hapsah muncul dan vlogger nasional lainnya, pada slide presentasinya itu, abang kandung Muzammil Hasballah – Imam Muda yang heboh berkat youtube – menyebut kata vlog berasal dari kepanjangan “Video Blog”.

“Video Blog (Vlog) adalah bentuk video rekaman aktivitas pribadi. Yang sifatnya informatif”, ujar alumni Fakultas Teknik Unsyiah itu lagi.



Tentu, ngevlog memiliki ragam manfaat. Semisal, mampu membagikan apa yang kita punya untuk orang lain. Terutama dituntut mampu mengasah kreativitas, ditambah terbentuknya personal branding.

“Saya paling suka karema membangun relasi. Kalau menghasilkan uang, ya Alhamdulillah hehehe,” kata pemilik vlog dengan nama Muhammad Hanif Hasballah.

Vlog juga memberi manfaat sebagai media promosi, Hanif mengatakan bahwa jangan jadikan sebagai penghasilan utama, karena bisa saja perusahaan penyedia vlog, bangkrut. Laman vlognya setelah setahun sudah telah di-subscribe sebanyak 3316 subscriber dengan jumlah video sebanyak 32 termasuk video pernikahan adik kandungnya yang heboh sejagat.

Hanif memulai debut vlog saat menempuh studi magister di China. Vlog pertamanya bahkan dibuat dengan handphone. Berkat bantuan Akbar Rafsanjani membantu editing, Hanif memberanikan diri membagikan videonya itu yang diberi nama “Study in China” yang telah ditonton sebanyak 4506 kali.

Jika membuka laman vlog-nya itu, saya kagum karena Hanif bukan hanya menampilkan negara orang. Hanif ingat betul negaranya. Seperti saat menonton video pernikahan adiknya yang kental budaya Aceh. Belum lagi video terbarunya menceritakan tentang tampilan baru Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang kini telah memiliki 12 payung itu.

Menariknya, Hanif tak sungkan membagikan tips membuat vlog. Diantaranya, kita harus memiliki peralatan (boleh HP, kamera digital, DSLR) hingga persiapan.

“Yang paling penting kita punya konsep yang jelas. Bagian editing biasanya juga menguras tenaga yang lumayan. Nah akhirnya tinggal upload dan share. Yang paling susah membuat video adalah konsisten. Harus tahan jenuh, sebab butuh waktu untuk melahirkan video.”

Adobe Premire Pro, Filmora, Kinemaster (untuk HP) adalah deretan aplikasi yang dapat digunakan untuk membuat/mengedit video. Tak menutup kemungkinan, dengan adanya aplikasi ini memudahkan vlogger. Sepertinya halnya menulis, Vlog juga hampir sama dengan Blog. Bisa fokus ke bidang tertentu.

“Tapi gak menutup kemungkinan, memvideokan bidang lain,” sebutnya saat menjawab salah satu pertanyaan peserta.

Pertanyaan lainnya menanyakan konten apa yang menarik dibagi untuk Indonesia? Hanif pun mengatakan, bahwa ngevlog bukan melulu harus tentang negara orang, harus ke luar negeri dulu. Tapi bisa membagikan hal positif di Indonesia. Menurutnya, vlogger Indonesia keren-keren. “Sebab, ngevlog dapat dilakukan dari hal biasa menjadi luar biasa,” Hanif menyemangati.

Kehadiran Akbar Rafsanjani, turut memotivasi Hanif menceritakan awal mula dia mulai menyukai vlog. Akbar yang merupakan videografer dengan akun youtube Rio De Jaksiuroe itu membenarkan bahwa Hanif awalnya belajar darinya. Di akunnya itu yang telah berjalan setahun lebih dengan pembicara utama (semacam ala-ala reporter) Riazul Iqbal.

“Kami ingin mempromosikan wisata di Aceh, khususnya Pidie. Potensinya luar biasa, hanya saja gak digarap dengan bagus. Saya beruntung jumpa dengan Rio, karena saya basic-nya video, Rio mahir bicara,” bebernya di sore itu.

Rio – sapaan familiar Riazul Iqbal – mengiyakan isi perkataan Akbar. Dia menuturkan, setelah videonya dibagikan, akhirnya viral. Kini masyarakat mulai tahu lokasi wisata yang sebelumnya tersimpan rapi dalam hutan-hutan pedalaman Pidie. Saya (Muarrief) kagum, padahal Tim Rio De Jaksiuroe ini tanpa mengikuti ajang pemilihan Duta Wisata, sudah berbuat. Tanpa lebel, mereka bekerja untuk daerahnya. Salut!


Akhir sesi, Hanif memberi pesan dalam bahasa Inggris yang saya gak tahu artinya (edisi syurhat). “The expert in anything was one a beginner,” pungkasnya. []

Makasih Bang Hanif atas sharing ilmunya

Senin, 29 Mei 2017

Sekolah Saya Dibakar

Senin, Mei 29, 2017
Ilustrasi/google

Apa yang begitu keji ketika konflik berkecamuk lalu beraduk? Ketika merebut ruang pendidikan anak-anak. Tepatnya enam ruang kelas dibakar, termasuk ruang guru disertai ruang kepala sekolah di dalamnya.

Saya tahu sekolah saya dibakar GAM pada malam harinya. Ibu memberi tahu saya. Sebagai anak kecil, hanya bisa bengong tak ada gaya apa-apa. Seperti pasrah menerima keadaan, namun benih-benih kekecewaan mulai tumbuh dalam jiwa saya. Katanya pejuang rakyat, kenapa malah membakar fasilitas rakyat? Begitu saya memikirkannya masa itu.
Kawan-kawan saya pagi itu hanya bisa termenung. Para murid 'ingusan' itu telah lengkap 'baret' untuk belajar. Apa yang didapat? Gedung kelas mereka telah hitam legam. Kalau tak salah ingat, masa itu saya baru menaiki kelas IV SD. Salah satu guru favorit masa itu adalah Pak Ja'far. Yang ternyata kenal dekat dengan Almarhum Bapak Saya. Pak Ja'far dan guru-guru kami lainnya hanya bisa termenung, ingin memberontak tapi tak bisa. Mereka sama sikapnya seperti para murid. Terpaku, hanya bisa berharap sekolah segera dibangun yang baru.
Sebelum di bangun gedung sementara, kami terpaksa belajar di masjid dekat sekolah. Yang masih dalam tahap pembangunan. Tapi, kami menunggu dibangunkan sekolah dalam tempo lama.
Tapi, yang begitu menyedihkan dan mencederai kecerdasan, satu-satunya perpustakaan sekolah saya dibakar. Masa itu mereka disebut OTK. Padahal jelas siapa biang kerokannya. Hingga pun kami terpaksa mengatakan "Sekolah kami terbakar", dan dilarang mengatai "Sekolah kami dibakar!"
Padahal, masa itu saya sedang asyiknya membaca. Untuk tiap kelas diberikan jatah meminjam buku dan setiap hari bebas membaca apa saja di sana. Salah satu buku yang saya baca judulnya "Lestari". Pada buku itu saya belajar tentang hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Secara tak sadar, buku mendekatkan saya pada cinta lingkungan.
Hingga tamat sekolah, saya tak lagi menikmati buku bacaan dari sekolah tersebut, sebab tak kunjung dibangun karena diutamakan membangun gedung belajar terlebih dulu. Saya sedikit bangga, karena tropi pertama yang didapat sekolah itu adalah dari saya, berkat juara tiga menggambar tingkat kabupaten. Ini semacam perlawanan saya kalau diingat-ingat masa sekarang. Pun orang-orang yang telah membakar itu harus tahu bahwa ada banyak mimpi dan cita-cita generasi yang akan mengubah pola pikir dan pola kebiasaan masyarakat Aceh.
Orang-orang tak bertanggung jawab itu harusnya malu membuat generasinya merosot dalam pendidikan. Alih-alih katanya gedung sekolah itu milik pusat, masa itu pun mereka tidak memberi ruang pendidikan lain. Pun sekarang tak lagi memegang senjata, jadinya renteng tas, pulpen meusak lam keih, ruang pendidikan kami masih sama. Sama-sama gelapnya seperti perusahaan listrik!

Sabtu, 04 Maret 2017

Sarana dan Prasarana atau Prasarana dan Sarana?

Sabtu, Maret 04, 2017

Lelaki yang sering disapa Pak Yarmen itu komat-kamit menjelaskan perihal dunia ilmu jurnalistik. Redaktur Pelaksana koran harian Serambi Indonesia itu menjelaskan dengan runut dari tiap materinya. Saya yang berkesempatan mengikuti pelatihan tersebut mendengar materi hingga usai workshop sorenya. Beberapa ilmu terkait jurnalistik saya lamat dengan baik. Penjelasan Pak Yarmen yang lugas dan jelas itu memudahkan saya memahami dasar-dasar jurnalistik. Salah satunya adalah terkait pemilihan kata dalam tulisan rilis berita.

“Banyak sekali kesalahpahaman kata-kata di tengah masyarakat kita dan parahnya berlangsung turun temurun,” sebutnya. “Nampaknya masyarakat kita seolah membiasakan yang biasa, padahal salah,” ujarnya lagi.

Pak Yarmen lalu menyebut penggunaan kata ‘sarana dan prasarana’. Dua kata ini digabungkan menjadi satu padanan makna baru. Saya coba memaknai pada gabungan kata lainnya. Seperti halnya penyebutan gabungan kata terima kasih, lalu lintas, tanggung jawab, dan ragam gabungan kata lainnya. Hanya saja, yang membedakan pada gabungan kata ‘sarana dan prasarana’ terdapat kata penghubung ‘dan’. Pun demikian, gabungan kata ini oleh masyarakat Indonesia telah mengganggap hal yang biasa. Sepintas, saya jadi teringat bahwa sejak mulai bisa membaca, gabungan kata ‘sarana dan prasarana’ sering saya dengar dan baca dalam perbincangan atau buku bacaan hingga produk hukum yang menjurus kepada penulisan bagian di sebuah kantor pemerintahan.

Saya pun teringat, bersamaan dengan hal itu, dalam sebuah perjalanan liputan bakti sosial, seseorang yang satu mobil dengan saya berujar bahwa bapak fulan bekerja pada bagian Sarpras. Akronim tersebut dimaksudkan pada pemendekan bacaan untuk gabungan kata ‘sarana dan prasarana’. Saya hanya mangun-mangun saja waktu itu. Tidak ada yang aneh, karena gabungan kata ‘sarana dan prasarana’ sudah lazim terdengar dan ditulis. Pun demikian, jabaran dari Pak Yarmen, sempat membuat saya berpikir ulang, apa macam tiba-tiba kata yang sebenarnya adalah ‘prasarana dan sarana’?

Pria yang memiliki kulit putih tersebut seperti tak pernah berhenti menjelaskan pada bagian itu. Dia menjelaskan perumpamaan pemakaian kata ‘prasarana dan sarana’. Jika kita ingin membangun sebuah sekolah, sementara di samping sekolah tersebut ada sungai atau irigasi. Tentu, yang harus di bangun dulu adalah jembatan ke sekolah tersebut. Jembatan dimaksudkan sebagai pewujudan kata ‘prasarana’ dan sekolah sebagai pewujudan dari kata ‘sarana’.

“Kalau duluan kita tulis kata ‘sarana’ dan seterusnya diikuti kata ‘prasarana’, artinya kita duluan bangun sekolah baru bangun jembatan. Coba dibayangkan,” sebutnya. “Jadinya, yang benar adalah membangun jembatan dulu (prasarana), setelah itu selesai baru kita bisa membangun gedung sekolah (sarana) dan fasilitas lainnya,” tambahnya lagi.

Hari itu, Pak Yarmen menganjurkan agar kesalahan ini jangan sampai terulang. Menurutnya, ini sudah jadi kesalahan berjamaah dan berzaman. Hampir bisa dikata telah hidup dalam pembiaran. Bersebab, kesalahan ini terjadi dari pusat hingga ke daerah-daerah. “Saya berharap, kita semua dapat menyebarkan informasi ini kepada semua orang. Kita punya tanggung jawab memperbaikinya.”

Menelaah pada salah satu produk hukum yang menyangkut pemakaian kata ‘sarana dan prasarana’, jika merujuk pada UU Standar Nasional Pendidikan Tahun 2003 Nomor 20 Pasal 35, jelas-jelas tertulis begini “Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.” 

Kendati pun jika kita mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 Poin 9 berbunyi “Standar Sarana dan Prasarana adalah kriteria mengenai ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.”

Bayangkan, tiga buah produk hukum berkenaan dengan standar nasional pendidikan dari 2003, 2005, dan 2013 terhitung 10 tahun lebih negara kita abai dalam hal remeh temeh pemakaian kata ‘sarana dan prasarana’. Ini belum lagi kita mengecek pada produk hukum UU pada tahun sebelumnya dan pada produk hukum bidang lain, baik olahraga, kesehatan, ekonomi, politik, keuangan dan bidang setara lainnya. Artinya, untuk tingkatan kementerian yang membidangi perihal pendidikan masih juga salah dan abai hanya untuk penggunaan kata sarana dan prasarana yang seharusnya prasana dan sarana.

Saya sempat menanyakan via kotak masuk facebook kepada Reza Idria yang merupakan mahasiswa doktor di Harvad University, Amerika Serikat. Saya tertarik menanyakan berkaitan awal mula penggunaan kata ‘prasarana dan sarana’ dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurutnya, kemungkinan yang paling dekat adalah tinjauan asal kata yang dipakai, kata sarana itu berasal dari bahasa sanskrit. Bahasa yang kalau kita tahu lebih dahulu dikenal dan diadopsi oleh bahasa Melayu/Indonesia.

“Sementara penambahan kata pra- dalam kata sarana menurut saya baru dikenal belakangan setelah kita bersentuhan dengan Eropa secara awalan tersebut berasal dari rumpun bahasa Eropa ‘pre-‘ yang artinya ‘sebelum’. Penggunaan awalan ‘pra’ lalu juga dilekatkan pada kata-kata lain. Kasus di atas tidak hanya terjadi pada kata sarana dan prasarana, tapi juga syarat dan prasyarat,” ujar pendiri Komunitas Tikar Pandan itu.[]

Senin, 30 Januari 2017

Alih Kucing Hitam Putih

Senin, Januari 30, 2017

Pemberhentian kami sepulang dari Gayo Lues, mantap meluruskan niat untuk segera shalat. Sebuah masjid agung kebanggan masyarakat Bireuen menjadi pilihan kami. Kawan saya yang badannya sedikit gumpal berisi mulai berseloroh, dia sudah kebelet pipis. Dia pun menitipkan tasnya kepada saya. Sembari menunggunya pipis, saya memperhatikan kucing menghadap sebuah bagunan. Dari gaya tubuhnya, kalausanya dia manusia, seperti orang galau ditinggal isteri atau pacarlah namanya. Saya mendekatinya. Berniat memotret. Trap… beberapa kali saya memotretnya. Bunyi dari kamera DSLR mengalihkan pandangannya ke arah saya. Begitu nanar. Bisa jadi kucing berbulu campuran hitam putih itu memikirkan begini “Entah apalah manusia ini, dikit-dikit foto.”

---

Minggu (21/9) tahun lalu, Ikbal kawan dekat saya berangkat ke Sambas, Kalimantan Barat. Dari awal, dai begitu semangat mendaftar untuk  menjadi guru SM3T. Berkali-kali dia menghubungi saya memantapkan hatinya. Padahal di sebuah sekolah di Aceh Utara, telah menerimanya menjadi guru. Tapi, apatah daya, kawan saya ini memang nekadnya ketulungan. Sampai-sampailah dia diterima sebagai guru SM3T. Perpisahan sementara hari itu biasa saja, tak ada tangis-tangis palsu beberapa orang kebanyakan. Yang ada kami malah saling tikung menikung soal perutnya yang buncit dan dia berseloroh lalu ketawa karena tubuh saya yang boleh dikata langsing – antitesa kata kurus sih sebenarnya. Sepulang mengantar Ikbal, saya dan Rahmat – manusia gempal dan buncit lainnya turun ke parkiran. Aroma pagi masih terasa di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Sebuah kursi biru terbuat dari plastik keras menerima kami. Kebanyakan kursi ini menjadi semacam landmark­ tiap warung kopi di Aceh. Rupanya saya salah sangka, ternyata ada pengunjungnya. Seekor kucing berbulu hitam campur putih sedang rebahan ala-ala di pantai. Warna putihnya hampir hilang lantaran dominasi warna hitam. Hanya ada di wajah dan di perutnya yang rupanya sedang hamil tua. Saya mengendong kucing itu, bulunya halus. Tiap kali lihat kucing, suka saja lantaran imut-imut meunan. Sang kucing nyatanya tak betah lama-lama saya gendong, takut dilihat oleh suaminya, malah merusak rumah tangga mereka. Dan efeknya, saya hampir kena cakar darinya. “Nah kan udah aku bilang tadi, hati-hati bang,” sebut Rahmat sambil menertawai saya.

--- 

Lebaran Idul Fitri tahun lalu, seperti biasanya saya pulang kampung. Keseringannya saya tiba malam hari. Setiap sampai di rumah, kucing hitam putih rumah kami sering menyambut kedatangan saya. Entah, rasa-rasanya dia seakan tahu bahwa saya baru saja pulang dari tempat jauh. Kucing ini bulu putihnya lebih mendominasi. Beberapa tutul hitam ada di tubuhnya. Ibu menamainya Pelangi, padahal kucingnya jantan sejantan-jantannya. Sejak kaki belakang sebelah kanannya kecelakan ditabrak motor, ibu sangat rutin menyembuhkannya. Bisa dibilang bertahun ibu mengobatinya. Ada banyak obat direkomendasikan tetangga kala itu, ibu mantap memilih satu obat. Menurutnya obat itu amat mujarab. Ada yang unik saat ibu menaruh obat di kakinya, ibu telah menganggap kucingnya sebagai anggota keluarga. Bayangkan saja, tiap ibu menaruh obat, dia berbicara dengannya. Dan kita tahu, entah kucing itu tahu atau tidak, tapi rasa-rasanya dia memahaminya. Sebelum dan sesudah ditabrak, Pelangi tetap saja menangkap tikus di rumah. Biasanya abang saya membawa pulang buruan tupai, untuk diberikan kepadanya. Lagi pun cecak juga menjadi santapan favoritnya. Bahkan, jika ibu menangkap cecak di tempat lain, ibu mengantonginya dalam kantong plastik. Dibawainya untuk Pelangi. Sebelum ada Pelangi di rumah, juga ada kucing lainnya. Bulu hitam putih juga jadi khas kucing kami. Namun, dia mati dalam lumbung padi rumah saudara saat mencari tikus. Namanya Si Kleng, saya percaya kucing ini sudah di surga, tempat idaman setiap makhluk.

--- 

Tidak seperti biasanya, kucing tetangga saya di Banda Aceh, kali ini nampak jinak. Karena biasanya kucing itu semacam sok jual mahal, gak mau ditangkap, dielus-elus atau lainnya. Barangkali dia tipe kucing yang gak mau dipermainkan manusia. Alah! Entah udah macam perasaan. Kucing ini peliharaan anak tetangga samping rumah yang masih belajar di Taman Kanak-kanak (TK). Sebelum dia memelihara kucing itu, padahal sudah ditawarin kucing tipe Persia oleh orang tua. Namun, dengan mantap anak itu menepisnya. Dia memilih kucing kampung. Badan kucing itu gumpal dan sehat, mirip-mirip atletis. Dia tidak diberi nama khusus, hanya dipanggil Pus. Pagi itu, Pus bermain ke rumah. Tiba-tiba Pus jadi sok akrab dengan saya. Nah, kan kalau begini jadi aman kita berteman. Pus datang mengelus-ngelus bulunya ke baju saya. Saya lalu mencoba mempermainkannya dengan tetalian. Ternyata hal itu hanya bertahan sebentar. Benar, dia tidak suka dipermainkan! Pus yang akrab dengan saya membuatnya hadir pada lain hari. Di hari kerja, saya hanya sebentar menyapanya, lalu bergegas berangkat kerja. Pus hanya melihat dari kejauhan, sambil tidak melambaikan tanggannya.

--- 

Di masjid, warung makan, kampus atau rumah-rumah pesta. Saya juga menjumpai kucing berbulu corak hitam putih. Selain kucing-kucing yang saya alamatkan di atas. Saya tidak tahu pasti, dalam beberapa bulan ini sering menjumpai kucing hitam putih. Di mana pun tempatnya, corak mereka selalu saja berbeda. Saya sempat teringat ingin menanyakan kepada ahli tamsil. Barangkali ada maksud di tiap perjumpaan saya dengan kucing hitam putih. Namun, hal itu urung saya lakukan, belum tahu siapa yang paham tentang ilmu tamsil. Atau ini hanya kebetulan saja. Jika pun kebetulan, saya melihat bahwa dunia ini selalu saja hitam putih. Orang-orang yang berkulit putih akan cenderung menatap nanar orang berkulit hitam, beberapa di antaranya adalah oknum. Misalkan desain grafis, latar sebuah desain akan lebih ekecing jika putih, Nampak bersih. Orang-orang alim pun kebanyakan memakai baju putih. Seperti anjuran pergi salat Jumat sebaiknya memakai pakaian serba putih. Pun demikian, warna hitam tetap saja tidak bisa dianggap tak ada manfaatnya. Contohnya kucing, saat percampuran warna hitam putih jadilah kita melihat keindahan luar biasa dalam karya Maha Dahsyat Kuasa-Nya. Apatah kita manusia yang hanya mampu menilai dan menerka saja. Bayangkan jika hanya didominasi satu warna saja, sungguh dunia ini sangatlah monoton. Tetap saja, perbedaan selalu membawa rahmat untuk mencapai persamaan. Jika pun tidak sama, mari sama-sama kita mencari persamaan dalam tiap perbedaan. Dari pada mencemooh mengganggap dirilah yang terbaik. []

Jumat, 13 Januari 2017

Cara Asik Menulis Resensi

Jumat, Januari 13, 2017

Jauh di antara kelas-kelas menulis lainnya, ini salah satu kelas menulis yang saya nantikan. Selama ini saya mendapatkan ilmu tentang resensi dengan otodidak, paling banter diskusi ringan dengan penulis. Itu pun belum saya dapatkan info yang pasti mengenai dunia resensi. Hampir sebulan saya tak hadir ke ruang diskusi menulis Forum Lingkar Pena. Inilah yang membuat saya rindu akan hal itu. Kelas menulis kali ini dibahas mendalam bersama Isni Wardaton.

30 menit dari jadwal semula, kami sepakat memulai kelas. Isni yang hari itu memakai baju sepadan merah muda, memulai kelas dengan membedakan antara resensi, review, hingga resume. Baginya ada yang begitu kentara perbedaan yang nyata ketiga. Resensi dan review isinya hampir sama, yaitu memberi tahu informasi. Review dikatakan sebagai sebuah tulisan dengan mengulas kembali, bukan mencari kelebihan dan kekurangan hingga mampu diambil kesimpulannya.

“Resume itu meringkas sebuah cerita, biasanya jadi tugas sekolah. Ya seperti membaca beberapa buku dan diulas kembali. Ketiganya beda pada penerapan,” sebut gadis Miruk Taman mengawali kelas menulisnya. Isni juga menyelipkan bahwa sinopsis ditulis oleh penulis buku itu sendiri. Menurutnya, kedua jenis tulisan itu perlu dibahas agar tak salah paham dan tak salah dipahami oleh penulis pemula.

Sesekali Isni tampak melihat layar kaca laptopnya, di sana beragam slide presentasi dipaparkan. Dia menjabarkan dengan runut mengenai seluk beluk dunia resensi. Dari paparannya itu, dikatakan sebagai resensi haruslah mencakupi membahas tentang buku, identitas buku, membahas isi buku, penilaian sebuah buku, mendapatkan kelebihan dan kekurangan, adanya latar belakang dan alasan buku diterbitkan, memberikan informasi kepada pembaca, membantu penulis untuk membedah bukunya sebelum dirilis. “Dan selain memberikan masukan kepada penulis buku, baik kritik, subtansinya, saran kepada penulis, resensi tidak hanya berlaku pada buku, tetapi juga film, musik dan lainnya.

Kesan yang paling menarik dan memikat otak saya untuk mengetahui lebih lanjut soal resensi, ketika Isni menjelaskan terkait tips menulis resensi. “Nah, saya akan berbagi tips buat teman-teman semuanya. Salah satunya tips kenapa tulisan saya pernah dimuat oleh KOMPAS dan Koran Jakarta.”
Isni komat-kamit sambil menyebutkan tipsnya. Saya tak lagi memperhatikan apa yang dijelaskan. Jari saya lancara mengetik dari pendengaran penjelasan Isni. Biar mudah dan enak dilihat oleh mata. Saya menulis dalam bentuk poin saja.

Tips resensi ala Isni :
·         Tips sebelum menulis resensi
a.       Perhatikan dengan detail lapik buku
b.      Membaca biografi penulis
c.       Membaca prakata (bisa mencuri isi prakata awal kemudian dimasukkan idenya ke dalam resensi)
d.      Menyiapkan alat tulis pulpen warna, membantu menandai kutipan yang menarik
e.      Kalau buku fiksi, baca sampai selesai. Berbeda dengan buku non-fiksi, kita bisa resensi per bab yang ada pada buku.
  
·         Tips saat menulis resensi
a.       Kata kunci
b.      Bisa mengawali dengan deskriptif atau kutipan
c.       Pastikan tokoh utama masuk dalam tulisan
d.      Tidak terpaku dengan kata yang ditulis penulis
e.      Munculkan nama penulis buku
f.        Bisa menceritakan nama tokoh utama, bisa pakai nama langsung atau nama lainnya
g.       Menulislah seolah-olah kamu sedang bercerita kepada temanmu
h.      Libatkan juga emosionalmu
i.         Sisipkan kutipan
j.        Kalau kehilangan kata-kata dalam resensi, gunakan kata sakti ‘akibatnya’ ‘dalamnya’

·         Tips sesudah menulis resensi
a.       Setelah siap semua tulisan, tinggalkan selama satu jam, satu hari atau bahkan satu minggu
b.      Bisa juga minta bantuan teman untuk melihat tulisannya
c.       Edit kembali tulisan
d.      Kalau sudah bagus tulisannya, barulah buat judul

Kalau kata Isni, kita tidak menceritakan yang sudah ditulis yang ada dalam buku. Tapi menciptakan dengan bahasa baru, tetap berpedoman pada isi cerita. Kita bisa obrak abrik cerita awalnya dengan versi baru. Jika mengambil kutipan itu bisa menambah rasa percaya kepada pembaca tentang isi buku. Yang perlu diperhatikan juga bahwa menulis resensi jangan terlalu banyak dibarengi dengan kutipan, cukup 2-3 kutipan. Karena untuk menunjukkan keoriginalitas tulisan peresensi. Sebaiknya ambil kutipan yang belum diambil orang lain.

Selain tips, rupanya hal yang diluar dugaan saya, Isni turut memaparkan trik agar resensi tembus media. Baginya, peresensi sebaiknya membaca minimal 2 resensi yang sudah dimuat pada media incaran itu. “ini memudahkan penulis mengetahui tujuan media tersebut,” beber Isni. Selanjutnya, peresensi juga perlu memahami cara pengiriman tulisan dan lalukan apa yang diminta media. Sertakan juga biodata diri, berupa foto penulis. Jika kirim dalam badan email, sertakan kover buku. Nah, lampirkan pula identitas bukunya. “Jangan lupa cantumkan nomor rekening, jika dimuat ini menjadi reward bagi kita,” tutup Isni. []

Senin, 26 Desember 2016

Disapa Laut

Senin, Desember 26, 2016

Seperti sebuah ritual, Minggu pagi saya menghabiskan waktu menonton tontonan serial kartun anak-anak. Saya tidak akan melalukan apapun, sebelum kegiatan asyik ini usai. Selalu dan hampir selalu, saya sarapan sambil menyimak kotak bergambar itu yang bergerak. Ibu telah duluan pergi ke sawah. Beliau bersama abang buru-buru kesana. Di hari itu, sawah kami akan ditanami padi. Ibu memberikan celah lain bagi saya, bahwa ada semacam 'kelebihan waktu' untuk menonton serial favorit Minggu pagi, Doraemon. "Nanti siap nonton, langsung ke sawah ya Nyak," sebut ibu, beliau pun berlalu.

Jam 08.00 WIB serial Doraemon pun usai. Saya bergegas, agar cepat sampai ke sawah yang letaknya di desa tetangga. Sepeda merek Jonhson, kala itu nampak keren bagi siapa saja yang bisa mendayungnya, saya pun dengan 'pakaian dinas' sigap meluncur. Hingga tiba di sebuah empang, saya melihat airnya bergoyang kiri-kanan. Dan rasanya sepeda saya berjalan dengan aneh. Ada apa ini? Tanya saya dengan sendiri. Barulah spai di sebuah rumah, sebelah kiri jalan. Seorang ibu-ibu mudah menyuruh saya berhenti. "Ada gempa, turun dulu, berhentin di sini!", perintahnya, lalu saya pun dengan hati penuh takut mengiyakan. Padahal, ini momen paling mengerikan. Tanpa ibu dan saudara saya lainnya, saya dibuat panik oleh gempa itu.

Ibu- ibu muda tadi dan anak-anaknya telah lebih dulu keluar rumah. Ada juga beberapa orang lainnya. Di hadapan saya ada sebuah tiang listrik, saya berpegangan pada tali penyangga tiang yang ditancapkan ke tanah. Perhatian saya tertujubke arah tiang. "Bagaimana kalau kira-kira tiang ini roboh?", gumam saya. Namun, hal itu tak saya utarakan kepada lainnya.

Perkiraan saya, gempa itu terjadi sekitar pukul 08.10 WIB. Karena saya berangkat dari rumah sudah lewat dari pukul 08.00 sekian. Saya masih menduga-duga, bagaimana kejadian gempa ini bisa begitu dahsyatnya. Seperti kita sedang naik ayunan. Jika saja orang-orang itu tidak menyuruh saya berhenti, barangkali bisa saja saya sudah sampai ke sawah tanpa mengetahui apa-apa.

Saat gempa telah reda, saya melanjutkan perjalan ke sawah. Ibu dan saudara saya lainnya, juga bernasib sama dengan saya. Mereka ketakutan, tak ada satupun yang berada di dalam sawah. Semuanya berkumpul di jalan persawahan. Hingga beberapa saat, saya baru tahu, oleh kawan SMP saya, kami diberitahukan bahwa di kawasan Krueng Panjoe jalannya retak besar dan panjang. Hal ini menambah ketakutan kami.

Di hari-hari berikutnya, kami pun mengenal istilah tsunami. Yang oleh orang-orang menyebut kata itu dengan benar, namun kadang ada yang salah dalam menulisnya. Jadilah ditulis seperti stunami dari kata aslinya tsunami. Taulah saya bahwa kata ini diambil dari bahasa Jepang. Lantaran konon, tsunami paling sering terjadi di daerah itu. Secara ini, setelah gempa dan tsunami melanda Aceh, kata 'tsunami' menjadi populer.

Tahun-tahun setelahnya, saya baru tahu rupanya ada kata lain yang sudah di pakai oleh masyarakat Aceh, yaitu smong. Oleh masyarakat Simeulu, kata ini sudah duluan populer. Bagi masyarakat di sana ada semacam pendidikan bencana, jika air laut surut jauh, harus segera lari daerah tinggi, sebut saja gunung dan sebainya. Hal inilah yang membuat korban gempa dan tsunami di sana, menurut info yang saya dengar, tidak banyak, sekitar 7 orang (saya akan mencari data konkrit di lain waktu).

Artinya, smong bukan dalam artian kalah saing dengan tsunami. Saya tidak melihat dari kondisi ini. Namun, harus ada upaya yang konkrit dari seluruh elemen masyarakt agar membudayakan memakai kata smong. Kita yang sudah duluan kenal dengan tsunami pun, tidak menjadi perkara salah, saya melihatnya sebagai cara masyarakat mengenal tsunami dari orang Jepang.

Oleh halnya pepatah yang tidak ada yang tahu siapa pencetusnya, tersebutlah "musibah membawa berkah". Lembaga pendonor dari dalam dan luar negero uring-uringan pesawat kala itu membantu Aceh. Tidak ada yang membeda-bedakan karena suku, bangsa hingga agama. Poin utama adalah kemanusiaan. Dan setelah kondisi ini pun, saya melihat Aceh telah benar-benaf bangkit. Yang menurut penuturan 'radio bergigi' ditambah info fakta dari media, adalah benar bahwa orang Jepang kagum terhadap semangat bangkit orang Aceh. Mereka pun meneliti, mengkaji, hingga terjawablah bahwa kita Aceh (dengan semua suku di dalamnya) memengan nilai-nilai agama sebagai pondasi utama, tanpa berlama-lama larut dalam ke sedihan. "Katroh ajai geuh, hinan ka geutak tanda lee Poe (sudah tiba ajalnya, semuanya sudah ditentukan oleh Allah". Beginilah yang ditanamkan dalam setiap keseharian orang Aceh.

Kendati pun demikian, saya juga setuju bahwa bencana yang terjadi 24 Desember 2004 itu juga adanya teguran agar kita tidak keluar dari jalur agama dan benar-benad meyakini bahwa setiap bencana bisa saja menjadi ujian ataupun azab. Semuanya ditentukan oleh-Nya. Bila pun ada studi kebencanaan bahwa gempa terjadi karena adanya gesekan di dalam perut bumi, saya pun percaya, karena tugas manusia adalah belajar dan anti kebodohan.

Setelah 12 tahun bencana mahadahsyat itu melanda fisik dan psikis kami, saya baru menuliskannya. Saya melihat Aceh sebagai daerah yang telah sukses keluar dari jalur konflik darat dan amuk laut. Di sini, dari tahun setelah 2004 karya anak muda lahir menghiasi negeri ini. Kini kami telah bebas menuis sastra tanpa takut diterjang peluru konflik. Ruang diskusi terbuka lebar. Banyak pelajar telah studi jauh hingga ke luar negeri. Hanya saja, kini kami disulitkan dengan sedikitnya anak muda yang membaca, namun banyak berbicara terhadap suatu hal, tanpa ilmu. Kami sedang dibutakan oleh hidup hedonisme, dengan beberapa diantaranya 'cuih' terhadapa sekitar. Tapi, diantara hal ini, ada banyak pemuda lainnya di Aceh yang tersebar berbuat untuk sesama. Rasanya, semangat membantu jiwa orang Aceh tak pernah lekang, karena mereka dulunya berangkat dari hal serupa. Aceh dan semua entitas sosialnya, bagi say adalah hal yang meneduhkan dan mengasyikkan untuk terus dipelajari dan dimaknai. []

Senin, 19 Desember 2016

Padi

Senin, Desember 19, 2016

Sejak dalam kandungan, saya telah dibawa ibu ke sawah. Baginya, masa awal mengandung bukan penghalang baginya untuk tetap beraktivitas seperti biasa. Saat masih balita, ibu memang tidak bisa selalu membawa saya ke sawah. Adalah kakak tertua yang menjaga saya, baru dibawa jika saya sudah benar membutuhkan ASI. Lagi pun bila kakak ke sekolah, ibu senantiasa membawa saya ke sawah pula. Begitu cerita ibu dalam kisahnya saat saya sudah dewasa.

Saya masih ingat betul, hari itu ayah pergi mengajar. Saya diboncengi ibu menghampiri penjual mie langganan kampung kami. Ibu membeli satu bungkus mie dengan porsi besar. Di sawah, saya menyantap lahap mie itu sambil menemani ibu mengusir burung pipit yang menggerogoti padi kami. Di sudut sawah, saya duduk menepi pada  rangkang (pondok kecil tempat berteduh petani). Rangkang itu dibuat dengan rapi oleh ayah. Saya melihat ibu menarik-narik tali menghalau burung pipit. Ada suara batu yang sudah dimasukkan ke dalam kaleng susu bekas. Grok… grok… grok… itulah berkali-kali suara yang dimainkan ibu.

Saat musim padi akan ditanami, saya juga masih ingat betul. Kami sekeluarga beramai-ramai ke sawah. Abang saya – anak keenam – takut pada satu benda berwarna hijau yang mengapung di air keruh persawahan. Bentuknya mirip agar-agar. Abang saya takut melihat benda itu, saya malah tertawa cekikian. Padahal benda ini biasa aja, kali aja abang saya geli dibuatnya. Di hari itu, sebelum turun ke sawah, ayah sebenarnya melarang kami ke sawah karena masih kanak-kanak. Namun, ibu punya pikiran lain bahwa anak-anak harus tahu gimana susahnya bekerja, mendapatkan rezeki yang halal.

Lain cerita lagi saat musim menamam palawija, ibu memilih menanam jagung. Sawah kami yang lainnya lebih rendah dari sawah tetangga, karena ada pupuk yang mengendam saat masa tanam padi yang turun dari sawah tetangga itu, jadilah jagung hasil panenan kami lebih besar dan berisi.

Di dekat sawah itu juga, semasa usai SMA saya pernah duduk menepi di sana. Masa di mana saya harus pusing memilih untuk studi lanjutan. Saya sempat menangis memang kala itu, cengeng betul saya. Tapi, tentu sawah dengan padinya memberi saya ketenangan dan menuntun saya untuk memilih keputusan, padi dan pemandangan luasanya itu memberi kemewahan mata bagi siapa saja yang memandangnya.

Seberang tahun sebelum hari itu, saat SMP saya bingung ketika disuruh guru bahasa dan sastra Indonesia menulis puisi. Dalam batin, saya harus menulis puisi hasil karya sendiri. Lantas, rupanya sawah dengan padi yang sedang menguningnya memberikan inspirasi menulis puisi. Saying, saya tidak tahu lagi di mana kini puisi itu saya simpan. Barangkali pun tidak ada, namun saya memiliki kenangan yang masih melekat.

Saat kuliah pun, jika ada waktu libur kuliah dan sedang musim turun ke sawah, baik musim menanam padi atau memanennya, saya sempatkan pulang ke kampung. Bersama ibu dan saudara saya lainnya, kami sama-sama bekerja. Mulai dari membuat tempat menabur benih padi, membereskan tempat tanamanya – termasuk memungut keong selaku hama –, membuat baris batas padi yang akan ditanami oleh buruh tani yang kami beri upah. Jika mereka terkejut melihat saya, mereka akan berkata “Oh, na awak Banda Aceh lagoe (Oh, rupanya ada orang Banda Aceh)”, mereka menyebut saya begitu karena beberapa tahun belakangan menetap di Banda Aceh. Jadilah kalimat semacam itu melekat bagi saya. Namun, saya juga membalas sambil bercanda bahwa hati saya selalu ada di sini, tempat di mana saya belajar menanam padi hingga mampu menanak nasi. Selain bisa membereskan tanah yang akan ditanami padi, saya juga bisa mencabut benih padi, menanamnya, hingga memotong padi saat kami panen.

Memang, berat benar menjadi petani, rasanya tidak ada orang yang sanggup jika belum pernah merasakannya sejak kecil. Belum lagi saat padi kami diganggu hama tikus, dari mulai jadi benih hingga padi sudah mulai tumbuh bijinya. Setiap orang pada kondisi begini mestinya sabar, jika tidak, maka siap-siap orang akan mengumpat serapah apapun. Ibu mengajari kami untuk tidak seperti itu. Padi seperti keluarga sendiri, dia yang telah ‘memberi penghidupan’ bagi keluarga kami – melalui kuasa-Nya.

Kemana pun saya pergi, saya akan sangat senang melihat pemandangan sawah. Burung-burung yang terbang, jika sedang naik motor, saya sempatkan memotretnya. Jika dalam mobil, saya membuka kaca jendelanya untuk menghirup udara segar, beserta bau harum aroma pagi yang memberi ketenangan dan jiwa. Padi dan keseluruhannya, bagi saya adalah tempat yang memberikan ketenangan, kita tidak perlu bayar mahal-mahal untuk mengikuti seminar motivasi, dengan melihat pemadangan hijaunya, saya merasakan kebahagian. Ada semangat lebih yang ditawarkannya, Anda yakin tidak mau melihatnya? Simpan semua kesenangan di kota, ke desa-desa Anda turun dan bertutur dengan masyarakat. Pastinya kita akan dijamu dengan begitu mempesonanya. Padi dan apa yang saya lihat adalah wujud nyata pemberian Tuhan bagi hambanya. []

Kamis, 24 November 2016

Warkop Cot Iri, Tempat yang Cocok untuk Menyendiri

Kamis, November 24, 2016

Lokasinya tidak jauh dari pusat kota, hanya beberapa menit mengendarai sepeda motor dari Simpang Tujuh Ule Kareng, Banda Aceh, kita akan sampai di warkop ini. Biar tidak salah pilih jalan pada Simpang Tujuh tersebut, saya memastikan memilih jalan menuju bandara internasional Sultan Iskandar Muda (SIM). Memang bagi yang baru tiba di Banda Aceh, simpang terbanyak di Aceh ini lumayan memusingkan kepala.

Mengendarai sepeda motor pemberian mamak ini, mantaplah saya ‘melaju cantik’ ke arah Warkop Cot Iri. Untuk sampai kesana, kita harus menyeberangi jembatan desa Cot Iri. Jembatan ini sudah lama dibangun, berbarengan dengan jembatan Lamnyong, bisa dikata semasa Orde Baru. Saat melewatinya, keindahan gunung Seulawah membiru yang dibalut awan putih siap menyambut mata siapapun yang memandangnya. Kiri hingga kanan jembatan, keindahan alam yang hijau juga menggoda mata untuk betah lama-lama menikmatinya, juga menghirup udara pagi. Jembatan ini super sibuk pada paginya. Ada yang mengantar anak ke sekolah, berangkat kerja, hingga mahasiswa banyak menggunakan jalan pintas ini untuk cepat sampai ke kampusnya.

Warkop Cot Iri – begitulah sebutan orang-orang – berada di ujung jembatan sebelah kiri simpang 4. Jika lurus, kita bisa menuju Lam Ateuk dan berlanjut ke bandara SIM, jika belok ke sebelah kanan, kita bisa menuju ke desa Meunasah Tutong dan terus ke Simpang Lambaro, Aceh Besar. Sementara jika melaju ke sebelah kanan, jalan itu akan tembus ke Darussalam. Kali ini, saya harus berhenti sejenak sebelum melaju kea rah Darussalam.

Rasa lapar yang tiba, memantapkan perut dan lidah saya untuk segera melunasi hutang lapar yang belum terselesaikan usai makan tadi malam. Tidak seperti warkop di perkotaan, di sini Anda akan menemukan beragam profesi orang yang ngobrol. Mulai dari petani, peternak sapi, penjual ikan, pedagang hingga seorang suami yang menikmati usia senjanya bersama kekasihnya. Saya melihat mereka berdua begitu romantis menyeruput kopi sanger dan nasi guri.

Nasi Guri

Saya sudah berada duluan dari sepasang kekasih itu. Pagi tadi saya agak bingung memilih tempat duduk. Meja di warkop itu penuh dengan beragam profesi yang saya beberkan tadi. Saya duduk di luar, sepintas kemudian melihat tempat duduk yang sangat ‘beautiful view’. Tempat duduk ini menjadi incaran saya sejak awal. Selama ini, tempat duduk ini menjadi favorit karena di sebelahnya kita bisa menyaksikan orang lalau lalang di jembatan Cot Iri.

Lantas, tak sabaran rasanya mengisi perut dengan nasi guri – nasi khas orang Aceh untuk sarapan. Nasi guri ini porsinya tidak banyak, hampir sama dengan ‘Bu Prang’ – nasi khas Aceh lainnya. Nasi guri adalah santapan menggoda, nasi ini dimasak dengan bumbu khusus. Ada banyak lauk yang bisa dipilih, mulai dari telur rebus sambal, ikan, udang hingga teri sambal.

Sebagai teman menikmati nasi guri dan biar makin beautiful view, saya juga memesan kopi sanger. Namun, sepertinya pembuat kopi lupa menaruh gula pasir, jadi sangernya hampir mirip kopi susu. Tapi, dari segi rasa, bolehlah kita sebut kopi sanger, yang penting sama-sama ngerti.

Sensasi buih kopi sanger

Selain menikmati sarapan dan sanger tadi, saya juga menikmati suasana penuh akrab bersama orang-orang yang nongkrong sejenak. Tetapi, saya duduk sendiri dan menikmati sepi, pedih jenderal!

Orang-orang itu membicarakan beragam hal, ada yang bahkan sudah menjadi pelanggan tetap warkop ini. Mereka semacam melakukan ‘cang panah’ soal pekerjaannya hingga isu terkini. Mereka sangat antusias menikmati kopi yang disuguhkan. Orang yang di samping saya, mereka berdua asik betul bercengkrama, awalnya mereka duduk di meja sebelahnya lagi. Namun, mereka berceloteh, tak sanggup menghisap asap rokok dari meja lainnya. Sama seperti saya juga, saya akan menghindari asap rokok. Tetapi, begitulah majemuknya warung kopi, dimanapun orang akan tetap kesana juga kan.

Sepertinya sudah lama gak jumpa

Hampir sama sibuk ‘cang panah’ seperti pelanggan, pembuat kopi juga sama-sama sibuk menyaring kopi dengan beragam rasa, baik sanger, kopi susu, kopi hitam dan tidak hanya kopi, Anda juga bisa memesan teh hangat, kacang hijau, bahkan jika lebih anti mainstream, Anda dapat memesan teh dingin  sambil menyantap nasi pagi. Penganannya pun lumayan banyak, kita dapat merayakan kenikmatan sendiri yang sesungguhnya di warkop ini.

Suasana tiap pagi di Warkop Cot Iri, yang lagi serius nyimak, pelanggan tetap

Di warkop yang berwarna hijau muda itu, kita tidak akan menemukan daftar menu. Anda cukup memesan saja apa yang ada. Ini berbeda sekali dengan warkop-warkop ternama ibukota yang memakai nama minuman kopi dengan bahasa asing, mulai dari avocado coffe, vanilla latte, espresso dan lainnya. Pembuat kopi pun beragam umur, anak muda yang saya taksir baru selesai SMA, pemuda akan menikah hingga bapak-bapak yang sangat sigap menyuci gelas-gelas kopi. Saat membayar, Anda boleh datang ke kasirnya langsung atau memanggil pelayannya.


Memang, apalah daya saya menyendiri disini, saya bisa menikmati semuanya, tapi tanpa orang yang menemani, rasanya pagi hari serasa sepi.

Senin, 21 November 2016

Metamorfosis

Senin, November 21, 2016

Maka benar seperti kata Pram "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian". Saya sudah mulai tertarik menulis sejak kecil. Bagi kita yang tinggal di gampong, media semacam daun pisang dan lidinya adalah tempat bermula memulai menulis. Sebelum kita benar-benar yakin menggunakan pensil hingga pulpen.

Di rumah saya, di Bireuen, masih tersimpan dengan baik mesin tik peninggalan Almarhum Waled. Darinya beliau menulis surat  penting desa juga surat lainnya. Waled termasuk suka menulis, tak hanya soal administrasi gampong, saya pernah menemukan catatan pengajiannya tentang cara membaca huruf hijaiyah. Catatan yang ditulis dengan tegak bersambung itu, tersusun dalam kalimat-kalimat rapi. Semasa beliau sekolah dulu, media untuk tempat menulis bukanlah kertas atau laptop yang saya pakai sekarang, melainkan batu. Dan di rumah, benda ini masih kami simpan rapi.

Tidak hanya rajin menulis hal-hal yang menurutnya penting, semasa beliau hidup, di kios kami, Waled menyediakan bacaan gratis bagi warga gampong. Kios+Perpustakaan Mini itu yang membuat saya suka baca, terutama jika ditambah dengan gambar.

Ohya, di rumah juga masih ada buku "Tenggelamnja Kapal Van Der Wijk" terbitan pertama dengan harga 650 rupiah. Itu novel pertama yang saya baca semasa SMA.

Baik di SD, SMP, SMA, hingga kuliah, perpustakaan menjadi yang paling menarik bagi saya, terutama pada jam istirahat. Namun yang sedikit membuat saya agak kecewa, ketika perpustakaan SD saya dibakar oleh OTK semasa konflik. Buku-buku menjadi abu, tetapi ingatan saya tentang isi buku itu beberapa diantaranya melekat.

Maka tak salah, rasanya menulis adalah kerja keabadian. Hal-hal yang sudah saya lewati, bisa ditulis. Karena setiap momen memberikan makna keindahan tersendiri bagi hidup seseorang.

Blog yang awalnya arifsalda.blogspot.com, mulai malam ini telah beralih ke www.arifsalda.com. Diantaranya, tentu saya berharap, ini adalah langkah berikutnya untuk melahirkan karya-karya yang mencerahkan. *blog dalam masa perbaikan

Muarrief Rahmat
www.arifsalda.com
"Saya Tulis, Kamu Baca, Kita Bersahabat"

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."